BAB II. PENDAMPINGAN KAUM MUDA SECARA KHUSUS
B. Tingkat Kesadaran Jiwa Dewabrata
Buku Antara Kabut dan Tanah Basah ini sebenarnya mengajak kembali
manusia untuk pulang kepada jiwanya dan melihat realitas dirinya apa adanya,
melihat kebenaran dari dalam dirinya sendiri, dan dengan itu menemukan kembali
kedamaian. Dalam novel Antara Kabut dan Tanah Basah pun, B. B. Triatmoko,
SJ memberikan beberapa penggalan atau tingkatan yang harus dilalui dalam
perjalanan hidup Dewabrata. Seperti Dewabrata, setiap orang yang mencari
kebenaran dan kedamaian akan menyusuri tujuh tingkat pemurnian. Ada pun
1. Tingkat pertama: PemurnianBudi – Kerinduan Terdalam
“Kesadaran Jiwa bisa membawa berkat atau kutuk bagi dirinya. Awal perjalanannya adalah untuk membiarkan kerinduan jiwa akan makna mengarahkan seluruh kesadarannya. Kerinduan setiap jiwa adalah unik. Kita mencintai orang-orang yang berbeda, berlutut di depan altar yang berbeda, meratap di muka nisan yang berbeda. Namun pada akhirnya ujung perjalanannya adalah sama. Kita ingin bahagia dan hidup penuh makna.” (Triatmoko, 2006:13-41)
Pada tingkat pertama ini, kita diajak untuk dapat melihat realita yang
terjadi disaat kita sadar bahwa kita berdiri dengan menggunakan kaki kita
masing-masing. Yang artinya pilihan hidup yang telah kita pilih dapat membawa kita
untuk menemukan suatu berkat untuk kehidupan dan dapat pula terjadi
sebaliknya. Pada awal kesadaran perjalanan kehidupan kita diminta untuk dapat
berpasrahakan segala kemungkinan yang terjadi, karena pada saat kita berpasrah
diri terhadap apa yang kita rindukan maka seluruh semesta alam pun akan turut
membantu menemukankerinduan hati yang terdalam. Panggilan kehidupan setiap
orang berbeda-beda, jalan hidup yang ditempuh pun berbeda-beda. Setiap orang
menemukan sendiri, tentang bagimana ia akan memilih mengisi perjalanan
kehidupannya. Dengan tujuan akhir perjalanan kehidupan yang sama, yakni kita
setiap manusia ingin hidup bahagia bukan hanya membahagiakan diri sendiri
tetapi juga bagi sesama. Terlebih kita ingin hidup kita penuh dengan makna,
dengan adanya makna dalam kehidupan kita maka setiap perjalanan yang telah
dilalui semuanya tak ada yang sia-sia. Semua itu terjadi karena kehidupan itu
adalah sebuah misteri, dan misteri itu tidak akan terbongkar jika kita tidak
2. Tingkat kedua: PemurnianRasa
“Jiwa selalu berada dalam hubungan dengan yang lainnya. Dalam hubungan itulah jiwa mengalami sisi terang dan bayang-bayangnya, antara mimpi dan kenyataan, antara dendam dan pengampunan, antara cinta dan kehilangan. Semua yang dirasakan jiwa sebagai letupan-letupan rasa hanyalah sebagian dari dirinya. Jiwa lebih besar dari perasaannya.” (Triatmoko, 2006:43-66)
Rasa merupakan suatu penggambaran tentang apa yang sedang dialami.
Seperti salah satu indra pengecap kita, lidah. Lidah dapat merasakan rasa manis,
pahit dan asin. Begitu pula diri kita, apabila ada yang tidak sesuai dengan apa
yang dikehendaki maka di dalam hati kita hanya merasakan suatu keganjilan.
Pada tingkat kedua ini kita diajak untuk dapat menyeimbangkan apa yang sedang
dirasakan oleh jiwa, semua perasaan ini memang suatu hal yang wajar dirasakan
oleh setiap insan manusia. Sehingga pada tingkat ini pun kita diajak untuk dapat
lebih memahami atau pun mengolah apa yang sedang kita rasakan. Tetapi ada
baiknya apabila kita dapat menguasai perasaan itu, dan belajar untuk tidak hanyut
pada perasaan yang hanya datang sekejap. Pemurnian rasa di sini juga ingin
mengatakan bahwa rasa bukanlah segalanya. Seseorang yang telah
mengembangkan rasanya dapat menempatkan diri sesuai dengan keselarasan
realitas seluruhnya. Orang itu tidak lagi dangkal dan kacau jiwanya, maka ia
sanggup bertindak semata-mata dengan melihat pada tanggung jawabnya
(Magnis-Suseno, 1987:82).
3. Tingkat ketiga: PemurnianHati
“Kebenaran akan menunjukkan keterbatasan jiwa, namun sekaligus memerdekakannya, apabila jiwa punya keberanian untuk menerima. Kerendahan hati adalah keutamaan sejati, menyadari bahwa selalu ada
bagian dari dirinya yang tidak mampu dimengerti dan dikuasainya.” (Triatmoko, 2006:69-98)
Setiap insan yang ada dimuka bumi pasti memiliki kelebihan dan
kekurangan, dan keduannya merupakan unsur yang saling melengkapi. Karena
kesempurnaan itu merupakan suatu keutuhan, yang artinya utuh berarti semua
unsurnya ada, ya kelebihan, ya kekurangan. Belajar dari kekurangan yang ada
berarti jiwa mampu untuk menerima segala kelemahan, dan mampu untuk
menjadikannya sebagai kesempatan untuk menampilkan kekuatan. Pada saat
itulah hati kita bekerja dengan baik.
Bicara soal hati, banyak kali kita menggunakan atau memakai kata hati
dalam setiap perkataan kita. Ada sikap murah hati, meminta atau mencari
perhatian, jatuh hati, sakit hati, suara hati dan sebagainya. Juga ada pepatah yang
mengatakan dari mata turun ke hati. Yang pasti, hati memang selalu mempunyai
alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata seorang ahli fisika dari Perancis,
Blaise Pascal,“le Coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”, hati punya
alasan yang kadang tidak dikenal oleh akal. (Kokoh, 2009:231). Sehingga dapat
dikatakan bahwa hati merupakan sesuatu yang terdalam dari setiap pribadi.
Purification cordis ialah pemurnian hati dari segala pamrih, nafsu kotor
dan kepalsuan. Tujuannya ialah kemurnian sikap dasar: agar kita menjadi
manusia baik tanpa kepalsuan sampai ke akar-akar kepribadian, bagaikan air
4. Tingkat keempat: KeheninganJiwa
“Hening berarti kosong. Kosong berarti penuh makna. Kita merangkai jeruji dan menyebutnya roda, tetapi maknanya ditentukan di ruang kosong tempat dia bergerak. Kita membentuk tanah liat menjadi periuk, mangkok dan gelas; akan tetapi maknanya ditemukan dalam kekosongan ruang yang tercipta. Kita melubang tembok dan menyebutnya pintu atau jendela. Dan di lubang itulah maknanya ditemukan. Jiwa menjadi hening ketika melepaskan egonya dan membiarkan hidupnya diarahkan oleh makna.” (Triatmoko, 2006:101-117)
Seorang pemikir klasik Denmark, Soren Kiekegard, dalam The Seven
Different Types of Prayer mengatakan, “Jika aku seorang ahli kejiwaan dan jika
aku diijinkan untuk membuatkan resep bagi semua orang yang sakit di dunia, aku
akan memberi resep mereka supaya mengusahakan keheningan dalam hidup
mereka.” Michelangelo, seorang seniman besar Italia, menyatakan bahwa buah
karya seni besar tak lepas dari kesepian (hening). Hening membuat kita jadi asyik
berfikir dan peka merasa (Kokoh, 2009:128). Dalam tulisan Injil Lukas Penginjil
dikatakan, “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan
merenungkannya” (Luk 2:19).
Berjiwa berarti hidup. Melalui jiwa kita dapat menciptakan apapun yang
kita inginkan, dan apa yang nyata adalah apa yang dilihat oleh jiwa. Apabila kita
mencari sebuah kepastian, ia tidak ada diluar sana (diluar jiwa). Jiwa dapat
memilih untuk percaya dan buahnya adalah harapan yang melahirkan kerinduan
untuk terus mencari. Keagungan jiwa tidak pada martabat lahir, namun pada
keluhuran yang memancar dari kedalaman sanubari karena jiwa merupakan pusat
5. Tingkat kelima: KebebasanBatin
“Kemerdekaan batin tercipta ketika jiwa mampu berkata: aku bebas dari rasa dendam, penderitaan, kemarahan, dan rasa bersalah. Aku bebas dari rasa diriku adalah yang terpenting. Aku bebas dari rasa mengasihani diri. Aku bisa menertawakan diriku sendiri. Aku melihat kejenakaan kehidupan.” (Triatmoko, 2006:119-145)
Dalam mengikuti perayaan Ekaristi sering kali kita di ajak untuk
memeriksa batin terlebih dahulu, agar kita pantas untuk mengikuti perayaan
kurban syukur atau perayaan Ekaristi. Kalau kita diajak untuk melihat realita di
jaman ini, semua orang dapat dikatakan sibuk dengan urusannya masing-masing.
Untuk mengimbangi kesibukan yang lebih bersifat lahiriah dan badani ini, kita
perlu meningkatkan olah batin: mengadakan renungan, dan mawas diri (Puji
Syukur, 2008:10). Meditasi merupakan suatu upaya yang konkrit untuk dapat
melatih batin kita menuju kebebasan batin yang sejati. Melalui meditasi, seperti
yang dilakukan Dewabrata dalam pengembaraannya, kita diajak untuk dapat lebih
mengenal diri kita sendiri. Banyak buah-buah (kesabaran, kekuatan jiwa, peka
terhadap sesama) yang dapat kita terima melalui meditasi yang rutin dijalankan.
Dalam buku Kompendium Katekismus Gereja Katolik, dituliskan bahwa
kebebasan mencapai kesempurnaannya jika diarahkan kepada Allah, Kebaikan
tertinggi dan Kebahagiaan kita. Di sini ingin dikatakan bahwa dalam menjalankan
kebebasan, kita diajak untuk dapat selalu melihat tujuan hidup (diarahkan kepada
Allah, Kebaikan tertinggi dan Kebahagiaan kita) kita dengan begitu jelas,
6. Tingkat keenam:Pengorbanan Diri – Kedamaian Sejati
“Pengorbanan diri karena cinta adalah jalan jiwa untuk menemukan kedamaian sejati. Jiwa tidak akan kehilangan apa-apa, akan tetapi justru akan mulai melihat kehadiran Allah dalam segala sesuatu. Jiwa menari dengan irama alam semesta. Dia tidak lagi berada di dalam dunia. Dunia yang berada dalam dirinya.” (Triatmoko, 2006:147-162)
Cinta merupakan suatu kata yang kompleks. Apabila kita berani untuk
mengorbankan diri kita untuk menghadirkan cinta itu secara nyata di dunia, maka
dunia pun akan dengan sendirinya dipenuhi oleh kasih serta perdamaian. Pada saat
kita berani mengorbankan diri untuk menghadirkan dan mengupayakan kasih
pada saat itulah kita akan merasakan kedamaian sejati di dalam diri kita.
Yesus merupakan suatu contoh yang sangat nyata dalam tingkat ini. Dia
hadir di dunia bukan untuk kesenangan belaka, melainkan membawa suatu hal
yang memang telah ditunggu-tunggu kedatanganNya. Di kayu salib Dia
mengorbankan diri-Nya, tetapi Dia bukan mati secara sia-sia. KematianNya
bahkan membawa kedamaian sejati pada kehidupan umat manusia.
7. Tingkat ketujuh:Pencerahan
“Inilah tingkat tertinggi dari kesadaran jiwa ketika jiwa bersatu dengan Yang Ilahi. Ketika mata jiwa dibuka dan menemukan bahwa dirinya mengatasi kehidupan, maut dan kematian, karena dirinya adalah roh murni, dari awal dan akan senantiasa demikian.” (Triatmoko, 2006:165-193)
Tingkat ini terjadi pada saat kita mampu melewati tingkat-tingkat
sebelumnya. Dapat dikatakan keselurahan tingkatan yang telah dilalui akan
bermuara pada tingkat ketujuh ini. Pada tingkat tertinggi, jiwa manusia akan
setiap dosa sudah terkandung rahmat, dalam setiap derita sudah terpancar
kemuliaan. Dengan mengambil resiko yang ada, maka dia telah mampu untuk
menaklukan dirinya sendiri.