• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK

Pandemi COVID-19 di Indonesia sangat berdampak di bidang sosial, budaya, ekonomi, termasuk kegiatan di medan sosial seni rupa di Indonesia. Kegiatan pameran, yang merupakan aktivitas utama untuk mengaktualisasikan diri perempuan perupa Indonesia, tidak dapat dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses aktualisasi diri perempuan perupa Indonesia selama masa pandemi ini. Perempuan perupa yang menjadi subjek penelitian ini adalah Erica Hestu Wahyuni, Ni Nyoman Sani, Ajeng Martia Saputri, dan Prajna Deviandra Wirata. Perempuan perupa tersebut berasal dari rentang usia yang berbeda, memiliki akun Instagram (IG) yang aktif. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari akun IG mereka. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teori yang digunakan adalah teori aktualisasi diri dari Abraham Maslow dan Teori Distribusi dari Hans van Mannen. Keempat perempuan perupa sampel tersebut merespons situasi ini dengan kreatif memilih tetap aktif memublikasikan karya dalam akun IG. Erica tidak saja menampilkan karya-karya lukisnya, tetapi menampilkan produk masker yang diproduksinya. Ni Yoman Sani menampilkan perubahan subject matter pada periode pandemik ini. Ajeng meluncurkan produk kerajinannya dengan identitas karya sebelumnya. Prajna memadukan antara karya lama dengan karya baru serta menuliskan quotes dalam setiap karya. Konsistensi menampilkan kerja kreatif mereka dan kejelian memilih media daring menjadi kunci untuk tetap mengaktualisasikan diri. Selain itu, nilai estetis karya tetap mereka dipertahankan.

Kata kunci: aktualisasi diri, Instagram, perempuan perupa, pandemi, COVID-19 Ira Adriati Program Studi Seni Rupa, FSRD, ITB, Bandung E-mail: ira.adriati@gmail.com Irma Damajanti Program Studi Seni Rupa FSRD ITB, Bandung E-mail: irmadamajanti23@gmail.com Willy Himawan Program Studi Seni Rupa, FSRD, ITB, Bandung E-mail: willyhim1302@gmail.com

Pendahuluan

Merujuk pada pandangan psikologi humanistik yang menekankan nilai positif manusia, perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri yang seoptimal mungkin demi pengembangan dirinya; sesuatu yang pada akhirnya juga berdampak positif pada pengembangan umat manusia secara umum (Poerwandari, 1995:314). Berdasarkan pemikiran tersebut, perempuan berdasarkan fitrahnya memiliki keinginan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang, salah satunya adalah menjadi perempuan perupa. Keberadaan perempuan perupa Indonesia telah tercatat sejak era Kartini Bersaudara pada tahun 1800-an. Trijoto Abdullah, perempuan pematung adik Basoeki Abdullah yang membuat patung salah satunya tugu AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) (Adriati, 2007:4) merupakan perempuan pematung yang tidak dikenal luas, padahal beliau telah mengaktualisasikan diri sebagai pematung pada era tahun 1950-an (Bianpone, 2007:250). Dalam penulisan sejarah seni rupa Indonesia masih banyak perempuan perupa yang belum tercatatkan proses aktualisasi diri mereka.

Situasi pandemi Covid-19 merupakan situasi luar biasa yang menyebabkan perubahan perilaku dalam masyarakat. Termasuk masyarakat dalam lingkungan medan sosial seni rupa. Salah satu perubahan yang mencolok adalah keterbatasan memublikasikan karya seni baik di ruang pamer galeri maupun ruang alternatif lainnya. Penelitian ini menganalisis proses aktualisasi diri perempuan perupa Indonesia dalam situasi pandemi Covid-19. Sampel dalam penelitian ini adalah Ni Nyoman Sani, Erica Hestu Wahyuni, Prajna, dan Ajeng Martina. Keempat perempuan perupa tersebut berasal dari rentang usia kelahiran tahun 1970-an hingga kelahir1970-an tahun 1990-1970-an. Keempat perempu1970-an perupa tersebut merupakan perempuan perupa yang memiliki media sosial Instagram (IG). Hal ini untuk melihat bagaimana perempuan perupa tersebut mengikuti perkembangan teknologi digital dan terhubung secara global.

Teori dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan beberapa teori, yaitu teori aktualsiasi diri dari Abraham Maslow yang kemudian sudah diolah menjadi proses aktualisasi perempuan perupa Indonesia dalam disertasi Adriati 2010. Teori lain yang digunakan adalah teori The Primary Process of Art Distribution dari Hans van Mannen 2009.

Melalui bagan Proses Aktualisasi Diri Perempuan Perupa terlihat tahapan proses mencapai aktualisasi diri. Perempuan perupa menentukan konsep diri mereka sebagai perupa, dilanjutkan dengan motivasi, kreativatas, hingga akhirnya menemukan originalitas. Di sisi lain mereka mengasah kemampuan teknik, kemampuan mengolah medium, hingga menemukan visualisasi yang khas milik mereka atau idiolek dari masing-masing perupa. Di bagian lain mereka menentukan tema yang akan divisualisasikan. Proses tersebut yang terjadi dalam personal perempuan perupa.

Gambar 1 Proses Aktualisasi Diri Perempuan Perupa Sumber: Adriati, 2010

Karya-karya yang mereka hasilkan kemudian dipublikasikan atau didistribusikan dalam medan sosial seni rupa. Umumnya karya-karya mereka didistribusikan atau dipamerkan di galeri-galeri dan ruang publik lainnya. Berdasarkan teori Hans van Mannen dijelaskan bahwa proses distribusi tersebut sangat bergantung pada pengaturan dari penyelenggara/progammer kegiatan setelah menganalisis audiens atau apresiator yang menghadiri kegiatan tersebut. Melalui teori tersebut, karya perempuan perupa dapat dipamerkan seandainya sesuai dengan kebutuhan audiens. Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan karya-karya perempuan perupa terpinggirkan.

Gambar 2 Proses Utama dari Distribusi Karya Seni Sumber: Mannen, 2009

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pustaka dan arsip, khususnya mengambil data dari sosial media Instagram (IG) yang dimiliki oleh perempuan perupa sampel.

Hasil dan Pembahasan

Perempuan perupa sampel penelitian ini adalah Ni Nyoman Sani, Erica Hestu, Ajeng Martina, dan Prajna. Erica Hestu Wahyuni adalah perempuan perupa kelahiran Yogyakarta, 1971, menempuh Pendidikan di Institut Seni Yogyakarta dan Surikov Intitute of Art Russia. Ni Nyoman Sani merupakan perempuan perupa kelahiran Bali, 10 Agustus 1975 yang memperoleh pendidikan di Institut Seni Indonesia Bali. Dikenal melalui karya-karya lukisnya. Ajeng Martia Saputri perempuan kelahiran Semarang, 30 Desember 1992 menempuh Pendidikan pada Program Studi Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung. Prajna Dewantara Wirata perempuan kelahiran 14 Agustus 1992, menempuh pendidikan pada Program Studi Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung.

Perempuan perupa sampel tersebut memiliki prestasi dalam bidang seni rupa. Karya-karya Erica Hestu menjadi koleksi dari berbagai kolektor dengan ciri khas karya dengan visualisasi naif layaknya karya anak-anak. Jika menggunakan teori aktualisasi, Erica Hestu Wahyuni telah sampai pada puncak aktualisasi diri. Karya-karyanya telah memperlihatkan kekhasannya atau dia telah memiliki ideoleknya sendiri. Di medan sosial seni rupa, karya-karyanya telah memiliki audiensnya tersendiri sehingga sering mengikuti pameran-pameran baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pada situasi pandemi Covid-19 ini dia memanfaatkan media sosial IG secara optimal. Erica selalu memublikasikan karya-karya bersamaan dengan kampanye berkaitan dengan prosedur penggunaan masker selama pandemi ini. Di sisi lain dia membuat keragaman produk, yaitu membuat produk-produk fungsional seperti masker, kotak makanan, serta membuat kue kering menjelang perayaan Lebaran.

Gambar 3 IG Erica Hestu Wahyuni Sumber: IG Erica Hestu Wahyuni

Ni Nyoman Sani selama ini aktif di IG-nya, dalam situasi pandemi Covid-19 dia justru mengganti subjek lukisannya dari tema figur-figur perempuan menjadi still-life buah-buahan dan bunga. Sani memanfaatkan media IG untuk memberikan penjelasan atau talk-show berkaitan dengan karya-karya barunya. Hal itu mendekatkan posisi seniman dengan audiensnya.

Gambar 4 IG Ni Nyoman Sani Sumber: IG Ni Nyoman Sani

Ajeng Martia Saputri pada saat pandemi Covid-19 memperkenalkan produk kriya yang diambil dari karyanya. Ia membuat organ-organ tubuh manusia yang dibuat dari resin untuk digunakan sebagai kalung. Pada saat pandemi, Ajeng melangsungkan pernikahannya.

Gambar 5 IG Ajeng Martia Saputri Sumber: IG Ajeng Martia Saputri

Prajna Dewantara Wirata aktif menggunakan akun IG-nya untuk memublikasikan karya-karya dan aktivitasnya. Dia juga menggunakan IG story dalam memaparkan karya-karya sebelumnya. Dalam situasi ini dia bekerja sama dengan Museum MACAN bergabung dalam kegiatan Arisan Artis sehingga karyanya dapat terjual/didistribusikan kepada kolektor.

Pemaparan tersebut memperlihatkan bahwa beberapa perupa seperti Erica yang telah berada di puncak aktualisasi dirinya, kembali mencari ruang aktualisasi baru dengan menjual produk selain karya seninya, meskipun dia masih menggunakan karya-karyanya menjadi bagian dari produk kriya yang dijualnya. Sebagai contoh dia menjual produk masker dengan menggunakan lukisan atau ikon-ikon khas karya Erica. Demikian pula produk kuenya dikemas sedemikian rupa sehingga tetap menggunakan produk dengan lukisan karya Erica, yaitu membungkus keler kue dengan bandana bermotif lukisannya.

Erica menjadi salah satu contoh perempuan perupa yang memiliki kreativitas tinggi untuk membuat diversifikasi produknya. Dia tidak pernah merasa puas dengan pencapaiannya sehingga memikirkan bentuk aktualisasi diri selain dari karya seni yang selama ini dikenal orang. Dari segi ekonomis, dia cermat melihat pasar dalam kondisi pandemi ini cukup sulit kolektor membelanjakan dananya untuk membeli karya seni karena perekonomian yang menurun. Erica mampu mempertahankan kesinambungan keuangannya dengan membuat produk-produk kriya yang terjangkau.

Ni Nyoman Sani menjadi perempuan perupa yang berani mengubah idiolek atau ciri khas dirinya dengan kembali melukis objek-objek keseharian dalam

still-life. Dengan kemampuan tekniknya yang tinggi, dia mampu memperlihatkan

keunikan dari karya lukis dengan objek barunya. Dia mengontraskan objek dengan latar belakang yang hitam sehingga terlihat unik dan lebih dramatis.

Sani tidak masuk ke wilayah kriya atau diversifikasi produk, tetapi dia mencoba membuat video dirinya yang menjelaskan karya-karya terbarunya. Hal ini mendekatkan dia dengan audiensnya. Di sisi lain dalam IG-nya dia memperlihatkan tahapan-tahapan proses melukisnya sehingga secara tidak langsung dia telah mengedukasi audiens untuk mempelajari teknik melukisnya.

Ajeng dalam situasi pandemi ini sepertinya tidak berambisi untuk membuat karya-karya seni yang layak dipamerkan atau mengikuti kompetisi seni rupa. Dia mengembangkan produk kriya dari objek-objek karyanya selama ini, yaitu organ tubuh manusia. Dia membuat organ tubuh dengan beragam warna-warni sehingga berkesan lucu. Kemudian dia menjadikannya sebagai gantungan kunci atau sebagai kalung.

Prajna sangat konsisten memperkenalkan karya-karyanya melalui IG. Dia berulang kali memperlihatkan karya-karya lama dan barunya. Dalam situasi pandemi, Prajna tidak mengubah gaya visualisasi karyanya. Meskipun demikian, IG-nya tidak terfokus untuk memublikasikan karyanya, melainkan berbaur dengan

ekspresinya sebagai personal. Prajna merupakan perupa yang memanfaatkan fasilitas IG Story yang berdurasi 24 jam. Berbaur antara pengalaman personal dengan publikasi karya-karyanya. Melalui IG Story-nya orang dapat mengetahui bahwa dia mengikuti kegiatan arisan karya di Museum MACAN. Karyanya kemudian dimiliki oleh kolektor. Secara detail Prajna menjelaskan bagaiman karyanya yang berhasil dimiliki kolektor, dikemas, kemudian siap dikirim. Bagaimana dia mendeskripsikan proses tersebut secara tidak langsung pengikut IG-nya merasa dekat dengan kehidupan senimannya.

Berdasarkan semua aktivitas perempuan perupa sampel, jika dianalisis dengan menggunakan bagan Van Mannen (2009) terlihat pergeseran posisi programming tidak lagi bergantung kepada seseorang atau lembaga tertentu, tetapi ada di tangan perempuan perupa tersebut. Hal ini di satu sisi sangat menguntungkan bagi perempuan perupa karena mereka memiliki kuasa dalam mengorganisasi IG personal mereka. Di sisi lain mereka tidak dapat memfokuskan audiensnya, artinya pengikut atau audiensnya sangat acak dan belum tentu mereka senang atau penikmat karya seniman tersebut. Keuntungan lain dari segi marketing perupa dapat langsung bertemu dengan konsumen atau kolektor tanpa ada pemotongan dari pihak ruang pamer atau galeri. Hanya saja mereka harus melengkapi diri dengan keterampilan manajerial dan marketing.

Gambar 7 Perubahan Peran Perempuan Perupa dalam Proses Distribusi Sumber: Penulis

Simpulan

Simpulan yang dapat diambil dari proses analisis memperlihatkan bahwa perempuan perupa tersebut tidak terkendala dengan situasi pandemi Covid-19. Mereka telah menyadari situasi pada era digital sehingga telah memiliki akun IG

sebelum terjadi pandemi sehingga ketika terjadi pembatasan, mereka langsung mengalihkan distribusi menjadi online. Keuntungan lain mereka tidak bergantung pada programmer atau pemilik ruang publik karena mereka dapat mengatur atau memanajemen dirinya sendiri. Bagi perkembangan sejarah seni rupa Indonesia, situasi ini memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri di dunia maya/global tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Referensi

Adriati, I. 2007. Mencari Perempuan Perupa Dunia. Bandung: Petik.

---. 2010. “Aktualisasi Diri Perempuan Perupa Indonesia”. Disertasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Bianpone, C. et.al. 2007. Indonesian Women Artits: The Curtain Opens. Jakarta: Yayasan Seni Rupa Indonesia.

Mannen, H. 2009. How to Study Art Worlds: on the social functioning of aesthetic

values. Amsterdam: Amsterdam university Press.

Poerwandari, E.K. dalam Sadli. 1995. Aspirasi Perempuan Bekerja dan Aktualisasinya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dr. Ira Adriati, M.Sn, lahir di Bandung, 23 September 1970. Menyelesaikan Pendidikan S-1 Seni Murni, FSRD, ITB – cum laude (1994); S-2 Magister Seni Rupa FSRD, ITB (1997); dan S-3 Ilmu Doktor Seni FSRD, ITB – cum laude (2010). Menjadi staf Pengajar Prodi Seni Rupa, FSRD, ITB 1995 – saat ini. Beberapa buku dan kegiatan penelitian yang telah ditulis adalah Kajian Estetika Budaya Bahari Nusantara (2016), Perahu Sunda (2005), Mencari Perempuan Perupa Indonesia (2007), Lentera Makna: Seni Rupa di Mata Prempuan Pengajar (2017), Perempuan Hari Ini: Peran dan Keseharian dalam Budaya Visual Indonesia (2017), Tapak Seni Rupa Nusantara (2019), Jelajah Seni Nusantara:Cirebon (2019), Therapheutic Art (2019), dan Wellbeing Dech (2020).

Dr. Irma Damajanti, M.Sn., lahir di Bandung, 23 November 1970. Memperoleh gelar Sarjana Seni, cum laude (1994), Magister Seni (1999), dan Doktor Ilmu Seni (2015) di Institut Teknologi Bandung. Mengajar di Program Studi Seni Rupa, ITB. Mengikuti pelatihan Theoretical Museology di Reinwardt Academy, Belanda (1997), dan menjadi trainer 7 Habits of Highly Effective People Signature berlisensi dari Franklin Covey Organization Service (2012). Menjadi fasilitator dan anggota tim penyusun materi soft skills training “Strategi Menjadi Pribadi Efektif (SMPE)” untuk mahasiswa baru ITB. Karya

tulis yang sudah terbit antara lain buku Psikologi Seni (2006), dan “Reading The Personal Aesthetic Codes of Heri Dono” dalam buku The World and I: Heri Dono’s Art Odyssey (2014), Lentera Makna: Seni Rupa di Mata Prempuan Pengajar (2017), Therapheutic Art (2019), dan Wellbeing Dech (2020).

Dr. Willy Himawan, M.Sn. lahir di Denpasar, 13 Februari 1983, saat ini tinggal di Bandung. Willy menyelesaikan pendidikan S-1, S-2, dan S-3 (cum laude) di ITB. Mengajar di Program Studi Seni Rupa, FSRD, ITB dan tergabung dalam Kelompok Keilmuan Seni Rupa ITB. Selain mengajar, Willy yang asli Bali juga aktif berpameran di dalam dan luar negeri sejak 2002 hingga kini. Beberapa karyanya telah dikoleksi oleh seperti, Museum GAFA of Guangzhou, Ratchadamnoen Contemporary Art Centre di Thailand, ASEAN COCI, Grand Indonesia Kempinsky, dan Museum ARMA Bali.