• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.2 Persepsi terhadap Kemampuan Diri

6.2.2 Kemampuan Mencegah Longsor

Selain kemampuan diri untuk tetap bertahan, kemampuan lain yang tak kalah pentingnya adalah melihat kemampuan warga melakukan tindakan- tindakan untuk mencegah longsor. Pada penjelasan sebelumnya, secara eksplisit, mayoritas responden menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk mencegah longsor susulan disebabkan oleh pemahaman warga yang menganggap bahwa penyebab longsor lebih kepada faktor non teknis yakni takdir Tuhan serta faktor teknis yakni kondisi tanah, iklim dan seterusnya.

Ketidaksanggupan tersebut sebenarnya merupakan gambaran warga yang lebih menilai longsor sebagai peristiwa alam yang tidak dapat dihindarkan jika Tuhan telah berkehendak. Namun secara implisit, sikap dan perilaku warga serta

No.

Cara Bertahan Distribusi Responden (%)

Ya Tidak

1. Mencari pekerjaan tambahan 100 -

2. Merubah pola bercocoktanam 60 40

3. Meminta bantuan dari pihak lain (Pemerintah,

keinginan warga untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sangat terlihat. Hal tersebut terlihat pada gambar 19.

Gambar 19 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Mencegah Longsor

Alasan sebagian kecil responden yang menyatakan ketidaksanggupannya lebih kepada rendahnya pendidikan serta kemampuan finansial. Warga menganggap ke-2 alasan tersebut merupakan kendala yang membuat warga merasa tidak mempunyai daya untuk mencegah longsor. namun demikian, kemampuan warga mencegah longsor tidak dapat dipahami secara eksplisit. Cara-tindakan dan keseharian warga dalam berinteraksi dengan lingkungan tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan bentuk-upaya warga untuk mencegah terjadinya longsor atau minimal dapat meminimalisir tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana longsor.

Pada tabel 22 terlihat bentuk-bentuk upaya warga untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperparah kondisi fisik lingkungan dan tetap mempertahankan pola perilaku yang dianggap masih relevan dengan kondisi lahan merupakan bentuk upaya pencegahan terjadinya lonsor. Sebagian perilaku merupakan bentuk tindakan adaptasi dan adjusment yang telah ada selama ini, seperti tetap melestarikan hutan Gunung Batu Kaca, mempertahankan tanaman bambu serta menanam kembali setelah melakukan penebangan. Adapun bentuk pencegahan lainnya seperti melaksanakan pola tanam kering, tidak mendirikan rumah di titik longsor, dan lain-lain adalah cara baru yang mucul dan diyakini oleh warga dapat mencegah atau setidaknya dapat meminimalisir frekwensi bahaya longsor.

Beberapa adaptasi ekologi telah dilakukan oleh warga untuk mencegah terjadinya longsor besar dan berharap dapat memperpanjang usia kampung mereka. Beberapa tindakan yang telah dilakukan dan akan tetap dipertahankan adalah tidak melakukan penebangan pohon sebelum masa panen (termasuk menjaga kampung mereka dari aktivitas illegal loging yang pernah terjadi), setiap

80% 20%

pohon yang tiba masa panen boleh ditebang dengan melakukan kembali penanaman ulang, tetap mempertahankan habitat bambu, mengganti pola tanam basah ke pola tanam kering agar tanah tidak jenuh, tidak lagi membangun rumah di titik longsor, selain untuk keamanan juga untuk menghindari terjadinya kelebihan beban terhadap tanah yang rawan, serta membuat aliran air di sekitar tempat tinggal untuk menjaga terjadinya genangan air yang dapat membuat tanah semakin jenuh.

Tabel 22 Persepsi Warga tentang Cara (Mekanisme) Pencegahan Longsor (n=55)

Untuk mendukung perubahan yang dilakukan oleh warga, maka pada tabel 23 memperlihatkan beberapa faktor yang dianggap oleh warga sebagai pendukung keberhasilan perubahan tersebut. Warga setuju bahwa tindakan yang mereka lakukan hanya mampu berhasil jika upaya-upaya tersebut dipahami dan disadari bersama melalui partisipasi serta kerjasama warga.

Perihal lainnya yang juga penting adalah dibuatnya aturan-aturan beserta sanksi yang menjadi kesepakatan bersama antar warga. Aturan tersebut dianggap penting agar dapat mengikat menjadi kontrol para warga dalam menjaga kelestarian kampung mereka. Upaya tersebut merupakan faktor internal yang menjadi dasar utama terbangunnya kelembagaan lokal untuk menanggulangi longsor. Tabel 23 memperlihatkan faktor pendukung yang secara internal harus dibangun antar warga.

No. Cara Pencegahan

Distribusi Responden (%)

Ya Tidak

1. Tidak menebang pohon sembarangan 95 5

2. Mempertahankan tanaman berakar kuat (bambu) 95 5

3. Melakukan penanaman ulang 67 33

4. Melaksanakan pola lahan kering 67 33

5. Tidak mendirikan rumah di titik longsor 98 2

Tabel 23 Persepsi Warga tentang Faktor Pendukung Keberhasilan Mencegah- Menanggulangi Longsor (n=55)

Mengacu pada tabel 23 terlihat bahwa pemberian sanksi kepada warga yang melanggar aturan lebih rendah dibandingkan ke-3 unsur pendukung lainnya. Hal tersebut disebabkan karena masih tingginya toleransi warga terhadap sesama dan lebih memilih untuk memperkuat ke-3 unsur lainnya yakni meningkatkan kesadaran dan partisipasi, membangun kerjasama serta membuat aturan penanggulangan longsor. Secara internal, warga Sirnagalih akhirnya memahami bahwa mereka mampu melakukan upaya pencegahan terhadap bencana longsor.

Selanjutnya, pada tabel 24 warga juga setuju bahwa faktor eksternal sangat dibutuhkan. Sebagian warga setuju dan berharap adanya dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, keahlian dan kemampuan yang lebih baik. Selain pemerintah, keluarga-kerabat juga menjadi pilihan untuk meminta bantuan dalam keadaan terdesak.

Satu faktor lain yang dipilih oleh seluruh responden sebagai satu kekuatan yang sangat besar adalah kehendak Tuhan untuk tidak memberikan bencana longsor di kampung mereka. Warga yakin bahwa sebesar apapun usaha yang mereka lakukan hanya dapat berhasil jika Tuhan berkehendak. Keyakinan tersebut merupakan satu bentuk pemahaman warga terhadap ajaran agama Islam yang dianut yakni manusia wajib mempercayai adanya takdir baik dan takdir buruk. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa warga benar-benar menyadari peristiwa longsor sebagai peristiwa yang juga disebabkan oleh kondisi alam dan mereka tidak memiliki alternatif penghidupan lainnya sehingga hanya bisa berserah diri dan mengharapkan pertolongan kepada Tuhan.

No. Faktor Pendukung Keberhasilan Pencegahan- Penanggulangan Longsor

Distribusi Responden (%)

Ya Tidak

1. Peningkatan kesadaran dan partisipasi warga 98 2

2. Kerjasama antar warga 98 2

3. Membuat aturan tentang upaya penanggulangan

longsor 98 2

4. Memberikan sanksi bagi warga yang melanggar

Tabel 24 Persepsi Warga tentang Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Pencegahan-Penanggulangan Longsor (n=55)

Dari seluruh uraian di atas, terlihat bahwa sebagian besar responden setuju dalam memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan. Kesamaan tersebut merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. Persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Bell, dkk sangat terlihat dari hasil pengukuran persepsi warga di Kampung Sirnagalih. Persepsi warga terhadap lingkungannya memperlihatkan bahwa kondisi daerah yang rawan longsor telah menyebabkan lingkungan sekitar mereka menjadi tidak seimbang (homeo statis). Akibatnya, muncul tekanan yang menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman.

Dalam ketidaknyamanan tersebut, sebagai makhluk adaptif, warga melakukan berbagai upaya penyesuaian (coping) yang mengarah pada adaptasi dimana terjadi perubahan sikap dan perilaku. Persepsi warga terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan- tindakan adaptif.

Begitupun sebaliknya, tindakan adaptasi yang muncul dan perlahan membentuk suatu pola akan menggambarkan representasi sosial warga terhadap daya adaptasi dan kemampuan untuk membentuk suatu tatanan norma-nilai yang menjadi panduan baru dalam menghadapi perubahan lingkungan. Begitupun persepsi terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan-tindakan adaptif.

6.3 Ikhtisar

Pemahaman warga tentang bahaya longsor, kualitas lingkungan, bentuk adaptasi yang dipahami sebagai cara bertahan hidup dan kemampuan diri untuk bertahan, merupakan konsep yang telah melahirkan pemahaman dan

No. Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Distribusi Responden (%)

Ya Tidak

1. Warga Kampung 87 13

2. Pihak lain (Pemerintah & Keluarga) 67 33

pemaknaan bersama. Hampir semua warga memberikan pandangan yang serupa dalam beberapa hal, sehingga tingkat homogenitas jawaban responden pada akhirnya memperlihatkan persepsi mereka secara nyata berdasarkan keeratan hubungan terhadap lingkungan sekitar.

Persentase persepsi warga dalam memaknai bersama terhadap bahaya longsor sangat tinggi. Begitupun dengan persepsi warga tentang kondisi kampung mereka yang telah rusak. Pada gambar 20 memperlihatkan tingginya grafik kesamaan persepsi dalam memaknai bahaya longsor. Persepsi tersebut seiring dengan tingginya kesamaan warga mempersepsikan kemampuan mereka untuk bertahan dan melakukan tindakan adaptasi. Tingkat kesamaan warga dalam menpersepsikan lingkungan dan kemampuan diri, merepresentasikan kemampuan warga dalam mengenali perubahan lingkungan serta mengenali kapasitas mereka dalam menciptakan pola adaptasi atas perubahan lingkungan yang terjadi.

Tingginya tingkat kesamaan cara pandang (persepsi) para warga menjadi modal dasar untuk menciptakan penanganan-penanggulangan bencana, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pihak luar, seperti pemerintah dan pihak pemerhati bencana lainnya. Peran dan partisipasi aktif masyarakat untuk saling melindungi dan bersikap toleran lebih mudah dilakukan dibandingkan jika persepsi antar warga terhadap keadaan lingkungan saling berbeda.

Gambar 20 Tingkat Keragaman Persepsi Masyarakat Sirnagalih

Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012

Kesamaan cara pandang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah pada tindakan adaptasi yang mampu

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Bahaya Longsor Kerusakan Lingkungan Kemampuan Bertahan & Mencegah Longsor

Tinggi Sedang Rendah

menyeimbangkan kehidupan-aktivitas warga terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang mengalami penurunan kualitas seyogyanya mendapatkan perlakuan yang berbeda agar sustainabilitas kehidupan masyarakat di Kampung Sirnagalih bisa bertahan lebih lama tanpa menanggung resiko tinggi.

Pada akhirnya, cara pandang (persepsi) yang sama juga akan memudahkan terbentuknya kesepakatan-kesepakatan (konsensus) yang diakui bersama. Kesepakatan atau konsensus secara tidak langsung akan merangsang munculnya kontrol sosial dalam masyarakat, baik norma yang telah terinternalisasi ataupun sekedar nilai-etika yang harus ditaati bersama, demi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungannya.

BAB VII

BENTUK ADAPTASI SOSIO-EKOLOGI

DAERAH RAWAN LONGSOR

Secara ekologis, komunitas yang hidup pada daerah rawan longsor terdapat di Desa Sukaraksa memiliki cara dan bentuk bertahan hidup yang sangat tergantung pada sumberdaya alam. Potensi sumberdaya alam dimanfaatkan secara sederhana dengan penggunaan alat dan teknologi yang juga masih tradisional.

Seiring perkembangan waktu yang ditandai dengan perubahan-perubahan, baik dari manusia itu sendiri ataupun lingkungannya, maka dalam satu rentan waktu perubahan telah terjadi. Perubahan terbesar yang terjadi adalah penurunan kualitas lahan akibat peristiwa longsor yang beberapa tahun terakhir terjadi. Dengan kemampuan akal, penyesuaian yang mengarah pada pola adaptasi dibutuhkan untuk menghadapi perubahan lingkungan tersebut.

Penyesuaian dapat dilakukan dengan melakukan perubahan baik secara internal dimana manusia yang melakukan perubahan serta eksternal dimana lingkungan yang diubah, atau bahkan keduanya ikut berubah, misal dengan memodifikasi sistem-tatanan yang telah ada sehingga terjadi saling penyesuaian antara manusia dan lingkungan. Perubahan mana yang menjadi pilihan tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri.

Pada bab 6, warga telah menpersepsikan keadaan lingkungannya sebagai suatu keadaan yang berbahaya sehingga perlu melakukan beberapa perubahan sosio-ekologi dan mempertahankan beberapa tatanan yang dianggap masih sejalan dengan kondisi lingkungan. Untuk mengetahui perubahan-penyesuaian sosio-ekologi yang dilakukan oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih maka hal mendasar yang perlu diketahui adalah (1) kondisi sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan warga, serta (2) teknologi yang dikembangkan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam saat ini.

Penggunaan teknologi akan memperlihatkan kemampuan komunitas menghadapi perubahan lingkungan dalam tiap aspek kehidupan yang menjadi inti/core, yakni aspek kependudukan, kelembagaan ekonomi hingga organisasi sosial-politik. Selanjutnya perubahan dalam tiap aspek tersebut diharmoniskan

dengan aturan dan tatanan yang telah ada ataupun yang baru. Kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan tersebut menjadi tolok ukur seberapa besar eksistensi komunitas untuk hidup di daerah rawan longsor.

7.1 Potensi dan Kondisi Sumberdaya Alam

Saat ini, potensi SDA yang dimiliki oleh Kampung Sirnagalih telah mengalami penurunan kualitas. Penurunan tersebut diakibatkan oleh perubahan alam itu sendiri serta beberapa campur tangan manusia, seperti yang terlihat pada tabel 26. Potensi-potensi tersebut bagi warga di Kampung Sirnagalih berfungsi untuk memenuhi seperangkat kebutuhan dasar. Pemanfaatan sumberdaya alam yang mengarah pada komersialisasi terlihat masih rendah. Berikut adalah kondisi SDA yang telah mengalami berbagai perubahan akibat penurunan kualitas lingkungan.

Tabel 26. Potensi serta Pemanfaatan dan Kondisi SDA di Kampung Sirnagalih

Jenis SDA Kampung Sirnagalih

Pemanfaatan Kondisi 1. Lahan-Tanah a. Kering : - Pemukiman × - - Kebun Campuran × - - Ladang/Tegalan × - b. Basah (Sawah) × - 2. Air a. Tanah + b. Sungai × - c. Mata Air + 3. Hutan Milik-Rakyat

a. Hutan Bersama (Gunung Batu Kaca) × +

4. Batu Bara × + Keterangan : = masih dimanfaatkan × = tidak dimanfaatkan + = baik - = buruk (rusak)

Mengacu pada tabel 26, terlihat bahwa kondisi lahan ataupun tanah di Sirnagalih telah mengalami penurunan kualitas (-), baik yang dimanfaatkan sebagai pemukiman maupun sebagai lahan garapan. Namun demikian, buruknya kondisi lahan-tanah tersebut oleh warga sebagian masih dimanfaatkan ( ) meski sebagian lagi sudah tidak bisa dimanfaatkan dengan alasan keamanan. Selain lahan-tanah, sumberdaya air juga khususnya air sungai mengalami penurunan kualitas akibat sedimentasi yang ditimbulkan oleh peristiwa pergerakan tanah.

Sumberdaya alam yang masih baik kualitasnya (+) adalah hutan bersama yakni Gunung Batu Kaca dan batubara. Ke-2 sumberdaya alam tersebut meskipun memiliki kondisi yang baik namun tidak dimanfaatkan (x) dengan alasan untuk menjaga keseimbangan ekologi Sirnagalih serta mencegah terjadinya peristiwa longsor yang lebih besar.

7.2 Adaptasi Sosio-Ekologi Pasca Longsor