• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa

BAB V PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN

5.3 Pembahasan

5.3.3 Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa

Kearifan lokal kesantunan berbahasa merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dalam berinteraksi dalam masyarakat. Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku,

baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan smenjawab berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh ketidaksantunan dalam berbahasa. Etika yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kermudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Sikap-sikap kearifan yang tersirat dalam kesantunan berbahasa pada masyarakat Pasisi Barus adalah: 1) Sikap menghindari perselisihan, dan 2) sikap tenggang rasa.

1) Sikap Menghindari Perselisihan

Penggunaan bahasa yang dianggap tidak santun sering kali menjadi pemicu perselisihan antar individu maupun kelompok. Kesantunan yang ditunjukkan masyarakat Pasisi Barus dalam berbahasa dalam berinteraksi di ranah keluarga dan tetangga mengandung kearifan yang tersirat dalam pemilihan strategi kesantunan yang selalu berupaya menghindari perselisihan. Misalnya dalam hal menolak suatu perintah atau permintaan mitra tutur. Tindak tutur menolak sangat rentan

menimbulkan perselisihan antara penutur dan mitra tutur sebab keterancaman muka yang diakibatkan oleh tindak tutur ini sangat besar. Ketersinggungan mitra tutur akibat penolakan penutur cenderung menyebabkan konflik yang pada akhirnya dapat menyebabkan perselisihan.

Sebagai contoh dalam menjalani kehidupan sehari-hari, saat dalam situasi menolak permintaan yang datang dari orang-orang di sekeliling, baik itu anggota keluarga, saudara maupun teman. Tidak ada satu cara terbaik pun dalam menolak permintaan seseorang karena hal tersebut dapat menjatuhkan ‘muka’ orang tersebut. Mengenai hal ini masyarakat Barus memiliki prinsip sebagai berikut: Iyokan nan di urang, lalukan nan di awak. (‘Iyakan yang dikatakan orang, lakukan yang kita inginkan’). Maksud kalimat tersebut adalah jangan menolak apa yang dikatakan/disuruh penutur di depannya, walaupun apa yang dikatakan tidak sesuai dengan keinginan. Namun pada kenyataannya petutur tetap melakukan hal yang sesuai keinginannya. Prinsip tersebut bisa dipandang positif maupun negatif. Sisi positifnya adalah maksud untuk menghindari perselisihan secara langsung karena menolak permintaan sudah pasti akan mengecewakan pihak yang mengharapkan permintaan tersebut dipenuhi. Namun prinsip tersebut dapat juga dipandang negatif karena orang tersebut bisa saja dianggap tidak tegas atau tidak menepati janji. Menolak apa yang diperintahkan atau diminta penutur secara langsung di depannya cenderung menyebabkan ketersinggungan yang lebih besar daripada jika perintah atau permintaan tersebut disetujui dengan kata-kata walaupun sebenarnya tindakan yang diharapkan penutur tidak dapat dikabulkan oleh mitra tutur.

Tindak tutur meminta dan memerintah juga sangat rentan menyebabkan perselisihan jika tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa. Sehingga perlu adanya kesantunan berbahasa untuk mengurangi keterancaman wajah mitra tutur.yang diakibatkan oleh perintah penutur tersebut. Sebagaimana yang ditunjukkan pada contoh tuturan berikut:

Kok indak litak, Ang, tolong dulu pindakan lamari ketek tu ka kamar Aya.

‘Kalau kamu tidak capek, tolong pindahkan lemari kecil itu ke kamar Ayah’.

Kesantunan berbahasa yang direalisasikan dengan konstruksi kalimat berpagar berupa klausa konjungsi subordinatif Kok indak litak, Ang (kalau kamu tidak capek) menunjukkan bahwa penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur dan tidak memaksakan kehendaknya. Konstruksi berpagar tersebut juga menunjukkan perhatian penutur kepada mitra tutur dan memberi kesan bahwa penutur sangat menghargai mitra tutur.

Selanjutnya kearifan lokal yang dapat dijelaskan dari pertuturan berikut: Upaya menghindari perselisihan juga ditunjukkan pada tindak tutur meminta berikut:

Indak di Uning lai blender ko?

‘Tidak Uning pakai lagi blender ini?’

Ungkapan meminta kembali barang yang sebelumnya dipinjam oleh tetangga penutur itu memberikan kesan santun sebab penutur berusaha mengurangi keterancaman muka mitra tutur yang seharusnya mengembalikan barang yang

dipinjam sebelum diminta. Penutur menggunakan kalimat tuturan yang tidak secara langsung meminta barang tersebut namun menanyakan apakah barang tersebut tidak dipakai lagi.

Tuturan-tuturan yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam berinteraksi dengan keluarga dan tetangga mengandung kearifan untuk lebih mengutamakan kesepakatan. Masyarakat ini cenderung lebih memilih menyetujui hal yang semula berlawanan dengan yang dia kehendaki dengan maksud untuk menyenangkan mitra tutur. Mereka cenderung mentolerir kerugian yang mereka alami demi keuntungan mitra tutur. Namun jika ternyata ketidaksepakatan tidak dapat dihindari, mereka cenderung memilih strategi-strategi yang menunjukkan kesantunan untuk mengurangi keterancaman muka akibat ketidaksepakatan tersebut. Contoh tuturan yang menunjukkan sikap kearifan ini dapat dilihat pada tuturan menolak usul berikut: A : Naik kareta sajo la kito, Ning.

‘Kita naik sepeda motor saja, Ning.’ B : Bajalan sajo la. Dakkek anyo.

‘(Kita) jalan kaki saja. Dekat kok.’ A : Jadila kok baitu.

‘Baiklah kalau begitu.’

Sikap yang ditunjukkan pada pertuturan di atas adalah upaya penutur A yang mengutamakan kesepakatan walaupun hal tersebut, dalam konteks pertuturan di atas, cenderung merugikan dirinya akibat tuturan mitra tutur yang menolak keinginan penutur A untuk pergi bersama dengan sepeda motor. Penutur menunjukkan sikap menghindari perselisihan yang sekaligus mengutamakan kesepakatan dengan menyetujui keinginan mitra tutur untuk pergi jalan kaki.

Kearifan lokal masyarakat Pasisi Barus yang tersirat dalam sikap mengutamakan kesepakatan merupakan perwujudan nilai lokal (local value) yang mampu menciptakan harmoni dan solidaritas sosial dalam masyarakat tersebut dan saat berinteraksi dengan masyarakat lain.

2) Sikap Tenggang Rasa

Masyarakat Pasisi Barus juga hidup berdampingan dengan pendatang yang berasal dari berbagai suku seperti Minang, Mandailing, Madura dan lain-lain. Masyarakat pasisi Barus memandang keharmonisan sosial sebagai perwujudan dari kepekaan warganya untuk saling memahami dan mengerti perasaan masing-masing, yang dapat dirumuskan dalam wujud saling tenggang rasa. Sikap tenggang rasa ditunjukkan dalam interaksi sehari-hari dalam ranah keluarga dan lingkungan masyarakat.

Kearifan yang terkandung dalam sikap tenggang rasa ini ditunjukkan dengan strategi-strategi kesantunan dalam berbahasa yang mengutamakan untuk tidak menyinggung perasaan mitra tutur layaknya mempertimbangkan perasaan sendiri. Sikap tenggang rasa didasari dengan rasa tidak ingin melukai perasaan orang lain atau menghindarkan kata-kata yang dapat melukai perasaan mitra tutur atau orang yang mendengar tuturan tersebut.

Orang-orang tua pada masyarakat Pasisi Barus juga juga mengajarkan sikap tenggang rasa kepada generasi muda dengan tuturan penolakan dengan maksud tidak ingin memberatkan dan menyusahkan orang lain, dengan kata lain mengutamakan keuntungan orang lain. Hal ini ditunjukkan pada contoh pertuturan berikut:

A : Pulang, Angku? Antekkanla, Kuti. Mau pulang, Angku? Antarkanlah, Kuti. B : Angku sajo.

(Biar) Angku saja.

C : Talok anyo sorang Angku?

Apa bisa Angku (pulang) sendirian. B : Dak mangapo.

Tidak apa-apa.

Sikap yang mengutamakan keuntungan orang lain dan mengutamakan kerugian pada diri sendiri menunjukkan sikap tenggang rasa kepada orang lain. Orang lain yang menjadi mitra tutur pada pertuturan di atas juga menunjukkan sikap tenggang rasanya dengan rasa peduli kepada mitra tutur yang dalam konteks pertuturan di atas akan pulang dengan berjalan kaki. Rasa peduli dengan berusaha memberikan keuntungan mitra tutur dengan menawarkan untuk mengantarkannya dengan naik sepeda motor menunjukkan sikap tenggang rasa yang menjadi salah satu kearifan dalam budaya masyarakat tersebut.

Dokumen terkait