• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HADIS-HADIS SYI’AH

AL-QIFARI DAN KONSEP PERIWAYATAN HADIS PERSPEKTIF AHLUSUNNAH

A. Keaslian Sumber

Sistem untuk menguji keaslian sumber sudah pernah dilakukan oleh para sarjana hadis klasik, yaitu dengan melihat segi-segi fisik dokumen. Sebagaimana disampaikan oleh ‘Azami, bahwa:

‘Dalam banyak kasus, kesalahan dan kebohongan masih memungkinkan untuk ditemukan melalui data historis, pengecekan dokumen-dokumen, jenis kertas, dan tinta yang dipakai untuk menulis. Proses ini telah diterapkan oleh para ahli hadis, hanya saja ia belum menjadi sebuah metode yang umum karena seseorang tidak selamanya dapat mengungkapkan integritas moral ulama hadis dengan cara ini.’177

Sementara itu, para kritikus hadis telah mengembangkan sebuah sistem terperinci untuk menguji keaslian hadis. Secara global, sistem ini didasarkan pada: kredibilitas periwayatnya dan ketersambungan sanadnya.

176 Jika ditelusuri dalam disertasi al-Qifari, akan didapatkan sekian banyak

stetmen yang ditukil dari ucapan dan penilaian ibn Taimiyah saat mengkritik Syi’ah al-Rafidah.

177 M.M. ‘Azami, Stadies in Hadith Methodology (Indianapolis: Islamic

110

‘Azami juga menandaskan bahwa penilaian akhir suatu riwayat atas dasar keaslian, atau ketelitian dan keaslian sekaligus, oleh para kririkus hadis dianggap belum cukup, dan karenanya mereka menghendaki 3 syarat tambahan: 1) semua periwayat dalam sanad

mesti dikenal thiqah (terpercaya); 2) mata rantai periwayatan

bersambung; dan 3) didukung oleh pernyataan dari bukti yang positif.178

Oleh karena itu, ketika meneliti sebuah manuskrip hadis yang penulisnya telah lama meninggal, maka untuk menetapkan apakah isi kandungannya benar-benar milik penulis perlu ditempuh langkah-langkah berikut: 1) memeriksa riwayat hidup penulis. Dalam hal ini fokus pemeriksaan bertumpu pada dua hal: a) memastikan apakah penulis pernah menyusun karya dengan judul seperti yang ada dalam manuskrip; dan b) menyusun daftar nama dari seluruh murid penulis dan memastikan apakah periwayat pertama dalam manuskrip itu termasuk di antara mereka; 2) meneliti biografi peneliti pertama, hal ini dilakukan dengan dua tujuan pula: a) menetapkan apakah ia seorang yang terpercaya; dan b) menyusun daftar nama seluruh muridnya; dan 3) demikian seterusnya diadakan pemeriksaan terhadap biografi seluruh periwayat dalam rangkaian sanad. Manuskrip yang diteliti benar-benar dapat dikatakan milik penulis jika dalam pemeriksaan terbukti bahwa penulis pernah menyusun karya dengan judul seperti itu dan tiap-tiap periwayat dalam rangkaian sanad terdiri

atas orang-orang yang thiqah serta mata rantai periwayatannya

bersambung.

Al-Khati>b al-Baqhda>di> dalam sebuah usahanya telah berhasil membuktikan kepalsuan riwayat sebuah dokumen yang diajukan oleh kalangan Yahudi dengan mengecek keberadaan dua orang saksi yang tercantum dalam dokumen, dalam hal ini Mu’awiyah dan Sa’ad ibn Mu’adh yang ternyata hal itu bertentangan dengan fakta sejarah. Alasannya karena Mu’awiyah belum masuk Islam pada saat dokumen itu ditulis, sedangkan Sa’ad justru telah meninggal dunia.

Berdasarkan contoh yang dipaparkan di muka, jelaslah bahwa pengujian terhadap keaslian sumber atau dokumen (hadis) dengan cara mengidentifikasi pembuat dokumen, waktu dan tempat penulisan dokumen, atau unsur-unsur lain yang relevan memang sudah pernah dilakukan oleh sarjana hadis. Hanya saja, hal itu kurang umum

178 M.M. ‘Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, terj.

111

dilakukan oleh mereka. Boleh jadi karena kurang lazimnya hal itu dilakukan sehingga al-jawâbi> menilai bahwa pengujian keaslian

sumber dengan cara melacak identitas pengarang (mu’allif),

menentukan waktu ataupun tempat penulisan, tidak berlaku dalam kasus hadis. Alasannya adalah karena ketiga hal itu telah diketahui

secara umum. Sudah jelas bahwa yang menjadi pengarang (mu’allif)

hadis adalah Nabi saw.179

Barangkali al-Jawa>bi> dalam konteks ini kurang komprehensif dalam menatap sebuah persoalan. Kalau mau mengkaji lebih jauh, persoalan yang ada tampaknya tidak sesederhana itu. Bagaimanapun para peneliti suatu saat memang perlu melakukan uji eksternal terhadap keaslian dokumen-dokumen hadis yang umumnya sudah tua sebagaimana yang pernah dilakukan oleh al Baghda>di>, Azami, Hamidullah, dan lainnya.

Hanya saja, dalam uji eksternal itu tidak cukup dengan hanya memeriksa jenis kertas dan tinta, identitas pengarang, waktu dan tempat penulisan, tetapi perlu juga meneliti kredibilitas periwayat dan mata rantai periwayatannya. Lebih lanjut, dalam mata rantai periwayatan dokumen itu sendiri masih harus diuji ketersambungan sanadnya dengan cara menganalisis berbagai metode dan lambang periwayatan (T}uruq al-tah}ammul wa-siyagh al ada>’) yang digunakan dalam proses periwayatan. Selain itu, kredibilitas masing-masing periwayat juga harus diuji untuk mengetahui apakah periwayatannya dapat diterima atau tidak.

Kaidah-kaidah dan prosedur pengecekan riwayat seperti ini sangat populer di kalangan Ahlusunnah. Namun didapatkan, al-Qifari tidak banyak menggunakan kaidah ini saat menilai riwayat-riwayat Syi’ah. Padahal, kaidah-kaidah semacam ini terdapat juga dalam ushul hadis Syi’ah. 180

Diabaikannya beberapa prosedur dan pengecekan semacam ini, mengakibatkan kesalahfahaman dalam menilai hadis-hadis Syi’ah. Diakui atau tidak, bahwa di dalam kitab al-Ka>fi> sendiri terdapat

179 Muh}ammad T{a>hir al-Jawa>bi>, Juhu>d Muh}addithi>n fi> Naqd Matn

al-H{adi>th al-Nabawi> al-Shari>f (t.t.: Muassasah Abdul Karim, t.th), 495

180 Riwayat-riwayat dalam al-Ka>fi> misalnya, ditulis oleh al-Kulaini> dengan

memperhatikan beberapa langkah: pertama, karena para periwayat hadis-hadis tersebut berdekatan masanya dengan para imam; kedua, sikap dan kepribadian para perawi yang agung, yang secara alami dapat menumbuhkan sikap percaya dan patuh dengan karya-karya mereka; dan ketiga, keyakinan bahwa riwayat-riwayat (akhba>r) tersebut bersumber dari para imam.

112

sekian banyak hadis dha’if, namun al-Qifari nampaknya tidak dengan

tegas untuk mengakuinya.181