• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa

BAB V PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN

5.3 Pembahasan

5.3.1 Strategi Pembentukan Kesantunan Berbahasa

masyarakat Pasisi Barus dalam interaksi sehari-hari di ranah keluarga dan tetangga dijelaskan sebagai berikut.

a. Strategi pembentukan kesantunan pada tindak tutur menolak

Menolak bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan karena menolak pada hakikatnya dapat mengancam muka mitra tutur. Tidak ada satu cara terbaik pun dalam menolak permintaan seseorang karena hal tersebut dapat menjatuhkan ‘muka’ orang tersebut. Oleh karena itu, dalam tindak tutur menolak penutur berusaha menyelamatkan muka mitra tutur untuk mengurangi akibat tidak menyenangkan yang disebabkan oleh penolakan tersebut.

1) Memberi alasan

Pemarkah kesantunan pada tindak tutur menolak permintaan yang digunakan masyarakat Pasisi Barus adalah dengan eufemisme yakni dengan memberikan alasan untuk menghaluskan penolakan untuk tidak menyinggung perasaan mitra tutur. Tuturan penolakan dapat dilihat pada data (2B) berikut:

(1) A : Jadi kami bekko ka ruma Teti da.

Jadi kami nanti ke rumah Teti ya.

(Teti merupakan panggilan untuk kakak perempuan)

(2) B : Nandak pai pulo ambo bekko. Barisuk sajola munak datang yo. Hendak pergi pula saya nanti, Besok sajalah kalian datang ya.

Alasan yang kuat diperlukan pada saat harus menolak permintaan seseorang agar penolakan tersebut tidak membuat mitra tutur tersinggung. Tuturan (2) merupakan tuturan penolakan atas permintaan pada tuturan (1) yang meminta untuk

datang berkunjung ke rumah B. Pada tuturan (2) terdapat indikasi kesantunan berbahasa yang ditunjukkan oleh B untuk menolak permintaan A dengan memberikan alasan bahwa B kemungkinan besar tidak akan berada di rumah pada saat A akan datang. Kemudian B melanjutkan dengan memberi usul untuk datang keesokan harinya. Untuk menyelamatkan muka positifnya B menggunakan strategi memberikan alasan yang merupakan strategi kesantunan positif.

Tuturan penolakan dengan memberikan alasan cenderung memberikan fakta kepada mitra tutur bahwa penutur memang harus menolak permintaan mitra tutur. Dengan memberikan alasan, penutur cenderung menunjukkan fakta yang dapat membantu menyelamatkan muka negatifnya.

Contoh tuturan dari data yang diperoleh yang menunjukkan penolakan dengan memberikan alasan juga dapat dilihat sebagai berikut:

(3) A : Di Angku nasi lamak ko?

Apakah Angku mau nasi lemak ini?

(Angku merupakan panggilan untuk ayah dari ayah/ibu) (4) B: Dak ambo makkan sipuluk.

Saya tidak (bisa) makan (makanan yang terbuat dari) beras pulut.

Penolakan terhadap penawaran seseorang merupakan hal yang dapat mengancam muka positif orang yang menawarkan tersebut. Dengan memberikan alasan yang jelas maka muka positif orang yang menawarkan tersebut dapat diselamatkan. Data tuturan (4) menunjukkan bahwa B menolak penganan yang terbuat dari beras pulut yang ditawarkan oleh A pada tuturan (3) dengan memberikan alasan bahwa B tidak dapat memakan penganan yang terbuat dari beras pulut. Tuturan (4) merupakan tuturan yang menyatakan alasan yang dituturkan oleh seorang

kakek lanjut usia. Fakta yang diungkapkannya bahwa ia tidak dapat memakan makanan yang terbuat dari beras pulut dapat dipahami mitra tutur bahwa penutur menolak tawaran tersebut.

2) Berterima kasih

Tuturan penolakan atas suatu tawaran biasanya direalisasikan dengan memilih strategi mengucapkan terima kasih. Dari data-data yang diperoleh menunjukkan strategi ini lebih banyak digunakan penutur yang lebih muda kepada mitra tutur yang lebih tua dan penutur yang memiliki kekuasaan lebih rendah daripada mitra tutur. Penutur yang lebih tua atau yang memiliki kekuasaan lebih tinggi lebih memilih strategi memberi alasan pada saat harus menolak suatu tawaran. Strategi yang menunjukkan kesantunan dalam berbahasa dengan berterima kasih dalam tuturan menolak tawaran ditunjukkan pada tuturan (5b) berikut:

(5) A: Makkanla kito dulu ha. Makanlah kita dulu ya.

(6) B: Mo kasi, Mami. Nandak pai pulo kami ikko.

Terima kasih, Mami. Hendak pergi pula kami (sekarang) ini.

Pertuturan di atas terjadi saat (B) beserta temannya datang ke rumah (A) kerabatnya yang dipanggil dengan tuturan Mami. Strategi yang digunakan oleh (B) pada tuturan (5) untuk menolak tawaran (A) pada tuturan (6) agar makan siang di rumahnya adalah dengan mengucapkan terima kasih yang kemudian dilanjutkan dengan memberi alasan bahwa (B) akan segera pulang. Strategi bertutur yang digunakan oleh (B) merupakan strategi kesantunan positif karena tuturan penolakan (B) dapat mengancam muka positif (A).

3) Meminta maaf

Dari data yang diperoleh juga ditemukan adanya tuturan penolakan dengan dengan meminta maaf. Hal tersebut dapat ditemukan pada data berikut:

(7) A: Baokla lauk ko. Bawalah ikan ini.

(8) B: Maap, Oncu. Di ruma dak ado na mamakkan lauk gadang. Maaf, Oncu. Di rumah tidak ada yang (suka) memakan ikan besar.

(Oncu merupakan tutur panggilan untuk saudara ayah/ibu yang paling bungsu)

Pada pertuturan di atas (A) menawarkan pada (B) ikan tongkol besar, namun ditolak oleh (B) dengan strategi meminta maaf yang merupakan strategi kesantunan negatif karena penolakannya dapat mengancam muka negatif (B). Kemudian (B) melanjutkan tuturannya dengan memberi alasan bahwa anggota keluarga di rumahnya tidak ada yang suka makan ikan besar. Alasan yang diberikan (B) dapat diterima oleh (A) sebab ikan tersebut akan sia-sia saja jika tetap diterima (B).

b. Strategi pembentukan kesantunan pada tindak tutur meminta

Tindak tutur meminta merupakan salah satu tindak tutur yang kurang menguntungkan bagi mitra tutur karena menunjukkan dominasi penutur. Tindak tutur meminta biasanya dituturkan oleh jarak sosial atau kekuasaannya lebih rendah kepada yang berstatus sosial atau kekuasaan lebih tinggi.

1) Penggunaan kalimat berpagar (hedges)

Salah satu strategi yang digunakan masyarakat Pasisi Barus untuk menunjukkan adanya kesantunan berbahasa pada saat menuturkan permintaan adalah

dengan menggunakan kalimat berpagar (hedges). Misalnya tuturan permintaan antara adik dan kakak yang ditunjukkan pada data (7) berikut:

(7) Kok jadi munak pai, Ri, lalukan ikko ka si Emi yo?

(Kalau kalian jadi pergi, Ri, antarkan ini ke (rumah) si Emi ya.)

(8) Kok indak litak ang, tolong daulu pindakan lamari ketek tu ka kamar Aya Endek.

(Kalau kamu tidak capek, tolong dulu pindahkan lemari kecil ini ke kamar

Aya Endek.)

(Aya Endek merupakan sapaan penutur kepada Adik laki-laki ayahnya)

(Ang adalah singkatan dari wa’ang yang merupakan sapaan untuk orang kedua laki-laki)

Pada tuturan (7) dan (8), penutur menggunakan konstruksi berpagar (Kok jadi munak pai dan Kok indak litak ang) sebelum meminta untuk melakukan yang dimaksudkan. Hal ini menyiratkan bahwa penutur mempertimbangkan kerugian yang akan dialami mitra tutur yang diakibatkan oleh permintaannnya tersebut. Pada tuturan (7) dan (8) penutur ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ia tidak ingin memberatkan mitra tutur dengan permintaan yang diutarakan.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pemarkah kesantunan pada tindak tutur meminta dengan strategi menggunakan kalimat berpagar adalah konjungsi koordinatif

kok yang berarti kalau/jika/jikalau.

Dengan menggunakan kalimat berpagar berarti penutur telah mempertimbangkan bahwa tindakan yang dimaksudkannya akan mengganggu kebebasan pribadi mitra tutur untuk melaksanakannya. Sebaliknya, mitra tutur merasa citra dirinya dihargai oleh penutur. Oleh sebab itu dengan mempertimbangkan kebebasan pribadi mitra tutur berarti penutur telah berupaya menghargai citra diri

mitra tutur dengan melaksanakan tindakan yang dimaksudkan tuturan yang menggunakan konstruksi berpagar tersebut.

2) Bersikap pesimis (menunjukkan kesangsian)

Selain menggunakan konstruksi berpagar, masyarakat Pasisi Barus juga menggunakan strategi bersikap pesimis dalam tindak tutur permintaan. Dengan bersikap pesimis atau dengan kata lain menunjukkan kesangsian, penutur yang sebenarnya sangat berharap permintaannya dapat dikabulkan menyiratkan bahwa penutur sangat menghargai mitra tutur. Tuturan permintaan seperti ini terjadi karena peran dan persepsi tindakan yang diinginkan atau diharapkan penutur kepada mitra tutur dimungkinkan dapat merugikan baik bagi penutur sendiri maupun bagi mitra tutur dalam interaksi. Dengan menggunakan strategi bersikap pesimis untuk meminta sesuatu atau meminta orang melakukan sesuatu, penutur menunjukkan bahwa mitra tutur diberikan alternasi tindakan (menolak atau menyetujui), namun tetap menjaga kehormatan (citra muka) untuk tidak mempermalukan penutur dan mitra tutur. Fungsi yang demikian ini cenderung menyediakan antisipasi, baik yang berhubungan dengan penjagaan hubungan dan penyelamatan muka dalam interaksi.

Tuturan permintaan dengan menunjukkan kesangsian dapat dilihat pada data berikut:

(9) Bisa agaknyo ambo pakke sabanta kareta munak tu, Er. (Bisakah saya pinjam sebentar sepeda motormu, Er.) (10) Sampat anyo Teti mangantekkan urang ko?

(Apakah Teti sempat mengantarkan anak-anak ini?) (11) Talok Umak anyo manjago urang ko?

(12) Talok anyo sorang uweng mangangkeknyo tu? (Apakah uweng bisa mengangkat itu sendirian? (uweng = abang)

Pada tuturan (9), (10), (11), dan (12) di atas, strategi yang menunjukkan kesangsian atau bersikap pesimis ditandai dengan kelompok kata Bisa agaknyo, Sampat anyo, Talok anyo. Tuturan (9) merupakan permintaan untuk meminjam sepeda motor kepada tetangga, tuturan (10) dituturkan oleh seorang adik yang meminta kakaknya untuk mengantarkan dua orang anaknya ke sekolah, tuturan (11) dituturkan oleh seorang anak yang meminta tolong ibunya untuk menjaga anak- anaknya sementara dia tidak berada di rumah, dan tuturan (12) merupakan tuturan seseorang yang meminta tolong untuk mengangkat 2 galon air minum kepada abang becak.

Pemarkah kesantunan pada tindak tutur meminta dengan strategi bersikap pesimis atau menunjukkan kesangsian pada contoh data di atas adalah bisa agaknyo, sampat anyo, talok anyo.

Tuturan yang menunjukkan kesangsian cenderung menguntungkan baik bagi penutur maupun mitra tutur, karena selain memberikan penghargaan citra diri penutur dan mitra tutur, tuturan yang cenderung pesimis ini dapat menyelamatkan muka penutur ketika terjadi penolakan terbuka oleh mitra tutur. Oleh karena itu, dalam pemakaiannya tuturan yang menunjukkan kesangsian cenderung sopan, karena penutur dan mitra tutur tidak merasa dirugikan jika tuturan yang menunjukkan kesangsian tersebut menghasilkan tindakan seperti yang dimaksudkan penutur.

Pengungkapan tutur dengan bersikap pesimis penutur cenderung menunjukkan bahwa ia tidak memaksakan keinginannya kepada mitra tutur, meskipun ia menilai bahwa mitra tutur dapat melaksanakan tindakan yang dimaksudkan. Dengan kesan tidak memaksa mitra tutur, tuturan permintaan dengan bersikap pesimis menunjukkan adanya kesantunan dalam berbahasa yang bertujuan untuk menghindarkan penutur dan mitra tutur dari konflik dan tetap dapat menjaga hubungan mereka secara harmonis.

3) Penggunaan ujaran tidak langsung

Tuturan permintaan juga direalisasikan dalam bentuk ujaran tidak langsung seperti yang ditemukan pada data berikut:

(13) Ala nandak habis gulo, Oncu. (Gula sudah hampir habis, Oncu.) (14) Ado sare, Uning?

(Ada (daun) serai, Uning?) (15) Indak di Uning lai blender ko?

(Apakah blender ini tidak Uning pakai lagi? (Uning = kakak)

Pemarkah kesantunan pada contoh data di atas adalah dengan menggunakan modus interogatif untuk tuturan meminta.

Tuturan (13) dituturkan oleh seorang keponakan kepada bibinya yang akan pergi ke pasar. Tuturan permintaan untuk membeli gula direalisasikan dengan pernyataan bahwa persediaan gula di rumah sudah hampir habis. Tuturan (14) dituturkan seseorang yang membutuhkan daun serai untuk masakannya kepada

tetangganya yang diyakininya memiliki barang yang dibutuhkannya tersebut. Pertanyaan apakah mitra tutur memiliki barang tersebut merupakan bentuk tidak langsung tuturan permintaan. Tuturan (15) dituturkan oleh seseorang yang salah satu alat rumah tangganya dipinjam oleh tetangganya. Untuk meminta kembali barang yang dipinjam tersebut, penutur menggunakan strategi tidak langsung dengan menanyakan apakah barang tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi.

c. Strategi pembentukan kesantunan dalam tindak tutur memerintah

Memberi perintah atau menyuruh merupakan salah satu tindakan yang dapat mengancam muka negatif mitra tutur. Interaksi dalam ranah keluarga tindak tutur memerintah merupakan salah satu tindak tutur yang paling banyak dituturkan oleh orang tua kepada anak. Seperti yang terlihat pada data berikut:

(16) Buekkan ikko di ate meja tu. (Letakkan ini di atas meja itu.)

(17) Naikla ka rumah, Dan. La patang ari.

(Masuklah ke rumah, Dan. Hari sudah petang.) (18) Baok ka sikko.

(Bawa ke sini.) (19) Pelok ka ate meja.

(Taruh di atas meja.)

Tuturan (16), (17), (18), dan (19) merupakan contoh-contoh tuturan memberi perintah yang dituturkan oleh orang tua kepada anak. Tuturan (16) dituturkan oleh seorang ibu yang memerintahkan kepada anak perempuannya untuk meletakkan

makanan yang akan dihidangkan ke atas meja, tuturan (17) merupakan tuturan seorang ibu yang menyuruh anak laki-lakinya dan tidak lagi berada di luar karena hari sudah petang, tuturan (18) juga perintah yang dituturkan oleh sang ibu kepada anaknya untuk membawakan barang itu kepadanya dan tuturan (19) dituturkan oleh seorang kakak yang memerintahkan kepada adiknya untuk meletakkan buku-bukunya di atas meja.

Pada lazimnya, tuturan memberi perintah cenderung memberikan konflik antara orang yang tua kepada yang muda atau yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi kepada yang yang lebih rendah. Sebab biasanya orang yang lebih tua lebih mementingkan kesesuaian peran dan status mereka dalam interaksi dengan yang lebih muda. Hal ini ditunjukkan oleh tuturan (18) dan (19) yang cenderung menunjukkan dominasi penutur kepada mitra tutur. Namun kedua tuturan ini masih tetap dianggap wajar oleh mitra tutur jika dituturkan penutur kepadanya, meskipun tuturan tersebut dapat mengancam citra dirinya (muka negatif) karena kurang dihargai oleh penutur. Namun tindakan pengancaman muka yang diakibatkan oleh tutuuran memerintah ini dapat dikurangi dengan menggunakan bahasa yang menyiratkan bahwa penutur meminimalkan tekanan atau paksaan kepada mitra tutur seperti yang ditunjukkan pada tuturan (16) dan (17). Pada kedua tuturan ini penutur menunjukkan kesantunan berbahasa dengan menggunakan tuturan yang dapat mengurangi keterancaman citra diri mitra tutur. Pengurangan keterancaman muka yang ditunjukkan pada tuturan (16) dilakukan dengan menggunakan tuturan yang menyiratkan meminta bantuan bukan memerintah. Walaupun orang tua memiliki kekuasaan besar untuk menggunakan tuturan kalimat perintah secara langsung, ia masih memilih menggunakan tuturan

yang menyiratkan meminta bantuan. Perintah untuk segera masuk ke dalam rumah pada tuturan (17) direalisasikan dalam bentuk tuturan yang menyiratkan pengurangan paksaan terhadap mitra tutur sehingga mitra tutur yang dalam hal ini seorang anak merasa dihargai dan tidak dirugikan karena pengancaman muka yang diakibatkan oleh tuturan perintah tersebut.

1) Penggunaan kalimat berpagar (hedges)

Tindakan pengurangan keterancaman muka mitra tutur akibat tuturan memerintah juga dilakukan penutur dengan menggunakan kalimat berpagar (hedges). Penggunakan kalimat berpagar dalam tuturan memberi perintah dapat menguntungkan penutur dan mitra tutur sebab konstruksi kalimat berpagar menunjukkan penutur memberikan pilihan yang seluas-luasnya kepada mitra tutur dan dan mitra tutur juga merasa dihargai kebebasannya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang diinginkan. Tuturan memerintah dengan menggunakan konstruksi kalimat berpagar ditemukan pada data berikut:

(20) Kok ado anyo, agi sajola.

(Kalau (uangnya) ada, berikan saja.)

(21) Kok dak ado karajo ang, Mam, pahangke’i dulu galas-galas di meja tu. (Kalau kamu tidak ada pekerjaan, Mam, angkati gelas-gelas (yang) di (atas) meja itu.

Konstruksi berpagar (hedges) pada tuturan (20) dan (21) ditunjukkan oleh kelompok kata Kok ado anyo (kalau ada) dan Kok dak ado karajo (kalau tidak ada pekerjaan). Tuturan (20) dituturkan oleh seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya untuk memberikan pinjaman uang kepada kerabat mereka. Kalimat berpagar yang digunakan sang suami memberikan keleluasaan pilihan kepada sang istri untuk

memberikan pinjaman atau tidak. Dengan tuturan tersebut sang istri merasa bebas untuk menentukan tindakan yang akan dipilih. Tuturan (21) merupakan perintah yang dituturkan oleh seorang kakak kepada adiknya untuk mengangkat gelas-gelas kotor yang ada di atas meja agar diletakkan ke tempat mencuci piring. Konstruksi berpagar yang digunakan penutur menunjukkan ia memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan yang dimaksudkan jika kenyataannya berkebalikan dengan yang diungkapkan. Dalam hal ini sang adik dapat memilih untuk tidak mengangkat gelas-gelas tersebut jika ia memang ada pekerjaan lain.

2) Bersikap pesimis (menunjukkan kesangsian)

Tuturan memerintah dengan menunjukkan kesangsian atau bersikap pesimis juga ditemukan pada data tuturan (22) dan (23) yang diperoleh pada penelitian ini. (22) Talok sorang ang mambaoknyokko, Mam.

(Apakah kamu sanggup membawa ini sendirian, Mam?) (23) Talok ang anyo mampature lampu ko, Pan?

(Apakah kamu bisa memperbaiki lampu ini, Pan?)

Tuturan (22) dituturkan oleh seorang kakak yang memerintahkan adiknya untuk mengangkat barang yang agak berat dan tuturan (23) merupakan perintah yang dituturkan seorang kakek kepada cucunya untuk memperbaiki lampu emergency.

3) Penggunaan ujaran tidak langsung

Usaha pengurangan pengancaman muka mitra tutur yang diakibatkan tuturan memerintah yang dituturkan penutur juga dilakukan dengan menggunakan ujaran tidak langsung seperti yang ditemukan pada data berikut:

(24) Dakkek kompor lauk tu. (Ikannya di dekat kompor.)

(25) Ala sanjo, Pia.

(Hari sudah senja, Pia.) (26) Saketek lai ai di cerek ko.

(Air di ceret ini tinggal sedikit.)

Tuturan (24) merupakan tuturan seorang ibu yang mengatakan bahwa ikan berada di dekat kompor. Mitra tutur yang dalam hal ini adalah anak perempuan memahami bahwa pernyataan sang ibu merupakan perintah baginya agar membersihkan ikan tersebut. Tuturan (25) dituturkan kepada seorang anak perempuan yang masih bercengkerama bersama teman-temannya di luar rumah. Penutur yang merupakan adik perempuan dari ibu mitra tutur mengatakan hari sudah senja yang merupakan ujaran tidak langsung yang dipahami sebagai mitra tutur sebagai perintah untuk masuk rumah.

4) Meminimalkan paksaan

Dalam tindak tutur memerintah, masyarakat Barus lebih banyak menggunakan tuturan yang meminimalkan paksaan terhadap mitra tutur. Tuturan memerintah dengan meminimalkan paksaan ditunjukkan dalam beberapa bentuk berikut :

a. Penggunaan Akhiran –kan

Pada masyarakat Barus, tuturan memerintah yang menambahkan akhiran –kan

setelah verba lebih menyiratkan kesantunan daripada hanya verbanya saja. Contoh data tuturan masyarakat Barus yang menggunakan akhiran –kan setelah verba dengan yang tidak menambahkan akhiran –kan dalam memerintah dapat dilihat sebagai berikut:

(Taruhkan ini di atas meja itu.)

(28) Balikan dulu karambi ka Hajja tu sakajak.

(Belikan dulu kelapa ke (warung) Hajjah itu sebentar.) (29) Ambikkan munak dulu tampek-tampeknyokko.

(Ambilkan kalian dulu wadah untuk tempat (ikan) ini.) (30) Ambik dulu kepeng di lamari tu.

(Ambil dulu uang di lemari itu.) (31) Baok ka sikko.

(Bawa ke sini.)

(32) Puek sajo ka dalam tasnyo. (Taruh saja ke dalam tasnya.)

Tuturan (27), (28) dan (29) yang menambahkan akhiran –kan setelah kata kerja lebih menunjukkan kesantunan dari pada tuturan (30), (31) dan (32) yang hanya menggunakan kata dasar verba tanpa menambahkan akhiran –kan.

b. Penggunakan Partikel la

Dari data yang diperoleh, partikel la ditambahkan setelah verba dalam tuturan memerintah seseorang untuk melakukan sesuatu. Contoh data mengenai hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

(33) Naikla ka rumah, Dan. La patang ari. Naiklah ke rumah, Dan. Sudah petang hari. Masuklah ke rumah, Dan. Hari sudah petang. (34) Baokla ka sikko.

Bawalah ke sini.

(35) Ambikla ka ruma. Ado anyo si Erni di situ. Ambillah ke rumah. Ada kok si Erni di situ.

‘Ambillah di rumah (saya). Ada kok si Erni di situ.

Tuturan (33), (34) dan (35) di atas lebih menunjukkan kesantunan jika dibandingkan dengan tuturan berikut:

(33a) Naik ka ruma, Dan. Masuk ke rumah, Dan. (34a) Baok ka sikko.

Bawa ke sini. (35a) Ambik ka ruma.

Ambil di rumah (saya).

Tuturan (33a), (34a) dan (35a) merupakan tuturan perintah yang jelas kepada mitra tutur yang menunjukkan dominasi penutur terhadap mitra tutur. Keterancaman muka mitra tutur yang diakibatkan oleh ketiga tuturan ini lebih besar daripada jika penutur menambahkan partikel –lah setelah kata kerja seperti pada tuturan (33), (34) dan (35) yang lebih menunjukkan kesantunan karena menyiratkan meminimalkan paksaan kepada mitra tutur dalam melakukan tindakan yang diinginkan penutur.

c. Penggunakan Partikel Yo

Penambahan partikel yo di tengah atau di akhir tuturan memerintah juga menunjukkan bahwa tuturan itu lebih santun, bahkan lebih santun dari pada hanya menambahkan akhiran –kan dan partikel –la setelah verba. Contoh data yang menggunakan partikel –yo dapat dilihat sebagai berikut:

(33b) Pelokkan ka ate meja tu yo.

(Taruhkan ke atas meja itu ya.) (34b) Baokla ka sikko yo.

(Bawalah ke sini ya.) (35b) Ambikla ka ruma yo.

(Ambillah di rumah (saya) ya.)

Jika dibuat derajat kesantunan dari tuturan yang kurang santun ke tuturan yang lebih santun maka rentangnya dapat diilustrasikan sebagai berikut.

(1) Pelok ka ate meja tu

(2) Pelokkan ka ate meja tu. (3) Pelokla ka ate meja tu. (4) Pelokkan ka ate meja tu yo. (5) Pelokla ka ate meja tu yo.

Lebih santun

d. Penggunaan partikel Jo

Penambahan partikel jo dalam tuturan juga lebih menyiratkan kesantunan seperti yang ditemukan pada data berikut:

(36) Pelokkan jo ka kareta Uweng nin. Taruhkan ke sepeda motor Uweng itu. (37) Lantingkan jo ka banda.

Lemparkan ke parit.

Seperti halnya partikel yo yang jika ditambahkan dalam tuturan memerintah yang telah ditambahkan akhiran –kan maupun yang telah ditambahkan partikel la

dapat menjadikan tuturan tersebut lebih santun, demikian juga halnya dengan penambahan partikel jo. Penambahan partikel ini juga bisa saja di tengah tuturan dan terkadang digunakan di akhir tuturan seperti pada tuturan berikut:

(36a) Pelokkan jo ka kareta Uweng nin. Taruhkan ke sepeda motor Uweng itu. (37b) Lantingkan jo ka banda.

Lemparkan ke parit.

Partikel, dalam bahasa Indonesia, biasanya berfungsi sebagai penegas. Partikel penegas ini tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi

menampilkan unsur yang ditempelinya. Chino (2008 : vii dalam Zulaikha, 2013) mengungkapkan bahwa sebuah partikel mungkin dapat didefenisikan sebagai bagian yang tidak dapat ditafsirkan dalam sebuah percakapan yang memiliki kemutlakan arti tersendiri yang bebas ikatan dan melengkapi dirinya sendiri dalam bagian-bagian pembicaraan. Dalam bahasa yang digunakan masyarakat Pasisi Barus, partikel penegas ini dimasukkan dalam kategori fatis (Agustina 2004) yang lebih berfungsi untuk memunculkan efek stilistika.

e. Permintaan Berpagar (Hedges)

Penggunaan konstruksi ‘berpagar’, yaitu konstruksi kalimat yang menggunakan klausa subordinatif atau kelompok kata yang dapat mengurangi paksaan terhadap lawan bicara seperti klausa, kalau boleh, jika tidak keberatan, dan sebagainya (Sibarani, 2004: 196).

Dari data yang diperoleh juga ditemukan adanya tuturan permintaan berpagar sebagai salah satu strategi kesantunan yang dipilih oleh penutur untuk mengurangi keterancaman muka mitra tutur. Data mengenai hal ini dapat dilihat sebagai berikut:

(38) Kok sampat bekko lalukan ikko ka rumah yo.

Kalau sempat nanti antarkan ini ke rumah (saya) ya.

(39) Kok bisa japukkan sajo sakajak. Kalau bisa jemputkan saja sebentar. (40) Kok jadi munak pai, manitip ambo da.

Kalau kalian jadi pergi, saya menitip ya. (41) Kok talok, angkekkan ka ate rumah yo.

Pemarkah kesantunan penggunaan permintaan berpagar menyiratkan penutur memberikan pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang diminta. Semakin mitra tutur memiliki pilihan maka semakin santunlah tuturan penutur.

Dokumen terkait