• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

Kreativitas merupakan salah satu modal seorang seniman dalam menghasilkan karya sebagai perwujudan eksistensi dan ekspresi yang tidak pernah berhenti dalam bereksplorasi. Keberagaman seni yang ada di Indonesia sangat plural sesuai dengan benang merah yang ada di setiap daerah sebagai local genius yang dimilikinya. Keanekaragaman budaya daerah merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra serta identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana literasi budaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Di satu sisi tradisi sudah banyak ditinggalkan dan di pihak lain budaya modern belum terbentuk seutuhnya. Seiring dengan perkembangan zaman pada era industri 4.0, berbagai cabang seni mulai menjelma ke arah bentuk-bentuk seni yang lain. Ekranisasi seni sering dilakukan oleh seniman sebagai kreativitas yang ingin keluar dari kemapanan atau protes terhadap kepakeman untuk menciptakan seni-seni baru. Dengan demikian, kreativitas model apakah yang sesuai masa transisi yang diperlukan oleh seorang seniman. Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis dari data-data primer dan sekunder. Hasil temuan dari penelitian ini kreativitas Tubuh Groteks, yang selalu berproses tidak pernah selesai dan tidak pernah berhenti dalam berkarya. Selalu ada peluang dan alternatif dalam pengembangan karyanya. Pergeseran pola kehidupan masyarakat agraris menuju masyarakat industri secara langsung memengaruhi perkembangan kehidupan, tidak terkecuali seni. Memang seni itu sangat dinamis, adaptif, dan kondusif dengan tuntutan pertunjukan yang diinginkan. Saat ini, seringkali fenomena kesenian yang ada adalah dalam bentuk yang lebih realistis, seperti halnya dengan seni digital.

Kata kunci: kreativitas, keberagaman, literasi budaya, kearifan lokal

Sri Rustiyanti Program Studi Antopologi Budaya, ISBI Bandung E-mail: rustiyantisri@yahoo.com

Pendahuluan

Konsep merupakan pokok pertama yang mendasari keseluruhan ide pokok pikiran. Struktur konsep menurut Piaget dalam Hawkes (1986:16) dapat diamati dalam satu kesatuan aturan pada ide-ide pokok, yaitu (1) ide keseluruhan; (2) ide perubahan bentuk; dan (3) ide swaaturan (Listiani, 1986:9). Konsep biasanya ada dalam alam pemikiran, atau kadang-kadang tertulis secara singkat, sedangkan idea adalah gagasan, buah pikiran, menurut Hegel (1770-1831) adalah makna segala benda yang berkembang, karena logika melalui tiga tahap: objektif, subjektif, dan mutlak (Hoeve, 1990:1336). Konsep seorang seniman merupakan peristiwa-peristiwa realita yang diimajinasikan berdasarkan ide-ide yang diperoleh dengan beberapa tahap yang dilakukan untuk mewujudkan konsep garapnya. Adapun pencerapan ide-ide untuk mewujudkannya adalah melalui beberapa tahap, yaitu (1) resepsi, tahap ini adalah tahap membongkar memori atas peristiwa-peristiwa yang dirasakan dan dilihat, baik peristiwa lampau, yang sedang terjadi maupun, yang belum terjadi, ataupun bahkan yang tidak terjadi dikhayalkan terjadi (absurd) dengan kemampuan imajinasi yang akan diwujudkan. ‘Sketsa-sketsa’ potongan memori tersebut diangkat dan diimajinasikan dalam bentuk berstruktur atau dapat juga diwujudkan dalam potongan-potongan saja; (2) perenungan, tahap ini adalah tahap proses meditasi, merenungkan atau berpikir penuh dan mendalam untuk mencari nilai-nilai, makna, manfaat, dan tujuan hasil penciptaan sehingga dari hasil renungan ini muncul ide dan konsep garap yang masih terekam dalam pikiran yang tentunya belum diwujudkan secara fisik; (3) pengolahan, tahap ini adalah tahap proses kerja studio untuk mendapatkan idiom-idiom yang diinginkan sesuai dengan ide dan konsep garap melalui proses garap baik secara perorangan, kelompok, maupun keseluruhan. Karyanya dianalisis dengan pendekatan semiotika sebagai salah satu metode penafsiran karya seni, di samping metode yang lain seperti hermeneutika, simbolisme, formalisme, psikoanalisis, dan fenomenologi, sebagai sebuah pendekatan analisis teks, yang dalam pengertian luasnya, teks didefinisikan sebagai pesan-pesan, baik yang menggunakan tanda verbal maupun tanda visual yang menghasilkan teks verbal dan teks visual. Dengan begitu teks seni (seperti: patung, lukisan, tari, teater) termasuk dalam kelompok teks visual (Piliang, 2000).

Dalam proses kreatif ada beberapa hal yang sangat penting dan korelasinya sangat erat satu dengan yang lainnya, yaitu kreativitas, inovasi, prakarsa, produktivitas, dan efisiensi. Kelima kata tersebut mempunyai tema yang pada dasarnya berkonotasi sama, yaitu untuk menggerakkan seseorang agar lebih

kreatif. Manusia kreatif adalah manusia yang tengah menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak. Dengan demikian, seseorang yang kreatif selalu dalam kondisi kacau, chaostic, kritis, gawat, mencari-cari, dan mencoba-coba untuk menemukan sesuatu yang belum pernah ada dari tatanan budaya yang pernah dipelajarinya (Sumardjo, 2000:80). Sementara itu, proses kreatif menurut Saini K.M merupakan pertemuan dan pergulatan ganda, yaitu antara kesadaran manusia dengan realitas, realitas dapat berada di luar atau di dalam kesadaran, masuk dalam kesadaran melalui pancaindra (Saini, 2001: 23-24). Memang kreativitas itu sifatnya sangat individual karena munculnya kreativitas seseorang bukan hanya karena dorongan intrinsiknya, melainkan juga pengaruh iklim lingkungan yang memungkinkan untuk berkarya dan berimajinasi.

Seorang seniman adalah seorang kreator, yaitu seseorang yang mampu menangkap signal (tanda), image (imago, imaji), dan symbol atau lambang (Saini, 2000:84) yang sangat penting dalam proses kreatif yang dilakukan oleh seorang seniman. Signal-signal yang halus merupakan tanda yang dapat memberikan petunjuk berdasarkan kesepakatan bersama, misalnya warna hitam sebagai tanda berkabung. Seniman tidak memberikan wacana tentang realitas, tetapi menciptakan gambar-gambar (images) sebagai lambang. Sedangkan simbol (lambang) jenis apa pun yang dipilih disusun sedemikian rupa hingga lambang dapat mengungkapkan pengalaman yang kental.

Demikian pula yang dialami oleh seorang seniman, sebagai manusia, ia mempunyai kegiatan mental yang sangat individual yang merupakan manifestasi dari kebebasannya sebagai individu. Menurut Mikhail Bakhtin, bahwa tubuh sebagai sesuatu yang terbuka dan belum selesai, terus-menerus berubah dan diperbaharui; ia adalah sebuah citraan yang dinamis. Tubuh grotesk adalah “daging sebagai tempat berproses”. Tubuh tidak dipahami sebagai sesuatu yang individual, tetapi sesuatu yang universal (Derks, t.t:83). Dalam pandangan yang lain, Hawkins (1991:6) mengembangkan sebuah konsep yang berhubungan dengan proses kreatif. Dikatakannya: “creativity implies imaginative thought: sensing, feeling,

imaging, and searching for truth.”

Teori dan Metodologi

Dalam penelitian, baik yang menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, harus ada teori yang terpilih. Oleh karena itu, dalam penelitian kajian ilmu budaya, harus mengenal, memahami, menjelaskan, atau menganalisis

suatu fenomena budaya berdasarkan sebuah alur pikir teori budaya yang relevan. Relevan maksudnya adalah berhubungan. Berhubungan maksudnya adalah bahwa teori tertentu dapat menjelaskan mengapa suatu peristiwa budaya tertentu dapat terjadi. Kajian ini menggunakan metode deskriptif analisis, dengan kata lain antara penelitian dan teori tidak bisa dipisahkan. Penelitian ini menggunakan teori estetika model Beardsley dan teori proses kreatif model Hawkins. Landasan

teori digunakan untuk memahami dan menganalisis kreativitas dalam literasi budaya sebagai aset kearifan lokal.

Saat ini semakin banyak dilakukan penelitian budaya atau kehidupan sosial ditempatkan sebagai teks yang dapat diinterpretasikan. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran (image), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemprosesan informasi, dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan dan perbuatan/tindakan yang dibagikan di antara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2011:4). Budaya sebagai teks sekaligus menerangkan bahwa ‘keseluruhan’, seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan, tetapi arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan.

Hasil dan Pembahasan

Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa, baik sebagai identitas pribadi, identitas sosial, maupun identitas budaya. Dengan demikian, literasi budaya merupakan kemampuan individu dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu budaya dan bangsa. Literasi budaya meliputi beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara bijaksana atas keberagaman sebagai keniscayaan. Beberapa hal yang menjadi prinsip-prinsip dasar literasi budaya adalah sebagai berikut.

Budaya sebagai Alam Pikir

Budaya melalui bahasa yang beragam menjadi kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Budaya sebagai alam pikir melalui bahasa banyak dimaknai pada filosofi-filosofi yang sarat dengan nilai dan makna kearifan lokal yang dimiliki dari setiap daerah. Misalnya, melalui ungkapan dalam bahasa daerah dikenal

falsafah hidup bahwa manusia harus mampu menjaga lingkungan hidupnya. Ungkapan tersebut tidak hanya memiliki arti filosofis, tetapi juga menyiratkan bahwa perilaku manusianya merupakan bagian dari suatu budaya.

Misalnya alam pikir yang dimiliki orang Minang sejak dulu berpandangan bahwa hubungan dalam pergaulan antara sesama manusia dalam hidup bermasyarakat harus selalu dilandasi sikap ‘dimaa bumi dipijak di sinan langik

dijunjuang’. Filosofi ini menyiratkan makna bahwa hidup bermasyarakat itu harus

saling mengasihi, saling menghormati, saling mengisi, dan saling membenahi jika terdapat kekurangan masing-masing dalam lingkup pendidikan. Dengan demikian, tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Filosofi ini memiliki makna yang sama dengan filosofi di Jawa ‘mikul dhuwur mendhem jero’. Kedua filosofi tersebut, ‘dimaa bumi dipijak di sinan langik dijunjuang’ dan ‘mikul dhuwur

mendhem jero’ mempunyai makna menghargai orang lain di mana pun berada,

tanpa melihat status orang dari golongan atas atau bawah. Melalui konsep filosofi ini pergaulan orang Minang harus saling menghargai, saling menghormati, sopan santun, berlaku setia dan jujur, disertai dengan perbuatan yang menunjukkan keikhlasan.

Dalam filosofi Sunda, ada ungkapan yang sangat familiar bagi masyarakat Sunda, bahkan sudah tidak asing bagi masyarakat luas sebagai identitas keindonesiaan, yaitu ungkapan cageur, bageur, bener jeung pinter, tuturan filosofi yang seolah menjadi sesuatu kekuatan yang memiliki daya magis, yang keluar dari ucapan seorang ibu kepada anaknya. Bagaimana ungkapan filosofi tersebut mempunyai kekuatan magis yang dapat membuat seseorang merasa termotivasi untuk melakukan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada ungkapan tersebut, dapat dirasakan bahwa dalam ungkapan yang terdiri atas empat kata (bahasa Sunda) tersebut, seolah tertanam dalam ingatan sebagai bentuk pembinaan karakter bagi anaknya agar menjaga kesehatan baik jasmani maupun rohani (cageur), menjaga tingkah laku yang baik (bageur), berlaku jujur dalam menjalani hidup (bener), dan harus menambah ilmu harus pintar (pinter) sebagai bekal kehidupan. Konsep dasar filsafat Sunda berdasarkan pemahaman pada ekologi–geografisnya melahirkan tiga ketentuan (tritangtu) yang menjadi dasar pemikiran Sunda. Secara umum pola tersebut membentuk pemikiran Sunda disesuaikan dengan zaman yang memengaruhinya, baik zaman Sunda primordial (masyarakat Baduy), Sunda pengaruh Hindu, Sunda pengaruh Islam, dan Sunda modern (Dwimarwati, 2016:230).

Berdasarkan filosofi Minangkabau ‘alam terkembang jadi guru’ menciptakan alam ini untuk dijadikan materi pembelajaran bagi manusia yang mau berpikir, seperti diciptakannya bambu. Filosofi tentang pohon bambu tersebut dapat disimpulkan bahwa, “kehidupan antarmanusia itu harus seperti bambu, yaitu sekalipun pohon bambu menjulang tinggi, karena mempunyai akar yang kuat menghujam di tanah sebagai fondasi yang kokoh, walaupun diterpa angin besar dan kuat, pohon bambu tidak melawan angin dan selalu meliuk-liuk mengikuti arus, akhirnya tetap kembali ke tempat semula. Harus seperti itulah menjadi manusia, harus kuat, kokoh, berprinsip, lembut, dan lentur. Falsafah bambu terurai secara rinci dari bagian-bagian yang kecil, seperti rebung, kelopak, pelepah, buku, ruas, mata, dan salumpit” (Somawijaya, 2016:4).

Budaya sebagai Kesenian

Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat (orang-orang yang hidup bersama dan dan ada saling ketergantungan). Kesenian akan berkembang jika masyarakat sebagai penunjang kebudayaan masih membutuhkan kehadiran kesenian tersebut (Ihromi, 1986:18). Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar tentunya menghasilkan berbagai bentuk kesenian dari berbagai daerah dengan membawa ciri khas kesenian yang dimilikinya sebagai local genius dari setiap daerahnya. Berbagai macam bentuk kesenian yang dihasilkan oleh setiap daerah di Indonesia harus dikenalkan kepada masyarakat terutama generasi muda agar mereka tidak tercerabut dari akar budayanya dan kehilangan identitas kebangsaannya. Masyarakat Indonesia tersusun atas sebuah budaya nasional yang menjadi payung yang mengatapi kesenian-kesenian lokal di Indonesia.

Keberagaman kesenian ini menjadi identitas masyarakat yang memiliki perbedaan budaya yang bersatu ke dalam sebuah konsensus untuk hidup bersama tanpa menghilangkan budaya dan ciri khasnya. Penekanan dari arti kata multikultur hanya mengemukakan bahwa keberagaman kesenian yang kita miliki tidak bermaksud untuk meleburnya menjadi satu. Seperti dalam moto semboyan bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia dapat dikatakan sebagai negara multikultur karena keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia karena setiap daerah memiliki ciri khas dan potensi kesenian yang berbeda-beda. Setiap kelompok masyarakat menghasilkan dan mengembangkan kesenian masing-masing, baik secara kedaerahan maupun akulturasi antara budaya di Indonesia.

Budaya sebagai Tekstual

Analisis budaya secara tekstual merupakan pembahasan unsur-unsur suatu kebudayaan yang dapat menerangkan secara keseluruhan arti dan makna simbol dapat dibedakan, tetapi arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan (Liliweri, 2011:4). Begitu pula dengan salah satu bentuk kesenian secara tekstual berkaitan dengan segi-segi teknik yang menentukan ciri-ciri dan bentuk tontonan yang memberikan sesuatu pengalaman melihat secara visual.

Kesenian terbangun dari susunan teks-teks yang merupakan unity atau keutuhan menunjukkan adanya sesuatu yang kompleks, yaitu adanya hubungan yang berarti, bermakna antara semua unsur-unsurnya, yang satu memerlukan kehadiran yang lain dan saling mengisi. Misalnya, kesenian Randai merupakan kesenian kolektif yang didukung oleh berbagai macam cabang seni, yaitu seni tari, seni sastra, seni musik, seni vokal, seni drama, dan seni rupa. Hal ini sesuai dengan konsep estetik yang dikemukakan oleh Beardsley bahwasanya ada tiga hal sifat estetik yang paling mendasar yang disebut dengan unity, intensity, dan complexity (Beardsley, 1958:505-508). Dalam seni sastra, teks drama dapat dibedakan menjadi dua komponen utama teks, yaitu teks utama (main text) dan teks samping (side text). Teks utama atau juga disebut teks primer adalah teks yang dibangun oleh kata-kata, susunan kalimat atau komposisi tertentu dari kode-kode literal, yang mengandung arti. Secara umum, yang dikategorikan sebagai teks utama adalah serangkaian himpunan dialog yang mengikat sejumlah tokoh dalam latar suatu peristiwa (Yohanes, 2016:17).

Budaya sebagai Perilaku

Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi watak merupakan identitas bangsa. Pasiak (2003:8) menyatakan, untuk mewujudkan manusia cerdas yang berkarakter peran Intelectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)

sangat penting. Dari sisi IQ, upaya ini merupakan cara jitu untuk meningkatkan kemampuan otak manusia dalam mencipta. Memaksimalkan kekuatan IQ memang menjadi konsekuensi dalam menciptakan masyarakat yang berkarakter budaya membaca di Indonesia. Dengan demikian, harus mengikutsertakan manusia yang kreatif. Ada satu komponen yang belum tersentuh, yakni emosi (EQ). Inti dari

EQ adalah bahwa manusia harus punya kekuatan batin dan hati dalam rangka mengelola emosi dan membangun relasi positif. Kepekaan sosial hanya dapat dibangun ketika manusia memiliki sikap simpatik dan empatik dengan lingkungan sekitar. Inilah yang sebenarnya dikembangkan dalam EQ. Dengan bangunan yang kuat dari kekuatan EQ itulah, manusia akan berjalan secara manusiawi dan selaras dengan lingkungan. Inti SQ adalah bagaimana manusia mampu memaknai apa yang dikerjakan dan dihasilkan. Dengan demikian, akan terwujud sebuah empati yang beralas pada titik pribadi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Berdasarkan teori Erving Goffman tentang kehidupan sebagai sebuah panggung sandiwara yang dikenal dengan sebutan dramaturgi, yaitu setiap manusia adalah aktor yang melakukan bertindak sesuai dengan pola tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya, terungkap pada saat melakukan pertunjukan dan yang juga bisa dilakukan atau diungkapkan dalam kesempatan lain (Poloma, 2003:232). Kehidupan sehari-hari tidak lepas dari perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh pendidikan secara formal, informal, dan nonformal. Ketiga pengaruh pendidikan tersebut membentuk karakter manusia yang seutuhnya. Ada tiga hal dalam teori kebudayaan yang menjadi karakter utama, yaitu (1) agensi (subjek pelaku) dapat direlasikan dengan makna; (2) munculnya pemahaman yang kurang seimbang atas budaya dibandingkan dengan paradigma lain, seperti hermeneutik dan semiotik; dan (3) bagaimana menghubungkan level mikro dengan yang makro, sementara pendekatan kebudayaan yang dominan lebih dekat pada model pelayanan bagi struktur sosial (Sutrisno & Putranto, 2005:85).

Budaya itu Dipelajari

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tidak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari (Samovar, Porter, McDaniel, 2010:32). Budaya dipelajari dan diwariskan melalui interaksi terus-menerus antara keturunan dan lingkungan. Termasuk di dalamnya, kelestarian kearifan lokal yang senantiasa tetap terjaga kelangsungan hidupnya.

Proses yang turun-temurun dari pihak guru kepada murid, dari orang tua kepada anak, dari saudara kepada saudara, dari teman kepada teman, dan lain sebagainya. Apa pun bentuknya proses tersebut sering disebut sebagai pewarisan. Dengan mempelajari budaya, suatu kelompok budaya dapat mewariskan ciri-ciri perilaku kepada generasi selanjutnya melalui mekanisme belajar-mengajar, yang juga melibatkan penurunan ciri-ciri budaya orang tua kepada anak-cucu. Dalam pewarisan tegak (vertical transmission), orang tua mewariskan keterampilan, nilai, keyakinan, motif budaya, dan sebagainya kepada anak-cucu. Dalam kasus ini, sulit membedakan ‘pewaris budaya’ dengan ‘pewaris biologi’. Secara khas, seseorang belajar dari siapa saja yang merasa bertanggung jawab terhadap konsepsinya. Jadi, tetap saja orang tua biologis dan orang tua budaya adalah sama (Berry, 1999:32). Pernyataan ini dipertegas oleh Donald Hebb yang mengutarakan ada lima hal yang saling tumpang tindih, yaitu (1) lingkungan kimiawi pranatal, yaitu obat-obatan, nutrisi, dan hormon; (2) lingkungan kimiawi pascanatal, yaitu pengaruh kimia yang terjadi setelah dilahirkan; (3) pengalaman indrawi yang konstan, segala kejadian yang telah diproses oleh alat indra seseorang, baik sebelum atau sesudah dilahirkan, merupakan faktor yang tidak mungkin dapat dihindari oleh semua species; (4) pengalaman indrawi yang variabel, semua kejadian yang telah diproses oleh alat indra sangat tergantung pada lingkungan masing-masing; dan (5) kejadian traumatik fisik, kejadian, atau pengalaman yang berakibat kerusakan sel suatu makhluk, baik sebelum atau sesudah dilahirkan (Davidoff, 1988:81). Dengan demikian, faktor keturunan dan faktor lingkungan berinteraksi terus-menerus dalam membentuk perkembangan dan kepribadian seseorang. Pada waktu terjadinya janin, faktor keturunan telah memprogramkan potensi-potensi manusiawinya untuk kelak kemudian menjadi manusia. Pada waktu yang bersamaan faktor lingkungan juga turut memengaruhi pembentukan janin. Faktor lingkungan dan faktor keturunan secara bersama-sama memberikan bentuk pada perkembangan ketika janin yang telah dilahirkan tumbuh dan berkembang menjadi anak terus sampai pada masa dewasanya.

Seni sebagai produk masyarakat tidak lepas dari adanya berbagai faktor sosial budaya, yaitu faktor alamiah dan faktor generasi, yang semuanya memiliki andil bagi perkembangan seni (Hauser, 1982: 93-328). Manusia secara alamiah pada dasarnya merupakan makhluk yang berbudaya, dalam arti sempit, manusia memiliki akal dan pikiran sehingga sering pula disebut sebagai makhluk yang sempurna. Atas sifatnya itu manusia dalam hidupnya didorong oleh kebutuhan jasmani, seperti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan rohani seperti kebahagiaan, kepuasan, hiburan, dan lain-lain (Habib, 1988:226). Aspek budaya

itu sendiri di dalamnya mengandung unsur seni yang selalu dibutuhkan oleh manusia sebagai sarana kepentingan upacara, pelepas lelah, hiburan, kreativitas, dan lain-lain. Sebagaimana ditegaskan Morris dalam Soedarsono (2003:8), manusia memiliki aesthetic behavior atau perilaku estetis, hiburan yang sangat diperlukan adalah seni, baik seni rupa maupun seni pertunjukan.

Budaya itu Dinamis

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh, wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah pada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Dalam teori kebudayaan antara lain ada pandangan, bahwa manakala terjadi kontak budaya antardua masyarakat, pada umumnya masyarakat yang teknologinya lebih sederhanalah yang lebih banyak menyerap unsur budaya masyarakat lainnya (Horton &Hunt, 1989:215). Di sinilah bahwa kebudayaan tidak sekadar berevolusi, yaitu satu harus musnah untuk diganti dengan yang baru. Meminjam pendapat Holt yang menyebutkan bahwa kehadiran unsur-unsur baru dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya tidak berarti unsur-unsur budaya yang ada sebelumnya menghilang. Antara unsur budaya lama dengan unsur budaya baru dapat saja hidup berdampingan, berbaur, atau bahkan saling tumpang tindih (Soedarsono, 1991:3). Dipertegas lagi bahwasanya, tradisi sebagai kesinambungan, legitimasi, simbol identitas kolektif, dan media pemulihan (Timmerman, 2018:35-37).

Kehidupan budaya akan selalu mengalami proses akulturasi, memang tidak