• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat Pasisi Barus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat Pasisi Barus"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN

BERBAHASA PADA MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN

BERBAHASA PADA MASYARAKAT

BARUS

TESIS

Oleh:

YENNY PUSPITA SARAGIH 117009028/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN

BERBAHASA PADA MASYARAKAT

PASISI

(2)

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN

BERBAHASA PADA MASYARAKAT

PASISI

BARUS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program

Studi Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

YENNY PUSPITA SARAGIH 117009028/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat

Pasisi Barus

Nama Mahasiswa : Yenny Puspita Saragih

Nomor Pokok : 117009028

Program Studi : Linguistik

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S)

Ketua (Dr. Nurlela, M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D)

Dekan,

(Dr. Syahron Lubis, M.A)

(4)

Telah diuji pada tanggal 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua Anggota

: :

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S 1. Dr. Nurlela, M.Hum

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

KEARIFAN LOKAL KESANTUNAN BERBAHASA PADA

MASYARAKAT

PASISI

BARUS

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan

sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini

bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,,

penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan

sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.

(7)

ABSTRACT

This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang sekaligus juga sebagai Dosen Penguji I pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penyusunan tesis ini.

4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana yang juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran serta memotivasi dan membantu dalam penyusunan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan banyak sekali masukan dan saran, serta memotivasi dan membantu penulis dalam penulisan tesis ini. 6. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, Ph.D selaku dosen penguji pada ujian

(9)

7. Ibu Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku dosen penguji pada ujian seminar hasil yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam penulisan tesis ini

8. Seluruh dosen pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Orang tua penulis, H. Abdullah Saragih dan Nursiah serta saudara-saudara penulis yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang.

10.Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu bersama-sama.

11.Kepala Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib Darur Rachmad Sibolga yang telah memberi ijin meninggalkan tugas saat proses ujian-ujian berlangsung. 12.Rekan-rekan guru dan staf tata usaha di Madrasah Aliyah Perguruan Thawalib

Darur Rachmad Sibolga yang telah membantu untuk menggantikan tugas penulis saat meninggalkan tugas mengajar.

13.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin

Medan, Agustus 2013 Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama Lengkap : Yenny Puspita Saragih, S.Pd Jenis Kelamin : Wanita

Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 15 Januari 1981 Alamat Rumah : Jalan Aso-Aso No. 73

Kelurahan Pancuran Pinang Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga, Sumatera Utara Nomor HP : 081376251251

Agama : Islam

II. Riwayat Pendidikan

SD : SD Negeri 084086 Kota Sibolga Lulus Tahun 1992

SMP : MTs Swasta Darur Rachmad Kota Sibolga Lulus Tahun 1996

SMA : SMA Negeri 3 Kota Sibolga Lulus Tahun 1999

S1 : Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan Lulus Tahun 2003

(11)

DAFTAR ISI

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 47

3.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Tengah ... 47

3.1.1 Geografi Kabupaten Tapanuli Tengah ... 47

3.1.2 Demografi Kabupaten Tapanuli Tengah ... 49

3.1.3 Sejarah Kabupaten Tapanuli Tengah ... 51

3.2 Barus Sebagai Wilayah Bahasa Pesisir ... 55

3.3 Penutur Bahasa Pasisi ... 60

(12)

BAB IV METODE PENELITIAN ... 67

4.1 Jenis Penelitian ... 67

4.2 Lokasi Penelitian ... 67

4.3 Data dan Sumber Data ... 67

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 68

4.5 Metode Analisis Data ... 69

BAB V PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN ... 73

5.1 Pendahuluan ... 73

5.2 Paparan Data ... 73

5.2.1 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menolak ... 73

5.2.2 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Meminta ... 80

5.2.3 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Memerintah ... 83

5.2.4 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Melarang ... 86

5.2.5 Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Menawarkan ... 87

5.3 Pembahasan ... 88

5.3.1 Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ... 88

5.3.2 Pola Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ... 108

5.3.3 Kearifan Lokal Kesantunan Berbahasa Masyarakat Pasisi Barus ... 113

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 120

5.1 Simpulan ... 120

5.2 Saran ... 121

(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Jumlah dusun/lingkungan menurut desa/kelurahan ... 31

5.1 Strategi Kesantunan Memberi Alasan Pada Tindak Tutur Menolak ... 68

5.2 Strategi Kesantunan Meminta Maaf Pada Tindak Tutur Menolak ... 71

5.3 Strategi Kesantunan Berterima Kasih Pada Tindak Tutur Menolak ... 72

5.4 Strategi Kesantunan Menunda Pada Tindak Tutur Menolak ... 73

5.5 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Menolak .. 74

5.6 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar Pada Tindak Tutur Meminta ... 75

5.7 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis Pada Tindak Tutur Meminta ... 75

5.8 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung

Pada Tindak Tutur Meminta ... 76

5.9 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Meminta ... 77

5.10 Strategi Kesantunan Kalimat Berpagar

Pada Tindak Tutur Memerintah ... 78

5.11 Strategi Kesantunan Bersikap Pesimis

Pada Tindak Tutur Memerintah ... 78

5.12 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak Langsung

Pada Tindak Tutur Memerintah ... 79

5.13 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

(14)

5.14 Strategi Kesantunan Meminimalkan Tekanan

Pada Tindak Tutur Melarang ... 81

5 15 Strategi Kesantunan Ujaran Tidak langsung

Pada Tindak Tutur Melarang ... 82

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff ... 18

2.2 Skala Kesantunan Leech ... 21

2.3 Skala Kesantunan Brown & Levinson ... 26

2.4 Rangkuman Kerangka Teori ... 27

2.5 Kerangka Pikir Penelitian ... 42

3.1 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah ... 44

3.2 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah Berdasarkan Kecamatan ... 45

3.3 Perbandingan jumlah penduduk kabupaten Tapanuli Tengah di rinci menurut kecamatan tahun 2011 ... 46

3.4 Lambang Kabupaten Tapanuli Tengah ... 49

3.5 Peta Kecamatan Barus ... 55

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Biodata Informan dan Transkripsi Dialog ... 126

(17)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Kearifan Lokal dalam Kesantunan Berbahasa pada Masyarakat Pasisi Barus. Penelitian berupa kajian antropolinguistik sebagai salah satu bentuk wilayah interdisipliner yang mempelajari "bahasa" sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai bentuk kegiatan budaya dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan strategi kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, 2) menjelaskan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus, dan 3) menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan berdasarkan wajah (face) dalam teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori tindak tutur Searle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus direalisasikan ke dalam lima bentuk tindak tutur, yakni 1) menolak, 2) meminta, 3) memerintah, 4) melarang, dan 5) menawarkan. Strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus dalam merealisasikan kesantunan berbahasa adalah : 1) memberi alasan, 2) bersikap pesimis, 3) menggunakan ujaran tidak langsung, 4) meminta maaf, 5) berterima kasih, 6) menunda, 7) kalimat berpagar, dan 8) meminimalkan tekanan. Dari delapan strategi yang digunakan didapatkan sepuluh pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus. Kesantunan berbahasa yang ditunjukkan masyarakat ini mengandung dua kearifan, yakni 1) sikap menghindari perselisihan dan sikap tenggang rasa. Kearifan lokal yang tercermin dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus diajarkan oleh orang-orang tua kepada generasi muda melalui penerapan kesantunan berbahasa dalam komunikasi sehari-hari.

(18)

ABSTRACT

This study is entitled The Local Wisdom in Language Politeness of Pasisi Barus Society. This is the study of anthropolinguistic as an interdisciplinary field which studies language as a cultural resource and speaking as a cultural practice by using pragmatic approach. The objectives of this study are: 1) to explain language politeness strategies in the utterances of Pasisi Barus Society, 2) to describe the pattern of language politeness of Pasisi Barus society, and 3) to explain the local wisdom in language politeness of Pasisi Barus Society. The theory used in this study was language politeness based on Brown and Levinson and speech acts theory of Searle. The method of this study was qualitative method. After the analysis of the results obtained of data showed that language politeness of Pasisi Barus Society in the family and neighborhood interaction is realized in five forms of speech act, they are:1) refusing, 2) requesting, 3) commanding, 4) prohibiting, and 5) offering. The strategies of realizing language politeness used by Pasisi Barus Society are: 1) giving reason, 2) pessimistic, 3) being indirect, 4) apologizing, 5) thanking, 6) postponing, 7) using hedges, and 8) minimizing imposition. Based on these strategies, there are ten patterns used by Pasisi Barus Society in expressing language politeness. The language politeness reflects two wisdoms, they are: 1) avoiding conflict and 2) tolerable. The local wisdoms reflected in the language politeness of Pasisi Barus Society are taught by the eldest to the youngest by implementing the language politeness in daily communication.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bahasa yang pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi untuk saling

bertukar informasi, juga menjadi perekat hubungan antara pembicara dan pendengar.

Untuk dapat merekatkan hubungan antara pembicara dan pendengar dalam suatu

peristiwa tutur, penutur dan petutur diharapkan menggunakan bahasa yang santun.

Dengan menggunakan bahasa yang santun, kemungkinan terjadinya konflik akan

semakin kecil sehingga perselisihan yang saat ini semakin marak kita saksikan baik di

televisi maupun di lingkungan sekitar kita dapat dihindari dan suasana damai akan

lebih mendominasi kehidupan ini.

Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang penting untuk dibahas

berkaitan dengan fenomena di masyarakat Indonesia terutama di bidang politik yang

terjadi sejak lepas dari masa orde baru dan beralih ke masa reformasi. Masa reformasi

yang telah berjalan hampir 15 tahun ini ditandai dengan uforia kebebasan berbicara

oleh masyarakat Indonesia. Uforia kebebasan berbicara yang terkadang tak lagi

menghiraukan kesantunan itu dapat dilihat pada suasana unjuk rasa, acara diskusi dan

debat di televisi, bahkan di ruang sidang anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Akibatnya tak jarang kita saksikan terjadi konflik antara dua orang yang

berseberangan pendapat yang dijadikan narasumber dalam suatu acara di televisi atau

perang mulut antar anggota DPR yang terkadang juga berakhir anarkis. Hal-hal

(20)

kesantunan dalam berkomunikasi. Tawuran pelajar hingga memakan korban jiwa

juga sering dipicu oleh komunikasi yang tidak santun antara seorang siswa dengan

siswa lain yang akhirnya melebar menjadi konflik antarsekolah.

Fenomena berbahasa yang terlihat saat ini sangat membuat miris perasaan.

Tayangan televisi didominasi oleh acara-acara yang mempertontonkan orang-orang

yang menggunakan bahasa yang tidak santun, sehingga tidak jarang terlihat dua

narasumber yang berseberangan pendapat saling memotong pembicaraan, berebut

kesempatan untuk memberikan pendapatnya masing-masing. Fenomena seperti ini

dinilai kurang santun`karena tidak mengikuti pola giliran yang dianjurkan oleh

Ketidaksantunan dalam berbahasa yang terjadi di masyarakat cenderung

dilakukan oleh remaja. Contoh tuturan yang menunjukkan ketidaksantunan berbahasa

berikut ini adalah tuturan seorang siswa yang merasa tidak terima dengan hukuman

yang diberikan salah seorang guru kepadanya.

A: Elok-elok muncung Bapak tu mangeccek.

(Bagus-bagus muncung Bapak kalau berbicara)

Kata muncung yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘mulut’ namun

merupakan kata yang sangat tidak santun dan kasar jika digunakan dalam pertuturan

formal di sekolah, apalagi jika tuturan tersebut dituturkan oleh seorang siswa yang

terhadap guru. Kata-kata yang tidak santun yang dituturkan oleh siswa tersebut pada

contoh tuturan di atas sangat memungkinkan memicu konflik yang besar jika saja

sang bapak guru tidak dapat menahan emosi. Di sinilah terjadinya penggunaan

kekerasan terhadap siswa tersebut, yang kemudian si siswa mengadukan kepada

(21)

dulu latar belakang terjadinya peristiwa tersebut, terjadilah konflik yang melebar

hingga melibatkan aparat polisi.

Media jejaring sosial di dunia maya, seperti twitter dan facebook yang saat ini

sangat digemari oleh masyarakat dunia terutama generasi muda, juga menunjukkan

fenomena yang tidak jauh berbeda dari yang disaksikan di televisi. Fenomena

penggunaan bahasa yang tidak santun di media jejaring sosial bahkan dapat dikatakan

lebih parah jika dibandingkan dengan di televisi. Sering kali terjadi pengguna media

ini menuliskan kata-kata yang penuh caci-maki di akun facebook atau twitternya,

yang terkadang ditujukan langsung kepada orang yang dimaksud, atau tanpa

menyebutkan secara eksplisit nama orang yang dituju. Komentar-komentar orang

yang berseberangan pendapat terhadap suatu berita di situs berita online juga

menggunakan bahasa yang jauh dari kata-kata santun, apalagi jika topik berita

menyangkut masalah SARA.

Ironisnya, sebagian masyarakat semakin permisif dalam menanggapi masalah

ketidaksantunan berbahasa ini dengan dalih perkembangan zaman akibat modernisasi

dan globalisasi sehingga terjadi pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran

kesantunan dalam berbahasa.

Untuk itulah masalah kesantunan berbahasa perlu diangkat dan dibahas dalam

topik penelitian ini agar hasil penelitian ini dapat menyumbang pemikiran kepada

masyarakat untuk peka mengenai masalah ketidaksantunan berbahasa bagi kaum

muda yang lebih sering mengabaikan hal ini.

Bahasa dan budaya memiliki hubungan erat yang tak dapat dipisahkan satu

(22)

budaya penutur bahasa tersebut sebab bahasa hanya mempunyai makna dalam latar

kebudayaan yang menjadi wadahnya (Sibarani, 2004: 65). Seperti kata kepeng

memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan antara bahasa Pesisir yang

penuturnya terdapat di Sibolga dan sebagian Tapanuli Tengah (Sumatera Utara)

dengan bahasa Minangkabau (Sumatera Barat). Dalam bahasa Pesisir kata kepeng

bermakna ‘uang’ atau ‘duit’ sedangkan bagi masyarakat Minang kata tersebut

merupakan kata yang tabu diucapkan sebab kata tersebut merujuk pada organ tubuh

yang lazim ditutupi oleh pakaian sehingga tidak sopan diucapkan di depan orang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada

diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu

mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping

mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya

akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Selain budaya, faktor- faktor sosial seperti

status sosial, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan juga mempengaruhi

pembentukan kesantunan berbahasa.

Kesantunan berbahasa dalam suatu masyarakat tertentu berbeda dengan

masyarakat lainnya. Sebab, seperti telah disinggung sebelumnya, bahasa erat

kaitannya dengan budaya.

Kesantunan berbahasa dalam bahasa rakyat (folk speech) sebagai bagian dari

kebudayaan daerah di nusantara ini merupakan salah satu wujud dari tradisi lisan

yang selayaknya ditumbuhkembangkan untuk menemukan kembali

pedoman-pedoman leluhur yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tersebut. Melalui

(23)

menggali kearifan lokal yang terdapat pada kebudayaan penutur bahasa tutur tersebut

untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan

bangsa saat ini yang tak lepas dari ancaman disintegrasi akibat terjadinya

konflik-konflik sosial yang salah satu penyebabnya adalah hilangnya nilai-nilai kesantunan

berbahasa dalam berkomunikasi.

Indonesia merupakan negeri yang kaya akan keragaman kebudayaan yang

sering dijadikan ladang penelitian. Keragaman kebudayaan ini biasanya dimiliki oleh

suku-suku minoritas yang tinggal di pedalaman dan pedesaan di wilayah nusantara

ini. Dalam masing-masing keragaman kebudayaan ini terdapat nilai-nilai luhur yang

masih tetap dipertahankan dan menjadi kearifan lokal bagi masyarakat pemilik

kebudayaan tersebut.

Penggalian kearifan lokal dalam suatu kebudayaan memiliki arti penting

dalam upaya untuk keberlanjutan kebudayaan tersebut. Terlebih lagi di tengah

modernisasi yang disebabkan oleh globalisasi menjadi penyebab bergesernya

nilai-nilai budaya lokal yang berganti dengan budaya asing yang berkembang begitu pesat

di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun di

pedesaan.

Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli

suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan

kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 112). Sejaln dengan pernyataan Sibarani di

atas, kearifan lokal digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk

kedamaian dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya

(24)

Kearifan lokal dalam suatu kebudayaan digali melalui nilai-nilai budaya yang

hanya dapat disimpulkan dari ucapan, perbuatan dan materi yang dibuat manusia

yang diwariskan secara turun temurun. Namun nilai-nilai tersebut hanya dapat

diperoleh pada masyarakat yang masih kokoh mempertahankan tradisi yang

jumlahnya semakin sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang mengalami

pergeseran nilai-nilai sebagai akibat dari modernisasi.

Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat ini tetap bertahan ditengah

gencarnya ancaman budaya luar yang begitu mudah mempengaruhi masyarakat

terutama generasi muda melalui media televisi dan internet yang menjadi imbas dari

globalisasi informasi dan modernisasi. Pemertahanan nilai-nilai dalam kebudayaan ini

biasanya melalui proses pewarisan secara lisan dengan menggunakan bahasa daerah

masyarakat pemilik kebudayaan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka.

Dari pengamatan penulis, kesantunan berbahasa saat berkomunikasi masih

terlihat dalam interaksi pergaulan sehari-hari masyarakat Barus, Kabupaten Tapanuli

Tengah. Berikut adalah percakapan saat seorang ibu menyuruh kepada anak laki-laki

tertuanya untuk memperbaiki atap rumah dan percakapan antara dua tetangga.

1. Ibu : Talok kuti mamparekkikan atok kito tu? ‘Bisa kuti memperbaiki atap

(rumah) kita?

(Kuti adalah panggilan untuk anak laki-laki tertua dalam keluarga)

Anak : Jadi. Sabanta lai yo mak. “Ya. Sebentar lagi bu’.

2. A: Jadi pai ka Medan barisuk? ‘jadi pergi ke Medan besok?’

Ado tampek-tampek makkan maccam etek Ana. Di medan katonyo dibalinyo.

(25)

B: Bekko la kok sampat ambo carikan. ‘Kalau sempat saya nanti saya cari.’

Pada percakapan pertama, kalimat suruhan atau perintah yang seharusnya

bermodus imperatif, tetapi dalam realisasinya si ibu menggunakan kalimat pertanyaan

atau interogatif. Pertanyaan tersebut juga menyiratkan bahwa si ibu memberikan

pilihan kepada si anak apakah ia mau melakukan yang diperintahkan atau tidak. Hal

ini menunjukkan kesantunan berbahasa walaupun jelas-jelas yang disuruh adalah

anaknya sendiri. Dalam hal ini si ibu juga menunjukkan kearifan kepada sang anak

untuk membiasakan diri bersikap santun.

Kesantunan yang ditunjukkan B dalam percakapan kedua adalah dengan

menjanjikan hal yang belum tentu dapat ia lakukan. Hal ini dilakukan hanya untuk

menyenangkan hati A. Untuk meminta B melakukan hal yang diinginkannya, A tidak

secara langsung mengutarakan maksudnya meminta B untuk membelikan suatu

barang.

Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menemukan dan menggali

kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus yang

disimpulkan dan ditafsirkan dari bahasa tutur masyarakat tersebut. Barus merupakan

salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara, yang

menurut para sejarawan kebudayaannya telah dimulai sejak pertengahan abad 9 M.

Bahasa tutur atau bahasa rakyat (folk speech) yang digunakan masyarakat

Barus saat ini adalah bahasa Pesisir (Pasisi) yang merupakan kombinasi bahasa

Melayu, Batak dan Minang. Penutur bahasa Pesisir ini tersebar di daerah-daerah

pesisir pantai Barat Sumatera dari Singkil (Nangroe Aceh Darussalam) hingga Natal

(26)

memiliki perbedaan dan ciri khas dibandingkan dengan penutur bahasa Pesisir di

Sibolga, Sorkam, dan daerah lainnya.

1.2Ruang Lingkup

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu objek kajian pragmatik.

Pragmatik itu sendiri merupakan cabang ilmu bahasa yang membahas pemakaian

bahasa di dalam proses komunikasi. Oleh karena itu, teori pragmatik dinilai cocok

untuk memahami masalah, menganalisis data, dan mendeskripsikan hasil analisis

data tentang kesantunan berbahasa.

Kesantunan berbahasa dalam satu masyarakat berhubungan dengan budaya

yang dimiliki masyarakat tersebut. Jadi, penelitian ini juga merupakan kajian

antropolinguistik yang mengkaji tentang hubungan bahasa dengan kebudayaan.

Antropolinguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah antara

hubungan bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu

digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Antropologi

linguistik biasa juga disebut etnolinguistik menelaah bahasa bukan hanya dari

strukturnya semata tapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi

sosial budaya.

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah,

tepatnya di Desa Pasar Batu Gerigis, Desa Kampung Solok, Desa Pasar Tarandam

dan Desa Kedai Gadang ini, dibatasi dengan hanya meneliti bagaimana kesantunan

(27)

lingkungan tetangga di keempat desa tersebut. Penetapan keempat desa ini dilatari

oleh letak geografisnya yang berada di pesisir pantai barat Pulau Sumatera.

1.3Rumusan Masalah

Dalam usaha untuk menemukan kearifan lokal dalam bahasa tutur masyarakat

Barus, penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan berikut;

1. Bagaimanakah strategi pembentukan kesantunan berbahasa dalam bahasa

tutur pada masyarakat Pasisi Barus?

2. Bagaimanakah pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus?

3. Bagaimanakah kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi

Barus?

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut;

1. Menjelaskan strategi kesantunan berbahasa dalam bahasa tutur pada

masyarakat Pasisi Barus.

2. Mendeskripsikan pola kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi Barus.

3. Menjelaskan kearifan lokal dalam kesantunan berbahasa masyarakat Pasisi

Barus.

(28)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan

mengenai kesantunan berbahasa yang berasal dari data bahasa daerah memperkaya

khazanah penelitian tentang bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu usaha untuk melestarikan

dan mewariskan nilai-nilai budaya lokal kepada generasi muda khususnya kesantunan

bahasa pada budaya masyarakat Barus yang telah mulai tergerus modernisasi yang

berpotensi menggeser nilai-nilai budaya lokal dan menggantinya dengan budaya

asing dari luar. Kearifan lokal kesantunan berbahasa masyarakat Barus yang tergali

dalam penelitian ini diharapkan juga mampu menjadi jawaban terhadap

permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia pada umumnya dan

masyarakat Barus pada khususnya yang pada akhirnya dapat memberikan kedamaian

(29)

BAB II

KONSEP, KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan

istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan

oleh Quaritch Wales. (Ayatrohaedi, 1986). Para antropolog membahas secara panjang

lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa

local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang

menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing

sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara

Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya

daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk

bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut:

1. mampu bertahan terhadap budaya luar,

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam

budaya asli,

4. mempunyai kemampuan mengendalikan,

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Dalam Sibarani (2012: 112-113) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah

(30)

tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal juga

dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk

mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Jadi, dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan

budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas.

Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus

dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di

dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari

periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam

sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang

dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber

energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama

secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai

acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi

kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam

suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam

bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan

jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan

harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang

(31)

dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban

masyarakatnya.

Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian,

pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam

perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan

hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan

tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu.

Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan

menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku

mereka sehari-hari.

Pengertian kearifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua

bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau

etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas

ekologis.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk

integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh

tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua

kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara

pandang biosentrisme dan ekosentrisme. Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung

dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan

diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan

menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap

(32)

Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki

sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan

ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini

adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural

dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.

Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif.

Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi

berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah

atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara

situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem

ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan

melaksanakan kearifan itu. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kearifan tercermin pada

keputusan yang bermutu prima. Tolok ukur suatu keputusan yang bermutu prima

adalah keputusan yang diambil oleh seorang tokoh/sejumlah tokoh dengan cara

menelusuri berbagai masalah yang berkembang dan dapat memahami masalah

tersebut. Kemudian diambil keputusan sedemikian rupa sehingga yang terkait dengan

keputusan itu akan berupaya melaksanakannya dengan kisaran dari yang menolak

keputusan sampai yang benar-benar setuju dengan keputusan tersebut.

2.1.2 Kesantunan Berbahasa

Dalam komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan

kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.

Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap terjaga apabila masing- masing

(33)

penutur maupun petutur memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga muka.

Dengan menggunakan bahasa manusia menjalin kebersamaan dalam keteraturan

hidup kemasyarakatan dan kebudayaan serta saling bekerja sama. Kebersamaan dan

kerjasama sangat ditentukan oleh fungsi bahasa.

Bahasa tutur atau bahasa lisan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk

berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari memerankan hal yang sama, yaitu

menciptakan kebersamaan dan mendorong terciptanya kerjasama. Melalui

penggunaan bahasa tutur yang baik, benar dan sesuai dengan konteks sosial, pada

akhirnya, rasa kebersamaan akan semakin meningkat, yang menghasilkan

peningkatan kerjasama. Hal ini karena, secara lisan, penggunaan bahasa tutur

mengandung etika dalam komunikasi interpersonal, tahu dan paham akan kondisi

psikologis mitratutur. Konsekuensinya, terciptalah penguatan silaturahmi, interaksi,

kebersamaan, kerjasama, dan saling ketergantungan. Singkatnya, terjalinnya

harmonisasi dalam berkomunikasi, berhubungan dan bekerjasama sebagai sebuah

solidaritas sosial.

Untuk itu dalam bahasa tutur seharusnya tidak lepas dari kesantunan untuk

menjaga harmonisasi dalam berkomunikasi. Kesantunan (kesopansantunan) sama

dengan tata karma atau etika. Kesantunan atau etiket adalah tata cara, adat atau

kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat beradab untuk memelihara hubungan

baik antara sesama manusia. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan

dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus

(34)

Menurut Yule (2006:104) kesantunan berbahasa dapat diartikan sebagai

sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain. Wajah seseorang

akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang

mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan

nama baiknya sendiri

Wujud kesantunan dapat dilihat dari dua cara, yaitu cara verbal dan cara

nonverbal. Kesantunan verbal merupakan aktivitas berbahasa yang di dalamnya

tercermin nilai- nilai kesopanan/ kesantunan berdasarkan nilai sosial dan budaya

penutur. Kesantunan berbahasa verbal merujuk kepada percakapan, lisan dan

pertuturan. Kesantunan nonverbal adalah tindakan nonkebahasaan yang dianggap

lazim menurut tolak ukur nilai sosial dan budaya. Yang termasuk ke dalam

kesantunan nonverbal di antaranya adalah unsur suprasegmental, paralinguistik dan

proksemika. Unsur suprasegmental seperti tekanan, nada dan tempo senantiasa

melekat pada unsur segmental. Unsur paralinguistik seperti airmuka, gerakan tubuh

dan sikap badan adalah sistem tanda yang menyertai tuturan verbal, terutama tuturan

bersemuka. Unsur paralinguistik ini dapat diamati langsung saat komunikasi terjadi.

Proksemika adalah unsur nonverbal yang tidak termasuk dalam unsur paralinguistik.

Misalnya, saling menjaga jarak atau tidak saling menjaga jarak antara penutur dan

petutur. Pada penelitian ini penulis hanya memperhatikan dari proses verbal

(kebahasaannya) saja tanpa mempertimbangkan faktor nonverbal yang

mempengaruhi.

Kartomiharjo (1981) menyatakan bahwa dalam menggunakan bahasa, penutur

(35)

ataupun kesopanan dalam berbahasa dapat terefleksi pada kepatuhan penutur terhadap

norma-norma sosial dan budayanya. Dalam budaya Jawa norma-norma kesantunan

mengacu pada tiga nilai, yakni: (1) Empan papan, menerangkan bahwa dalam

berinteraksi penutur hendaknya menyatakan segala sesuatu secara wajar dan benar

sesuai dengan tataran masyarakat, (2) Urip mapan, menerangkan bahwa tututran itu

hendaknya digunakan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat, (3) Mapanake

wong tuwo, mengacu pada konsep bahwa yang lebih tua itu selayaknya dituakan.

Sementara itu Gunarwan (1998, dalam Gunarwan 2007) menjabarkan

norma-norma kesantunan budaya Jawa dalam empat bidal, yaitu: (1) Kurmat atau (hormat),

(2) Andaphasor (rendah hati), (3) Ampan-papan (sadar akan tempat), dan (4)

Tepa-slira (tenggang rasa).

2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Teori Kesantunan

Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa diamtaranya adalah

Lakoff (1973), Leech (1983) dan Brown & Levinson (1987). Teori ketiga pakar ini

beranjak dari kenyataan bahwa ternyata Prinsip Kerja Sama Grice lebih sering

dilanggar oleh penutur dalam komunikasi pada umumnya. Berikut akan dijelaskan

mengenai teori ketiga pakar tersebut mengenai kesantunan berbahasa.

(36)

Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas

(formality), 2) ketidaktegasan (

or camaraderie). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau

angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur

dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti me

tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai

jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada

lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang.

(2) Teori Kesantunan Leech

Menurut Leech (1983) prin

maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain

sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)

Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri se

(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan

Formalitas (Formality)

Tidak memaksa

Menurut Lakoff (1973) ada tiga kaidah kesantunan yaitu: 1) formalitas

), 2) ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (

). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau

angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur

dan yang ketiga, persamaan atau kesekawanan berarti menganggap penutur dan lawan

tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai

jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada

lawan tutur dan membuat lawan tutur merasa tenang.

Gambar 2.1

Kaidah Kesantunan Lakoff (1973)

Teori Kesantunan Leech

Menurut Leech (1983) prinsip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam

maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain

sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)

Maksim Kemurahan menyatakan (a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin,

(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (3) Maksim Penerimaan

) dan persamaan atau kesekawanan (equality

). Kaidah yang pertama, formalitas bermakna tidak memaksa atau

angkuh; yang kedua, ketidaktegasan berarti memberikan pilihan kepada lawan tutur

nganggap penutur dan lawan

tutur sama. Dengan demikian, menurut Lakoff, kesantunan berbahasa akan tercapai

jika penutur menggunakan tuturan yang tidak memaksa, memberikan pilihan kepada

sip kesopanan dapat dijabarkan menjadi enam

maksim: (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) buatlah kerugian orang lain

sekecil mungkin, dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. (2)

ndiri sekecil mungkin,

(37)

menyatakan : (a) minimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, (b) maksimalkan

rasa hormat terhadap orang lain. (4) Maksim Kerendahan Hati menyatakan : (a)

pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

(5) Maksim Kesepakatan menyatakan : (a) usahakan agar ketidaksepakatan antara diri

sendiri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin, (b) usahakan agar kesepakatan

antara diri sendiri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin. (6) Maksim Simpati

menyatakan : (a) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain, (b)

tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.

Leech menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan dengan memanfaatkan

setiap maksim interpersonal. Kelima macam skala pengukur kesantunan Leech

dijelaskan sebagai berikut.

1) Cost- benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada

besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak

tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri

penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,

semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak

santunlah tuturan itu.

2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk pada banyak atau sedikitnya

pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam

kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra

tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap makin

(38)

memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan

tersebut akan dianggap tidak santun.

3) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat

langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu

bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.

Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan

dianggap semakin santunlah tuturan itu.

4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin

jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan mitra tutur,

tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya,

semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan cenderung

berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah

pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di

antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.

Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur

dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu.

Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan

mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan

(39)

(3) Teori Kesantunan

Brown dan Levinson (1987) menggagas teori kesantunan yang lebih

komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai

sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui

kajian menyeluruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami

alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut

dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (

didefinisikan sebagai gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus

dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam

pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan

muka negatif. Muka positif adalah kei

disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua

penutur agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara. Cost-Benefit

komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai

sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui

luruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami

alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut

dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (

i gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus

dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam

pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan

Muka positif adalah keinginan semua penutur agar wajah mereka

disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua

agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara. Skala Kesantunan

komprehensif. Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai

sebuah penyimpangan dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui

luruh terhadap kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami

alasan bagi ketidakrasionalan dan inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut

dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 62) pada konsep muka (face), yang

i gambaran diri dihadapan publik yang dimiliki dan harus

dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia berinteraksi dalam

pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka positif dan

agar wajah mereka

disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua Social Distance

(40)

Brown dan Levinson mendefinisikan kesantunan bahasa sebagai strategi

menghindari mengancam muka orang lain yang dikenal dengan Face-Threatening Act

(FTA). Untuk itulah pentingnya kesantunan dalam berkomunikasi, sebab ada dua sisi

muka yang terancam yaitu muka positif dan muka negatif.

Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut

pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah

kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face),

dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan

nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah

negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan

pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz,

2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka

nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa

yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.

Muka positif mengacu ke diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan

agar apa yang dilakukan dan diyakininya, diakui orang lain sebagai sesuatu yang

baik. Sedangkan muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional),

yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan memberikannya kebebasan dari

keharusan melakukan sesuatu (Sibarani, 2004: 180-181). Karena ada dua sisi muka

yang terancam, maka kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu kesantunan positif

(untuk menjaga muka positif) dan kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif).

Brown dan Levinson merinci strategi kesantunan positif ke dalam 15

(41)

atau pujian (exaggerate); 3) menegaskan (intensify); 4) menggunakan penanda

sebagai anggota kelompok yang sama (use in-group identity markers); 5)

mengupayakan kesepakatan (seek agreement); 6) menghindari perbedaan pendapat

(avoid disagreement); 7) mengisyaratkan kesamaan pandangan (presuppose common

ground); 8) menggunakan lelucon (joke); 9) menampilkan pengetahuan penutur dan

mempertimbangkan keinginan penutur (assert S’knowledge and concern for H’s

wants); 10) menawarkan, berjanji (offer, promise); 11) bersikap optimis (be

optimistic); 12) menyertakan penutur dan petutur dalam kegiatan (include both S and

H in the activity); 13) memberi atau meminta alasan (give reasons); 14) menerima

atau menampilkan sikap timbal balik atau saling (assume or assert repciprocity); 15)

memberi hadiah pada petutur (give gifts to H).

Ke lima belas strategi kesantunan positif tersebut dikelompokkan menjadi 3,

yaitu: (1) mengungkapkan “kesamaan pijaan” (common ground), misalnya dengan

memperhatikan minat, keinginan, keperluan petutur; mengungkapkan kesamaan

keanggotaan dengan petutur, seperti menggunakan permarkah identitas yang

menunjukkan bahwa penutur dan petutur termasuk ke dalam kelompok yang sama

atau mempunyai kesamaan pandangan, pendapat, pengetahuan atau empati, semuanya

diungkapkan dengan mencari kesetujuan; menghindari ketidaksetujuan;

meningkatkan kesamaan pijaan; dan berseloroh; (2) mengungkapkan bahwa penutur

dan petutur adalah kooperator, misalnya dengan menunjukkan bahwa penutur

mengetahui apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan menunjukkan adanya

(42)

memenuhi apa yang diinginkan petutur, misalnya dengan memberikan sesuatu

kepadanya (barang, simpati, pengertian, kerja sama).

Sementara strategi kesantunan linguistik negatif terdiri dari 10 strategi, yakni:

1) menggunakan ujaran tidak langsung (be conventionally indirect); 2) pertanyaan,

kalimat berpagar (question, hedge); 3) bersikap pesimis (be pessimistic); 4)

meminimalkan tekanan (minimize imposition); 5) memberikan penghormatan (give

deference); 6) meminta maaf (apologize); 7) menghindarkan penggunaan kata ‘saya’

dan ‘kamu’ (impersonalize S and H: avoid the pronoun I and You); 8) menyatakan

tindakan pengancaman muka sebagai aturan yang bersifat umum (state the FTA as a

general rule); 9) nominalisasi (nominalize); 10) menyatakan terus terang penutur

berhutang budi kepada petutur (go on records).

Kesantunan negatif yang dijabarkan Brown dan Levinson menjadi 10 strategi

dikelompokkan menjadi 5, yaitu: (1) menggunakan strategi tidak langsung

konvensional, yang intinya adalah jangan memaksa petutur untuk melakukan sesuatu;

(2) jangan berasumsi mengenai apa yang dimaui petutur, misalnya dengan

menggunakan pagar (hedge) atau kalimat tanya; (3) jangan memaksa penutur,

misalnya dengan jalan memberinya opsi, antara lain dengan mengasumsikan bahwa

petutur mungkin tidak bersedia melakukan sesuatu-jadi penutur perlu bersikap

pesimistik; penutur meminimalkan ancaman dengan cara: (a) mengurangi

keterpaksaan dan (b) menunjukkan hormat; (4) mengomunikasikan bahwa penutur

tidak menghendaki memaksa petutur, misalnya dengan meminta maaf (termasuk

(43)

keterpaksaan, yaitu dengan: (a) menghindari pronominal “saya” dan “kamu/Anda”;

(b) mengungkapkan FTA sebagai hal yang umum; dan (c) menominalkan kata kerja

sehingga efek gaya bahasanya lebih formal; (5) memberikan kompensasi bagi

keinginan lain petutur, yang berasal dari muka negatif, misalnya dengan mengatakan

bahwa tindakan on record adalah tindakan terpaksa yang merupakan “utang” penutur

atau bahwa petutur tidak “berutang” kepada penutur.

Terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah

tuturan. Ketiga skala tersebut ditentukan secara kontekstual, sosial dan kultural.

1) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance

between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan

umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

2) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and

hearer relative power) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur.

3) Skala peringkat tindak tutur (rank rating) didasarkan atas kedudukan relatif

tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Misalnya menelpon

seseorang lewat jam 10 malam akan dianggap tidak sopan dan bahkan

melanggar norma kesantunan. Namun hal yang sama dapat dianggap santun

pada situasi genting seperti mengabarkan berita duka cita, musibah, sakit, dan

(44)

Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987)

2.2.2 Pembentukan kesantunan

Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya

dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan

(politeness principle), 2) menghindarkan kata

3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6)

menggunakan konstruksi berpagar, 7) memperhatikan aspek

mempengaruhi kesantunan berbahasa.

Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987)

2.2.2 Pembentukan kesantunan

Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya

dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan

), 2) menghindarkan kata-kata tabu, 3) menggunakan eufemisme,

3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6)

menggunakan konstruksi berpagar, 7) memperhatikan aspek-aspek nonlinguistik yang

tunan berbahasa.

Berdasarkan teori-teori yang dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan

kerangka teori yang diterapkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.4

Dalam Sibarani (2004) dinyatakan bahwa kesantunan berbahasa sedikitnya

dapat dilakukan dengan tujuh cara, yakni 1) menerapkan prinsip kesopanan

kata tabu, 3) menggunakan eufemisme,

3) menggunakan kata honorifik, 5) menerapkan tindak tutur tidak langsung, 6)

aspek nonlinguistik yang

teori yang dibahas sebelumnya maka dapat disimpulkan

(45)

Gambar 2.4

Rangkuman Kerangka Teori

Berdasarkan rangkuman dari teori Lakoff (1973), Leech (1993) dan Brown &

Levinson (1987) serta pembentukan kesantunan menurut Sibarani (2004), kerangka

teori yang diterapkan dalam penelitian ini merumuskan delapan strategi pembentukan

kesantunan, yakni 1) menghindari kata tabu, 2) menggunakan honorifik, 3)

menggunakan eufemisme, 4) tidak memaksa, 5) memberi pilihan, 6) menggunakan

Pembentukan

Kesantunan

Berbahasa

Tidak Memaksa Memberi

Pilihan

Menghindari Kata Tabu

Menggunakan

Honorifik Menggunakan Eufemisme

Menggunakan Ujaran Tidak

Langsung Mengutamakan

Keuntungan Mitra Tutur

(46)

ujaran tidak langsung, 7) menggunakan kalimat berpagar, dan 8) mengutamakan

keuntungan mitra tutur. Ke delapan strategi pembentukan kesantunan tersebut satu

persatu dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, kata-kata yang dianggap tabu berbeda antara satu masyarakat dengan

masyarakat yang lain. Tetapi, secara umum kata-kata tabu merupakan kata-kata yang

menyebutkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi. Kata ‘jaya’ adalah salah satu

kata yang pantang diucapkan karena merupakan salah satu kata-kata yang tabu

diucapkan bagi masyarakat Pasisi Barus. Kedua, menggunakan honorifik berarti

menggunakan kata-kata yang menunjukkan hormat kepada mitra tutur yang salah

satunya dengan menggunakan sapaan yang sesuai untuk mitra tutur tersebut.

Contohnya pada tuturan ‘Nandak pulang, Angku?’, kata angku (kakek) merupakan

kata honorifik yang menunjukkan penghormatan penutur kepada mitra tuturnya yang

sudah tua. Ketiga, menggunakan eufemisme berarti memilih kata yang lebih halus

untuk mengungkapkan sesuatu kepada mitra tutur. Contohnya dapat dilihat pada

tuturan ‘Nandak pai pulo ambo bekko’ (Saya hendak pergi pula). Pada tuturan

tersebut, penutur memilih menggunakan kalimat yang lebih halus untuk menolak

permintaan mitra tuturnya yang ingin datang berkunjung ke rumah penutur. Keempat,

memberi pilihan bermakna bahwa tuturan yang digunakan penutur memberikan

pilihan yang sebanyak mungkin kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Yang

tadi tu sajo ndak Tiya?’ (Apa tidak yang itu saja, Tiya?). Pada tuturan tersebut

penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk melakukan atau tidak

melakukan yang diinginkan penutur. Kelima, tidak memaksa berarti penutur

(47)

‘Rancaknyo jangan lai pakke itu’ (Sebaiknya jangan pakai lagi itu). Tuturan tersebut

menunjukkan penutur tidak memaksa mitra tutur untuk melakukan yang diinginkan

penutur. Keenam, menggunakan ujaran tidak langsung bermakna penutur tidak

menyampaikan maksud tuturannya secara langsung. Contohnya penutur yang

memerintahkan cucunya untuk mengambilkan air hangat pada tuturan ‘Ado ai

hangek, Pia?. Alih-alih menggunakan kalimat imperatif, sang nenek menggunakan

kalimat interogatif. Ketujuh, menggunakan kalimat berpagar (hedges) yang biasanya

menggunakan pemarkah pengandaian, seperti jika, kalau, dan sebagainya seperti yang

terdapat pada tuturan ‘Kok sampat bekko, lalukan kepeng ko da’. Pada tuturan

tersebut, penutur bermaksud meminta mitra tuturnya untuk mengantarkan uang

kepada seseorang. Konstruksi kalimat berpagar yang digunakan penutur merupakan

salah satu bentuk kesantunan dalam berbahasa. Kedelapan, mengutamakan

keuntungan mitra tutur berarti penutur berusaha memberikan keuntungan yang

sebesar-besarnya kepada mitra tutur. Contohnya pada tuturan ‘Diantekkanla Angku?’

yang merupakan tindak tutur menawarkan untuk diantarkan pulang yang

menunjukkan penutur mengutamakan keuntungan bagi mitra tuturnya.

2.2.3 Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat

sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur

merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip

kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi

(48)

Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat

sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur

merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan,

perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian

pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian

pragmatik dlm arti yang sebenarnya (Rustono, 1999: 33).

Leech (1993) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran

(yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan), menanyakan apa yang seseorang maksudkan

dengan suatu tindak tutur, dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada

siapa, dimana, bilamana, bagaimana.

Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke

dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif.

Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai

berikut:

1. Asertif (Assertives), yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada

kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating),

menyarankan (suggesting), membual (boasting), mengeluh (complaining),

menolak, (declining), dan mengklaim (claiming).

2. Direktif (Directives), yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya

untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya,

memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon/meminta

(requesting), melarang (prohibiting), menasehati (advising), dan

(49)

3. Ekspresif (Expressives) adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan

atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya

berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf

(pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), berbelasungkawa

(condoling).

4. Komisif (Commissives), yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan

janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan

menawarkan sesuatu (offering).

5. Deklarasi (Declarations), bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan

dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing),

menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing),

mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).

Teori tindak tutur atau bentuk ujaran mempunyai lebih dari satu fungsi.

Kebalikan dari kenyataan tersebut adalah kenyataan di dalam komunikasi yang

sebenarnya bahwa satu fungsi dapat dinyatakan, dilayani atau diutarakan dalam

berbagai bentuk ujaran.

Contoh:

A: lampu ini terang sekali. (sambil menutup mata)

B: akan ku matikan.

Tuturan tersebut diucapkan seseorang kepada temannya ketika berada di

rumah mitra tutur. Ujaran “lampu ini terang sekali” tersebut berfungsi sebagai

(50)

perintah dalam bentuk pernyataan kebiasaan dengan mengatakan “aku tidak bisa tidur

kalau lampunya terlalu terang”.

Wijana (1996) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi

tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak

literal.

a. Tindak tutur langsung dan tak langsung

Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat

berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif) dan kalimat perintah (imperatif). Secara

konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu

(informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk

menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita

difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk

bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya,

maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli

merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut

merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak

tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah

seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan

memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak

merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu,

diungkapkan dengan “Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk

Gambar

Gambar 2.1 Kaidah Kesantunan Lakoff (1973)
Gambar 2.2 Skala Kesantunan Leech (1993)
Gambar 2.3 Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987) Skala Kesantunan Brown & Levinson (1987)
Gambar 2.4 Rangkuman Kerangka Teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menyimpulkan wujud strategi kesantunan berbahasa pada masyarakat Banjar meliputi memperhatikan apa yang dibutuhkan atau disukai lawan tutur,

Teori kesantunan berbahasa Brown dan Levinson berdasar pada konsep muka ( face ). Muka atau citra diri seseorang dapat jatuh. Oleh karena itu, muka perlu dijaga atau

Kesantunan dalam tindak tutur tidak langsung atau disebut juga kesantunan pragmatik merupakan tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk mengajukan permintaan

Hasil penelitian ini ditemukan penggunaan strategi kesantunan berbahasa yaitu, melakukan tindak tutur secara terus terang ( bald on?on record), melakukan tindak tutur

Teori kesantunan berbahasa Brown dan Levinson berdasar pada konsep muka (face). Muka atau citra diri seseorang dapat jatuh. Oleh karena itu, muka perlu dijaga atau

Penelitian ini bertujuan untuk mendesksripsikan wujud tindak tutur dan penggunaan prinsip kesantunan yang terdapat dalam interaksi di lingkungan terminal Mallengkeri kota Makassar,

Dengan tidak adanya kesantunan dalam berkomunikasi juga yang digunakan oleh masyarakat dalam interaksi sosial dapat membuat mitra tutur lawan komunikasi dalam hal ini polisi merasa

ABSTRAK Kesantunan Berbahasa dalam Tindak Tutur Imperatif Pada Acara Ini Talk Show di NET TV Siti Aisah Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan 1 bentuk tindak tutur