BAB II. PENDAMPINGAN KAUM MUDA SECARA KHUSUS
A. Perjalanan Kehidupan Dewabrata
Cerita ini adalah kisah seorang anak raja. Ibundanya meninggal setelah
melahirkannya, diiringi tangis diam ayahandanya, Prabu Sentanu. Dia diberi nama
Dewabrata, yang artinya kesayangan para dewa. Kelak Dewabrata harus
menggantikan Ayahandanya Prabu Sentanu, meski hatinya lebih suka berada di
alam bebas, mengukir malam dengan semedi, menghias siang dengan ilmu dan
kesaktian. Dewabrata semakin terbelenggu dengan keinginannya sendiri. Seiring
berjalannya waktu, kemudian Prabu Sentanu menikah kembali dengan seorang
wanita yang bernama Dewi Durgandini.
Di suatu malam Dewabrata bersemedi di tepi sungai suci, mengharapkan
mendapat suatu jawaban dari beberapa pertanyaan yang lama ia pendam. Dia pun
berharap bisa bertemu dengan ibundanya yang tidak pernah dikenalnya.
Kemudian dengan rasa putusasa, dalam semedinya Ia berkata “Ibunda, beri aku
petunjuk”. Tidak ada hati seorang ibu yang rela melihat putranya menggapai dari
kegelapan. Alam sendiri tidak tega membiarkan permohonan yang tulus itu
menggema tanpa jawaban. Perlahan-lahan aliran sungai berputar dihadapan
Dewabrata, membentuk sebuah pusaran kecil yang makin membesar. Di tengah
pusaran air itu dia melihat seorang wanita cantik yang duduk bersila. Di tangan
kirinya ada sekuntum bunga utpala biru muda. Suaranya merdu ketika berkata,
Dewabrata tersadar, di telapak tangannya tergambar sekuntum bunga utpala
berwarna biru muda. Ia bertekad untuk menemukan kediaman Dewi Bumi.
Dewabrata pun mengembara dengan membawa restu dari Ayahanda
Prabunya, dan juga restu dari Dewi Durgandini yang saat itu sedang hamil tua.
Tapi dalam hati kecil Dewi Durgandini, ia berharap bahwa Dewabrata tidak akan
pernah kembali. Dewi Durgandini memang lebih senang kalau takhta kerajaan
diwariskan kepada anak yang dikandungnya daripada kepada Dewabrata.
Dewabrata pernah mendengar bahwa di timur hidup seorang brahmana
sakti bernama Rama Bargawa. Dewabrata percaya bahwa hanya brahmana itulah
yang bisa membantunya menemukan tempat tumbuhnya bunga utpala berwarna
biru muda. Di tengah pengembaraannya, Dewabrata bertemu dengan seorang
gadis yang cantik jelita yang bernama Dewi Amba. Dewi Amba adalah seorang
putri dari kerajaan Giyantipura yang dipimpin oleh Ayahandanya yang bernama
Prabu Darmamuka. Mereka pun saling menjalin kasih.
Mengingat kembali tujuan pengembaraannya, Dewabrata meminta ijin
untuk melanjutkan perjalanannya kepada Dewi Amba. Dewabrata pun berkata,
“Aku biasanya tidak mudah membuat janji, karena sekali berjanji aku akan
membawanya sampai mati. Inilah janjiku padamu, bahwa tidak akan ada wanita
lain yang bisa menggantikan dirimu di hatiku”. Mendengar janji Dewabrata yang
tulus, akhirnya Dewi Amba pun melepas Dewabrata.
Akhirnya Dewabrata dapat menemukan brahmana yang dicari-carinya,
Rama Bargawa. Kemudian Dewabrata diangkat menjadi muridnya dengan satu
ksatriaannya. Dewabrata pun menyanggupinya. Rama Bargawa memintanya
untuk menemuinya di pertapaan Giriseta.
Suatu ketika ia menolong seorang gadis yang bernama Wulandari. Gadis
ini hendak dijadikan selir bupati, yang bernama Bupati Danurejan, tetapi bupati
tersebut adalah seorang yang sangat mata keranjang. Melihat kejadian itu maka
tergeraklah hati Dewabrata untuk menolongnya. Kalau saja Dewabrata belum
berjanji pada Dewi Amba untuk setia, tentu saja Wulandari juga menggetarkan
hatinya. Setelah kejadian itu Wulandari selalu mengikuti ke mana Dewabrata
pergi, hingga suatu hari Dewabrata melihat kemampuan Wulandari yang tidak
biasa. Wulandari kemudian diutus oleh Dewabrata untuk pergi ke Kerajaan
Astinapura, kerajaannya sendiri untuk menjadi seorang prajurit.
Berlanjutlah perjalanan Dewabrata, hingga sampailah ia di pertapaan
Giriseta. Dengan penuh ketekunan, Dewabrata menjalankan latihan-latihan keras
di bawah bimbingan Rama Bargawa.
Beberapa tahun berlalu tanpa terasa. Selama itu Dewabrata berlatih untuk
mengenali siapa dirinya sesungguhnya. Dia berdamai dengan masa lalunya. Dia
menerima kelemahan dan keterbatasan yang dimilikinya. Dia juga mulai melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada dirinya. Dirinya lebih luas dan dalam
dari semula yang dipikirkannya. Semakin dia menelusuri jejak-jejak jiwanya
dalam hidupnya, semakin dia dibawa kepada rasa takjub yang tiada habisnya.
Rama Bargawa membawa Dewabrata menuju sebuah telaga. Kemudian
Rama Bargawa mengucapkan beberapa mantra, perlahan-lahan air telaga bergerak
tengah pusaran air itu keluar sebuah arca wanita yang menggenggam sekuntum
bunga berwarna biru muda. Ya, bunga utpala. Hanya tersisa satu kelopak bunga
saja, itu diberikan dewata kepada Dewabrata. Kemudian Dewabrata memakan
bunga utpala itu. Setelah kejadian itu, maka Dewabrata meminta diri untuk
kembali pulang bertemu dengan ayahandanya.
Di tengah perjalanan menuju kerajaan Astinapura, Dewabrata teringat
akan kekasihnya Dewi Amba. Lalu ia menuju Giyantipura, tempat kediaman
Dewi Amba. Yang tidak diketahui olehnya adalah bahwa semenjak ditinggalkan,
Dewi Amba sudah tidak sama dengan yang dulu.
Di keputren Giyantipura, Dewi Amba termenung memikirkan hidupnya.
Sekian tahun telah berlalu, dan dia belum pernah mendengar kabar sedikitpun dari
Dewabrata. Sementara itu, banyak pangeran dan raja bergiliran mencoba merebut
perhatiannya. Pada awalnya dia selalu tegas menolak mereka. Dia bahkan tidak
bersedia menemui mereka yang datang membawa berbagai macam hadiah
untuknya. Karena seringnya tamu berdatangan, lama kelamaan hatinya tergoda
juga. Hati wanita mana yang tidak merasa tersanjung oleh sedemikian banyak
perhatian yang dilimpahkan oleh para pemujanya?
Singkat cerita, Dewi Amba telah tertipu oleh Bupati Danurejan. Hingga
akhirnya Dewi Amba menerima pinangan salah satu pangeran. Dewabrata pun
dengan sedih hati pulang kenegaranya Astinapura. Sesampainya di Astinapura ia
pun langsung bertemu dengan ayahandanya dan juga Wulandari, beserta seluruh
rakyat yang merindukan kedatangannya kembali. Tetapi ada satu orang yang tak
Tersengat rasa marah yang tak terelakkan, akhirnya Dewabrata mengucapkan
sebuah janji, “ Demi langit kediaman jiwaku, demi bumi yang melahirkan ragaku,
aku bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita seumur hidupku, sehingga
tidak ada keturunanku yang bisa menuntut tahta Kerajaan Astinapura”.
Hingga muncullah sebuah perang yang mengharuskan Dewabrata turun
tangan. Walaupun dengan kelihaian Wulandari yang pandai memanah, tetap saja
Dewabrata diminta turun tangan. Di balik perang tersebut ternyata Patih Danureja
sengaja menculik Dewi Amba sebagai tawanan. Dan Wulandaripun bertemu
dengan Dewi Amba dan menceritakan hal yang sebenarnya. Terbukalah hati Dewi
Amba kepada Dewabrata kembali. Tetapi semua itu terlambat karena Dewabrata
telah mengucapkan sumpahnya. Melihat itu Patih Danureja mengambil
kesempatan untuk membunuh Dewabrata, keris sakti Patih Danureja pun langsung
melesat. Melihat hal itu Wulandari langsung menghadang keris itu dengan
tubuhnya.
Wulandari pun gugur dengan senyum kebahagiaan tersungging di
bibirnya. Tiba-tiba halilintar menggelegar disertai suara gemuruh membahana.
Tubuh Wulandari terangkat dan kemudian lenyap, dan berganti dengan Dewi
Bumi yang tersenyum kepada Dewabrata sambil memberikan serumpun Bunga
Utpala. Barulah terbuka mata hati Dewabrata, kemudian ia menundukkan kepala
penuh rasa hormat dan keharuan yang amat dalam.
Setelah kejadian yang tak terduga itu, Dewi Amba kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Sobalapura untuk menemui Prabu Citramuka. Hancur hatinya,
Sobalapura, Prabu Citramuka pun menolak cinta Dewi Amba karna hati Dewi
Amba bukan lagi untuknya. Dengan kesendirian dan penyesalannya yang dalam,
akhirnya Dewi Amba mengakhiri hidupnya sendiri.
Dewabrata pun kembali menjalani perjalanan kehidupannya sebagai
Ksatria-Brahmana. Dewabrata pun kemudian menyerahkan sepenuhnya takhta
kerajaan kepada adik-adik tirinya yang telah dewasa dan pantas untuk menjadi
pemegang takhta kerajaan Astinapura. Pada akhir hidup Dewabrata dalam perang
agung Bharata Yudha, dia kembali bertemu dengan roh Dewi Amba dalam diri
seorang pendekar wanita bernama Dewi Srikandi yang pandai memanah seperti
Wulandari. Kepada Srikandi lah ia menyerahkan dirinya dan gugur di ujung anak
panahnya. Sebelum Dewabrata menutup mata, dia menyaksikan sendiri bahwa
kebenaran menang atas keserakahan, kedamaian menyelimuti muka bumi.
Dewabrata pun mati bahagia.