• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan pengertian imam yang maksum

BAB V HADIS-HADIS SYI’AH

AL-QIFARI DAN KONSEP PERIWAYATAN HADIS PERSPEKTIF SYI’AH IMAMIYAH

D. Konsep periwayatan hadis perspektif Syi’ah

4) Konsep dan pengertian imam yang maksum

Kata imam secara etimologi berarti seseorang yang diikuti. Dalam al-Qur’an, kata imam juga digunakan untuk melukiskan kitab-kitab tertentu seperti al-Qur’an, kitab-kitab suci Musa,96 dan kitab yang berisi catatan tentang urusan manusia.97 Sedangkan ima>mah, kalangan Syi’ah mendefinisikan dengan suatu jabatan ilahi yang mana Allah memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali menyangkut

hamba-hamba-Nya.98

94 Abu Bakar Al-S}an’a>ni>, Imla> wa-al-Mustamli (Bairut: Da>r al-Fikr, 1409 H),

5.

95 Muassasah al-Bala>gh, Ahl al-Bait, 85. 96 QS. Hud 11:17

97 QS. Yasin 36:12

98 Ka>shif al-Ghita>’, As}l al-Shi>’ah wa-Us}u>luha>, 134. Syi’ah Imamiyah

memahami ima>mah Isla>miyah sebagai sebuah fungsi intelektual dan politis yang diberikan kepada person imam yang termasuk anggota keluarga Nabi saw. mereka juga menegaskan bahwa dia haruslah orang yang paling luas ilmu dan pengetahuannya di antara orang-orang sezamannya, dan menolak kepemimpinan mafd}u>l, karena mereka berargumen bahwa imam adalah pelindung hukum agama yang mendorong orang untuk beribadah kepada Allah dan menjelaskan kepada mereka al-Qur’an dan Sunnah. Lihat Hasyim al- Mu>sawi>, The Syia; Their Origin

and Beliefs, terj. Ilyas Hasan (Bairut: al-Ghadeer Center for Islamic Studies, 1996),

82

Kalangan Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa seluruh imam ahl

al-bait memiliki sifat ‘is}mah seperti Nabi saw. dan para nabi yang lain.99Is}mah yang secara etimologi bermakna menahan, mencegah atau juga proteksi diri,100 oleh kalangan Syi’ah Imamiyah diartikan

sebagai:

ﻭ ﺄﻄﳋﺍ ﻦﻣ ﺯﻮﳚ ﻻ ﺎﻤﻴﻓ ﻉﻮﻗﻮﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻧﻮﺼﻳ ﻡﻮﺼﻌﳌﺍ ﻥﺎﺴﻧﻹﺍ ﰲ ﺮﻣﺃ

ﺔﻴﺼﻌﳌﺍ

. 101

Ibrahim al-Amin juga mendefinisikan dengan: suatu daya atau kekuatan jiwa yang menghalangi pemiliknya untuk terjatuh ke dalam kemaksiatan dan kesalahan, sehingga secara aktual pemiliknya tidak pernah meninggalkan suatu kewajiban dan tidak pula melakukan suatu

yang diharamkan.102

Dengan demikian, ‘is}mah dapat difahami sebagai kualitas batin akibat pengendalian diri yang memancar dari sumber keyakinan, ketaqwaan, dan wawasan keilmuan yang luas. Ia mampu menjamin manusia untuk dapat melawan semua jenis dosa dan penyelewengan moral. Potensi dan karunia ini bersumber dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang dinilai layak dan selalu berusaha

untuk berpegang teguh kepada-Nya.103

Shaykh Muhammad al-Qa>d}i> memberikan semacam ilustrasi terkait dengan sifat ‘is}mah yang dimiliki oleh para imam. Beliau mengatakan, bahwa perbedaan prilaku manusia antara perbuatan baik dan buruk timbul karena perbedaan kualitas dan kuantitas pengetahuannya. Jika ada seseorang yang dengan rela melakukan perbuatan yang nampak melelahkan, dapat dipastikan bahwa dia sadar dan tahu akan tujuan yang hendak dicapai di balik aktifitas itu. Demikian pula saat seseorang dengan senang hati meninggalkan suatu perbuatan yang indah dan mubah bagi dia, bararti ada tujuan dan buah

99 Al-Muz}affar, ‘Aqa>id al-Ima>miyah, 91

100 Muhammad ibn Ya’qub al-Fairu>za>ba>di>, Al-Qa>mu>s al-Muh}i<t} (Bairut: Da>r

Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 1412 H/1991 M), juz IV, 2 entri ﻢﺼﻋ

101 Muhammad Husain al-T{aba>t}aba>`i, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Bairut:

Muassasah al ‘A<lami, 1391 H), juz II, 144.

102 Shaykh Ibrahim al-Amin, Dira>sa>t fi> al-Ima>miyah (Qum: Mu`assasah

Ans}a>riya>n, 1416 H/1996 M), 143; Ja’far al-Subh}a>ni>, Buh}u>th fi> al-Milal wa-al-Nih}al (Qum: Lajnat Ida>rat al-H{auzat al-‘Ilmiyah, 1413 H), juz VI, 288.

103 Ali H{usaini> Maila>ni>, ‘Is}mah (Teheran: Markaz Abh}a>th

al-‘Aqa>idiyah, 1421 H), 13; al-Shari>f al-Murtad}a>, Rasa>`il al-Murtad}a> (Qum: Da>r al-Qura>n al-Kari>m, 1405 H), juz III, 236.

83

yang hendak ia capai. Di sinilah peran pengetahuan dalam membangun kualitas ketaqwaan tersebut, dan dengan proses semacam itu diharapkan dapat mengantarkan seseorang pada kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt.104

Terdapat beberapa argumen yang diajukan oleh kelompok Syi’ah dalam rangka menopang doktrin kemaksuman para imam, di antaranya ayat:                   ) ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ / 33:33 (

‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlu bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.’

Ayat di atas, menurut pemahaman kelompok Syi’ah

memberikan informasi bahwa para imam berpredikat maksum.105 Kata

innama>” dalam ayat di atas berfungsi sebagai pembatas (h}as}r). Sehingga keinginan dan kehendak Allah untuk melakukan penyucian

dan pembersihan dosa itu hanya terbatas pada ahl al-bait, bukan pada

kelompok atau golongan yang lain.106 Adapun kata al-rijs dalam ayat

tersebut secara umum mengandung makna kotoran, baik kotoran lahir atau batin, dapat juga bermakna sesuatu yang menjijikan, yang dibenci atau dosa.107 Namun, kata al-rijs dalam ayat ini lebih tepat diartikan dengan kotoran lahiriyah (al-ma>diyah al-z}a>hiriyah) dan juga batin (al-ma’nawiyah al-ba>t}iniyah) yang berupa pelanggaran dan dosa.108

104 Muhammad al-Qa>d}i>, al-‘Is}mah (t.tt: Sitârah, 1417 H/1997 M), 115-117. 105 Al-Subh}a>ni>, Buhu>th fi> al-Milal wa-al-Nih}al, juz VI, 288; Sayyid

al-Mar’ashi> al-Najfi> (w. 1411 H), Sharh} Ih}qa>q al-H}aq wa-Izh}a>q al-Ba>t}il (Qum: Mansyu>ra>t Maktabat A<yatullah ‘Uz}mah Mar’ashi>, t.th), juz. III, 358; al-Shaykh Mufi>d, Tas}h}i>h} al-I’tiqa>da>t al-Ima>miyah (Bairut: Da>r al-Mufi>d, 1414 H), 127-128.

106 Al-T}aba>t}aba>`i>, al-Mi>za>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, juz XVI, 309.

107 Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, entri ﺮﺴﺟ; Al-Fairu>za>ba>di>, Al-Qa>mu>s

al-Muh}i>t}, juz II, 218, entri ﺲﺟر; Fakhruddin Muhammad ibn Umar al-Ra>zi>, Tafsi>r Mafa>ti<h} al-Ghaib (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H/1990 M), juz XXV, 181.

108 Muhammad al-Qa>d}i>, al-‘Is}mah, 71; Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Sayyid

Mahmud al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma’a>ni> (Bairut: Da>r Ih}ya>` al-Tura>th al-‘Ara>bi>, t.th), juz XXII, 12.

84

Sementara yang dimaksud dengan Ahl al-Bait dalam ayat di atas menurut para ulama Syi’ah hanyalah lima orang, yaitu: Nabi saw., Ali ibn abi Thalib, Fatimah, Hasan, dan Husain ibn Ali109 dengan berdasar hadis yang diriwayatkan oleh ummu Salamah:

ﹶﺔﻤﻃﺎﹶﻓﻭ ﻲﻠﻋﻭ ﹺﻦﻴﺴﺤﹾﻟﺍﻭ ﹺﻦﺴﺤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻞﱠﻠﺟ ﻢﱠﻠﺳﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ﻲﹺﺒﻨﻟﺍ ﱠﻥﹶﺃ

ﻲﺘﻴﺑ ﹸﻞﻫﹶﺃ ِﺀﺎﹶﻟﺆﻫ ﻢﻬﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻢﹸﺛ ًﺀﺎﺴﻛ

ﺍﲑﹺﻬﹾﻄﺗ ﻢﻫﺮﻬﹶﻃﻭ ﺲﺟﺮﻟﺍ ﻢﻬﻨﻋ ﺐﻫﹾﺫﹶﺃ ﻲﺘﺻﺎﺧﻭ

ﹴﺮﻴﺧ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻚﻧﹺﺇ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ ﻢﻬﻌﻣ ﺎﻧﹶﺃﻭ ﹶﺔﻤﹶﻠﺳ ﻡﹸﺃ ﺖﹶﻟﺎﹶﻘﹶﻓ

. 110

“Bahwasannya Nabi saw., menyelimuti Hasan, Husain, Ali,

dan Fatimah dengan kisa’ (pakaian/kain) lalu berkata, ya Allah,

mereka adalah ahlu baiti (keluargaku) dan (orang-orang dekatku), maka jauhkan mereka dari segala kotoran dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya. Ummu Salamah bertanya, apakah aku juga termasuk dari mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: engkau dalam kebaikan.”

Argumen lain yang berupa hadis yang digunakan untuk mendukung status kemaksuman imam di antaranya:

ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﺍﻮﱡﻠﻀﺗ ﻦﹶﻟ ﻪﹺﺑ ﻢﺗﹾﺬﺧﹶﺃ ﹾﻥﹺﺇ ﺎﻣ ﻢﹸﻜﻴﻓ ﺖﹾﻛﺮﺗ ﺪﹶﻗ ﻲﻧﹺﺇ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ

ﻲﺘﻴﺑ ﹶﻞﻫﹶﺃ ﻲﺗﺮﺘﻋﻭ

.

ﻪﺟﻮﹾﻟﺍ ﺍﹶﺬﻫ ﻦﻣ ﺐﻳﹺﺮﹶﻏ ﻦﺴﺣ ﹲﺚﻳﺪﺣ ﺍﹶﺬﻫﻭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

.

)

ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

ﻱﺭﺬﳊﺍ ﺪﻴﻌﺳ ﰊﺃ ﻦﻋ ﻞﺒﻨﺣ ﻦﺑ ﺪﲪﺃ ﻭ ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

(

109 Muhammad al-Qa>d}i>, al-‘Is}mah, 180; al-T}aba>t}aba>`i>, Mi>za>n fi> Tafsi>r

al-Qur’a>n, juz XVI, 312.

110 HR. al-Tirmidhi>, kita>b al-Mana>qib ‘an-Rasu>lillah, ba>b ma> ja>`a fi> fad}li

Fa>t}imah bint Muhammad. Al-Tirmidhi> mengatakan, hadis ini berstatus hasan shahih. Dalam bab lain diriwayatkan pula dari Umar ibn abi Salamah, Anas ibn Malik, ‘Aisyah ra. dan yang lain. Menurut penilaian Fakhruddin al-Ra>zi>, pengkhususan kaum Syi’ah dalam cakupan makna ahl al-bait hanya pada lima orang tidaklah tepat, karena konteks ayat tidak sejalan dengan pembatasan ini. Hal itu dapat dilihat dari pengalihan khita>b muannath (dialog untuk perempuan) yang terdapat pada ayat sebelumnya dan berpindah dengan menggunakan khita>b

mudhakkar (dialog untuk laki-laki), tujuannya agar mereka (laki dan perempuan)

dapat masuk semua dalam khita>b atau kata ﺖﯿﺒﻟا ﻞھأ. Lihat Fakhruddin al-Ra>zi, Tafsi>r Mafa>ti>h} al-Ghaib, juz XXV, 181, dan Muhammad Abdul Rahman ibn Abdul Rahim al-Muba>raka>fu>ri>, Tuh}fat al-Ah}wadhi> Sharh} Sunan al-Tirmidhi> (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H/1990 M), juz. X, 195.

85

‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah aku tinggalkan bagi kalian suatu peninggalan, yang tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh padanya: kita>balla>h dan ‘itrah ahlubaitku. (diriwayatkan oleh al-Tirmidhi>’ dari sahabat Jabir ibn Abdullah, dan Ahmad ibn Hanbal dari sahabat abi Said al-Khudri>)111

Dalam hadis di atas, Rasulullah saw., mensejajarkan antara

al-Qur’an dengan ‘itrah (Ahlulbait). Sehingga menurut pandangan ulama

Syi’ah, pensejajaran itu memiliki keterkaitan dan makna yang dalam, yaitu sebagaimana al-Qur’an berstatus maksum dan terjaga dari segala kesalahan dan pertentangan, maka demikian pula dengan ahli bait Nabi saw.112

Selain berargumenkan nash, kalangan Syi’ah juga berargumen dengan logika, di antaranya argumen yang disampaikan oleh al-H{uli> (w. 726 H) yang teringkas dalam point berikut: a) pengertian dari kata

‘imam’ telah mengandung makna ‘is}mah, karena kata ‘imam’ secara

etimologi berarti ‘yang diikuti’ (al-mu`tam bihi). Jika mereka bisa melakukan salah dan dosa, berarti Allah membolehkan seseorang untuk mengikuti imam yang salah, dan ini mustahil. Namun jika Allah tidak memerintahkan manusia untuk mengikutinya, maka sia-sia penunjukan mereka sebagai imam. Dengan demikian, maka untuk dapat diterimanya syariat yang mereka sampaikan kepada manusia, mengharuskan mereka untuk berstatus maksum; b) Adanya para pemimpin yang dijadikan imam, namun ternyata mereka justru dicela.113

Kondisi ini, bisa menjadi penyebab dan sekaligus alasan bagi seseorang untuk tidak patuh kepada imam. Oleh karena itu, kepatuhan

111 Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, kita>b Mana>qib, ba>b Mana>qib Ahl

al-Bait. Menurut beliau, hadis ini berstatus h}asan ghari>b, dan Ahmad ibn Hanbal dalam musnad abi Said al-Khudri>. Muslim dalam S}ah}ih}nya, kitâb Fad}a>il al-S}ah}a>ba>h, ba>b min Fad}a>il Ali ibn abi T}a>lib juga meriwayatkan hadis senada dengan redaksi yang agak berbeda namun memilki substansi yang sama.

112 Al-Subh}a>ni>, Buh}u>th fi> al-Milal, juz VI, 288. Ali Umar al-Habsyi, Dua

Pusaka Nabi saw., al-Qur’an dan Ahlulbait: Kajian Islam Otentik Pasca Kenabian (Jakarta: Pustaka Zahra, 1423 H/2002 M), 34.

113 sebagaimana firman Allah swt.dalam surat al-Baqarah [2]:44:

           

‘Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?’

86

terhadap imam bukan semata karena keimamahannya, namun karena kemaksumannya, sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengikutinya.114

Shaykh Muhammad Rid}a> al-Muz}affar juga mengajukan pandangannya, dengan mengatakan:

ﻭ ﻞﺋﺍﺫﺮﻟﺍ ﻊﻴﲨ ﻦﻣ ﺎﻣﻮﺼﻌﻣ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺃ ﺐﳚ ﱯﻨﻟﺎﻛ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﻥﺃ ﺪﻘﺘﻌﻧ

ﺎﻤﻛ ،ﺍﻮﻬﺳ ﻭﺃ ﺍﺪﻤﻋ ﺕﻮﳌﺍ ﱃﺇ ﺔﻟﻮﻔﻄﻟﺍ ﻦﺳ ﻦﻣ ﻦﻄﺑ ﺎﻣ ﻭ ﺎﻬﻨﻣ ﺮﻬﻇ ﺎﻣ ﺶﺣﺍﻮﻔﻟﺍ

ﻭ ﻉﺮﺸﻟﺍ ﺔﻈﻔﺣ ﺔﻤﺋﻷﺍ ﻥﻷ ،ﻥﺎﻴﺴﻨﻟﺍ ﻭ ﺀﺎﻄﳋﺍ ﻭ ﻮﻬﺴﻟﺍ ﻦﻣ ﺎﻣﻮﺼﻌﻣ ﻥﻮﻜﻳ ﻥﺃ ﺐﳚ

ﰲ ﻢﳍﺎﺣ ،ﻪﻴﻠﻋ ﻥﻮﻣﺍﻮﻘﻟﺍ

ﺔﻤﺼﻌﺑ ﺪﻘﺘﻌﻧ ﻥﺃ ﺎﻧﺎﻀﺘﻗﺍ ﻱﺬﻟﺍ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﻭ ﱯﻨﻟﺍ ﻝﺎﺣ ﻚﻟﺫ

ﻕﺮﻓ ﻼﺑ ﺔﻤﺋﻷﺍ ﺔﻤﺼﻌﺑ ﺪﻘﺘﻌﻧ ﻥﺃ ﺎﻨﻴﻀﺘﻘﻳ ﻪﺴﻔﻧ ﻮﻫ ﺀﺎﻴﺒﻧﻷﺍ

.

‘Kami percaya bahwa imam seperti nabi, harus terpelihara dari semua keburukan dan kekejian, yang lahir maupun yang batin, sejak usia kanak-kanak sampai dengan kematian, dengan sengaja ataupun lupa. Dia juga harus terpelihara dari sifat lupa dan salah, karena para imam adalah pemelihara syariat dan pelaksana ajaran agama, keadaan mereka dalam hal tersebut seperti keadaan nabi. Dalil yang mengantar kami percaya terhadap keterpeliharaan nabi dari dosa dan kesalahan itu jugalah yang mengantar kami percaya tentang keterpeliharaan para

imam, tanpa perbedaan.’115

Doktrin kemaksuman para imam menurut al-Subh}a>ni> tidaklah lebih agung jika dibandingkan dengan doktrin keadilan sahabat.116 Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh al-Zarkashi> (w. 794 H), predikat keadilan sahabat dalam pandangan ahlusunnah tidak berarti bahwa mereka bersifat maksum terjaga dari semua kesalahan dan dosa. Sebab hal semacam ini tidak akan mungkin disandang kecuali oleh orang yang dikarunia keistimewaan tersendiri oleh Allah swt.117

114 Al-H{uli>, al-Alfain fi> Ima>mah Ami>r al-Mu’mini>n ‘Ali, dalam Ahmad

al-Wa>`ili>, Huwiya>t al-Tashayyu‘ (Bairut: Muassasah Ahl al-Bait, cet. II, 1981 M), 145-155.

115 Muhammad Rid}a> al-Muz}affar, ‘Aqa>id al-Ima>miyah (Kairo: Maktabat

al-Naja>h, 1381 H), 51.

116 Ja’far al-Subh}a>ni>, al-I’tis}a>m bi-al-Kita>b wa-al-Sunnah (Teheran: Ra>bit}at

al-T}aqa>fah wa-al-‘Ala>qa>t al-Isla>miyah, 1417 H/1996), 357.

117 Badruddin Muhammad ibn Abdillah al-Zarkashi>, al-Bah}r al-Muhît} fi> Us}u>l

87

Sementara itu, al-S}a>bu>ni>> mengatakan, predikat maksum dalam pandangan Sunni, tidaklah seperti yang difahami oleh kalangan Syi’ah. Predikat maksum hanya disandang oleh para nabi dan rasul

salawa>tullahi ‘alaihim. Setiap manusia, selain nabi dan rasul dapat melakukan kesalahan dan penyimpangan. Walaupun Allah swt. telah memberikan penjagaan kepada para wali-Nya dari perbuatan dosa besar dan sekaligus melindungi mereka dari perbuatan nista, hal itu tidak lebih sebagai karunia dan taufik serta perlindungan ilahi, bukan termasuk sifat maksum yang secara eksklusif diberikan kepada para nabi dan rasul-Nya.118

Beliau menambahkan:

ﻥﺎﻫﺮﺑ ﻻ ﻭ ﺎﳍ ﺔﺤﺻ ﻻ ﺹﺎﺨﺷﻷﺍ ﺾﻌﺑ ﺔﻤﺼﻌﺑ ﲔﻔﻟﺎﺨﳌﺍ ﺾﻌﺑ ﻯﻮﻋﺩ ﻭ

ﺖﻧﺎﻛ ﺎﻤﻓ ،ﻡﻼﺣﺃ ﻭ ﻡﺎﻫﻭﺃ ﺩﺮﳎ ﻮﻫ ﺎﳕﺇ ﻭ ،ﺔﻨﺳ ﻭﺃ ﺏﺎﺘﻛ ﻦﻣ

)

ﺔﻤﺼﻌﻟﺍ

(

ﻻﺇ ﺪﺣﻷ

ﲔﳌﺎﻌﻠﻟ ﺓﻭﺪﻘﻟﺍ ﻢﻬﻠﻌﺟ ﷲﺍ ﻥﻷ ﺀﺎﻴﺒﻧﻷﺍ

.

119

‘Klaim sebagian kelompok yang menyimpang atas kemaksuman beberapa individu tidaklah sah dan tidak didukung oleh dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Hal itu, tidak lebih sekedar hayalan dan lamunan. Tidak ada seorang pun yang berpredikat maksum selain para nabi dan rasul karena mereka telah diangkat oleh Allah swt. untuk menjadi teladan dan panutan bagi seluruh alam.’

Oleh karena itu, kalangan Sunni jelas-jelas menolak doktrin kemaksumam imam. Bahkan, ibn Taimiyah menuding bahwa doktrin kemaksuman imam tidak akan keluar kecuali dari orang-orang yang

melampaui batas dalam kebodohan.120

Jika diamati lebih kritis, argumen yang diajukan oleh kalangan Sunni terkait doktrin keadilan sahabat dan argumen yang diajukan oleh kalangan Syi’ah untuk menopang predikat kemaksuman imam pada dasarnya masih bersifat umum. Artinya, dalil-dalil yang diajukan

IV, 300. Lihat juga Ahmad Ali al-Ima>m, al-S>}uh}bah wa-al-S}ah}a>bah, 48.Muhammad ibn Alwi al-Ma>liki> al-H{asani>, al-Manhal al-Lat}i>f fi> Us}u>l al-H{adi>th al-Shari>f (Bairut: Da>r al-Fikr, cet. IV, 1402 H/1982 M), 182.

118 Muhammad Ali al-S}a>bu>ni>, al-Nubuwwa>t wa-al-Anbiya>’ (Saudi Arabia:

t.p., 1400 H/1980 M), 55-56.

119 Al-S}a>bu>ni>, al-Nubuwwa>t wa-al-Anbiya>`’, 86.

120 Abu al-Abba>s Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah, Minha>j

al-Sunnah al-Nabawiyah (Riya>d}: Maktabat al-Riya>d} al-Hadi>thah, 1406 H/1986 M), juz II, 453.

88

untuk mendukung hal tersebut tidak secara langsung dan tegas menunjuk keadilan dan kemaksuman mereka. Sehingga, argumen yang mereka tawarkan masih bersifat interpretatif dan oleh karenanya tidak menutup kemungkinan timbulnya beda pendapat.

Predikat keadilan bagi sahabat misalnya, ditentang oleh

kalangan Muktazilah, Syi’ah, dan Khawarij.121 Sebagaimana doktrin

kemaksuman imam juga tidak diterima oleh kalangan Khawarij,

temasuk imam Ali r.a. yang dinilai kafir karena menerima tahkim.122

Ulama Sunni, secara tegas juga menolak doktrin kemaksuman imam. Namun sekali lagi, bahwa kalangan Syi’ah masih tetap berkeyakinan penuh akan kemaksuman imam dengan berpegang teguh pada interpretasi teks-teks ayat dan hadis.

Dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, terdapat dua belas imam yang berasal dari garis keturunan Ahlulbait yang diyakini berpredikat maksum, mereka adalah:

1). Abu al-Hasan Ali ibn abi Thalib, 23 SH-40 H, kemudian putra dan keturunan beliau,

2). Abu Muhammad al-Hasan ibn Ali (2 - 50 H) 3). Abu Abdillah al-Husain ibn Ali (3 - 61 H) 4). Ali (Zainal Abidin) ibn Husain (38 – 95 H)

5). Abu Ja’far Muhammad ibn Ali (al-Ba>qir) (57-114 H) 6). Abu Abdullah Ja’far ibn Muhammad (al-S}a>diq) (83-148 H) 7). Abu Ibrahim Musa ibn Ja’far (al-Ka>z}}im) (128-183 H) 8). Abu al-Hasan Ali ibn Musa (al-Rid}a>) (148-203 H) 9). Abu Ja’far Muhammad ibn Ali (al-Jawa>d) (195-220 H) 10). Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad (al-Ha>di>) (212-254 H) 11). Abu Muhammad al-Hasan ibn Ali (al-‘Askari>) (232-260 H)

121 Kalangan Muktazilah berpendapat bahwa status keadilan sahabat hanya

disandang oleh mereka yang tidak ikut memerangi Ali ibn abi Thalib. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa keadilan sahabat hanya disandang oleh beberapa sahabat saja. Khawarij berpendapat bahwa semua sahabat yang terlibat dalam konflik antara Ali dan Aisyah tidak dapat menyandang predikat adil. Lihat ibn Kathir, Ikhtis}a>r ‘Ulu>m al-H{adi>th dalam Ahmad Sha>kir, al-Ba>’ith al-H{athith Sharh} Ikhtisha>r ‘Ulu>m al-H{adi>th, 257-258.

122 Muhammad Taqiy al-Hakim, Al-Ushu>l al-‘A<mah li> al-Fiqh al-Muqa>rin,

(Bairut: Ds>r al-Andalus, cet. II, 1997 M) 153; Muhammad abu Zahrah, al-Madha>hib al-Isla>miyah (Mesir: al-Mat}ba’at al-Namu>zajiyah, t.th), 276; Abdul Qa>hir ibn T}a>hir al-Baghda>di>, al-Farq baina al-Firaq (Bairut: Da>r Ji>l, 1408 H/1987 M), 56-57; al-Subh}a>ni>, Us}u>l al-Hadi>th, 194-195.

89

12). Abu al-Qa>sim Muhammad ibn al-Hasan (al-Mahdi>) (255 H), lalu menghilang sebelum dewasa, dan diyakini akan muncul kembali

sebagai imam Mahdi yang dinantikan.123

d. ‘A<dil dan D{a>bit}