• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.2 Adaptasi Sosio-Ekologi Pasca Longsor

7.2.3 Kelembagaan Ekonomi

Konsep Steward yang mengatakan bahwa salah satu unsur inti (core) lainnya akan mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi yakni perubahan pada beberapa aspek kelembagaan ekonomi. Perubahan teknik pemanfaatan lahan telah menyebabkan terjadinya (a) perubahan sistem nafkah dan berpotensi merubah (b) pola produksi-distribusi para petani di Sirnagalih. Selain itu, adopsi bantuan berupa Huntara juga telah menyebabkan munculnya

(c) pasar „jalan’ yang berfungsi sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan

hidup sehari-hari.

a. Sistem Nafkah sebagai Basis Penghidupan

Sistem ekonomi komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih tidak lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup warga yang kini menjadi subsisten. Mayoritas mata pencaharian warga adalah bertani. Bertani disini diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menggarap lahan baik itu lahan basah (sawah) maupun lahan kering (kebun-ladang), dengan status sebagai petani. Potensi lahan lebih dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber-bahan pangan serta tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lainnya.

Pergeseran aktivitas ekonomi warga mulai berubah setelah terjadi perubahan lingkungan yang mengakibatkan sumber-sumber perekonomian warga menyusut. Petani yang masih memiliki lahan dan exis bertahan hidup sebagai petani sawah mulai bergeser menjadi petani ladang. Tanaman palawija seperti Singkong, Pisang dan Sayuran serta tanaman tahunan seperti Sengon merupakan jenis tanaman yang dipersiapkan untuk menggantikan tanaman padi.

Pergeseran tersebut disebabkan oleh rusaknya sawah sehingga tidak lagi produktif menghasilkan padi. Pola hidup berladang sangat berbeda dengan bertani sawah. Petani menjadi aktif menanami ladang mereka dengan jenis

tanaman pangan lainnya sebagai pengganti beras. Di sisi lain petani juga jadi memiliki waktu yang lebih luang karena perlakuan untuk pemeliharaan tanaman palawija dan tahunan tidak seintensif tanaman padi. Kekosongan waktu tersebut dimanfaatkan oleh beberapa petani khususnya para buruh tani untuk mencari pekerjaan sampingan.

Mereka tidak lagi menjadikan lahan garapan sebagai satu-satunya sumber perekonomian dan penghidupan. Mereka mencari pekerjaan lain (tidak berbasis lahan) untuk menghasilkan uang agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berangkat dari kebutuhan yang mendasar dengan kondisi lingkungan yang tidak lagi memadai, dorongan dalam diri masyarakat mulai terlihat dengan membuka diri dan mau mencoba pekerjaan baru yang dianggap menghasilkan.

Pergeseran struktur nafkah menyebabkan pola hubungan patron-client juga berubah. Warga yang awalnya bekerja sebagai petani buruh dan hanya bergantung pada kemurahan hati pemilik lahan, kini mulai mencari dan membangun jaringan informasi tentang sumber-sumber mata pencaharian lainnya. Si patron pun tidak keberatan sebab di satu sisi beban patron pun berkurang.

Hubungan patron-client tidaklah seperti yang digambarkan oleh Scott dimana seluruh keperluan hidup client dapat dipenuhi oleh patron. Buruh sawah hanya mendapatkan hak atas pekerjaannya berupa pembagian hasil panen sebesar 40 persen, sedangkan buruh kebun mendapatkan hak berupa upah sebesar Rp.20.000/hari. Nasib (status ekonomi) antara patron dan client di Kampung Sirnagalih tidak berbeda jauh, meskipun si patron sebagai pemilik lahan. Minimnya lahan garapan yang harus dikerjakan oleh beberapa petani lebih didasarkan atas rasa empati dan solidaritas antar warga yang notabene masih terikat hubungan kerabat. Kondisi petani Sirnagalih menggambarkan konsep Geertz tentang shared of poverty.

Para petani khususnya mereka para buruh tani kini mulai mencari kesempatan kerja yang tidak berbasis lahan meski harus keluar dari desa. Jaringan informasi yang dibangun warga hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut yang datang dari para warga yang telah bekerja. Warga lebih mudah percaya dan tergiur jika mendengar dan menyaksikan langsung hasil yang diperoleh dari temannya yang telah mengalami. Warga lain yang ingin

bergabung dan ikut biasanya akan meminta bantuan dari temannya tersebut karena dianggap telah berpengalaman.

Salah satu jenis mata pencaharian yang saat ini marak dilakukan oleh warga Sirnagalih adalah menjadi buruh tumbuk di lokasi penambangan emas yang berada di Kecamatan Nanggung10. Untuk bekerja sebagai buruh tumbuk,

warga harus „mendaftar’ ke salah satu Bos agar diperkenankan ikut menumbuk.

Bos akan memberikan biaya makan, rokok dan biaya transport jika hasil tumbukan mengandung emas.

Mereka bekerja secara llegal. Hasil yang diperoleh tidak dapat dipastikan (Rp. 20.000/hari/beban)11. Jika beruntung, maka hasil yang diperoleh akan menguntungkan. Biasanya warga memperoleh Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000/hari. Jika fisik kuat maka warga bisa menumbuk sebanyak 20 beban dan menghasilkan Rp. 400.000/hari. Satu bos biasanya menanggung hingga 100 orang pekerja. Sistem kerjanya sederhana, warga membawa sendiri peralatannya dan Bos hanya menadah hasil tumbukan yang mengandung emas. Warga yang sudah bekerja sebagai buruh tumbuk sebanyak 20 orang.

Perubahan lain yang berkaitan dengan perubahan struktur nafkah adalah diferensiasi mata pencaharian di sektor jasa-transportasi yakni menjadi tukang ojek dadakan. Pengaruh aksesibilitas serta sarana infrastruktur jalan kampung yang belum memadai membuat sebagian warga memaksa diri untuk membeli kendaraan roda 2 (motor) dengan membayar secara kredit.

Di tengah himpitan ekonomi, kehadiran motor menjadi kebutuhan alternatif bagi warga setempat. Beberapa kebutuhan tidak dapat diperoleh dari dalam kampung sehingga warga harus keluar dari kampung untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Meskipun frekuensi warga ke luar kampung untuk berbelanja tidaklah tinggi, namun beberapa pemuda melihat peluang tersebut dan menjadikannya sebagai mata pencaharian tambahan di sektor jasa dengan menjadi tukang ojek dadakan.

10

Nanggung merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Desa Sukaraksa. Nanggung memang terkenal dengan hasil tambang emasnya sehingga menjadi daya tarik masyarakat luar untuk datang mencari kerja. Salah satu pekerjaan yang banyak dilirik adalah sebagai buruh tumbuk. Mereka menumbuk batu yang diperkirakan mengandung emas di dalamnya.

11

Beban merupakan bongkahan batu yang ditaksir mengandung emas. Satu bongkahan berbeda- beda ukurannya serta berbeda-beda tingkat kepadatannya (keras-lunak).

Selain itu, pola fikir untuk mulai berinvestasi meskipun hanya untuk jangka waktu pendek juga mulai muncul. Sebagian warga mulai berfikir dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya seperti menjadi tukang ojek dadakan, beternak kambing, dan ikut arisan kampung.

Berbeda dengan warga yang memelihara kambing dan ikut arisan di kampung lain, mereka menganggap bahwa untuk situasi darurat, menjual kambing atau menggunakan dana arisan adalah cara yang cepat dan efektif untuk mendapatkan dana.

Adapun kegiatan berinvestasi dengan cara menanam pohon tanaman keras tetap dilakukan meskipun kondisi lahan mereka sebagian telah rusak. Hal tersebut terlihat dari aktivitas para petani yang tetap melakukan pengayaan dan permudaan kebun-hutan dari bekas penebangan.

b. Pola Produksi-Distribusi

Mengacu pada perubahan teknologi yakni perubahan pada teknik dan pola tanam pada lahan garapan yang tadinya sebagai sawah tadah hujan (monokultur) lalu berubah menjadi ladang dan kebun campuran, maka terjadi penurunan hasil produksi bahkan berpotensi melenyapkan sawah karena kerusakan yang terjadi.

Jarak waktu antara peristiwa longsor yang merusak lahan garapan para petani hingga terjadinya perubahan pola tanam memang belum lama. Para petani masih berharap dapat menikmati panen meskipun hasilnya sangat rendah, sehingga pergantian pola tanampun tidak serta merta dilakukan. Perubahan pola tanam dilakukan secara perlahan dan hingga kini alih fungsi lahan tersebut telah dilakukan namun belum sampai pada masa panen. Meski demikian para Petani telah mampu menggambarkan seperti apa mekanisme hasil produksi selanjutnya, seperti yang terlihat pada gambar 27.

Gambar 27 Perubahan Pola Distribusi-Konsumsi Tanaman Pangan

Produksi

(Jenis tanaman; padi & palawija)

Produksi (Jenis tanaman palawija) Konsumsi (semua untuk kebutuhan pangan harian) Distribusi (Dijual tanpa perantara) Konsumsi (sebagian u/ kebutuhan harian, sebagian dijual u/dikonversi ke beras ) PRA LONGSOR PASCA LONGSOR

Menurunnya hasil produksi sawah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dengan tujuan lahan garapan para petani tetap produktif meski dengan hasil yang berbeda. Beralihnya pilihan petani menjadi kebun menyebabkan mereka harus menjual sebagian besar hasil panen untuk dikonversi menjadi beras.

Ke depan, para petani tidak lagi dapat menyimpan hasil lahan garapan berupa padi. Hasi tanaman pengganti padi (palawija) sebagian harus melewati proses distribusi agar dapat dikonversi menjadi beras. Perubahan tersebut sangat terasa bagi para petani yang awalnya selalu menikmati langsung hasil garapan mereka berupa beras.

Para petani telah menprediksikan bahwa secara kuantitas hasil penjualan tanaman palawija yang dikonversi ke beras tidak akan memadai (kurang). Harga jual tanaman palawija, Singkong ataupun Pisang tidak sama (lebih murah) dibandingkan harga beli beras di pasar. Untuk menutupi kekurangan pangan rumahtangga para petani, maka mereka tidak menjual seluruh hasil garapan namun sebagian disimpan untuk dikonsumsi sehari-hari sebagai makanan pendamping.

Para petani yang memang telah terbiasa dengan menyediakan Pisang- Singkong sebagai cemilan di rumah mengatakan bahwa bisa jadi mereka akan lebih banyak mengkonsumsi Pisang dan Singkong jika persediaan beras lebih sedikit. Saat inipun, meski para petani belum ada yang melakukan panen terhadap tanaman yang baru ditanam namun minimnya hasil panen sawah telah membuat mereka mulai mengkonsumsi Pisang dan Singkong lebih banyak dari biasanya.

Tidak semua petani telah melakukan perubahan pola makan tersebut, namun beberapa petani memilih merubah pola makan sebagai salah satu strategi untuk tetap bertahan hidup. Meskipun perubahan pola makan tersebut belum teratur secara sistematis namun pengurangan dalam mengkonsumsi nasi sudah terlihat dalam kehidupan sehari-hari sebagian warga.

c. Pasar ‘Jalan’

Persoalan ekonomi lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan adalah aksesibilitas warga terhadap pasar. Pasar disini merupakan sarana-tempat yang secara fisik menyediakan berbagai kebutuhan warga, khususnya kebutuhan

sandang dan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan harian warga maka diciptakan

„pasar jalan’ yakni para pedagang (penjual) mendatangi pembeli dengan jenis jualan yang beragam.

Jauhnya lokasi pemukiman (Huntara) menjadi peluang bagi beberapa pedagang kecil untuk menjajakan jualannya ke Kampung Sirnagalih. Para penghuni Huntara pun secara aktif menyetujui kehadiran para penjual dan

„mempersilahkan’ agar para penjual mengunjungi mereka secara bergiliran. Jadwal jualan dibuat agar tidak terjadi konflik antara penjual.

Warga menyetujui penjadwalan tersebut dengan melakukan pesanan barang sesuai dengan jadwal kunjungan. Misalnya, Bu Ros (usia 38 Th) saat itu membutuhkan barang dan memesannya kepada salah satu penjual yakni Mas Joko (usia 42 Th). Jadwal Mas Joko berjualan setiap hari rabu, maka Bu Ros harus konsisten menunggu Mas Joko membawakan barangnya meskipun sebelum Mas Joko ada penjual lain yang datang membawa barang yang sama.

Berdasarkan jenis barang yang dijual maka para pedagang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah pedagang sayuran, ikan dan bumbu dapur terdiri atas 2 orang dengan jadwal berdagang setiap hari. Pedagang sayuran tersebut saling bergiliran mengunjungi kampung Sirnagalih.

Kelompok kedua adalah pedagang yang menjual perabotan rumah-dapur, bahan makanan seperti minyak, terigu, gula, dan lain-lain. Kelompok ini juga ada 2 orang dan beroperasi secara bergantian pada hari Senin, Selasa dan Kamis. Khusus hari Kamis, salah satu pedagang juga membawa barang lain untuk dijual yakni pakaian. Kelompok ketiga adalah pedagang yang menjual obat-obatan dan vitamin. Pedagang yang terlibat hanya satu orang dan khusus datang setiap hari Jumat.

Jenis kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dari para pedagang tersebut, seperti beras harus diperoleh dengan membeli ke kios yang ada di pusat desa. Kebutuhan terhadap beras dipenuhi jika sumber pangan yang berasal dari sawah dan kebun (Singkong dan Pisang) sudah habis. Diantara penghuni Huntara sebenarnya ada yang membuka kios namun jenis yang dijual lebih banyak untuk dikonsumsi anak-anak seperti permen, es lilin, kerupuk, dan sebagainya. Barang rumahtangga yang dijual hanya berupa pasta gigi, sabun cuci dan sabun mandi.

Kehadiran pasar „jalan’ tersebut tidak menguntungkan satu pihak saja (para penjual) namun juga warga yang menghuni Huntara (mutualisme). Sifat mutualisme tersebut yang memperlihatkan bahwa terbangun relasi ekonomi yang bersifat sederhana. Penjual diuntungkan karena mendapat tempat dan pelanggan sedangkan pembeli (warga Huntara) diuntungkan karena tidak perlu turun gunung untuk memenuhi kebutuhan sehingga tenaga, biaya transportasi dan waktu menjadi lebih efisien. Selain itu, warga juga dapat mengambil barang terlebih dahulu jika tidak memiliki uang (utang). Warga Huntara bisa saja memilih untuk turun gunung pada waktu-waktu tertentu secara periodik untuk membeli kebutuhan rumahtangga, namun mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih untuk membangun dan menjaga ikatan sosial kepada para penjual di

„pasar jalan’ karena lebih merasa nyaman dengan kemudahan-kemudahan yang diperoleh.

Dari seluruh uraian tentang kelembagaan ekonomi yang terbangun pada komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih, mulai dari perubahan struktur nafkah, perubahan pola produksi-distribusi hingga kehadiran pasar „jalan’, menggambarkan bahwa pilihan-pilihan warga merupakan bentuk adaptasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan hidup pada kondisi yang sulit. Mengacu pada kelembagaan ekonomi Steward, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh warga di Sirnagalih melakukan tindakan rasional dengan asumsi bahwa pilihan-pilihan atau perubahan-perubahan yang mereka lakukan adalah yang paling efisien dan memungkinkan untuk mereka lakukan agar tetap survive dalam kondisi yang rentan.

Sistem ekonomi komunitas rawan longsor, kini tidak dapat lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup yang masih bersifat subsisten, yakni pemenuhan kebutuhan hidup lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar harian bukan untuk keperluan komersil ataupun untuk kebutuhan jangka panjang. Ciri ini seperti pada masyarakat pra kapitalis umumnya yang jika melakukan pertukaran (kegiatan ekonomi) tidak ditujukan untuk pasar dan tidak untuk menghasilkan laba.

Ciri tersebut menggambarkan kehidupan subsisten para keluarga di Kampung Sirnagalih adalah self-sufficient system yakni sistem dimana barang- barang diproduksi dan disimpan oleh anggota keluarga untuk digunakan sendiri. Andaipun sebagian produksi dijual bukan ditujukan sebagai tambahan modal

atau pengembangan perekonomian keluarga melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang tidak dapat diproduksi sendiri.