Arti Prihatini
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia - Universitas Negeri Malang Email: [email protected], HP: 085645941893
Abstrak: Pembangunan jati diri pendidikan Nusantara dilakukan dengan menginternalisasikan kearifan
lokal dalam berbagai aspek pendidikan. Internalisasi kearifan lokal dimasukkan dalam sistem pendidikan hingga dalam pelaksanaan pembelajaran untuk mencetak generasi bangsa yang sadar, mengerti, memahami, dan menghayati kearifan lokal yang hidup di bumi Nusantara, serta menerapkannya dalam tindakan dan menginternalisasikannya dalam pemikiran. Dibutuhkan usaha nyata, kerja sama dari semua pihak yang terlibat, dan strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut. Artikel ini bertujuan membahas konten kearifan lokal yang diinternalisasikan, ranah internalisasi kearifan lokal, strategi internalisasi kearifan lokal, dan faktor yang perlu diperhatikan. Konten kearifan lokal terdiri atas dua jenis yaitu, internal dan eksternal. Konten kearifan lokal internal berisi pandangan hidup, ideologi, dan pemikiran, sedangkan kearifan lokal eksternal berwujud perilaku dan kesusastraan. Konten kearifan lokal juga terdiri atas pengetahuan di bidang ekonomi dan teknologi, kemanusiaan dan sosial, politik, hukum, kebudayaan, pendidikan. Ranah internalisasi mencakup empat jenis pengembangan, yaitu (1) individu, (2) institusi, (3) komunitas, dan (4) masyarakat. Strategi internalisasi dilakukan dengan menginternalisasi kearifan lokal pada masing-masing daerah, pengenalan dan pemahaman keberagaman kearifan lokal, serta orientasi terhadap globalisasi. Faktor yang perlu diperhatikan adalah fakta tentang sejauh mana kearifan lokal diinternalisasikan dalam pendidikan, potensi kearifan lokal, dan hambatan yang berpotensi muncul.
Kata kunci: kearifan lokal, jati diri pendidikan Nusantara, ranah internalisasi, strategi internalisasi
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural, sehingga memiliki kearifan lokal yang beragam. Kearifan lokal merupakan produk pemi- kiran, pandangan hidup, perilaku, kebiasaan, dan produk lainnya yang dihasilkan oleh masyarakat tertentu yang menunjukkan jati diri dan kekhasan masyarakat tersebut. Sebagaimana dikemukakan Geertz (1973 dalam Wagiran, 2012: 331) sebagai berikut.
Local wisdom is part of culture. Local wis- dom is traditional culture element that deeply rooted in human life and commu- nity that related with human resources, source of culture, economic, security and
laws. lokal wisdom can be viewed as a tra- dition that related with farming activities, livestock, build house etc
Kearifan lokal pada setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing yang menunjukkan identitas suatu masyarakat. Misalnya, masyarakat Jawa memiliki unggah-ungguhing basa Jawa yang berisi tata cara berkomunikasi yang sopan dan santun dengan orang lain dengan menggunakan bahasa krama inggil. Selain itu, Wagiran (2011: 85) memberikan contoh lain, yaitu (1) nilai yang terkandung dalam semboyan “heuras peureupna, pageuh keupeulna tur lega awurna” telah
mampu memotivasi orang Sunda untuk tampil sebagai pekerja keras dan wirausaha handal dan (2) nilai-nilai “adek pangadereng” menjadikan orang-orang Wajo sangat menghormati, menjunjung tinggi hukum, hak asasi manusia dan pemerintahan yang demokratis.
Keberagaman kearifan lokal tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan karena pendidikan adalah tempat generasi bangsa dididik dan dibimbing untuk menjadi pribadi yang berkualitas. Dengan adanya penginternalisasian kearifan lokal, diharapkan peserta didik dapat menyadari, memahami, dan mencintai kearifan lokal Nusantara. Dengan adanya penginternali- sasian kearifan lokal pula, jati diri pendidikan di Indonesia dapat tercipta karena kearifan lokal tersebut menjadi dasar pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran. Sebagaimana dike- mukakan Cheng (2002: 33) bahwa pengembangan pembelajaran membutuhkan pengetahuan lokal yang menuntut adanya kontribusi sekolah yang dapat dilakukan dengan penyebaran kultur dan pengembangan kultur dalam konteks lokal.
Di Indonesia, pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan tercantum dalam Undang- undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 tentang pengelolaan pendidikan yang berbunyi:
Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Berdasarkan UU Sisdiknas tersebut, pendi- dikan diolah dengan memanfaatkan keunggulan lokal. Setiap daerah di Indonesia memiliki keunggulan masing-masing, salah satunya adalah kearifan lokal. Misalnya, Wagiran (2011: 85) mencontohkan sistem Subak di Bali yang tidak hanya menjadikan masyarakat Bali menjadi masyarakat yang rukun dan damai, tetapi juga menjadi masyarakat yang pandai mengatur sistem ekonomi dan pertanian. Sistem Subak tersebut
dapat dimasukkan dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia dalam bentuk teks, kemudian dijelaskan tentang bagaimana sistem dan hakikat sistem Subak, sehingga siswa dapat mengenali dan memahami sistem Subak itu.
Pada era globalisasi ini, budaya asing dapat dengan mudah masuk ke Indonesia melalui perkembangan informasi, teknologi, dan komunikasi, sehingga terjadi interaksi antara kearif- an lokal yang ada di Indonesia dengan budaya asing tersebut. Interaksi itu berakibat positif jika budaya asing memberikan pengaruh positif tanpa menggeser eksistensi kearifan lokal. Sebaliknya, interaksi negatif terjadi jika pengaruh budaya asing memberikan efek yang tidak sesuai dengan kearifan lokal yang ada atau bahkan menurunkan eksistensi kearifan lokal.
Untuk memaksimalkan interaksi yang positif, dibutuhkan upaya nyata dalam pendidikan untuk mengembangkan pendidikan yang memiliki jati diri yang berlandaskan pada kearifan lokal dan juga mengembangkan pendidikan yang berorientasi glo- bal. Sebagaimana dikemukakan Tawil (2013: 4) bahwa sistem pendidikan berkontribusi dalam menempa aspek lokal dan global dengan mening- katkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang mendorong siswa untuk mengidentifikasi, mema- hami, dan menyadari, serta berkomitmen untuk menerapkan aspek lokal dan global tersebut. Pada UU Sisdiknas juga disebutkan tentang pentingnya kearifan lokal yang dikolaborasikan dengan kebutuhan konteks nasional dan global dalam pendidikan nasional sebagai berikut.
Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidik- an, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk meng- hadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan glo- bal sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel berjudul Kearifan Lokal: Pembangun Jati Diri Pendidikan Nusantara ini penting dipaparkan untuk lebih memahami tentang kontribusi kearifan lokal terhadap pendidikan di Indonesia. Artikel ini bertujuan menjelaskan empat hal, yaitu (1) konten kearifan lokal yang diinternalisasikan dalam pendidikan, (2) ranah internalisasi kearifan lokal dalam pendidikan, (3) strategi internalisasi kearifan lokal dalam pendidikan, dan (4) faktor yang perlu dipertimbangkan dalam membentuk jati diri pendidikan berdasarkan kearifan lokal. Keempat hal tersebut diharapkan dapat menambah wawasan dan menyumbangkan ide yang berorientasi pada internalisasi kearifan lokal dalam pendidikan.
PEMBAHASAN
Kearifan lokal merupakan salah satu bagian dari konten budaya lokal. Cheng (2002:33) menyebutkan bahwa internalisasi konten budaya lokal dapat dilakukan dengan cara memasukkan norma eksplisit, nilai-nilai kearifan lokal yang penting, harapan masyarakat budaya lokal, dan juga memaparkan konsep pentingnya persatuan antarsub kultur yang ada di suatu negara. Ber- dasarkan pendapat tersebut, kearifan lokal merupakan aspek penting dalam sebuah masya- rakat yang berbudaya yang terdiri atas berbagai sub kultur. Kearifan lokal bukanlah tanggung jawab masyarakat tempat kearifan lokal tersebut berada, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama untuk saling menjaga kelestarian dan menjaga kebersamaan antarkultur dengan latar belakang kearifan lokal yang berbeda.
Pada konteks pendidikan, keberhasilan pembentukan jati diri pendidikan Nusantara de- ngan pemanfaatan kearifan lokal perlu dipersiap- kan sejak dini dan dirancang dengan cermat. Persiapan dan perancangan pendidikan berdasar- kan kearifan lokal ini dilakukan dengan menggali kearifan lokal yang ada di Indonesia dari sumber- sumber tertulis atau dari pengamatan langsung
tempat kearifan lokal tersebut berada. Selanjutnya, hasil penggalian kearifan lokal tersebut disusun dan diinternalisasikan dalam kebijakan pendidikan, standar nasional pendidikan, proses pembelajaran, hingga evaluasi pendidikan. Tujuannya adalah untuk membentuk jati diri pendidikan Nusantara yang berlandaskan kearifan lokal secara berkelanjutan dan berkesinambungan.
Pembentukan jati diri pendidikan Nusantara berdasarkan kearifan lokal dilakukan dengan mempertimbangkan kearifan lokal yang diinterna- lisasikan, ranah internalisasi kearifan lokal, strategi internalisasi kearifan lokal yang digunakan, serta faktor-faktor yang melandasi proses internalisasi kearifan lokal. Keempat hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
Konten Kearifan Lokal
Kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam memenuhi kebutuhan mereka yang meliputi seluruh aspek kehidupan seperti, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, serta kesenian (Alfian, 2013: 424). Berdasarkan definisi tersebut, kearifan lokal berkaitan dengan banyak dimensi kehidupan, mulai dari yang bersifat konkret sampai yang abstrak. Kearifan lokal yang konkret dapat diamati, seperti teknologi, bahasa, dan kesenian. Kearifan lokal yang abstrak lebih bersifat pemikiran atau konsep tertentu, seperti agama, ideologi, dan keyakinan- keyakinan.
Berkaitan dengan hal itu, Robinson (1988) membedakan kearifan lokal menjadi dua kategori, yaitu kearifan lokal internal dan kearifan lokal eksternal. Kearifan lokal internal berisi pandangan hidup, ideologi, dan pemikiran, sedangkan kearifan lokal eksternal berwujud perilaku dan kesusas- traan. Kearifan lokal internal lebih bersifat abstrak, sedangkan kearifan lokal eksternal lebih bersifat
konkret dan dapat diamati. Kedua kategori tersebut sama-sama penting dapam upaya pem- bangunan jati diri pendidikan Nusantara. Kearifan lokal internal yang berhasil diinternalisasikan dalam pendidikan akan membentuk generasi bangsa yang bersikap, berpikir, dan bertutur sesuai dengan kearifan lokal yang telah terinternalisasi dalam dirinya pada proses pembelajaran. Kearifan lokal eksternal berhasil diinternalisasikan jika generasi bangsa mampu melestarikan dan menghasilkan produk budaya yang dijiwai oleh kearifan lokal eksternal ini.
Oleh karena kearifan lokal berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, kearifan lokal pun dapat dikategorikan berdasarkan bidang-bidang tertentu, seperti ekonomi, pertanian, politik, sosial, dan sebagainya. Sebagaimana dikemukakan Cheng (2002: 2) bahwa terdapat lima tipe kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk pendidikan yang berorientasi global. Kelima tipe kearifan lokal tersebut digunakan untuk mengembangkan individu, lembaga sekolah, komunitas, dan masyarakat secara umum. Kelima tipe kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pengetahuan ekonomi dan teknologi 2. Pengetahuan kemanusiaan dan sosial 3. Pengetahuan politik
4. Pengetahuan budaya 5. Pengetahuan pendidikan
Berdasarkan uraian mengenai definisi dan kategori kearifan lokal di atas, kearifan lokal merupakan hasil interaksi yang harmonis antara pemikiran, perasaan, dan keyakinan yang diwariskan secara turun temurun pada setiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, dibutuhkan pemaha- man yang holistik terhadap kearifanb lokal itu, yakni dengan mengeloborasi sisi intelektual, emosional, dan spiritual. Sebagaimana dikemuka- kan Harsono (2006: 5) bahwa kearifan memerlu- kan sinergi dan keterpaduan kecerdasan intelektuan (intelligent quotient), kecerdasan emosional (emotional quotient), dan kecerdasan
spiritual (spiritual quotient). Jika tercapai sinergi yang harmonis antara ketiganya, pemaknaan atau pemahaman terhadap keerifan lokal ini dapat mendorong seseorang untuk berpikir cerdas, bijak, tenang, dan religius terhadap setiap kearifan lokal yang dimiliki Nusantara.
Ranah Internalisasi Kearifan Lokal
Dalam upaya pembangunan jati diri pendidikan Nusantara, internalisasi kearifan lokal tidak hanya dilakukan terhadap siswa, tetapi juga dilakukan terhadap institusi atau lembaga sekolah agar siswa terkondisikan untuk menerima input kearifan lokal sebanyak mungkin dalam lingkungan sekolah. Misalnya, pada sekolah dengan latar budaya yang siswanya merupakan orang Jawa, diberlakukan hari berbahasa Jawa yang sopan, yakni menggunakan bahasa krama inggil. Pada hari tersebut, tidak hanya siswa yang dituntut untuk berbahasa krama inggil, tetapi juga semua guru dan staf. Pada ranah yang lebih luas, internalisasi kearifan lokal juga mencakup komunitas tertentu dan masyarakat secara umum. Internalisasi kearifan lokal dalam pendidikan pada komunitas dan masyarakat umum ini dapat dilakukan dengan peran serta pemerintah. Pemerintah dapat memberlakukan peraturan atau kebijakan yang mendorong pelestarian kearifan lokal yang diberlakukan terhadap komunitas tertentu dan juga masyarakat secara umum. Misalnya, pemerintah memberlakukan peraturan pembuatan iklan layanan masyarakat di televisi atau radio yang berisi kata- kata yang bersumber dari kearifan lokal tertentu, sehingga siswa menjadi akrab dengan kearifan lokal tersebut setiap kali mendengar radio atau televisi.
Sejalan dengan hal itu, Cheng (2002: 2) merumuskan ranah internalisasi pada empat jenis ruang lingkup pengembangan, yaitu (1) individu, (2) institusi, (3) komunitas, dan (4) masyarakat. Cheng (1996a dalam Cheng, 2002:32) menjelas- kan keempat ranah tersebut sebagai berikut.
Strategi Internalisasi Kearifan Lokal
Untuk dapat menginternalisasikan kearifan lokal dalam pendidikan, dibutuhkan strategi yang tepat agar proses internalisasi itu dapat berjalan dengan lancar. Pada konteks pendidikan di Indo- nesia, secara umum strategi itu dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1) internalisasi kearifan lokal pada masing-masing daerah, (2) pengenalan dan pemahaman keberagaman kearifan lokal yang ada, dan (3) orientasi terhadap globalisasi. Orientasi terhadap globalisasi dibutuhkan sebagai upaya pemertahanan eksistensi kearifan lokal di tengah era globalisasi yang memungkinkan masuknya budaya asing ke Indonesia. Orientasi terhadap
globalisasi juga dilakukan dengan cara mengamati perkembangan pendidikan dan budaya internasional dan mengambil sisi positifnya untuk lebih menguatkan jati diri pendidikan nusantara.
Berdasarkan sifatnya, terdapat beberapa jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal, non- formal, dan informal. Pada ketiga jenis pendidikan tersebut, kearifan lokal tetap bisa dilaksanakan yang disesuaikan dengan karakteristik ketiga jenis pendidikan tersebut. Easton (2004: 10) menje- laskan peran kearifan lokal terhadap ketiga jenis pendidikan tersebut dan peran pendidikan terhadap kearifan lokal sebagai berikut.
Ranah Wawasan Kultural yang Dikembangkan
Pengembangan individu Akulturasi
Sosialisasi nilai, norma, dan kepercayaan
Pengembangan institusi Sebagai pusat penyebaran dan reproduksi budaya Sebagai tempat revitalisasi dan integrasi budaya Pengembangan komunitas Menyajikan kebutuhan kultural dalam suatu komunitas Pengembangan masyarakat Integrasi budaya dan pelestariannya
Reproduksi budaya Produksi modal kultural Revitalisasi budaya
Jenis Pendidikan
Peran Pendidikan terhadap Kearifan Lokal
Peran Kearifan Lokal terhadap Pendidikan
Formal
Mengenalkan sejarah lokal, pengetahuan sistem pertanian lokal, musik tradisional, kerajinan tangan, dsb. ke dalam pendidikan formal atau pada kurikulum perguruan tinggi. Meningkatkan penggunaan pembelajaran berbasis konten dan pembelajaran kontekstual
Menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar pembelajaran.
Adopsi format apparenticeship tradisional sebagai bagian dari proses penyampaian pelajaran.
Nonformal
Memberikan pelatihan terhadap agen
pengembangan kearifan lokal atau staf
administratif dalam metode intervensi yang menggabungkan antara kearifan lokal dan pendekatan ilmu dari Barat.
Membangun dimensi
pendidikan yang baru ke dalam kelompok masyarakat
berdasarkan usia dan perkumpulan tradisional.
Informal
Menyalurkan informasi tentang tipe dan praktik kearifan lokal melalui berbagai media.
Meningkatkan koneksi dan pendayagunaan kearifan lokal dengan bantuan tenaga ahli.
Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang timbal balik antara kearifan lokal dengan pendidikan. Keduanya saling memengaruhi dan saling berkontribusi positif. Kearifan lokal yang diinternalisasikan dalam pendidikan bermanfaat terhadap penanaman nilai karakter dan pengeta- huan lokal bagi peserta didik. Bersamaan dengan itu, pendidikan menjadi sarana bagi kearifan lokal dalam upaya pemertahanan dan penguatan eksistensi kearifan lokal di antara para generasi bangsa.
Pada konteks global, perlu adanya strategi pengembangan kearifan lokal dalam pendidikan yang dikaitkan dengan pengaruh budaya global. Strategi yang digunakan mengatur bagaimana porsi dan kedudukan kearifan lokal dan budaya global dalam pendidikan. Tujuannya adalah tetap mem- pertahankan dan mengembangkan kearifan lokal dan menjawab tantangan budaya global. Berkaitan dengan hal itu, Cheng (2002: 2-11) dan Cheng (2003: 8-17) menyebutkan enam teori internalisasi kearifan lokal ke dalam pembelajaran yang mengarah pada globalisasi sebagai berikut.
1. Teori Pohon
Teo ri pohon beranggapan bahwa pembelajaran pada era global perlu didasari oleh akar budaya lokal atau kearifan lokal yang kuat. Berdasarkan teori ini, pendidikan tidak hanya dilandasi kearifan lokal tetapi juga dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan teknologi global untuk pengembangan komunitas dan individu lokal sebagai local citizens. Implikasinya dalam pemdidikan dilakukan dengan penyeleksian pengetahuan dan teknologi global yang sesuai dengan kebutuhan komunitas lokal dan cul- tural preference. Teori bertujuan untuk membentuk siswa sebagai individu lokal dengan pandangan/harapan internasional.
2. Teori Kristal
Teori ini beranggapan bahwa pengembangan kearifan lokal dilakukan dengan cara menghimpun pengetahuan global yang ada di
sekitar benih-benih kearifan lokal. Pema- haman kearifan lokal dibutuhkan siswa untuk mengumpulkan kearifan lokal dan juga pengetahuan global. Teori ini bertujuan untuk membentuk siswa sebagai individu lokal yang bertindak dan berpikir sesuai dengan kearifan lokal dengan tetap meningkatkan pengetahuan global.
3. Teori Sangkar Burung
Teori ini beranggapan bahwa pengembangan kearifan lokal dalam pendidikan global membutuhkan kerangka berpikir lokal untuk mempertahakan kearifan lokal dan untuk menyaring budaya global mana yang dimanfaatkan dan mana yang tidak. Desain pendidikan berdasarkan teori ini terfokus pada pembentukan kesetiaan pada kearifan lokal sebagai bagian penting dalam pendidikan. Dengan teori ini, siswa diharapkan dapat bertindak sesuai kearifan lokal dan yang mampu memfilter pengaruh dari budaya luar.
4. Teori DNA
Teori ini beranggapan bahwa pengembangan kearifan lokal dilakukan dengan cara mengganti kearifan lokal yang tidak dapat dipertahankan lagi dengan pengetahuan glo- bal yang vital. Berdasarkan teori, pendidikan didesain dengan cara mempetimbangkan kelemahan dan kekuatan pada kearifan lokal dan penget ahuan global, kemudian memanfaatkan unsur positif dari keduanya dan membuang unsur negatif dari keduanya. Pada pendidikan, teori ini bertujuan agar siswa mampu mengkolaborasikan kearifan lokal dan pengetahuan global dengan baik.
5. Teori Fungus
Teori ini beranggapan bahwa pengembangan kearifan lokal dilakukan dengan cara menyerap pengetahuan global yang bermanfaat bagi pengembangan kearifan lokal. Berdasarkan teori ini, siswa mengidentifikasi dan mempelajari pengetahuan global yang bermanfaat dan dibutuhkan bagi perkem-
bangan diri siswa dan juga bagi perkembangan kearifan lokal yang ada. Dengan adanya teori ini, siswa diharapkan dapat bertindak dan berpikir berdasarkan pengetahuan global yang relevan.
6. Teori Amoeba
Teori ini beranggapan bahwa pengembangan kearifan lokal dilakukan dengan sepenuhnya menggunakan pengetahuan global dalam konteks lokal. Berdasarkan teori ini, kuriku- lum didesain dengan cara memasukkan perspektif dan pengetahuan global dalam skala besar. Dengan adanya teori ini, siswa diharap- kan dapat menjadi pribadi yang fleksibel, terbuka, dan tanpa identitas lokal yang melekat pada dirinya
Keenam teori tersebut dipilih berdasarkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu negara. Di Indonesia, pendidikan tidak hanya berorientasi pada kearifan lokal saja, tetapi juga tetap memperhatikan pengetahuan global yang terjadi di lingkungan internasional. Misalnya, pendidikan berbasis kearifan lokal sedang marak dilakukan di berbagai negara, maka Indonesia juga melakukan hal yang sama dengan cara meng- adaptasinya dengan konten kearifan lokal yang dimiliki. Namun, apabila ada model pembelajaran yang sedang diterapkan secara massal di berbagai negara tapi tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal, maka Indonesia perlu menolak atau mendesain model pembelajaran tersebut agar sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an.
Pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 tentang ketentuan umum berbunyi:
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, pendidik- an nasional di Indonesia tergolong menerapkan dua teori sekaligus, yaitu tree theory dan birdcage theory karena ada usaha memproteksi budaya lokal, menyaring budaya luar yang masuk ke dalam negeri, sekaligus bercita-cita mampu menghadapi perubahan zaman (globalisasi). Selain kedua teori tersebut, teori DNA, teori fungus, dan teori kristal juga berpotensi digunakan dalam pendidikan di Indonesia karena ketiga teori tersebut tetap beru- paya untuk mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal dengan memanfaatkan pengetahuan global yang bermanfaat bagi pengembangan kearifan lokal. Sementara itu, teori amoeba tidak dapat dilaksanakan di Indonesia karena teori tersebut menghilangkan identitas lokal yang melekat dalam diri siswa, sehingga teori ini berpotensi mengikis kesadaran dan kecintaan terhadap kearifan lokal Nusantara.
Faktor yang Perlu Diperhatikan
Untuk mencapai keberhasilan pembentukan jati diri pendidikan Nusantara yang berlandaskan kearifan lokal, terdapat faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum, selama, dan sesudah meran- cang dan melaksanakan usaha-usaha internalisasi kearifan lokal yang dilakukan. Faktor yang perlu diperhatikan adalah fakta tentang sejauh mana kearifan lokal diinternalisasikan dalam pendidikan. Kearifan lokal telah dimasukkan dalam UU Sisdiknas bahwa pengelolaan pendidikan jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan lokal. Hal itu menunjukkan perhatian pemerintah terhadap pentingnya pelestarian dan pemertahanan kearifan lokal dalam pendidikan. Selain itu, pendi- dikan karakter yang masuk dalam kurikulum juga membuka peluang bagi kearifan lokal untuk lebih ditanamkan dalam dunia pendidikan. Salah satu nilai karakter yang dikembangkan adalah cinta tanah air. Nilai karakter tersebut ditanamkan dengan cara meningkatkan kesadaran dan kecinta-
an siswa terhadap tanah air Indonesia yang terdiri atas berbagai suku dengan berbagai kearifan lokal Indonesia yang terhimpun dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Potensi Kearifan Lokal
Faktor yang perlu diperhatikan adalah kearifan lokal apa saja berpotensi diinternalisasikan dalam pendidikan. Hal itu merujuk pada jenis atau bentuk kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan.