• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diantara 17 kampung yang ada di Desa Sukaraksa, terdapat Kampung Sirnagalih yang dihuni oleh 55 keluarga dengan total jumlah penduduk sebanyak 238 jiwa. Kampung Sirnagalih merupakan kampung yang dinilai memiliki potensi longsor yang cukup tinggi. Secara geografis, letak Sirnagalih cukup rawan karena berada di areal perbukitan-pegunungan dengan kemiringan 30 derajat, serta memiliki struktur tanah yang labil. Pada tabel 8 menggambarkan secara ringkas karakteristik ekologi dan sosial-ekonomi warga di Sirnagalih.

Tabel 8 Karakteristik Sosio-Ekologis Kampung Sirnagalih No. Karakteristik Kampung Sirnagalih

1.

Topografi Bukit-Gunung

2.

Kondisi tutupan lahan Masih rapat

3.

Jenis Tanah Tanah lempung, breksi, batu pasir, kuarsa dan andesit serta mengandung batu bara

4.

Luas lahan + 15 Ha

5.

Kepemilikan lahan Seluruhnya masih milik warga kampung

6.

Mata pencaharian utama Petani

7.

Mata pencaharian sampingan Buruh/kuli (bangunan & tumbuk), pedagang, tukang ojek, dan lain-lain

8.

Populasi Besar; 238 jiwa

9.

Aksesibilitas ke sarana umum + 1 Km dari jalan utama desa

10.

Bantuan dari Pemerintah &

pihak lain

Cukup Sumber : Analisis Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012

Kampung Sirnagalih memiliki potensi lahan dan sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh warganya sebagai sumber nafkah sekaligus tempat bermukim. Warga bermukim mengikuti lahan dan keberadaan SDA lainnya yang menjadi mata pencaharian mereka. Berbagai jenis vegetasi masih banyak ditemukan adalah Puspa, Sengon, Lame, dan sebagainya. Jenis-jenis tanaman tersebut tergolong pada jenis tanaman keras. Selain itu, terdapat juga jenis tanaman MPTS atau multi purpose tree species yakni Nangka, Mangga, Cempedak serta tanaman semusim seperti sayuran dan kacang-kacangan.

Selain itu, potensi SDA yang ada bukan hanya sebagai sarana mencari nafkah dan tempat tinggal namun juga sebagai sarana membangun relasi sosial dan kultural dengan lingkungannya. Ikatan sosial kultural masyarakat dengan

lingkungannya terlihat dari bagaimana mereka berinteraksi dan mengelola SDA di sekitar. Bercocoktanam di ladang, sawah, dan kebun, merupakan aktivitas sehari-hari. Keseharian warga kampung Sirnagalih sebagian besar memang dicurahkan untuk aktivitas bercocoktanam sebab mata pencaharian mereka adalah bertani. Pada gambar 8 memperlihatkan persentase mata pencaharian utama masyarakat di Sirnagalih.

Gambar 8 Struktur Mata Pencaharian Utama Warga di Kampung Sirnagalih

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012

Keterbatasan lahan yang dijadikan sebagai lahan garapan membuat para petani di Sirnagalih tidak semuanya menjadi petani yang menggarap lahannya sendiri. Mengacu pada property rights Schmid (1987), maka dapat dilihat pada gambar 9 persentase petani berdasarkan kepemilikan lahan.

Gambar 9 Distribusi Status Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kampung Sirnagalih

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012

Para petani yang memiliki lahan berarti memiliki hak penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan, begitupun dengan para petani yang menggarap lahan dengan menyewa. Perbedaan kepemilikan hanya pada status kepemilikan lahan. Sebagian kecil menjadi petani tuna kisma yakni petani yang tidak memiliki lahan melainkan bekerja dengan menggarap lahan milik orang lain. Jumlah petani tuna kisma di Sirnagalih sebanyak 12 orang (33 persen). Para petani yang tidak memiliki lahan tersebut hanya memiliki hak untuk

45%

22% 33%

Petani Buruh Tani Lain-lain

62% 5%

33%

ikut menggarap dengan memperoleh upah (bagi hasill) pada saat panen. Para petani yang masih memiliki lahan tidak berarti memiliki penghidupan yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki lahan, sebab luas lahan yang dimiliki hanya sebesar 0,25 sampai sampai 0,5 Ha dan harus mereka garap secara bersama-sama.

Kampung Sirnagalih merupakan kampung yang dihuni oleh satu rumpun keluarga yang terdiri dari 55 keluarga. Pembagian lahan secara umum terbagi atas dua yakni leuweung tutupan berupa hutan yang tidak boleh diganggu yakni Gunung Batu Kaca) dan leuweung titipan berupa lahan yang boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan (kebun campuran, sawah, ladang-tegalan), pemukiman, serta sarana umum (mushalla). Batas pengelolaan antara leuweung tutupan dan leuweung titipan mengikuti kondisi geografis, yakni leuweung tutupan yang dinamai Gunung Batu Kaca dengan luas sekitar 1 sampai 2 Ha berada pada bagian atas (hulu) Kampung Sirnagalih serta leuweung titipan berada dibawah hutan Gunung Batu Kaca.

Leuweung tutupan tersebut dijaga, dilindungi dan tidak boleh diubah menjadi hutan produktif. Pantang melakukan penebangan atau sekedar memanfaatkan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayunya. Pohon matipun pamali untuk diambil. Keyakinan tersebut mereka pegang hingga kini, terlebih setelah adanya kejadian kebakaran di salah satu kampung7 yang juga terdapat di Desa Sukaraksa pada 15 tahun silam (Tahun 1997). Sejak saat itu, para warga semakin tidak berani untuk melanggar dan mengambil hasil hutan Gunung Batu Kaca meskipun untuk alasan pembangunan sarana umum. Warga setempat menganggap Gunung Batu Kaca sebagai hutan keramat warisan nenek moyang mereka yang tidak boleh diganggu.

Hingga saat ini pantangan tersebut masih ditaati dan bukan hanya oleh warga Kampung Sirnagalih namun semua warga Desa Sukaraksa termasuk para pendatang akan diberikan peringatan. Kepatuhan warga menjaga dan melestarikan leuweung tutupan merupakan fenomena menarik mengingat status Gunung Batu Kaca sebagai hutan rakyat biasa, bukan hutan lindung, bukan pula

7

Kp. Juga Raya mengalami peristiwa kebakaran tak lama setelah beberapa warganya mengambil satu pohon Puspa yang tumbang akibat angin kencang dari hutan Gunung Batu Kaca. Warga meyakini bahwa kebakaran tersebut merupakan hukuman bagi Kp. Juga Raya yang telah berani mengambil dan memanfaatkan kayu dari Gunung Batu Kaca. Konon setelah terjadinya peristiwa kebakaran, para warga banyak yang menyaksikan kehadiran “Penunggu” Gunung Batu Kaca (Macan). Peristiwa tersebut menyebabkan banyak warga di Kp. Juga Raya kehilangan tempat tinggal.

hutan adat. Sebagian menganggap bahwa Gunung Batu Kaca merupakan hutan bersama yang diwakafkan-diwariskan dari leluhur mereka.

Hal menarik lainnya adalah minimnya keberadaan tokoh masyarakat yang dituakan sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda untuk tetap melestarikan Gunung Batu Kaca. Hingga saat ini keyakinan para generasi muda berdasarkan cerita-mitos tentang Gunung Batu Kaca masih kuat. Mereka percaya bahwa siapapun yang berani menebang atau mengambil pohon dari GunungBatu Kaca akan terkena bencana atau kutukan.

Selain keyakinan warga terhadap cerita-mitos tersebut, sebagian warga juga meyakini bahwa leuweung tutupan berfungsi untuk mempertahankan sumber mata air. Masyarakat masih memegang teguh batas pengelolaan dan pemanfaatan lahan antara leuweung titipan dan leuweung tutupan, tak lain untuk tetap mempertahankan ketersediaan air di daerah mereka.

Warga Sirnagalih menyadari bahwa leuweung tutupan Batu Kaca menjadi benteng terakhir yang dapat menjaga kelestarian ekosistem kampung dan desa. Berbeda dengan leuweung titipan yang pengelolaan dan pemanfaatannya merupakan hak masing-masing warga. Keberadaan lahan di Sirnagalih yang terbagi ke dalam 2 batas pengelolaan yakni leuweung tutupan dan leuweung titipan menjadi acuan yang hingga saat ini masih dipatuhi.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus terjadi serta peningkatan kebutuhan hidup, leuweung titipan milik warga mulai mengalami perubahan pengelolaan. Lahan yang tadinya berupa hutan mulai berubah menjadi kebun campuran dengan jenis tanaman didominasi oleh bambu dan pohon kayu, ladang, sawah, pemukiman bahkan penambangan batubara. Meskipun keberadaan tanaman asli masih banyak ditemui namun perubahan tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi debit air tanah serta berpotensi membuat struktur tanah menjadi labil karena berbagai aktivitas yang dilakukan oleh warga.

Perubahan dari hutan menjadi kebun campuran, sawah dan ladang tak lain karena tuntutan kebutuhan hidup. Perkembangan kebutuhan kemudian menuntut warga di Kampung Sirnagalih untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Komposisi tanaman yang dipilih pun lebih ke arah jenis tanaman yang dianggap bernilai ekonomis. Ekonomis yang dimaksud adalah secara finansial pengeluaran

dapat ditekan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli makanan pokok (beras).

Petani juga memilih tanaman semusim seperti Singkong, Pisang, Labu, Kacang-kacangan karena dianggap mampu menjadi makanan pendamping yang dapat dikonsumsi sehari-hari. Selain tanaman yang berorientasi sebagai sumber pangan, petani juga tetap mempertahankan tanaman kayu atau tahunan untuk tabungan sehingga pada masa-masa tertentu dapat dimanfaatkan. Biasanya mereka mengambil kayu (menebang pohon) jika ada keperluan mendesak seperti nikahan dan membangun rumah. Pada intinya semua jenis tanaman dipilih oleh Petani atas dasar untuk memenuhi kebutuhan harian bukan untuk mencari keuntungan (subsisten).

Rata-rata kepemilikan lahan di Kampung Sirnagalih berkisar 0,25 sampai 0,5 Ha. Minimnya luas kepemilikan tersebut menutut sebagian warga untuk mencari alternatif nafkah lainnya ke luar desa. Profesi yang paling banyak dilakukan di luar desa adalah menjadi pedagang dan kuli bangunan. Kegiatan lainnya seperti beternak kambing juga merupakan mata pencaharian sebagian warga setempat, meskipun tidak banyak namun dianggap mampu menjadi sumber penghasilan di waktu-waktu darurat.