• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.5. Ikhtisar

6.1.1 Penyebab Longsor

Secara teknis dan keilmuan, penyebab longsor di kedua kampung telah banyak dianalisis oleh para pihak seperti Dinas ESDM, ahli kehutanan IPB dan pakar geologi ITB. Secara non teknis, berdasarkan pengalaman dan kedekatan terhadap lingkungan sekitar, faktor penyebab longsor juga dapat diketahui melalui persepsi warga.

Hasil pengukuran persepsi lingkungan menunjukkan bahwa berbagai faktor utama yang diprediksi oleh berbagai ahli/pakar geologi sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di Kampung Sirnagalih, sebagian besar juga dipahami oleh warga. Dari berbagai pilihan yang disediakan pada kuesioner, mayoritas warga memilih bahwa kondisi tanah merupakan faktor utama terjadinya longsor di

kampung mereka. Beberapa warga mengatakan bahwa “kampung mereka dulu

aman-aman saja tapi sekarang tanahnya memang sudah tidak baik.

Pengetahuan warga tentang kondisi tanah yang tidak baik diperoleh dari hasil pengamatan warga sehari-hari yang menyaksikan pergeseran tanah. Selain itu, hasil kajian dari pihak Dinas ESDM Kab. Bogor yang ditransformasikan ke warga semakin memperkuat pandangan warga terhadap kondisi lahan di kampung mereka. Pada tabel 15 terlihat bahwa, selain faktor tanah, warga setuju bahwa realitas longsor di Sirnagalih juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab lainnya. Hal tersebut terlihat dari variasi jawaban responden yang juga memilih faktor lain, sehingga dapat dikatakan bahwa longsor tidak disebabkan oleh faktor tunggal namun oleh banyak faktor.

Tabel 16 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Longsor (n=55)

Faktor lain yang dipilih oleh warga sebagai aktivitas yang ikut menjadi penyebab terjadinya longsor adalah bercocoktanam di lahan miring. Meski kondisi riil di Kampung Sirnagalih pemanfaatan lahan miring masih tergolong baik sebab jenis tanaman yang banyak ditanam adalah tanaman tahunan seperti Sengon dan Puspa. Pemanfaatan lahan miring lainnya adalah sebagai sawah tadah hujan dengan sistem terasering. Terasering merupakan salah satu cara pengelolaan lahan yang cocok untuk daerah miring. Pemahaman warga tentang pemanfaatan lahan miring sebagai lahan garapan cukup memadai.

No. Faktor Penyebab Longsor Distribusi Responden (%)

Ya Tidak

1. Kondisi tanah yang tidak baik 98 2

2. Bercocoktanam di lahan miring 93 7

3. Hujan deras (iklim) 82 18

4. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai 80 20

5. Membangun rumah di perbukitan 80 20

6. Kerusakan Hutan 75 25

Faktor lainnya adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai. Warga memilih jawaban bahwa pemanfaatan lahan tidak sesuai di kampung mereka sehingga menyebabkan longsor. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai tersebut adalah pemanfaatan lahan sebagai rumah-tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan faktor penyebab longsor lainnya yakni dibangunnya rumah di areal perbukitan.

Dari beberapa faktor teknis yang dianggap sebagai penyebab longsor, terdapat faktor non teknis yang juga dipilih oleh sebagian warga sebagai faktor mutlak penyebab terjadinya longsor, yakni tingginya curah hujan dan takdir Tuhan. Peristiwa longsor yang terjadi kerap diiringi oleh hujan deras. Kondisi tersebut dianggap warga sebagai faktor penyebab longsor yang sulit untuk dihindari, demikian halnya dengan Takdir Tuhan. Sebagai makhluk beragama, warga meyakini bahwa setiap peristiwa terjadi karena ijin Tuhan, meski di sisi lain sebagian besar responden juga setuju bahwa faktor teknis seperti kondisi tanah, kesalahan dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan serta kerusakan hutan ikut menjadi faktor penyebab terjadinya longsor.

Kerusakan hutan juga menjadi salah satu faktor yang dipilih warga sebagai penyebab terjadinya longsor. Hutan yang dimaksud di sini adalah hutan rakyat (kebun campuran/talun) yang dikelola dan dimanfaatkan secara pribadi. Hutan rakyat di Kampung Sirnagalih ada 2 bentuk yakni hutan bersama yang dikeramatkan disebut Gunung Batu Kaca serta hutan rakyat berupa kebun talun. Kondisi kedua jenis hutan tersebut berbeda. Hutan Gunung Batu Kaca masih terjaga kelestariannya bahkan masih virgin. Berbeda dengan kondisi kebun talun,

meski masih terlihat „hijau’ namun kerapatannya sudah renggang. Kerapatan antar pohon berkurang akibat penebangan yang dilakukan. Meskipun penebangan dilakukan masih berskala kecil karena masih mempertimbangkan usia pohon dan kebutuhan namun diameter pohon pengganti tidak lagi sebesar pohon-pohon sebelumnya. Pohon tua sudah tidak banyak dibandingkan pohon muda. Perubahan tersebut dianggap oleh warga bahwa kondisi hutan di kampung mereka sudah tidak sebaik dulu.

Sebagian kecil masih terdapat responden yang memilih menjawab bahwa kerusakan hutan tidaklah menjadi penyebab longsor (25 persen) dengan alasan bahwa mereka masih melihat kampung Sirnagalih masih „hijau’. Secara ekologis kondisi Sirnagalih sebenarnya masih dikelilingi oleh tanaman bambu dan

berbagai jenis tanaman tahunan lainnya (seperti Sengon, Puspa, Lame dan Afrika) meski secara kualitas dan kuantitas telah mengalami penurunan.

Seberapa jauh dampak dari kerusakan hutan tersebut juga terlihat dari gejala-gejala fisik lingkungan seperti yang terlihat pada tabel 16. Sebagian besar responden menjawab bahwa tanda-tanda kerusakan hutan telah mereka rasakan yakni ketersediaan air di musim kemarau menjadi berkurang, sebagian tanah terlihat kering dan agak retak, di musim hujan air sungai berubah warna menjadi keruh, jumlah pohon (kerapatan) pun mulai berkurang sehingga nampak renggang karena pohon-pohon yang ada sekarang memiliki diameter yang kecil (lebih banyak pohon baru).

Tabel 16 Persepsi Warga tentang Tanda-tanda Kerusakan Hutan di Leuweung Titipan (n=55)

Pada tabel 17, lebih jauh menggali tentang penyebab kerusakan hutan di leuweung titipan. Kerusakan hutan titipan disebabkan karena adanya kebutuhan terhadap kayu oleh warga itu sendiri. Sebagian besar responden menjawab bahwa pemilik lahan menebang pohon mereka untuk kebutuhan membangun rumah. Selain itu, pohon dengan jenis kayu-kayuan yang ditanam juga dijadikan sebagai alat investasi yang bisa dijual untuk kebutuhan yang mendesak. Ketika warga mengalami kesulitan perekonomian maka pohon yang mereka miliki menjadi sumber nafkah lainnya. Kondisi tersebut biasanya terjadi jika warga benar-benar membutuhkan biaya dan tidak dapat diperoleh dari sumber lainnya. Pemilik tanaman akan memilih pohon yang akan ditebang berdasarkan usia. Biasanya usia pohon yang ditebang paling rendah 4 sampai 5 tahun. Tanaman yang paling sering diambil adalah tanaman Bambu dan Jenjeng (Sengon).

Selain tuntutan kebutuhan, faktor lain yang menyebabkan kerusakan hutan adalah hujan deras dan angin kencang, meskipun bencana alam tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan besar. Sebagian kecil responden juga menjawab bahwa pencurian kayu pernah menjadi penyebab rusaknya hutan

No.

Tanda-tanda

Kerusakan Hutan (Leuweung Titipan)

Distribusi Responden (%)

Ya Tidak

1. Persediaan air berkurang di musim kemarau 95 5

2. Tanah kering dan retak di musim kemarau 95 5

3. Air sungai keruh-coklat di musim hujan 95 5

mereka, namun sebagian besar responden menjawab bahwa pencurian kayu terjadi di waktu lampau dan dilakukan oleh orang luar. Pada rentang waktu 5 sampai 7 tahun terakhir sudah tidak ada lagi pencurian kayu di kampung mereka. Tabel 17 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Kerusakan Hutan di

Leuweung Titipan (n=55)

Mengacu pada tabel 18 di atas, maka ke-4 faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori. Pertama, faktor internal dimana penyebab kerusakan hutan disebabkan oleh perilaku warga dari Kampung Sirnagalih sendiri. Kedua, faktor eksternal dimana penyebabnya berasal bukan dari perilaku warga Sirnagalih melainkan karena alam dan karena perilaku orang luar (illegal loging).