• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

“Jasmerah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Ungkapan Sukarno tersebut tampaknya masih relevan sampai hari ini. Sejarah Indonesia baik itu sebelum terbentuknya bangsa maupun sesudahnya merupakan fondasi identitas nasional bagi kepribadian nasional. Sebuah kepribadian yang terdiri dari sejumlah ciri atau karakteristik yang mewujudkan suatu koherensi dalam suatu totalitas. Totalitas dalam suatu nation (bangsa) dengan kesatuan karakternya tertentu yang membedakan dirinya dengan nation (bangsa) yang lainnya. Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas. Kita sedang diliputi lupa sejarah, lupa diri, dan lupa identitas. Sebaliknya kita justru lebih mengagung-agungkan budaya bangsa lain. Kondisi ini yang menjadi latar belakang dari penciptaan karya seni grafis dari Studio Raja Singa, sebuah kelompok seni yang cukup intens mengangkat tema-tema sejarah dalam narasi karyanya. Studio Raja Singa menceritakan kembali dalam bahasa visual dengan memasukkan unsur-unsur estetika dan imajinatif. Kemudian secara visual akan menghadirkan oposisi biner ke dalam media, maksudnya akan memvisualisasikan antara tragedi-komedi ke dalam satu frame. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui proses kreatif penciptaan seni grafis dari Studio Raja Singa. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode penelitian naturalistik. Subjek penelitian karya-karya Studio Raja Singa dengan menggunakan pendekatan psikologi kreatif untuk menelaah penggalian ide dalam proses kreatif kekaryaan. Metode proses kreatif yang digunakan oleh Studio Raja Singa adalah metode dialektika progess, meliputi intensionalitas eksistensial, dialektika, brainstorming, dan perwujudan. Hasil dari penelitian ini dapat membuktikan proses inovasi dari peristiwa sejarah sebagai subject matter dalam penciptaan karya seni grafis dari Studio Raja Singa.

Kata kunci: tragedi-komedi, dialektika progess, seni grafis, sejarah

Nur Iksan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya E-mail: iksan@ub.ac.id

Pendahuluan

Transformasi budaya modernitas global atau istilah populernya globalisasi pada kenyataannya sebuah keniscayaan untuk ditampik. Dilihat dari sejarah, globalisasi diawali kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi sebagai penggeraknya. Aspek bidang ini kemudian memengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Memang, tidak dapat dimungkiri bahwa dampak globalisasi cukup banyak menjawab semua kebutuhan dan permasalahan, misal dalam aspek personal; pola pikir lebih rasional, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta taraf hidup yang lebih baik. Kemudian dalam aspek sebuah negara dapat dilihat dalam: pertahanan, keamanan, ekonomi, produksi serta distribusi, dan sosial budaya. Kesemua hal tersebut merupakan dampak positif dari globalisasi, tetapi pada kenyataannya dampak positif tersebut disertai juga dampak negatif.

Ketika dikaji lebih mendasar, globalisasi dapat diklasifikasikan seperti yang ditegaskan oleh Giddens bahwa modernitas memiliki empat aspek kelembagaan, yakni kapitalisme, industrialisme, kekuatan militer, serta kontrol terhadap informasi dan aktivitas sosial (Shacari dan Sunarya, 2001:15). Sistem konstruksi globalisasi ini dapat disimpulkan mempunyai sistem yang otoriter. Ditegaskan kembali oleh Selo Soemarjan dalam Indratmoko (2017:122) bahwa “Globalisasi adalah terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antarmasyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah yang sama”. Sistem kontrol dan generalisasi kaidah universal ini jelas mengatur “hampir” aspek krusial dari sisi kemanusian manusia. Menjadikan manusia tercabut dari sisi kemanusiaannya, manusia tidak mempunyai karakteristik secara personal dan bahkan karakteristik nasional dari sebuah bangsa (Indonesia).

Kalau sedikit meluangkan waktu untuk refleksi dari proses globalisasi, masih ada kebocoran yang dapat diisi dengan kecurigaan atas globalisasi. Misal, sebuah hal yang mustahil ketika setiap dari manusia harus mengikuti sistem dan kaidah yang sama dari setiap daerah di belahan dunia. Mengingat setiap daerah mempunyai perbedaan, baik itu dalam aspek geografis, ekonomi, politik, bahkan pranata sosial yang sudah ada sebelumnya. Selebihnya pandangan setiap orang tidak mungkin dapat diseragamkan dalam lingkupan global. Ataupun, dalam pandangan psikologi humanistik bahwa manusia adalah makhluk potensial. Ia berpotensi berbuat dan menjadi apa saja sesuai dengan karakternya. Mungkin pernyataan-pernyataan tersebut akan berhenti sudah dalam sebatas pernyataan

kepalang tanggung melawan sebab, globalisasi adalah gerak sejarah yang ditiupkan oleh korporasi sejagat dan telah menjadi “drama kolosal” dengan kapitalisme global sebagai sponsor utama (Widodo, 2005:2).

Berasaskan sistem otoriter, yang dikampanyekan secara masif dan persuatif, globalisasi pada akhirnya telah membawa pada sebuah situasi kemanusiaan yang “hampir” menjadikan manusia sebagai “figuran”. Menjadikan “manusia massa” dalam perspektif ilmu psikologi. Ditegaskan kembali M. Satya Wibowo “lahir tergesa-gesa, terasing dari sejarahnya sendiri, dan tidak memiliki masa lampau untuk berefleksi diri”. Gelombang episode situasi kemanusiaan yang menghanyutkan dan menenggelamkan manusia di permukaan, dengan ending budaya massa atau populer menjadi patronase dari pandangan hidup.

Berdasarkan uraian tersebut, situasi itu memang berdampak buruk, tetapi juga berdampak baik terhadap generasi penerus bangsa ini. Alangkah baiknya perwujudan dampak negatif untuk generasi selanjutnya diimbangi dengan suatu terobosan baru yang lebih fresh, diolah, serta dimodifikasi dengan kemajuan informasi-teknologi yang ditawarkan untuk Indonesia saat ini, dan dikemas sedemikan pula dengan tujuan menawarkan pengenalan ilmu budaya dan belajar sejarah dari Indonesia masa lampau untuk generasi sekarang dan selanjutnya.

“Sangkan Paraning Dumadi” yang merupakan kalimat petuah leluhur sebagai awal spirit dari Studio Raja Singa dengan semangat lokalitas mengajak semua untuk

napak tilas pada masa silam untuk menggali makna dari budaya masa lalu melalui karya-karya seni grafisnya. Pemaknaan pengalaman ini juga sekaligus bentuk reaksi dari realitas yang diproduksi kembali, dikonstruksi, dan direproduksi. Direkonstruksi tentunya dalam proses karya seni sangat erat dengan visi misi dari senimannya, begitu pula Studio Raja Singa. Porsi ini yang membuktikan bahwa di mana relasi antarseniman-lingkungan, dan karya seni, menjadi siklus tidak berhenti sudah dan menjadi bagain dari budaya untuk dapat dijadikan rujukan strategi langkah yang lebih baik untuk masa yang akan datang di tengah arus globalisasi.

Paradigma dan Metodologi Penelitian

Konseptual penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi didukung dengan pendekatan yang relevan dari motif aktualisasi diri pekerja seni dalam memaknai pengalaman yang termanifestasikan di sebuah karya printmaking. Secara ringkas pendekatan dan konseptual untuk menganalisis subject matter penelitian ini adalah psikologi kreativitas, yakni tujuan dari anggota Studio Raja

Singa untuk menciptakan karya, baik itu dalam konteks keberangkatan dari sejarah maupun bentuk praktis aktualisasi diri dari tiap-tiap anggotanya. Berangkat dari tujuan penciptaan secara psikologis tersebut, dibutuhkan domain teoretik untuk menganalisis proses kreatif Studio Raja Singa dalam mengomunikasikan gagasannya ke dalam karya seni.

Seni merupakan alat komunikasi dalam bentuk aktualisasi dari seniman, seperti diungkapkan pendiri mazhab psikologi humanistik Abraham Maslow, kreativitas yang mengaktualisasikan diri pertama menekankan kepribadian dari pada pencapaian, tetapi tetap mempertimbangkan ini sebagai epifenomena yang lahir dari kepribadian tersebut sehingga bersifat sekunder (Maslow, 2018:290). Perihal kepribadian mempunyai porsi yang fundamental dibanding dengan karya monumental yang dihasilkan. Dalam hal ini pendekatan psikologi menjadi pisau analisis kepribadiaan seniman di Studio Raja Singa dalam orientasi kekaryaan dan proses kreatif dalam mengurai sejarah bangsa Indonesia dengan kontekstual budaya kekinian. Tahap penggalian data proses kreatif ini dilakukan dengan metode penelitian naturalistik. Hal ini digunakan karena penelitian ini dilakukan pada kondisi yang alamiah serta bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih akurat.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Pengumpulan data dilakukan secara langsung di Studio Raja Singa yang beralamatkan di Jl. Puring No. 32B, Sumber Sekar Dau, Malang. Target penelitian ini adalah anggota Studio Raja Singa. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data antara lain observasi, wawancara, diskusi, dan melihat secara langsung proses kreatif penciptaan karyanya. Selanjutnya data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif dengan pendekatan interpretivisme, kemudian dilakukan pendataan, penyusunan dan pendistribusian data di bagian-bagiannya yang lebih spesifik, perangkuman, dan pencarian pola-pola untuk menemukan apa yang penting guna menarik sebuah simpulan. Dhilthey (dalam Rohidi 2011:226) memaparkan bagaimana teks ditafsirkan melalui “pemahaman mendalam”. Pemahaman muncul melalui pemahaman antartindakan personal dan tindakan kelompok. Melalui proses pengumpulan data, peneliti memilah data tersebut serta mencari simpul yang berkaitan antara satu dengan yang lain dalam keseluruhan fenomena yang dikaji. Wawancara dengan anggota Studio Raja Singa dilakukan secara personal. Kemudian keabsahan data dalam penulisan ini diperiksa dari hasil wawancara dan dikomparasikan dengan penciptaan karya berbasis sejarah Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

Profil Studio Raja Singa

Studio Raja Singa digawangi oleh Ana dan Breykele. Keduanya mempunyai

basic pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sekalipun di almamater

dan konsentrasi yang sama di seni rupa murni, mereka mempunyai peminatan yang berbeda. Ana mengasah kreativitasnya di jalur seni lukis, sedangkan Breykele di seni grafis. Tahun 2015 keduanya dipertemukan di Malang, Jawa Timur dalam suatu kegiatan seni rupa. Kemudian mereka sering kali membuat kegiatan seni, baik itu dalam bentuk forum diskusi, seminar, workshop, pemberdayaan masyarakat, dan pameran. Karena pertemuan yang cukup intens pada tahun 2016, mereka berinisitif untuk berkolaborasi dalam sebuah karya seni. Namun, keinginan tersebut selalu kandas dalam artian belum ada kepuasan psikologis dari keduanya. Hal ini disebabkaan di antara keduanya mempunyai beberapa perbedaan.

Pertama, dalam aspek kecenderungan kajian wacana yang mereka konsumsi. Ana

tertarik pada kajian sejarah dan budaya tradisi, tetapi Breykele menyukai pada kajian filsafat eksistensi. Kedua, aspek ideoplastis yang menyangkut gagasan dan konsep dasar pemikiran sebagai fondasi ekspersi karya. Ketiga, aspek fisioplastis menyangkut masalah keteknisan bentuk, warna, dan elemen penyusunan visual dalam karya. Misal dalam fisioplastis, Breykele kecenderungan pada naturalis filosofis berbeda dengan Ana yang lebih pada deformasi bentuk.

Kemudian tahun 2019, Studio Raja Singa dengan menyamakan persepsi dalam melihat kebudayan masa lalu dikontekskan ke masa sekarang. Maksudnya, masa lalu atau sejarah dilihat dalam perspektif eksistensi. Seperti pendapat Martin Heidegger, kesejarahan (historisitas) merupakan salah satu ciri khas eksistensi manusia (Daliman, 2018:3). Dalam hal ini sejarah bereksistensi pada zamannya, tetapi sejarah dilihat sebagai nilai bisa terus bereksistensi ketika sebuah nilai diposisikan dalam aksiologi. Sejarah sebagai nilai dengan subkajian etika, objek materialnya mempersoalkan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan melatarbelakangi tingkah laku serta perbuatan seseorang dari domain etika objek formal. Objek formal ini menyangkut sesuatu yang dianggap berharga, kebaikan, luhur, dan suatu hal yang dianggap keburukan.

Visi Kekaryaan Studio Raja Singa: Mengurai Sejarah - Let Us Learn History for Learning to be a Nation

Berlandaskan sejarah sebagai suatu eksistensi inilah yang mendasari penciptaan karya seni dari Studio Raja Singa. Secara proses kreatif Studio Raja Singa menggali sejarah dalam artian; sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai kisah, dan sejarah sebagai nilai. Dalam makna sejarah sebagai peristiwa, Studio Raja Singa mencari data baik dari sumber teks sejarah yang sudah dibukukan maupun dari cerita rakyat yang sudah berkembang di masyarakat dengan pendekatan wawancara kepada sejarawan ataupun arkeolog serta observasi pada artefak. Sejarah sebagai kisah melihat sebuah kejadian yang sudah terjadi pada masa lampau, yang bisa terulang kembali pada masa sekarang dalam bentuk kisah ataupun catatan atau teks. Menggali sejarah sebagai kisah secara otomatis mempelajari suatu nilai, yakni sesuatu yang dianggap berharga, baik, dan luhur.

Pandangan mereka yang mengangkat sejarah untuk hari ini sangat relevan. Hal ini mengingat kondisi krisis identitas bangsa Indonesia telah menyelimuti kita bersama. Krisis identitas ini dampak dari arus globalisasi yang telah merasuki hampir setiap lini kehidupan dengan muara perubahan budaya Indonesia. Globalisasi ditandai dengan perkembangan teknologi informasi sehingga penyebaran globalisasi tidak berpengaruh dengan batasan geografis. Batas geografis merambat kabur karena pola informasi dan komunikasi dapat dilakukan melalui media sosial dan media massa lewat interconnected network. Internet yang mudah diakses hampir semua orang inilah yang memudahkan penyebaran budaya asing masuk ke Indonesia. Terlebih menurut Robert S. Wyer Jr. dan Rashmi Adaval bahwa banyak dari informasi yang disampaikan di dalam media ditunjukkan untuk menghibur atau merangsang minat…bisa memiliki akibat pada sikap dan kepercayaaan yang dibentuk dari informasi ini dengan cara yang sering kali tidak didasari oleh para menerima dan tidak disengaja oleh komunikator (Shrum (Ed.). 2004:2007).

Dari fenomena krisis identitas secara personal dan bahkan nasional inilah yang menggerakkan Studio Raja Singa menciptakan karya seni dengan tujuan untuk mengajak audiens (warga Indonesia) mengenal kembali identitas nasional yang sudah mendarah daging, menjadi cikal bakal bangsa yang gemah ripah loh

jinawi di bumi Nusantara, yakni Indonesia. Selebihnya mengajak semua untuk

berkesadaran identitas nasional serta berpikir kritis dalam menghadapi arus budaya global. Pandangan penulis, porsi ini menempatkan Studio Raja Singa bagian dari masyarakat dan mempunyai tanggung jawab untuk menggugah berkesadaran sejarah guna menguatkan identitas kepribadian nasional Indonesia.

Seperti ungkapan “masyarakat tidak diciptakan untuk seniman, tetapi seniman untuk masyarakat” (Plekhanov, 2006:1), begitu juga Studio Raja Singa memosisikan diri dalam masyarakat. Mereka mengambil peran aktif argumentatif dalam menyikapi kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis identitas. Jalur kesenian menjadi ujung tombok aktualisasi dari Studio Raja Singa. Dalam seni selain menghadirkan nilai artistik, tujuan penciptaannya berfungsi sebagai media komunikasi. Karya Studio Raja Singa selain sebagai produk estetik, di dalamnya terdapat berbagai informasi objektif, artinya simbol-simbol ataupun metafora yang digunakan tidak bisa lepas dari lingkungan tempat karya tersebut diciptakan.

Pola komunikasi Studio Raja Singa dapat dilihat pada visualisasi berupa simbol yang cukup mudah dipahami bagi masyarakat. Ambil contoh dalam tas ransel ada gambaran kelinci, secara konvensional dapat dipahami sebagai simbol

playboy. Secara metafora dapat dilihat dari orang dewasa memakai tas ransel anak

kecil. Secara psikologi dapat ditafsirkan pada kepribadian manusia yang tidak bisa berkembang. Terhenti pada kesadaran egosentris. Egosentris atau prakonvensional, tahap ini kesadarannya berpusat pada diri sendiri, kecenderungan egois, narsistik, dan susah kompromi dengan luar. Kecenderungan orang yang masih dalam tahap kesadaran ini, mereka belum mampu bersosial, belum dapat berpikir melalui perspektif orang lain, dan belum mampu mengembangkan kepedulian dan kasih sayang yang tulus (Wilber, 2012:50).

Gambar 1 Salah satu detail karya grafis dari Studio Raja Singa, yakni tas bergambar kelinci dengan warna merah muda di dalam karya yang berjudul “The Battle of Menak Jinggo”

Berangkat dari studi kasus tersebut, karya-karya dari Studio Raja Singa pada dasarnya; pertama telah menghadirkan stimulus visual untuk memudahkan

audiens menafsir narasi di baliknya. Dapat dinyatakan pula bahwa salah satu fungsi

seni adalah alat atau sarana untuk komunikasi kepada masyarakat. Selebihnya, karakteristik seni adalah konotasi-konotasi estetiknya. Kedua, seni seringkali disampaikan dalam bentuk padat dan konsentrat daripada komunikasi yang dialami di kehidupan sehari-hari. Ketiga, lokasi atau konteks tempat terjadinya komunikasi artistik seringkali mengindentifikasikan bahwa suatu hal tersebut telah berlangsung (Smiers, 2009:121).