• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HADIS-HADIS SYI’AH

B. Akar Historis Kritik Hadis

3) Kritik Hadis Periode Tabi’in

Tidak dapat dipungkiri bahwa, perkembangan kritik hadis pada masa tabi’in (101-180 H) nampak lebih inten dan makin meluas. Hal itu dipengaruhi oleh makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam yang terbentang hingga Afghanistan, Irak, Syria, Mesir, Iran dan Libya. Bersamaan dengan itu, hadis juga ikut tersebar ke berbagai penjuru wilayah Islam, dan pada saat itu pula mulai bermunculan

kelompok-kelompok yang menyimpang (ahlu al-bida’) yang turut menyuburkan

munculnya hadis-hadis palsu.68

Dengan tersebarnya hadis ke berbagai penjuru, kritik hadis menghadapi tantangan tersendiri. Setidaknya ada dua alasan penting

yang dapat dikemukakan di sini: pertama, dengan tersebarnya hadis ke

daerah-daerah yang jauh dari Madinah menjadikan sanad semakin panjang, dan hal ini berpotensi untuk munculnya kesalahan dan

kekeliruan dalam periwayatan. Kedua, munculnya konflik politik dan

perpecahan di kubu umat Islam yang pada gilirannya memicu pemalsuan hadis dari pihak yang beseteru. Kondisi seperti ini mendorong para ulama untuk ekstra hati-hati serta kritis dalam proses periwayatan hadis.69

Kaidah-kaidah kritik hadis yang berfungsi untuk menyortir hadis yang maqbu>l dan yang mardu>d mulai dirumuskan oleh para ulama tabi’in saat itu. Sekalipun belum ditemukan informasi yang lengkap

68 Abu Zahwu, al-H}adi>th wa-al-Muh}addithu>n, 244-245. 69 Abdul Mut}t}alib, Tauthi>q al-Sunnah, 56.

73

tentang keberadaan rumusan tersebut, namun paling tidak apa yang ditulis oleh imam Syafi’i (w. 204 H) dalam al-Risa>lah dapat dijadikan sebagai acuan dalam proses penerimaan hadis. Adapun kaidah-kaidah itu adalah:

a) Sanadnya harus muttas}il, urutan perawi dari awal hingga akhir

sanad merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terputus

b) Perawi hadis hendaknya memiliki kriteria: 1. Terpercaya

sebagai orang yang berpegang kuat pada ajaran agama serta mampu mengamalkannya; 2. Jujur dan terpercaya dalam meriwayatkan hadis; 3. Mampu memahami hadis yang diriwayatkan dengan baik, serta mampu mencermati perubahan yang mungkin terjadi saat proses periwayatan; 4. Mampu meriwayatkan hadis sesuai dengan teks yang dihafal dan tidak sebatas periwayatan dengan makna; 5. memiliki hafalan yang kuat dan cekatan; 6. Tidak dikenal sebagai orang

yang gemar memanipulasi riwayat (mudallis).

c) Dari aspek materi atau isi hadis, tidak boleh bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih thiqah tingkatannya.70

Kaidah yang dirumuskan oleh imam Syafi’i ini pada masa-masa berikutnya diikuti oleh mayoritas ulama hadis, karena rumusan ini mencakup kaidah-kaidah yang universal dan sangat dibutuhkan dalam melihat kualitas sebuah hadis.

Pada masa ini pula mulai bermunculan nama-nama yang dikenal populer sebagai kritikus hadis, di antaranya: Said ibn Musayyab (w. 94 H), abu Salamah ibn Abdul Rahman (w. 94 H), Urwah ibn Zubair (w. 94 H), abu Bakar ibn Abdul Rahman ibn Haris (w. 94 H), Ibrahim al-Nakha’i> (w. 96 H), Abdullah ibn Abdillah ibn ‘Utbah (w. 99 H), Kharijah ibn Zaid ibn Thabit (w. 100 H), Sulaiman ibn Yasar (w. 100 H), al-Qasim ibn Muhammad ibn abu Bakar (w. 106 H), dan Salim ibn Abdillah ibn ‘Umar (w. 106 H).71

Dengan munculnya nama-nama kritikus hadis, maka muncul pula madzhab kritik hadis namun dalam tataran regional, dan yang paling menonjol saat itu adalah madzhab Madinah dan Madzhab Irak. Para kritikus hadis pada periode ini tidak sebatas dari kalangan ahlusunnah, namun dari kalangan Syi’ah pun telah dikenal beberapa

70 Muhammad bin Idris al-Syafi’i>, al-Risa>lah (Beirut: Da>r al-Fikr, tth.),

370-372.

74

tokoh kritikus hadis seperti: Ali Zainal Abidin ibn Husain (w. 93 H) dan ‘Ubaidillah ibn Ra>fi’.72

4) Kritik Hadis Periode Ta>bi’ Ta>bi’i>n

Pada periode ta>bi’ ta>bi’i>n (181-220 H) persoalan seputar hadis nampak semakin komplek, dan kritik hadispun menjadi lebih gencar dilakukan. Objek kajian kritik hadis mulai dipertajam oleh para kritikus hadis. Hal itu tidak lain karena hafalan para perawi hadis tidak lagi sekuat generasi periode sebelumnya, ditambah lagi munculnya banyak sekte yang memicu prilaku bid’ah dan pemalsuan hadis.

Abdul Muththalib mengatakan bahwa, penajaman objek kajian kritik hadis ini setidaknya diarahkan pada dua cabang utama ilmu

dira>yah al-h}adi>th. Pertama, ilmu al-jarh} wa al-ta’di>l yakni kritik tingkat awal yang banyak mengkaji tentang cacat yang nampak, seperti pelupa, banuyak salah, dan fasik. Kedua, ilmu ‘ilal al-h}adi>th,

yakni krtik tingkat menengah yang yang banyak membahas tentang

cacat tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis.73

Lebih lanjut, sepanjang periode atba>’ ta>bi’i>n kritik hadis mulai memasuki babak baru. Seiring dengan giatnya para ulama pada periode ini melakukan perlawatan untuk mencari hadis, kritik hadis telah mengalami perluasan dari yang semula sifatnya lingkup regional menjadi lebih umum dan universal. Ketika itu para pencari hadis sudah mulai mempelajari sunnah dari ratusan bahkan ribuan guru yang tersebar di seluruh penjuru dunia Islam, sehingga kritik mereka bukan hanya ditujukan pada ulama-ulama di satu daerah saja, namun mereka

sudah mulai mengkrtik ulama-ulama yang berada di daerah lainnya.74

Secara keilmuan, kritik hadis pada periode ini juga mengalami perkembangan yang cukup penting. Untuk pertama kalinya bidang-bidang tertentu dari ilmu dira>yah hadis mulai dikodifikasikan, dan hal itu dipelopori oleh imam al-Syafi’i (w. 204 H) saat beliau menyusun kitabnya al-Risa>lah.

Ahmad Syakir, penyunting kitab al-Risa>lah, menganggap bahwa

karya imam Syafi’i ini merupakan kitab paling awal ditulis bukan

72 Shaykh Ja’far al-Subh}a>ni>, Kulliya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l (Qum: Muassasah

al-Nas}r al-Isla>mi>, 1421 H),57.

73 Abdul Mut}t}alib, Tauthi>q al-Sunnah, 57. 74 ‘Azami, Hadith Methodology, h. 50.

75

hanya untuk bidang us}u>l al-fiqh namun juga untuk us}u>l al-hadi>th. Bahkan, beliau menilai bahwa masalah-masalah yang diangkat oleh al-Syafi’i yang terkait dengan hadis ahad dan otoritasnya, keshahihan hadis beserta kriterianya, hadis mursal dan munqati’, serta beberapa hal yang terkait dengan us}u>l al-h}adi>th banyak memberikan inspirasi bagi banyak tokoh yang menulis tentang disiplin ilmu ini.75

Pada periode-periode berikutnya, langkah kritik hadis nampak semakin matang dan mapan. Hal itu dapat dilihat dari arah kritik hadis yang tidak saja sebatas kritik sanad namun sudah merambah ke arah kritik matan. Hal itu tercermin dari pernyataan Ibn Abi H>{a>tim al-Ra>zi> (w. 327 H) sebagaimana berikut: “Bagus tidaknya sebuah dinar akan dapat diketahui jika ia diukur dengan dinar yang lain. Jika ia berbeda dalam kemerahan dan kemurniannya, maka dapat diketahui bahwa ia adalah dinar palsu. Kualitas permata diperiksa melalui pengukuran dengan permata yang lain. Jika ia berbeda dalam cahaya dan kekerasannya, maka akan diketahui bahwa ia adalah kaca. Keotentikan sebuah hadis diketahui dari kenyataan bahwa ia datang dari para periwayat yang terpercaya, dan pernyataan yang diriwayatkan itu sendiri harus mencerminkan pernyataan Nabi.”76

Tidak sebatas kritik, disiplin bidang ini juga mulai disusun dan dikodofikasikan secara menyeluruh. Hal itu ditandai diantaranya dengan lahirnya karya al-Ra>mahurmuzi> (w. 360 H) yang berjudul al-Muh}addith al-Fa>s}il baina al-Ra>wi> wa-al-Wa>’i>. Kitab ini dianggap sebagai kitab dirâyah hadis pertama bagi kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah, sekalipun topik bahasan yang terdapat di dalamnya belum mencakup seluruh cabang ilmu hadis.77

Ilmu dira>yah al-h}adi>th di kalangan ahlusunnah wal jama’ah mencapai kematangannya di tangan al-Khati>b Al-Baghda>di> (w. 463 H).78 Ia antara lain menulis kitab dira>yah al-h}adi>th yang berjudul al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah dan al-Ja>mi’ li-Akhla>q al-Ra>wi> dan Adab al-Sa>mi’ yang mempunyai andil besar dalam laju perkembangan ilmu hadis. Sehingga tidak heran jika Abu Bakar ibn Nukhtah menyebutkan

75 Ahmad Muhammad Shakir, “al-Muqaddimah”, dalam al-Syafi’i>, al-Risa>lah,

13.

76 Ibn abi> H{a>tim al-Ra>zi>, al-Jarh} wa-al-Ta’di>l, jilid I, 351. 77 Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, 35.

78 Akram D}iya>’ al-‘Umari>, Madinan Society at the Time of the Prophet, terj.

Huda Khaththab (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1416 H/1995 M), vol. II, 3.

76

bahwa, para ahli hadis yang datang setelahnya mutlak memerlukan karya-karya al-Baghda>di> sebagai rujukan.79

Sementara di sisi lain, kalangan Syi’ah mengklaim bahwa kitab

Ma’rifah Ulu>m al-H{adi>th karya al-Ha>kim merupakan karya dira>yah

hadis yang pertama untuk mereka.80 Klaim seperti ini dapat saja

memunculkan spekulasi tentang perjalanan sejarah kritik hadis di kalangan Syi’ah. Rif’at Fauzi Abdul Mut}t}alib, misalnya, menilai bahwa kaum Syi’ah belum meletakkan asas-asas bagi kritik hadis kecuali setelah abad II H. Pada abad II H dan sebelumnya masih dijumpai para imam yang mana kaum Syi’ah dapat mengambil hadis secara langsung dari mereka. Perumpamaan kaum Syi’ah dalam hal ini seperti halnya para sahabat yang dapat menerima langsung hadis dari nabi saw. Itulah sebabnya mereka tidak perlu meletakkan asas-asas bagi kritik hadis. Kaum Syi’ah belum juga menyusun karya dalam

ilmu dirâyah hadis kecuali pada akhir abad IV H, dengan

dimasukkannya al-Ha>kim (w. 405 H) dalam kelompok mereka. Begitu pula halnya Syah Waliyullah al-Dahlawi> (1702-1763 M) menganggap bahwa mayoritas ulama Syi’ah terdahulu mengambil riwayat tanpa disertai dengan penyelidikan dan pemeriksaan. Mereka juga tidak melakukan kritik terhadap para periwayat dalam sanad, dan belum ada seorangpun yang menyusun kitab di bidang al-jarh} wa-al-ta’di>l hingga akhirnya al-Kashshi> (w. 340) menyusun kitab tentang nama-nama dan hal ihwal para periwayat hadis. Kemudian disusul oleh al-Ghadha>iri> yang menulis karya tentang para periwayat yang lemah (al-d}u’afa>’), lalu al-Naja>shi> (w. 450 H) dan al-T{u>si> (w. 460 H) yang menyusun karya tentang al-jarh} wa-al-ta’di>l.81 Sementara itu, Abu Zahrah menilai bahwa kitab al-Fihrist karya al-T{u>si> merupakan kitab rijal paling awal yang ditulis oleh kalangan Syi’ah.82

Para ulama Syi’ah menolak penilaian beberapa ulama Sunni, baik secara langsung atau tidak langsung. ‘Ali Khameinei, misalnya, tidak menyetujui penilaian Abu Zahrah di atas. Menurutnya, Abu Zahrah belum melakukan penjelajahan secara menyeluruh terhadap

79 Jala>luddin al-Suyu>t}i>, , Tadri>b al-Ra>wi> fi> Sharh} al-Taqri>b li-al-Nawa>wi>

(Kairo: Da>r al-H{adi>th, 1423 H/2002 M), 35.

80 Ja’far al-Subh}a>ni>, Us}u>l al-H{adi>th wa-Ahka>muhu fi> ‘Ilm al-Dira>yah (Qum:

Lajnah Ida>rah al-H{auzah al-‘Ilmiyah, 1412 H) 8.

81 Sha>h ‘Abdul ‘Aziz al-Dahlawi>, Mukhtas}ar al-Tuh}fah al-Ithna>’ashariyah, 49 82 Muhammad Abu zahrah, al-Ima>m al-S}a>diq: H{aya>tuhu ‘As}ruhu

77

sumber-sumber dan literatur-literatur Syi’ah, sehingga ia berkesimpulan bahwa karya al-T{u>si>, al-Fihrist, merupakan kitab rijal paling awal bagi kaum Syi’ah. Padahal, seperti diungkapkan al-T{u>si sendiri dalam pendahuluan kitabnya, sudah ada kitab-kitab lainnya yang disusun oleh ulama terdahulu. Di sisi lain, Sachedina menandaskan bahwa di kalangan Syi’ah Imamiyah sejak tahun-tahun awal sejarahnya, ilmu rijal telah memperoleh banyak perhatian karena

menyangkut masalah kepemimpinan (Ima>mah). Titik fokus keyakinan

keagamaan dan kosmologi Syi’ah adalah Imam Zaman ( ima>m

al-zaman), yang mempresentasikan Tuhan yang aktif dan trensendental

di muka bumi.83

83 Menurut Ismail (w. 995 H), hadis Nabi saw. sebagai bagian dari fakta

sejarah semestinya memiliki sifat keterbukaan, sedikitnya berkenaan dengan penetapan kualitas yang tampaknya telah dianggap mapan, khususnya tentang kaidah-kaidah yang digunakannya. Lihat Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad, 119.

78

BAB III

AL-QIFARI DAN KONSEP PERIWAYATAN HADIS