KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN
BERBAHASA PADA MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN
BERBAHASA PADA MASYARAKAT
BARUS
TESIS
Oleh:
YENNY PUSPITA SARAGIH 117009028/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN
BERBAHASA PADA MASYARAKAT
PASISI
KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN
BERBAHASA PADA MASYARAKAT
PASISI
BARUS
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program
Studi Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
YENNY PUSPITA SARAGIH 117009028/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat
Pasisi Barus
Nama Mahasiswa : Yenny Puspita Saragih
Nomor Pokok : 117009028
Program Studi : Linguistik
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S)
Ketua (Dr. Nurlela, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D)
Dekan,
(Dr. Syahron Lubis, M.A)
Telah diuji pada tanggal 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua Anggota
: :
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S 1. Dr. Nurlela, M.Hum
PERNYATAAN
Judul Tesis
KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA
MASYARAKAT
PASISI
BARUS
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini
bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Agustus 2013
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.
ABSTRACT
This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang sekaligus juga sebagai Dosen Penguji I pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penyusunan tesis ini.
4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran serta memotivasi dan membantu dalam penyusunan tesis ini.
5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan banyak sekali masukan dan saran, serta memotivasi dan membantu penulis dalam penulisan tesis ini. 6. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, Ph.D selaku dosen penguji pada ujian
7. Ibu Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku dosen penguji pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penulisan tesis ini
8. Seluruh dosen pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
9. Orang tua penulis, H. Abdullah Saragih dan Nursiah serta saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang.
10.Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu bersama-sama.
11.Kepala Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib Darur Rachmad Sibolga yang telah memberi ijin meninggalkan tugas saat proses ujian-ujian berlangsung. 12.Rekan-rekan guru dan staf tata usaha di Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib
Darur Rachmad Sibolga yang telah membantu untuk menggantikan tugas penulis saat meninggalkan tugas mengajar.
13.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin
Medan, Agustus 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama Lengkap : Yenny Puspita Saragih, S.Pd Jenis Kelamin : Wanita
Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 15 Januari 1981 Alamat Rumah : Jalan Aso-Aso No. 73
Kelurahan Pancuran Pinang Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga, Sumatera Utara Nomor HP : 081376251251
Agama : Islam
II. Riwayat Pendidikan
SD : SD Negeri 084086 Kota Sibolga Lulus Tahun 1992
SMP : MTs Swasta Darur Rachmad Kota Sibolga Lulus Tahun 1996
SMA : SMA Negeri 3 Kota Sibolga Lulus Tahun 1999
S1 : Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan Lulus Tahun 2003
DAFTAR ISI
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 47
3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Tengah ... 47
3.1.1 Geografi Kabupaten Tapanuli Tengah ... 47
3.1.2 Demografi Kabupaten Tapanuli Tengah ... 49
3.1.3 Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah ... 51
3.2 Barus Sebagai Wilayah Bahasa Pesisir ... 55
3.3 Penutur Bahasa Pasisi ... 60
BAB IV METODE PENELITIAN ... 67
4.1 Jenis Penelitian ... 67
4.2 Lokasi Penelitian ... 67
4.3 Data dan Sumber Data ... 67
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 68
4.5 Metode Analisis Data ... 69
BAB V PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN ... 73
5.1 Pendahuluan ... 73
5.2 Paparan Data ... 73
5.2.1 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menolak ... 73
5.2.2 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Meminta ... 80
5.2.3 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Memerintah ... 83
5.2.4 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Melarang ... 86
5.2.5 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menawarkan ... 87
5.3 Pembahasan ... 88
5.3.1 Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ... 88
5.3.2 Pola Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ... 108
5.3.3 Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ... 113
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 120
5.1 Simpulan ... 120
5.2 Saran ... 121
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1 Jumlah dusun/lingkungan menurut desa/kelurahan ... 31
5.1 Strategi Kesantunan Memberi Alasan Pada Tindak Tutur Menolak ... 68
5.2 Strategi Kesantunan Meminta Maaf Pada Tindak Tutur Menolak ... 71
5.3 Strategi Kesantunan Berterima Kasih Pada Tindak Tutur Menolak ... 72
5.4 Strategi Kesantunan Menunda Pada Tindak Tutur Menolak ... 73
5.5 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Menolak .. 74
5.6 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Meminta ... 75
5.7 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis Pada Tindak Tutur Meminta ... 75
5.8 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung
Pada Tindak Tutur Meminta ... 76
5.9 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan
Pada Tindak Tutur Meminta ... 77
5.10 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar
Pada Tindak Tutur Memerintah ... 78
5.11 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis
Pada Tindak Tutur Memerintah ... 78
5.12 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung
Pada Tindak Tutur Memerintah ... 79
5.13 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan
5.14 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan
Pada Tindak Tutur Melarang ... 81
5 15 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak langsung
Pada Tindak Tutur Melarang ... 82
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff ... 18
2.2 Skala Kesantunan Leech ... 21
2.3 Skala Kesantunan Brown & Levinson ... 26
2.4 Rangkuman Kerangka Teori ... 27
2.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 42
3.1 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah ... 44
3.2 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah Berdasarkan Kecamatan ... 45
3.3 Perbandingan jumlah penduduk kabupaten Tapanuli Tengah di rinci menurut kecamatan tahun 2011 ... 46
3.4 Lambang Kabupaten Tapanuli Tengah ... 49
3.5 Peta Kecamatan Barus ... 55
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Biodata Informan dan Transkripsi Dialog ... 126
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.
ABSTRACT
This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Bahasa yang pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi untuk saling
bertukar informasi, juga menjadi perekat hubungan antara pembicara dan pendengar.
Untuk dapat merekatkan hubungan antara pembicara dan pendengar dalam suatu
peristiwa tutur, penutur dan petutur diharapkan menggunakan bahasa yang santun.
Dengan menggunakan bahasa yang santun, kemungkinan terjadinya konflik akan
semakin kecil sehingga perselisihan yang saat ini semakin marak kita saksikan baik di
televisi maupun di lingkungan sekitar kita dapat dihindari dan suasana damai akan
lebih mendominasi kehidupan ini.
Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas
berkaitan dengan fenomena di masyarakat Indonesia terutama di bidang politik yang
terjadi sejak lepas dari masa orde baru dan beralih ke masa reformasi. Masa reformasi
yang telah berjalan hampir 15 tahun ini ditandai dengan uforia kebebasan berbicara
oleh masyarakat Indonesia. Uforia kebebasan berbicara yang terkadang tak lagi
menghiraukan kesantunan itu dapat dilihat pada suasana unjuk rasa, acara diskusi dan
debat di televisi, bahkan di ruang sidang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Akibatnya tak jarang kita saksikan terjadi konflik antara dua orang yang
berseberangan pendapat yang dijadikan narasumber dalam suatu acara di televisi atau
perang mulut antar anggota DPR yang terkadang juga berakhir anarkis. Hal-hal
kesantunan dalam berkomunikasi. Tawuran pelajar hingga memakan korban jiwa
juga sering dipicu oleh komunikasi yang tidak santun antara seorang siswa dengan
siswa lain yang akhirnya melebar menjadi konflik antarsekolah.
Fenomena berbahasa yang terlihat saat ini sangat membuat miris perasaan.
Tayangan televisi didominasi oleh acara-acara yang mempertontonkan orang-orang
yang menggunakan bahasa yang tidak santun, sehingga tidak jarang terlihat dua
narasumber yang berseberangan pendapat saling memotong pembicaraan, berebut
kesempatan untuk memberikan pendapatnya masing-masing. Fenomena seperti ini
dinilai kurang santun`karena tidak mengikuti pola giliran yang dianjurkan oleh
Ketidaksantunan dalam berbahasa yang terjadi di masyarakat cenderung
dilakukan oleh remaja. Contoh tuturan yang menunjukkan ketidaksantunan berbahasa
berikut ini adalah tuturan seorang siswa yang merasa tidak terima dengan hukuman
yang diberikan salah seorang guru kepadanya.
A: Elok-elok muncung Bapak tu mangeccek.
(Bagus-bagus muncung Bapak kalau berbicara)
Kata muncung yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘mulut’ namun
merupakan kata yang sangat tidak santun dan kasar jika digunakan dalam pertuturan
formal di sekolah, apalagi jika tuturan tersebut dituturkan oleh seorang siswa yang
terhadap guru. Kata-kata yang tidak santun yang dituturkan oleh siswa tersebut pada
contoh tuturan di atas sangat memungkinkan memicu konflik yang besar jika saja
sang bapak guru tidak dapat menahan emosi. Di sinilah terjadinya penggunaan
kekerasan terhadap siswa tersebut, yang kemudian si siswa mengadukan kepada
dulu latar belakang terjadinya peristiwa tersebut, terjadilah konflik yang melebar
hingga melibatkan aparat polisi.
Media jejaring sosial di dunia maya, seperti twitter dan facebook yang saat ini
sangat digemari oleh masyarakat dunia terutama generasi muda, juga menunjukkan
fenomena yang tidak jauh berbeda dari yang disaksikan di televisi. Fenomena
penggunaan bahasa yang tidak santun di media jejaring sosial bahkan dapat dikatakan
lebih parah jika dibandingkan dengan di televisi. Sering kali terjadi pengguna media
ini menuliskan kata-kata yang penuh caci-maki di akun facebook atau twitternya,
yang terkadang ditujukan langsung kepada orang yang dimaksud, atau tanpa
menyebutkan secara eksplisit nama orang yang dituju. Komentar-komentar orang
yang berseberangan pendapat terhadap suatu berita di situs berita online juga
menggunakan bahasa yang jauh dari kata-kata santun, apalagi jika topik berita
menyangkut masalah SARA.
Ironisnya, sebagian masyarakat semakin permisif dalam menanggapi masalah
ketidaksantunan berbahasa ini dengan dalih perkembangan zaman akibat modernisasi
dan globalisasi sehingga terjadi pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran
kesantunan dalam berbahasa.
Untuk itulah masalah kesantunan berbahasa perlu diangkat dan dibahas dalam
topik penelitian ini agar hasil penelitian ini dapat menyumbang pemikiran kepada
masyarakat untuk peka mengenai masalah ketidaksantunan berbahasa bagi kaum
muda yang lebih sering mengabaikan hal ini.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan satu
budaya penutur bahasa tersebut sebab bahasa hanya mempunyai makna dalam latar
kebudayaan yang menjadi wadahnya (Sibarani, 2004: 65). Seperti kata kepeng
memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan antara bahasa Pesisir yang
penuturnya terdapat di Sibolga dan sebagian Tapanuli Tengah (Sumatera Utara)
dengan bahasa Minangkabau (Sumatera Barat). Dalam bahasa Pesisir kata kepeng
bermakna ‘uang’ atau ‘duit’ sedangkan bagi masyarakat Minang kata tersebut
merupakan kata yang tabu diucapkan sebab kata tersebut merujuk pada organ tubuh
yang lazim ditutupi oleh pakaian sehingga tidak sopan diucapkan di depan orang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada
diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu
mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping
mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya
akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Selain budaya, faktor- faktor sosial seperti
status sosial, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan juga mempengaruhi
pembentukan kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa dalam suatu masyarakat tertentu berbeda dengan
masyarakat lainnya. Sebab, seperti telah disinggung sebelumnya, bahasa erat
kaitannya dengan budaya.
Kesantunan berbahasa dalam bahasa rakyat (folk speech) sebagai bagian dari
kebudayaan daerah di nusantara ini merupakan salah satu wujud dari tradisi lisan
yang selayaknya ditumbuhkembangkan untuk menemukan kembali
pedoman-pedoman leluhur yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tersebut. Melalui
menggali kearifan lokal yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tutur tersebut
untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan
bangsa saat ini yang tak lepas dari ancaman disintegrasi akibat terjadinya
konflik-konflik sosial yang salah satu penyebabnya adalah hilangnya nilai-nilai kesantunan
berbahasa dalam berkomunikasi.
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan keragaman kebudayaan yang
sering dijadikan ladang penelitian. Keragaman kebudayaan ini biasanya dimiliki oleh
suku-suku minoritas yang tinggal di pedalaman dan pedesaan di wilayah nusantara
ini. Dalam masing-masing keragaman kebudayaan ini terdapat nilai-nilai luhur yang
masih tetap dipertahankan dan menjadi kearifan lokal bagi masyarakat pemilik
kebudayaan tersebut.
Penggalian kearifan lokal dalam suatu kebudayaan memiliki arti penting
dalam upaya untuk keberlanjutan kebudayaan tersebut. Terlebih lagi di tengah
modernisasi yang disebabkan oleh globalisasi menjadi penyebab bergesernya
nilai-nilai budaya lokal yang berganti dengan budaya asing yang berkembang begitu pesat
di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun di
pedesaan.
Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli
suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan
kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 112). Sejaln dengan pernyataan Sibarani di
atas, kearifan lokal digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk
kedamaian dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya
Kearifan lokal dalam suatu kebudayaan digali melalui nilai-nilai budaya yang
hanya dapat disimpulkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia
yang diwariskan secara turun temurun. Namun nilai-nilai tersebut hanya dapat
diperoleh pada masyarakat yang masih kokoh mempertahankan tradisi yang
jumlahnya semakin sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang mengalami
pergeseran nilai-nilai sebagai akibat dari modernisasi.
Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat ini tetap bertahan ditengah
gencarnya ancaman budaya luar yang begitu mudah mempengaruhi masyarakat
terutama generasi muda melalui media televisi dan internet yang menjadi imbas dari
globalisasi informasi dan modernisasi. Pemertahanan nilai-nilai dalam kebudayaan ini
biasanya melalui proses pewarisan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah
masyarakat pemilik kebudayaan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka.
Dari pengamatan penulis, kesantunan berbahasa saat berkomunikasi masih
terlihat dalam interaksi pergaulan sehari-hari masyarakat Barus, Kabupaten Tapanuli
Tengah. Berikut adalah percakapan saat seorang ibu menyuruh kepada anak laki-laki
tertuanya untuk memperbaiki atap rumah dan percakapan antara dua tetangga.
1. Ibu : Talok kuti mamparekkikan atok kito tu? ‘Bisa kuti memperbaiki atap
(rumah) kita?
(Kuti adalah panggilan untuk anak laki-laki tertua dalam keluarga)
Anak : Jadi. Sabanta lai yo mak. “Ya. Sebentar lagi bu’.
2. A: Jadi pai ka Medan barisuk? ‘jadi pergi ke Medan besok?’
Ado tampek-tampek makkan maccam etek Ana. Di medan katonyo dibalinyo.
B: Bekko la kok sampat ambo carikan. ‘Kalau sempat saya nanti saya cari.’
Pada percakapan pertama, kalimat suruhan atau perintah yang seharusnya
bermodus imperatif, tetapi dalam realisasinya si ibu menggunakan kalimat pertanyaan
atau interogatif. Pertanyaan tersebut juga menyiratkan bahwa si ibu memberikan
pilihan kepada si anak apakah ia mau melakukan yang diperintahkan atau tidak. Hal
ini menunjukkan kesantunan berbahasa walaupun jelas-jelas yang disuruh adalah
anaknya sendiri. Dalam hal ini si ibu juga menunjukkan kearifan kepada sang anak
untuk membiasakan diri bersikap santun.
Kesantunan yang ditunjukkan B dalam percakapan kedua adalah dengan
menjanjikan hal yang belum tentu dapat ia lakukan. Hal ini dilakukan hanya untuk
menyenangkan hati A. Untuk meminta B melakukan hal yang diinginkannya, A tidak
secara langsung mengutarakan maksudnya meminta B untuk membelikan suatu
barang.
Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menemukan dan menggali
kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang
disimpulkan dan ditafsirkan dari bahasa tutur masyarakat tersebut. Barus merupakan
salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara, yang
menurut para sejarawan kebudayaannya telah dimulai sejak pertengahan abad 9 M.
Bahasa tutur atau bahasa rakyat (folk speech) yang digunakan masyarakat
Barus saat ini adalah bahasa Pesisir (Pasisi) yang merupakan kombinasi bahasa
Melayu, Batak dan Minang. Penutur bahasa Pesisir ini tersebar di daerah-daerah
pesisir pantai Barat Sumatera dari Singkil (Nangroe Aceh Darussalam) hingga Natal
memiliki perbedaan dan ciri khas dibandingkan dengan penutur bahasa Pesisir di
Sibolga, Sorkam, dan daerah lainnya.
1.2Ruang Lingkup
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu objek kajian pragmatik.
Pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas pemakaian
bahasa di dalam proses komunikasi. Oleh karena itu, teori pragmatik dinilai cocok
untuk memahami masalah, menganalisis data, dan mendeskripsikan hasil analisis
data tentang kesantunan berbahasa.
Kesantunan berbahasa dalam satu masyarakat berhubungan dengan budaya
yang dimiliki masyarakat tersebut. Jadi, penelitian ini juga merupakan kajian
antropolinguistik yang mengkaji tentang hubungan bahasa dengan kebudayaan.
Antropolinguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah antara
hubungan bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu
digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Antropologi
linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari
strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi
sosial budaya.
Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah,
tepatnya di Desa Pasar Batu Gerigis, Desa Kampung Solok, Desa Pasar Tarandam
dan Desa Kedai Gadang ini, dibatasi dengan hanya meneliti bagaimana kesantunan
lingkungan tetangga di keempat desa tersebut. Penetapan keempat desa ini dilatari
oleh letak geografisnya yang berada di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.
1.3Rumusan Masalah
Dalam usaha untuk menemukan kearifan lokal dalam bahasa tutur masyarakat
Barus, penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan berikut;
1. Bagaimanakah strategi pembentukan kesantunan berbahasa dalam bahasa
tutur pada masyarakat Pasisi Barus?
2. Bagaimanakah pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus?
3. Bagaimanakah kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi
Barus?
1.4Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut;
1. Menjelaskan strategi kesantunan berbahasa dalam bahasa tutur pada
masyarakat Pasisi Barus.
2. Mendeskripsikan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus.
3. Menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi
Barus.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
mengenai kesantunan berbahasa yang berasal dari data bahasa daerah memperkaya
khazanah penelitian tentang bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu usaha untuk melestarikan
dan mewariskan nilai-nilai budaya lokal kepada generasi muda khususnya kesantunan
bahasa pada budaya masyarakat Barus yang telah mulai tergerus modernisasi yang
berpotensi menggeser nilai-nilai budaya lokal dan menggantinya dengan budaya
asing dari luar. Kearifan lokal kesantunan berbahasa masyarakat Barus yang tergali
dalam penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi jawaban terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada umumnya dan
masyarakat Barus pada khususnya yang pada akhirnya dapat memberikan kedamaian
BAB II
KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan
istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan
oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986). Para antropolog membahas secara panjang
lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa
local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli,
4. mempunyai kemampuan mengendalikan,
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Dalam Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah
tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga
dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk
mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari
periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam
sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang
dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber
energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama
secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai
acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi
kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam
bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan
jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan
harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang
dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban
masyarakatnya.
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam
perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan
hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan
tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu.
Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan
menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku
mereka sehari-hari.
Pengertian kearifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis.
Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk
integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh
tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua
kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara
pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung
dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan
diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan
menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap
Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki
sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan
ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini
adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural
dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.
Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif.
Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi
berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah
atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara
situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem
ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan
melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada
keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima
adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara
menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah
tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan
keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak
keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut.
2.1.2 Kesantunan Berbahasa
Dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan
kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing
penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.
Dengan menggunakan bahasa manusia menjalin kebersamaan dalam keteraturan
hidup kemasyarakatan dan kebudayaan serta saling bekerja sama. Kebersamaan dan
kerjasama sangat ditentukan oleh fungsi bahasa.
Bahasa tutur atau bahasa lisan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk
berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari memerankan hal yang sama, yaitu
menciptakan kebersamaan dan mendorong terciptanya kerjasama. Melalui
penggunaan bahasa tutur yang baik, benar dan sesuai dengan konteks sosial, pada
akhirnya, rasa kebersamaan akan semakin meningkat, yang menghasilkan
peningkatan kerjasama. Hal ini karena, secara lisan, penggunaan bahasa tutur
mengandung etika dalam komunikasi interpersonal, tahu dan paham akan kondisi
psikologis mitratutur. Konsekuensinya, terciptalah penguatan silaturahmi, interaksi,
kebersamaan, kerjasama, dan saling ketergantungan. Singkatnya, terjalinnya
harmonisasi dalam berkomunikasi, berhubungan dan bekerjasama sebagai sebuah
solidaritas sosial.
Untuk itu dalam bahasa tutur seharusnya tidak lepas dari kesantunan untuk
menjaga harmonisasi dalam berkomunikasi. Kesantunan (kesopansantunan) sama
dengan tata karma atau etika. Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau
kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan
baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan
dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus
Menurut Yule (2006:104) kesantunan berbahasa dapat diartikan sebagai
sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain. Wajah seseorang
akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang
mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan
nama baiknya sendiri
Wujud kesantunan dapat dilihat dari dua cara, yaitu cara verbal dan cara
nonverbal. Kesantunan verbal merupakan aktivitas berbahasa yang di dalamnya
tercermin nilai- nilai kesopanan/ kesantunan berdasarkan nilai sosial dan budaya
penutur. Kesantunan berbahasa verbal merujuk kepada percakapan, lisan dan
pertuturan. Kesantunan nonverbal adalah tindakan nonkebahasaan yang dianggap
lazim menurut tolak ukur nilai sosial dan budaya. Yang termasuk ke dalam
kesantunan nonverbal di antaranya adalah unsur suprasegmental, paralinguistik dan
proksemika. Unsur suprasegmental seperti tekanan, nada dan tempo senantiasa
melekat pada unsur segmental. Unsur paralinguistik seperti airmuka, gerakan tubuh
dan sikap badan adalah sistem tanda yang menyertai tuturan verbal, terutama tuturan
bersemuka. Unsur paralinguistik ini dapat diamati langsung saat komunikasi terjadi.
Proksemika adalah unsur nonverbal yang tidak termasuk dalam unsur paralinguistik.
Misalnya, saling menjaga jarak atau tidak saling menjaga jarak antara penutur dan
petutur. Pada penelitian ini penulis hanya memperhatikan dari proses verbal
(kebahasaannya) saja tanpa mempertimbangkan faktor nonverbal yang
mempengaruhi.
Kartomiharjo (1981) menyatakan bahwa dalam menggunakan bahasa, penutur
ataupun kesopanan dalam berbahasa dapat terefleksi pada kepatuhan penutur terhadap
norma-norma sosial dan budayanya. Dalam budaya Jawa norma-norma kesantunan
mengacu pada tiga nilai, yakni: (1) Empan papan, menerangkan bahwa dalam
berinteraksi penutur hendaknya menyatakan segala sesuatu secara wajar dan benar
sesuai dengan tataran masyarakat, (2) Urip mapan, menerangkan bahwa tututran itu
hendaknya digunakan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat, (3) Mapanake
wong tuwo, mengacu pada konsep bahwa yang lebih tua itu selayaknya dituakan.
Sementara itu Gunarwan (1998, dalam Gunarwan 2007) menjabarkan
norma-norma kesantunan budaya Jawa dalam empat bidal, yaitu: (1) Kurmat atau (hormat),
(2) Andaphasor (rendah hati), (3) Ampan-papan (sadar akan tempat), dan (4)
Tepa-slira (tenggang rasa).
2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Teori Kesantunan
Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa diamtaranya adalah
Lakoff (1973), Leech (1983) dan Brown & Levinson (1987). Teori ketiga pakar ini
beranjak dari kenyataan bahwa ternyata Prinsip Kerja Sama Grice lebih sering
dilanggar oleh penutur dalam komunikasi pada umumnya. Berikut akan dijelaskan
mengenai teori ketiga pakar tersebut mengenai kesantunan berbahasa.
Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas
(formality), 2) ketidaktegasan (
or camaraderie). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau
angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur
dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti me
tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai
jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada
lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang.
(2) Teori Kesantunan Leech
Menurut Leech (1983) prin
maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain
sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)
Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri se
(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan
Formalitas (Formality)
Tidak memaksa
Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas
), 2) ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (
). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau
angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur
dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti menganggap penutur dan lawan
tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai
jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada
lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang.
Gambar 2.1
Kaidah Kesantunan Lakoff (1973)
Teori Kesantunan Leech
Menurut Leech (1983) prinsip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam
maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain
sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)
Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin,
(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan
) dan persamaan atau kesekawanan (equality
). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau
angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur
nganggap penutur dan lawan
tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai
jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada
sip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam
maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain
sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)
ndiri sekecil mungkin,
menyatakan : (a) minimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, (b) maksimalkan
rasa hormat terhadap orang lain. (4) Maksim Kerendahan Hati menyatakan : (a)
pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
(5) Maksim Kesepakatan menyatakan : (a) usahakan agar ketidaksepakatan antara diri
sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, (b) usahakan agar kesepakatan
antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin. (6) Maksim Simpati
menyatakan : (a) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain, (b)
tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.
Leech menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan
setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech
dijelaskan sebagai berikut.
1) Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada
besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak
tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri
penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak
santunlah tuturan itu.
2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya
pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam
kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra
tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap makin
memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan
tersebut akan dianggap tidak santun.
3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat
langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu
bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan
dianggap semakin santunlah tuturan itu.
4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin
jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan mitra tutur,
tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya,
semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung
berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah
pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di
antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur
dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.
Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan
mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan
(3) Teori Kesantunan
Brown dan Levinson (1987) menggagas teori kesantunan yang lebih
komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai
sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui
kajian menyeluruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami
alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut
dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (
didefinisikan sebagai gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus
dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam
pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan
muka negatif. Muka positif adalah kei
disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua
penutur agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara. Cost-Benefit
komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai
sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui
luruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami
alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut
dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (
i gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus
dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam
pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan
Muka positif adalah keinginan semua penutur agar wajah mereka
disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua
agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara. Skala Kesantunan
komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai
sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui
luruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami
alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut
dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (face), yang
i gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus
dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam
pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan
agar wajah mereka
disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua Social Distance
Brown dan Levinson mendefinisikan kesantunan bahasa sebagai strategi
menghindari mengancam muka orang lain yang dikenal dengan Face-Threatening Act
(FTA). Untuk itulah pentingnya kesantunan dalam berkomunikasi, sebab ada dua sisi
muka yang terancam yaitu muka positif dan muka negatif.
Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut
pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah
kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face),
dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan
nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah
negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan
pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz,
2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka
nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa
yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.
Muka positif mengacu ke diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan
agar apa yang dilakukan dan diyakininya, diakui orang lain sebagai sesuatu yang
baik. Sedangkan muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional),
yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan memberikannya kebebasan dari
keharusan melakukan sesuatu (Sibarani, 2004: 180-181). Karena ada dua sisi muka
yang terancam, maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan positif
(untuk menjaga muka positif) dan kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif).
Brown dan Levinson merinci strategi kesantunan positif ke dalam 15
atau pujian (exaggerate); 3) menegaskan (intensify); 4) menggunakan penanda
sebagai anggota kelompok yang sama (use in-group identity markers); 5)
mengupayakan kesepakatan (seek agreement); 6) menghindari perbedaan pendapat
(avoid disagreement); 7) mengisyaratkan kesamaan pandangan (presuppose common
ground); 8) menggunakan lelucon (joke); 9) menampilkan pengetahuan penutur dan
mempertimbangkan keinginan penutur (assert S’knowledge and concern for H’s
wants); 10) menawarkan, berjanji (offer, promise); 11) bersikap optimis (be
optimistic); 12) menyertakan penutur dan petutur dalam kegiatan (include both S and
H in the activity); 13) memberi atau meminta alasan (give reasons); 14) menerima
atau menampilkan sikap timbal balik atau saling (assume or assert repciprocity); 15)
memberi hadiah pada petutur (give gifts to H).
Ke lima belas strategi kesantunan positif tersebut dikelompokkan menjadi 3,
yaitu: (1) mengungkapkan “kesamaan pijaan” (common ground), misalnya dengan
memperhatikan minat, keinginan, keperluan petutur; mengungkapkan kesamaan
keanggotaan dengan petutur, seperti menggunakan permarkah identitas yang
menunjukkan bahwa penutur dan petutur termasuk ke dalam kelompok yang sama
atau mempunyai kesamaan pandangan, pendapat, pengetahuan atau empati, semuanya
diungkapkan dengan mencari kesetujuan; menghindari ketidaksetujuan;
meningkatkan kesamaan pijaan; dan berseloroh; (2) mengungkapkan bahwa penutur
dan petutur adalah kooperator, misalnya dengan menunjukkan bahwa penutur
mengetahui apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan menunjukkan adanya
memenuhi apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan memberikan sesuatu
kepadanya (barang, simpati, pengertian, kerja sama).
Sementara strategi kesantunan linguistik negatif terdiri dari 10 strategi, yakni:
1) menggunakan ujaran tidak langsung (be conventionally indirect); 2) pertanyaan,
kalimat berpagar (question, hedge); 3) bersikap pesimis (be pessimistic); 4)
meminimalkan tekanan (minimize imposition); 5) memberikan penghormatan (give
deference); 6) meminta maaf (apologize); 7) menghindarkan penggunaan kata ‘saya’
dan ‘kamu’ (impersonalize S and H: avoid the pronoun I and You); 8) menyatakan
tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum (state the FTA as a
general rule); 9) nominalisasi (nominalize); 10) menyatakan terus terang penutur
berhutang budi kepada petutur (go on records).
Kesantunan negatif yang dijabarkan Brown dan Levinson menjadi 10 strategi
dikelompokkan menjadi 5, yaitu: (1) menggunakan strategi tidak langsung
konvensional, yang intinya adalah jangan memaksa petutur untuk melakukan sesuatu;
(2) jangan berasumsi mengenai apa yang dimaui petutur, misalnya dengan
menggunakan pagar (hedge) atau kalimat tanya; (3) jangan memaksa penutur,
misalnya dengan jalan memberinya opsi, antara lain dengan mengasumsikan bahwa
petutur mungkin tidak bersedia melakukan sesuatu-jadi penutur perlu bersikap
pesimistik; penutur meminimalkan ancaman dengan cara: (a) mengurangi
keterpaksaan dan (b) menunjukkan hormat; (4) mengomunikasikan bahwa penutur
tidak menghendaki memaksa petutur, misalnya dengan meminta maaf (termasuk
keterpaksaan, yaitu dengan: (a) menghindari pronominal “saya” dan “kamu/Anda”;
(b) mengungkapkan FTA sebagai hal yang umum; dan (c) menominalkan kata kerja
sehingga efek gaya bahasanya lebih formal; (5) memberikan kompensasi bagi
keinginan lain petutur, yang berasal dari muka negatif, misalnya dengan mengatakan
bahwa tindakan on record adalah tindakan terpaksa yang merupakan “utang” penutur
atau bahwa petutur tidak “berutang” kepada penutur.
Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah
tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial dan kultural.
1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance
between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan
umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.
2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and
hearer relative power) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur.
3) Skala peringkat tindak tutur (rank rating) didasarkan atas kedudukan relatif
tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Misalnya menelpon
seseorang lewat jam 10 malam akan dianggap tidak sopan dan bahkan
melanggar norma kesantunan. Namun hal yang sama dapat dianggap santun
pada situasi genting seperti mengabarkan berita duka cita, musibah, sakit, dan
Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987)
2.2.2 Pembentukan kesantunan
Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya
dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan
(politeness principle), 2) menghindarkan kata
3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6)
menggunakan konstruksi berpagar, 7) memperhatikan aspek
mempengaruhi kesantunan berbahasa.
Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987)
2.2.2 Pembentukan kesantunan
Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya
dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan
), 2) menghindarkan kata-kata tabu, 3) menggunakan eufemisme,
3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6)
menggunakan konstruksi berpagar, 7) memperhatikan aspek-aspek nonlinguistik yang
tunan berbahasa.
Berdasarkan teori-teori yang dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan
kerangka teori yang diterapkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.4
Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya
dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan
kata tabu, 3) menggunakan eufemisme,
3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6)
aspek nonlinguistik yang
teori yang dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan
Gambar 2.4
Rangkuman Kerangka Teori
Berdasarkan rangkuman dari teori Lakoff (1973), Leech (1993) dan Brown &
Levinson (1987) serta pembentukan kesantunan menurut Sibarani (2004), kerangka
teori yang diterapkan dalam penelitian ini merumuskan delapan strategi pembentukan
kesantunan, yakni 1) menghindari kata tabu, 2) menggunakan honorifik, 3)
menggunakan eufemisme, 4) tidak memaksa, 5) memberi pilihan, 6) menggunakan
Pembentukan
Kesantunan
Berbahasa
Tidak Memaksa Memberi
Pilihan
Menghindari Kata Tabu
Menggunakan
Honorifik Menggunakan Eufemisme
Menggunakan Ujaran Tidak
Langsung Mengutamakan
Keuntungan Mitra Tutur
ujaran tidak langsung, 7) menggunakan kalimat berpagar, dan 8) mengutamakan
keuntungan mitra tutur. Ke delapan strategi pembentukan kesantunan tersebut satu
persatu dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, kata-kata yang dianggap tabu berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Tetapi, secara umum kata-kata tabu merupakan kata-kata yang
menyebutkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi. Kata ‘jaya’ adalah salah satu
kata yang pantang diucapkan karena merupakan salah satu kata-kata yang tabu
diucapkan bagi masyarakat Pasisi Barus. Kedua, menggunakan honorifik berarti
menggunakan kata-kata yang menunjukkan hormat kepada mitra tutur yang salah
satunya dengan menggunakan sapaan yang sesuai untuk mitra tutur tersebut.
Contohnya pada tuturan ‘Nandak pulang, Angku?’, kata angku (kakek) merupakan
kata honorifik yang menunjukkan penghormatan penutur kepada mitra tuturnya yang
sudah tua. Ketiga, menggunakan eufemisme berarti memilih kata yang lebih halus
untuk mengungkapkan sesuatu kepada mitra tutur. Contohnya dapat dilihat pada
tuturan ‘Nandak pai pulo ambo bekko’ (Saya hendak pergi pula). Pada tuturan
tersebut, penutur memilih menggunakan kalimat yang lebih halus untuk menolak
permintaan mitra tuturnya yang ingin datang berkunjung ke rumah penutur. Keempat,
memberi pilihan bermakna bahwa tuturan yang digunakan penutur memberikan
pilihan yang sebanyak mungkin kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Yang
tadi tu sajo ndak Tiya?’ (Apa tidak yang itu saja, Tiya?). Pada tuturan tersebut
penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk melakukan atau tidak
melakukan yang diinginkan penutur. Kelima, tidak memaksa berarti penutur
‘Rancaknyo jangan lai pakke itu’ (Sebaiknya jangan pakai lagi itu). Tuturan tersebut
menunjukkan penutur tidak memaksa mitra tutur untuk melakukan yang diinginkan
penutur. Keenam, menggunakan ujaran tidak langsung bermakna penutur tidak
menyampaikan maksud tuturannya secara langsung. Contohnya penutur yang
memerintahkan cucunya untuk mengambilkan air hangat pada tuturan ‘Ado ai
hangek, Pia?. Alih-alih menggunakan kalimat imperatif, sang nenek menggunakan
kalimat interogatif. Ketujuh, menggunakan kalimat berpagar (hedges) yang biasanya
menggunakan pemarkah pengandaian, seperti jika, kalau, dan sebagainya seperti yang
terdapat pada tuturan ‘Kok sampat bekko, lalukan kepeng ko da’. Pada tuturan
tersebut, penutur bermaksud meminta mitra tuturnya untuk mengantarkan uang
kepada seseorang. Konstruksi kalimat berpagar yang digunakan penutur merupakan
salah satu bentuk kesantunan dalam berbahasa. Kedelapan, mengutamakan
keuntungan mitra tutur berarti penutur berusaha memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Diantekkanla Angku?’
yang merupakan tindak tutur menawarkan untuk diantarkan pulang yang
menunjukkan penutur mengutamakan keuntungan bagi mitra tuturnya.
2.2.3 Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat
sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur
merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip
kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat
sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur
merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan,
perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian
pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian
pragmatik dlm arti yang sebenarnya (Rustono, 1999: 33).
Leech (1993) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran
(yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan), menanyakan apa yang seseorang maksudkan
dengan suatu tindak tutur, dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada
siapa, dimana, bilamana, bagaimana.
Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke
dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif.
Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai
berikut:
1. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating),
menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining),
menolak, (declining), dan mengklaim (claiming).
2. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya
untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya,
memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon/meminta
(requesting), melarang (prohibiting), menasehati (advising), dan
3. Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan
atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya
berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf
(pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), berbelasungkawa
(condoling).
4. Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan
janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan
menawarkan sesuatu (offering).
5. Deklarasi (Declarations), bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan
dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing),
menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing),
mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).
Teori tindak tutur atau bentuk ujaran mempunyai lebih dari satu fungsi.
Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang
sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam
berbagai bentuk ujaran.
Contoh:
A: lampu ini terang sekali. (sambil menutup mata)
B: akan ku matikan.
Tuturan tersebut diucapkan seseorang kepada temannya ketika berada di
rumah mitra tutur. Ujaran “lampu ini terang sekali” tersebut berfungsi sebagai
perintah dalam bentuk pernyataan kebiasaan dengan mengatakan “aku tidak bisa tidur
kalau lampunya terlalu terang”.
Wijana (1996) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi
tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak
literal.
a. Tindak tutur langsung dan tak langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat
berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif) dan kalimat perintah (imperatif). Secara
konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu
(informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk
menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita
difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk
bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya,
maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli
merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut
merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak
tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah
seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan
memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak
merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu,
diungkapkan dengan “Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk