• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENDAMPINGAN KAUM MUDA SECARA KHUSUS

A. Kaum Muda dan Permasalahannya

Dewasa ini gambaran kaum muda identik dengan kehidupan “dunia maya”-nya. Facebook, twitter, game online, blogger dan chatting merupakan suatu ciri yang melekat dengan diri kaum muda. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman teknologi saat ini, atau yang orang sering sebut dengan dunia cyber. Kalau dilihat dengan sudut pandang yang lain, kaum muda seolah-olah lupa dengan kehidupan nyata yang sedang ia jalani. Perangkat elektronik memang mampu mendekatkan yang jauh dan juga menjauhkan yang dekat. Belum lagi tergerusnya budaya timur yang mulai bergeser mengikuti budaya barat. Kaum muda memang merupakan sasaran yang jitu bila kita menawarkan suatu yang berkesan baru dalam dunia mereka.

Di lain sisi kita pun dapat melihat kesatuan dan persaudaraan yang lebih pada kaum muda, hal ini sangat tampak pada saat negeri kita Indonesia tertimpa bencana alam yang sangat hebat. Bencana banjir di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai, dan juga meletusnya gunung Merapi di Yogyakarta. Secara nyata kaum muda tak sungkan dan malu untuk turun ke jalan dengan membawa kardus yang bertuliskan bantuan bencana alam untuk Wasior, Mentawai dan Merapi. Kepekaan serta kepedulian kaum muda bagi sesama sangatlah tinggi, sehingga tentu saja patut mendapatkan apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Sebagian kaum muda pun tak lepas pula dari cengkraman dunia maya, sebagai tindakan nyata mereka selalu siap sedia di depan layar mati untuk dapat selalu mengakses segala macam kebutuhan para korban untuk dapat segera mengirimkan bantuan yang sedang dibutuhkan.

Kaum muda yang seperti inilah, yang mampu untuk memilah akan kegunaan yang memang kiranya sangat baik bukan hanya bagi diri sendiri tetapi terlebih untuk sesama yang membutuhkan. Melihat gambaran nyata yang telah dipaparkan maka dapat dikatakan bahwa kaum muda merupakan aset bangsa, agen perubahan sosial (agent social of change), dan pemegang kebijakan masa depan. Dalam hal ini kaum muda sungguh diharapkan untuk dapat menjadi penerus yang mampu untuk merubah kehidupan jaman menuju pada yang lebih baik, bukan hanya sebagai penerus tetapi lebih-lebih kaum muda diharapkan mampu untuk dapat menjadi seorang pemimpin.

Kaum muda Katolik atau yang sering kita sebut sebagai orang muda Katolik (OMK) dapat dikatakan sebagai tonggak akan masa depan Gereja.

Dengan kata lain, kaum muda harus berani untuk ambil bagian dalam perannya masing-masing untuk meningkatkan kualitas hidup serta kualitas iman yang ada di setiap pribadi kaum muda dalam bentuk tugas pelayanan Gereja. Kenyataan yang ada saat ini malah sebaliknya, kaum muda datang ke Gereja dalam Perayaan Ekaristi hanya untuk sekedar “nongkrong”, atau hanya seperti sebuah rutinitas saja. Walaupun tidak semua kaum muda seperti gambaran tersebut. Tentu ada saja kaum muda yang memang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik dalam kegiatan hidup menggereja. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya kaum muda atau orang muda katolik kurang memiliki kesadaran secara utuh dalam menjalani kehidupan beriman mereka, yang akhirnya membuat diri mereka menjadi pribadi yang bersifat hedonisme. Gaya hidup yang senang keluar dari aturan tidak boleh ini-itu dan akhirnya membuat gaya hidup baru.

Melihat situasi yang ada dan dengan menyadari akan pentingnya kaum muda bagi kehidupan Gereja, maka ada baiknya kita perlu membina serta mengarahkan kaum muda dalam menjalani dan menentukan pilihan-pilihan kehidupan sehari-hari. Untuk itu perlulah kiranya diadakan pendampingan dengan tujuan untuk menolong dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap kristiani serta cinta akan tanah air bagi kaum muda kita.

1. Pengertian Kaum Muda

Mangunhardjana berpendapat bahwa kaum muda dapat digolongkan sebagai kelompok diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

“kaum muda adalah mereka yang oleh ilmu psikologi disebut adolescent, yang mencakup para muda-mudi dalam usia sekolah menengah tingkat

atas, serta dalam umur studi di perguruan tinggi semester I-IV”. (Mangunhardjana, 1986:12).

Dalam buku Pedoman Pastoral Kaum Muda, dituliskan bahwa yang disebut kaum muda yakni mereka yang berusia 13-30 tahun dan belum menikah. Sebagai pribadi dalam usia muda, mereka mempunyai potensi untuk berkembang dan berperan serta dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Dengan kata lain kaum muda merupakan tonggak harapan masa depan bagi Gereja dan juga masyarakat, sehingga kaum muda mempunyai peran yang sangat besar.

Tak jauh beda, Ketua Komisi Kepemudaan KWI, Mgr. M. D. Situmorang, OFMCap, (pada saat itu,1986) pun juga berpendapat sama dalam hal ini, beliau mengatakan bahwa kaum muda adalah orang-orang yang sedang tumbuh dan berkembang. Kaum muda adalah generasi penerus dan sekaligus pembaharu.

Penginjil Lukas pun menulis “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2:52). Adapun maksud dari ayat ini yakni ingin mengatakan bahwa masa muda berarti “pertumbuhan”. Pertumbuhan secara fisik (bentuk badan) itu terjadi antara hubungan alamiah seseorang dengan waktu, tetapi proses ini harus disertai dengan adanya “pertumbuhan” kebijaksanaan dan rahmat. (Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada Kaum Muda se-Dunia dalam rangka Tahun Pemuda Internasional, 1985:63).

Dengan melihat dari sudut pandang orang tua, sebenarnya orang tua pun juga telah memberikan bimbingan yang tiada henti dalam membesarkan anaknya. Hanya saja terkadang orang tua sering kali membesar-besarkan permasalahan yang ada, sehingga ada suatu pengekangan terhadap diri anak tersebut. Hal seperti

inilah yang kadang membuat anak atau kaum muda merasa tidak ada kecocokan dengan para orang tua. Kaum muda tidak menginginkan orangtua mereka bersikap terlalu otoriter, tetapi mereka pun tidak suka kalau orangtuanya bersikap gampang-gampangan. Dialog adalah kunci segalanya. Suatu dialog diperlukan untuk menyiapkan jalan bagi kelangsungan bersama. Dengan timbulnya perbedaan pendapat yang terjadi, maka dialog diharapkan dapat menjembatani jurang yang ada bagi kedua belah pihak.

Pada tahap masa muda inilah, kaum muda dapat membentuk jati diri mereka masing-masing. Melalui “pertumbuhan” yang terjadi maka akan banyak kali pengalaman yang juga menghampiri kita, dan melalui pengalaman itulah kita kaum muda dapat memperoleh pengetahuan yang memperkaya diri kita secara langsung.

2. Ciri-ciri Kaum Muda

Menurut Bertha, ciri-ciri kaum muda berbeda dengan ciri-ciri remaja.

“kaum muda atau pemuda relatif sudah tidak mengalami pertumbuhan fisik, sudah optimal pertumbuhannya. Namun secara psikis mereka masih berkembang. Jiwa mereka sudah mulai dipenuhi dengan idealisme-idealisme, yang membutuhkan pelampiasan. Karena ada kesenjangan antara idealisme dan kenyataan yang terjadi di depan mata mereka dan didasari oleh jiwa muda yang masih penuh gejolak, maka muncul kesepakatan di kalangan mereka untuk beraksi.” (Bertha, 1989: 295) Melihat pergaulan kaum muda, sekarang bukan lagi saat untuk “koleksi” tetapi lebih-lebih untuk “seleksi” teman. Gambaran nyata yang timbul dalam pergaulan kaum muda yakni adanya atau terbentuknya suatu “gang”, seperti halnya untuk dapat masuk sekolah ada suatu proses seleksi. Begitu pula jika ingin

masuk kedalam suatu gang. Kalau lebih dicermati sebenarnya gang merupakan suatu wadah yang mempunyai beberapa anggota, yang mungkin mempunyai misi dan visi tertentu. Tetapi kenyataan yang hadir bahwa gang ini malah sering kali membawa dampak yang negatif, entah itu tawuran atau pun sekedar hanya bergaya. Mereka yang memilih untuk bergabung dalam gang kebanyakan ingin menunjukan bahwa diri mereka itu ada, serta juga ingin menunjukkan bahwa mereka ingin tampil beda. Arus konsumerisme pun kerap menghampiri kaum muda, kaum muda merupakan sasaran yang tepat untuk iklan. Iklan sebenarnya mempunyai cara dan bahasa sendiri untuk dapat memikat para konsumennya, dan dampak yang ditimbulkan yakni besarnya keinginan khususnya bagi kaum muda untuk dapat juga membeli dan menjadi bagian dari arus konsumerisme. Sehingga pada tahap ini kaum muda sering dicap oleh masyarakat umum dengan masa mencari identitas diri, semua hal baru pasti “dicoba” oleh kaum muda agar mereka tak dibilang kampungan ataupun ketinggalan jaman. Jika ditelaah lebih lanjut sebenarnya menjadi berbeda saja tidak cukup, dan itu tidak mempunyai arti yang besar. Tetapi hal yang ingin ditekankan yakni cara kita untuk dapat menjadi beda yang tidak asal, yang tentunya dapat membawa pengaruh serta dampak yang luar biasa bagi banyak orang.

Ciri kaum muda yang juga sering kita lihat identik dengan istilah “manusia bunglon”(Yunita, 2006:30), yang artinya tidak memiliki pendirian dan prinsip hidup yang kuat. Berubah bukan karena sadar, tetapi lebih-lebih hanya untuk mengikuti trend. Dengan melihat kenyataan yang ada, memang harus diakui bahwa kaum muda itu berubah-ubah dalam pengertian cepat bosan. Fluktuasi

emosi yang naik turun (tidak stabil) membuat kaum muda menyukai hal-hal yang baru, namun tidak senang menekuni sampai dalam (Yunita, 2006:33).

3. Situasi Kaum Muda saat ini

Setiap orang ingin membentuk dan membina pribadinya. Ingin dirinya berharga dan menyenangkan bagi banyak orang. Tetapi kebanyakan kaum muda tidak tahu bagaimana caranya. (Agusta, 1983:20).

Dewasa ini kebanyakan kaum muda memilih hidup hanya untuk sekedar kesenangan belaka, tidak ada kesadaran untuk memilih hidup yang penuh dengan kualitas yang bermutu. Meskipun ada, tetapi tidak banyak. Dalam kehidupan rohani pun, kaum muda lebih senang bila mengikuti kegiatan yang hanya sekedar kumpul-kumpul, bercanda ria, “rujakan” dan masih banyak lagi ketimbang harus duduk diam selama satu jam untuk mengikuti pendalaman iman yang ada di lingkungan.

Lebih parah lagi, apabila kaum muda yang dalam kalangan Gereja disebut dengan OMK atau Mudika, tidak menyentuh sedikit pun kegiatan menggereja yang dilaksanakan. Alkohol, narkoba dan dunia malam mungkin merupakan salah satu teman akrab sehari-hari kaum muda tersebut. Kalau kita mengandaikan bahwa kaum muda akan memilih jalan yang seperti itu, siapa yang akan menjadi generasi penerus Gereja?

Melihat kondisi seperti itu diperlukan suatu pembinaan kepada pribadi-pribadi yang bersangkutan, dengan melihat apa yang ia punya, benih-benih baik yang perlu ditumbuhkan dan juga sifat-sifat baik yang harus dipelihara dan

dikembangkan. Dengan tidak menyingkirkannya dari lingkungan masyarakat, kaum muda akan dapat bangkit bersama. Pembinaan yang mampu menciptakan banyak pemimpin, akan sangat membantu diri mereka sendiri, terlebih dalam hal proses pencarian jati diri dan akan tujuan hidup yang sedang mereka cari. Kepemimpinan identik dengan perubahan, tentu saja perubahan yang digerakkan oleh kesadaran (Yunita, 2006:63). Kesadaran akan banyak hal, terlebih akan kesadaran bagaimana untuk dapat menjalani hidup dengan pilihan-pilihan duniawi yang ada di depan mata kita.

Dengan melihat situasi kaum muda yang kurang terkendali, diharapkan adanya suatu pembinaan bagi kaum muda yang dapat mencetak pribadi yang berkualitas. Dalam buku yang berjudul Pemimpin Muda Peka Zaman, (Yunita, Eva., 2006:65-68) menuliskan bahwa kaum muda harus memiliki beberapa point untuk dapat menjadi pribadi yang tangguh. Adapun penjabaran point yang dimaksud sebagai berikut :

a. Kaum muda mampu mendengarkan suara Tuhan dengan baik

Yang maksudnya memiliki kepekaan mendengarkan suara Allah dalam hidupnya. Hal ini dapat terbentuk karena, kesadaran yang dalam bahwa ia (kaum muda) memerlukan Allah: sadar dan bergantung pada-Nya. (Yunita, 2006:65). Kepekaan untuk dapat mendengarkan suara Allah, bukan hadir begitu saja. Tetapi dengan banyaknya latihan dan pengalaman yang dilakukan, dalam hal ini ketelatenan “berbicara dengan Tuhan”. Dengan begitu kita dapat mampu

mendengarkan suara yang ada dalam diri kita serta dapat memilah mana suara yang baik dan mana pula suara yang jahat.

b. Kaum muda yang memiliki prinsip yang kuat

Pribadi yang memiliki prinsip yang kuat berarti, pribadi yang memiliki tujuan hidup yang jelas (Yunita, 2006:66). Pribadi ini memegang teguh akan apa yang telah ia jalani, bukan lagi sebagai pribadi yang hanya mengikuti mode yang sedang berkembang tetapi lebih-lebih pada menjadi diri sendiri. Yang tentunya menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi derasnya arus modernisasi untuk dapat menuju pada tujuan hidup yang berkualitas.

c. Kaum muda yang selalu haus belajar

Dia (kaum muda) selalu merindukan dan mencari serta terbuka akan hal-hal baru yang ia temui. Dia tidak ketinggalan informasi tentang gaya hidup generasinya, dan juga tidak seperti katak dalam tempurung, yang pikirannya hanya terkotak pada tempurung yang membungkusnya. Namun, pikirannya selalu haus akan pengetahuan dan mencari cara yang inovatif (Yunita, 2006: 68). Seperti itulah gambaran kaum muda yang mampu memimpin ditengah banyaknya pilihan-pilihan yang ada.

Jika kita telisik lebih dalam lagi, sebenarnya boleh dikatakan bahwa kaum muda saat ini juga telah menjadi korban utama keadaan semacam ini. Namun demikian mereka telah berusaha untuk lebih mudah menyesuaikan diri dengan sistem-sistem hidup yang baru. Karena dilahirkan di dalam suatu dunia yang

terus-menerus bergerak, maka merekapun menerima dengan kewajaran yang ekstrim dalam hal kemajuan yang pesat ilmu pengetahuan dan tehnik.

4. Situasi Permasalahan yang dihadapi Kaum Muda

Dewasa ini kaum muda dihadapkan pada situasi nyata baik di lingkungan sosial, keluarga maupun di sekolah. Dengan posisi emosi yang belum terkendali dan stabil, orang muda sering kali dihadapkan pada banyak permasalahan yang ada sehingga akan memungkinkan timbulnya banyak permasalahan pada diri orang muda. Permasalahan yang muncul pun terkadang mempunyai dampak tersendiri bagi orang muda, yakni tekanan (stress). Yang akhirnya dapat memicu kebingungan pada diri sendiri, karena pada saat seperti itu orang muda pun sedang melakukan pencarian jati diri.

Tangdilintin, dalam bukunya yang berjudul Pembinaan Generasi Muda, mengemukakan tentang tanggapan kaum muda tentang diri mereka dimata banyak orang sebagai berikut.

“Tentu saja kami ingin bebas, lepas, dan tidak ingin dijadikan produk orang tua untuk terus-menerus mengikuti apa yang mereka kehendaki dari kami…” (tanggapan seorang remaja dalam diskusi panel di Gelanggang Remaja, Bulungan).

Dengan melihat pernyataan itu Tangdilintin pun menyatakan bahwa masa muda adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Krisis identitas merupakan salah satu faktor yang dihadapi oleh kaum muda. Untuk dapat mencari identitas setiap pribadi, kaum muda dapat saja melakukan apa pun

untuk dapat menunjukkan dirinya sendiri. Problematik dalam diri kaum muda sendiri pada umumnya berpangkal pada penampilan psikis dan fisik mereka yang masih serba labil dan terbuka pada pengaruh luar yang diserap lewat media komunikasi pergaulan. Tingkah laku meniru tokoh idolanya pada remaja pun merupakan suatu hal yang wajar. Mengikuti trend mode yang sedang in pun dilakoni kaum muda untuk dapat berharap bisa menemukan identitas dirinya. Pada tahap perkembangan ini kaum muda memang masih terjadi proses pencarian identitas (Tangdilintin, 2008:31).

Kaum muda melakukan hal-hal seperti itu hanya karena takut dianggap tidak conformdengan kelompok atau geng. Sehingga muncul suatu kekhawatiran pada dirinya sendiri kalau tidak mendapat penerimaan dari kelompok (Bertha, 1989:294).

Permasalahan yang kerap muncul pada diri kaum muda yakni permasalahan dengan orang tua. Beberapa konflik yang biasa terjadi antara orang muda dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Beberapa orang muda juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan orang muda. Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja dan orang muda mengalami degradasi moral. Sementara orang muda sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga orang muda merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan

nilai-nilai, tetapi orang muda akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.

Dalam buku yang berjdulPembinaan Generasi Muda, (Tangdilintin, 2008: 43-51) mengemukakan beberapa situasi permasalahan yang kiranya berkaitan dengan kehidupan kaum muda, diantaranya:

a. Keretakan Hidup Berbangsa dan Formalisme Agama

Agama yang seharusnya menjadi perekat antar sesama manusia justru berubah menjadi sumber keretakan, karena: (a) relasi yang buruk akibat dari perlakuan diskriminatif serta kecurigaan karena berbagai praduga primordial, dst; (b) penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik dan bisnis, yang melahirkan politik identitas; (c) formalisme agama: penghayatan agama yang dangkal dan bersifat formalistik-ritualistik-legalistik, tidak dihayati sebagai nilai dan sikap-hidup pribadi maupun kelompok. Orang bangga menyebut diri “orang beragama” bahkan “bangsa religius” tetapi sebenarnya tidak (cukup) beriman (Tangdilintin, 2008: 43).

b. Korupsi

Rusaknya keadaban publik karena ‘matinya moralitas dan etika’ yang ditandai oleh matinya hati nurani, hilangnya budaya-malu dan rasa-kepatutan. Berbagai perilaku dan tindakan koruptif dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Orientasi hidup yang semakin materialistik, pola hidup konsumtif, hedonistik, disuburkan oleh budaya instan dan mentalitas short cut. Segelintir wakil rakyat, pejabat, dan pengusaha yang masih setia pada hati nurani sering dibuat tak berdaya karena berada dalam sistem yang telah rusak (Tangdilintin, 2008: 43).

c. Kemiskinan

Kemiskinan di Indonesia masih melilit 108,78 juta penduduk yang hidup dengan biaya kurang dari US$2 per hari/per orang. Penyebab kemiskinan itu terutama karena paradigma pembangunan tidak menempatkan rakyat miskin sebagai sasaran utama kebijakan pembangunan. Strategi pembangunan yang menomorsatukan pertumbuhan, bukan pemerataan, jelas akan lebih memihak pada para pemodal termasuk investor asing dari pada memberdayakan ekonomi kerakyatan (Tangdilintin, 2008: 45).

Ada beberapa hal yang perlu untuk dirombak dalam mengatasi permasalahan kemiskinan ini diantaranya rendahnya tingkat dan mutu pendidikan, rendahnya etos kerja, kualitas dan daya saing SDM rendah. Tentunya perombakan ini akan langsung berdampak pada generasi selanjutnya yakni para kaum muda (Tangdilintin, 2008: 45).

d. Pengangguran

Dengan melihat semakin banyaknya pengangguran yang ada di Indonesia, sudah tampak jelas bahwa peningkatan jumlah angkatan kerja sangat tidak

seimbang dengan pertambahan lapangan kerja. Mentalitas ‘priyayi’ dan orientasi untuk menjadi baik tidak merangsang tumbuhnya budaya wirausaha. Kualitas tenaga kerja yang rendah, baik sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan maupun rendahnya kualitas pendidikan, ditambah lagi rendahnya etos kerja, menyebabkan tenaga kerja tersebut semakin tidak kompetitif dalam pasar tenaga kerja modern (Tangdilintin, 2008: 46).

e. Premanisme

Analisis yang disajikan SAGKI 2005 tentang preman menghentak kesadaran kita bagaimana nasib orang-orang muda yang dijadikan toys dan diperalat penguasa serta kepentingan pengusaha. Lihat saja bagaimana pengusaha yang mengelola perjudian, prostitusi, dan obat terlarang masih berkeliaran bebas dengan penjagaan para preman dan backing para perwira. Jasa para preman digunakan juga untuk terror di kalangan buruh pabrik yang ingin memperjuangkan perbaikan nasib. Budaya kekerasan disuburkan, yang merasuk ke dalam lembaga-lembaga dan masyarakat sipil. Seperti halnya kasus kekerasan STPDN, sekolah yang harusnya mendidik calon pamong justru menjadi sarang preman paling brutal (Tangdilintin, 2008: 46-48).

f. Ketidaksetaraan Gender dan KDRT

Ideologi gender di Negara kita masih sangat patriarkis dan paternalistik, terlalu memihak dan menguntungkan kaum pria, sebaliknya perempuan kurang mendapatkan tempat yang layak. Ada semacam pembatas yang tidak tampak tetapi

ada, yang kemudian menghambat perempuan untuk ‘naik ke jenjang lebih tinggi’ di dalam banyak bidang. Dalam keluarga pun, banyak perempuan (OMK) yang diperlakukan semena-mena bahkan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Tangdilintin, 2008: 48-49).

g. Narkoba

Narkotika dan obat terlarang adalah salah satu godaan bahkan ancaman terbesar bagi generasi muda kita. Kini pun narkoba berkedok sebagai salah satu gaya hidup yang kian menjadi trend. Mereka diiming-imingi ‘kebahagian’ bila menggunakannya dan masuk dalam jaringan. Dan ketika sudah masuk dan kecanduan, hampir mustahil untuk keluar (Tangdilintin, 2008: 49-50).

Krisis identitas, tidak punya tujuan hidup, budaya latah, pemujaan kebebasan, mental lembek, kurangnya harga diri dan rasa percaya diri yang kemudian dapat menyebabkan orang muda kita begitu mudah terpengaruh, atau melarikan diri dari kesulitan dan tantangan hidup (Tangdilintin, 2008: 40).

5. Rintangan yang Menghambat Penguasaan Tugas Kaum Muda

Berbagai hambatan ataupun persoalan yang dihadapi kaum muda selalu saja berujung pada kegagalan. Kesulitan dalam menguasai berbagai tugas perkembangan masa muda (pemilihan jalan hidup) sering bertambah besar karena terdapat hambatan-hambatan. Dalam buku yang berjudul Psikologi Perkembangan, (Hurlock, 1980: 269) dituliskan ada beberapa rintangan yang

menghambat penguasaan tugas perkembangan masa dewasa dini (masa muda), diantaranya:

a. Dasar yang Kurang Memadai

Makin banyak masalah yang belum terselesaikan berupa tugas perkembangan sebelumnya yang belum dikuasai yang dibawa seseorang saat memasuki masa dewasa, maka makin terasa lama dan sulit proses penyesuaian dari pada masa dewasa tersebut (Hurlock, 1980: 269).