• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengacu pada realitas longsor yang terjadi sejak tahun 2009 hingga saat ini, terlihat bahwa dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dalam rentang waktu 4 tahun tersebut berbeda. Longsor yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010 hanya menimbulkan kerusakan kecil di 2 rumah yakni rumah Pak Adun dan Pak Rahmat. Dari peristiwa tersebut, belum memperlihatkan dampak dan pengaruh yang nyata dalam aktivitas keseharian warga Sirnagalih. Warga belum menganggap retak tanah yang menimpa 2 rumah tetangga mereka sebagai hal yang membahayakan sehingga perubahan cara pandang yang berdampak pada perubahan perilaku belum nampak secara signifikan.

Dampak dan pengaruh besar mulai terjadi ketika peristiwa longsor (pergerakan tanah) terjadi pada Tahun 2011 hingga saat ini. Pergerakan tanah telah mengakibatkan kerugian materiil berupa kerusakan rumah dan lahan garapan serta kerugian immateril lainnya berupa hak untuk hidup nyaman dan tenang. Kerugian berupa kerusakan yang menimpa pemukiman dan lahan garapan warga menghasilkan beberapa perubahan secara sosio maupun ekologis, seperti yang terlihat pada gambar 13.

Gambar 13 Kerusakan Akibat Retak Tanah pada Sawah (kiri) dan Pemukiman (rumah) Warga di Kampung Sirnagalih (kanan).

Pada gambar 13, terlihat kerusakan pada sawah mengakibatkan air yang menggenangi tanaman menjadi surut. Kerusakan tersebut menyulitkan warga untuk menggarap sawahnya. Selain kerusakan pada sawah, pergerakan tanah juga mengakibatkan rumah-rumah warga menjadi hancur dan runtuh bahkan

amblas. Pergerakan tanah berupa tanah retak tersebut menyebabkan kerugian materiil seperti yang terurai pada tabel 11.

Tabel 11 Rekapitulasi Data Korban-Kerugian Longsor di Kampung Sirnagalih

No Uraian Korban-Kerugian Jumlah

A. Tahun 2009

Bangunan (Rumah) Rusak Ringan 1 Unit

B. Tahun 2010

Bangunan (Rumah) Rusak Ringan 1 Unit

C. Tahun 2011

1. Jumlah KK 42 KK

2. Jumlah Jiwa 160 Jiwa

3. Jumlah Bangunan (Rumah) 42 Unit

- Rusak Berat 33 Unit

- Rusak Ringan 9 Unit

4. Sawah 15 Petak

Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer & Sekunder, Tahun2012

Mengacu pada konsep Cultural Ecology Steward, maka pemanfaatan teknologi menjadi awal perubahan pada 3 aspek inti lainnya yakni perubahan pada aspek kependudukan (populasi), aspek kelembagaan ekonomi dan aspek organisasi sosial-politik. Perubahan sosio-ekologi pada Kampung Sirnagalih yang diawali dari pemanfaatan teknologi dibagi menjadi 2 hal yakni pertama, rusaknya lahan garapan petani yang berdampak pada perubahan teknik dan pola tanam. Perubahan tersebut terjadi karena retak tanah di lahan garapan khususnya sawah menjadi rusak. Rusaknya sawah berakibat pada menurunnya produktivitas lahan untuk menghasilkan beras, sementara beras masih menjadi makanan pokok warga setempat. Warga pun mulai mengalihfungsikan sawahnya menjadi kebun campuran, dengan jenis tanaman pangan lainnya yang dianggap dapat mengenyangkan yakni Singkong dan Pisang. Ada juga yang mengisi sebagian lahan mereka dengan tanaman tahunan seperti Sengon. Perubahan tersebut juga menyebabkan berubahnya pola produksi-distribusi pangan.

Kerusakan lahan selain merubah pola teknik dan pola tanam juga merubah pola fikir dan perilaku sebagian warga untuk mencari alternatif mata pencaharian yang tidak berbasis lahan. Munculnya jenis pekerjaan baru di bidang jasa seperti menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk emas di luar desa merubah struktur nafkah mereka menjadi nafkah ganda. Dari curahan waktu, pekerjaan bertani tetap sebagai yang utama.

Kedua, dipindahkannya warga ke tempat hunian sementara (Huntara). Sejak kejadian longsor besar hingga saat ini warga telah 2 kali dievakuasi yakni ke tenda pengungsian dan ke hunian sementara (Huntara). Bantuan awal yang diterima warga adalah 43 tenda pengungsian sebagai tempat tinggal yang bersifat darurat. Selama lebih kurang 3 bulan warga hidup di tenda, hingga akhirnya dievakuasi ke hunian sementara (Huntara). Bangunan Huntara didesain non permanen, lebih menyerupai barak dengan ukuran petak (7x5 m), terbuat dari triplek, dan berada dalam satu area seluas 2.300 meter persegi. Lokasi Huntara berjarak 500 meter dari pusat terjadinya longsor.

Tidak dapat dipastikan akan berapa lama warga akan tinggal di Huntara tersebut dan di mana mereka akan diberikan tempat tinggal, sebab masih menunggu pencairan dana pemerintah serta hasil kajian geologi dan geografi untuk memastikan tempat yang aman dan layak untuk mereka hidup. Satu- satunya harapan warga dan pemerintah terkait dengan pemindahan mereka kelak ke tempat tinggal yang tetap adalah warga dipindahkan tidak jauh dari kampung mereka agar tetap mudah mengakses lahan garapan mereka.

Direlokasinya para korban ke Huntara menimbulkan banyak perubahan yang berujung pada perilaku adaptasi meski sekilas terlihat tidak terjadi perubahan drastis. Namun secara psikologis dan sosiologis, banyak hal yang mempengaruhi pola interaksi para warga khususnya sesama korban longsor.

Hidup di tenda ataupun di Huntara yang tidak memiliki sekat/batas pemisah antara kamar orangtua maupun anak telah menghambat kebutuhan biologis orangtua, andaipun dipaksakan maka akan berpengaruh buruk bagi anggota keluarga lainnya. Perubahan prilaku dan gaya hidup sesama warga Huntara pun ikut berubah. Diantaranya, penggunaan fasilitas umum seperti kamar mandi/toilet (MCK) yang harus dimanfaatkan secara bersama. Para pengungsi mulai belajar cara berbagi. Para anak sekolah harus mengantri mandi di jam pagi. Sebagian anak bahkan orangtua lebih memilih ke pancuran sawah. Pentingnya keberadaan air bersih sebagai kebutuhan utama membuat warga dan pihak lain (TNI) membantu membangun 3 unit sumur di sekitar lokasi pengungsian.

Persoalan lain yang harus dihadapi oleh para pengungsi adalah kesehatan. Beberapa pengungsi mengalami diare, demam dan alergi. Minimnya air bersih

yang „memaksa’ warga untuk memanfaatkan air sawah sebagai alat untuk

menambah peluang terjangkitnya penyakit diare dan alergi. Hidup di Huntara yang jauh dari kehangatan dan kenyaman membuat daya tahan tubuh beberapa pengungsi menjadi rentan terhadap penyakit.

Keterbatasan-keterbatasan tersebut menuntut warga untuk melakukan penyesuaian (adaptasi) agar tetap dapat menikmati hidup mereka ke depan sampai waktu yang belum pasti. Dalam keterbatasan itu mereka juga dituntut untuk saling berbagi. Di satu sisi para korban longsor tidak dapat kembali ke rumah mereka, namun di sisi lain mereka juga akan tetap bertahan karena tidak memiliki lahan lain yang dapat dijadikan seagai sumber penghidupan selain yang ada di kampung mereka.

5.4 Upaya Penanggulangan Bencana Longsor pada Daerah Rawan