• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Ruang Lingkup Kritik Hadis

BAB V HADIS-HADIS SYI’AH

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kritik Hadis

Asal usul penggunaan kata “kritik” berasal dari bahasa Latin yaitu: critica, yang berarti menilai.48 Kritik dalam bahasa Arab sering

digunakan dengan kata “naqd” yang memiliki makna pokok

“mengeluarkan sesuatu” atau “memisahkan.”49 Secara bahasa,

penggunaan kata al-naqd bisa juga diartikan dengan arti pengecekan,

dan pembedaan.

Dalam terminology ahli hadis, istilah al-naqd diartikan secara

beragam. ‘Azami, dengan mengutip pendapat muh}addithi>n

mendifinisikan al-naqd (kritik) dengan:

ﻢﻜﳊﺍ ﻭ ﺔﻔﻴﻌﻀﻟﺍ ﻦﻣ ﺔﺤﻴﺤﺼﻟﺍ ﺚﻳﺩﺎﺣﻷﺍ ﺰﻴﻴﲤ

ﺎﳛﺮﲡ ﻭ ﺎﻘﻴﺛﻮﺗ ﺓﺍﻭﺮﻟﺍ ﻰﻠﻋ

“Upaya untuk menyeleksi hadis-hadis yang shahih dari yang dhaif, serta untuk menetapkan status para periwayat hadis dari segi keandalan dan kecacatannya.50

Senada dengan itu, Muhammad Ali Qasim al-‘Umari> mendefinisikan naqd al-h}adi>th (kritik hadis) dengan:

48 K. Prent, dkk, Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), 204. 49 Abu al-Husain Ahmad ibn Fa>ris ibn Zakariyah, Mu’jam Maqa>ys al-Lughah

(Bairut: Da>r al-Fikr, tth,), juz V, 467.

50 M.M. ‘Azami, Manhaj al-Naqd’Inda al-Muh}addithi>n (Riya>d}: al-Umariyah,

66

ﻢﻜﳊﺍ ﻭ ﺎﻬﻠﻠﻋ ﻥﺎﻴﺑ ﻭ ﺔﻔﻴﻌﻀﻟﺍ ﻦﻣ ﺔﺤﻴﺤﺼﻟﺍ ﺚﻳﺩﺎﺣﻷﺍ ﺰﻴﻴﲤ ﰲ ﺚﺤﺒﻳ ﻢﻠﻋ

ﻦﻔﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﺪﻨﻋ ﺔﻣﻮﻠﻌﻣ ﻞﺋﻻﺩ ﺕﺍﺫ ﺔﺻﻮﺼﳐ ﻅﺎﻔﻟﺄﺑ ﻼﻳﺪﻌﺗ ﻭ ﺎﺣﺮﺟ ﺎﺍﻭﺭ ﻰﻠﻋ

.

“Ilmu yang membahas tentang proses pengklasifikasian hadis yang shahih dengan yang dhaif dengan menjelaskan cacat yang terdapat di dalamnya serta status hukum beserta kondisi perawinya dari aspek jarh} dan ta’di>l dengan menggunakan istilah-istilah khusus dan bukti-bukti yang mudah dikenal oleh para ahlinya.”51

Sementara al-Jawa>bi> mendifinisikan naqd al-h}adi>th dengan:

ﻪﻠﻫﺃ ﺪﻨﻋ ﺔﻣﻮﻠﻌﻣ ﻞﺋﻻﺩ ﺕﺍﺫ ﺔﺻﺎﺧ ﻅﺎﻔﻟﺄﺑ ﻼﻳﺪﻌﺗ ﻭ ﺎﳛﺮﲡ ﺓﺍﻭﺮﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻜﳊﺍ

ﻝﺎﻜﺷﺃ ﻊﻓﺮﻟ ﻭ ﺎﻬﻔﻴﻌﻀﺗﻭﺃ ﺎﻬﺤﻴﺤﺼﺘﻟ ﺎﻫﺪﻨﺳ ﺢﺻ ﱵﻟﺍ ﺚﻳﺩﺎﺣﻷﺍ ﻥﻮﺘﻣ ﰲ ﺮﻈﻨﻟﺍ ﻭ

ﺘﺑ ﺎﻬﻨﻴﺑ ﺽﺭﺎﻌﺘﻟﺍ ﻊﻓﺩ ﻭ ﺎﻬﺤﻴﺤﺻ ﻦﻣ ﻼﻜﺸﻣ ﺍﺪﺑ ﺎﻤﻋ

ﺔﻘﻴﻗﺩ ﺲﻴﻳﺎﻘﻣ ﻖﻴﺒﻄ

.

“Proses penetapan status keadilan dan kecacatan para periwayat hadis dengan menggunakan lafald-lafald khusus berdasarkan dalil-dalil yang diketahui oleh ahlinya, serta pemeriksaan terhadap matan-matan hadis berikut menghilangkan kemusykilan dan kontradiksi di antara matan-matan hadis itu dengan menerapkan standart yang cermat.52

Sekalipun terdapat sedikit perbedaan mengenai batasan naqd

al-h}adi>th, namun secara umum obyek pembahasan studi ini tidak berubah, yakni menyangkut 2 aspek: a) Mata rantai transmisi hadis (sanad); b) isi kandungan hadis (matan). Pada aspek sanad yang diperiksa adalah status maqbul dan tidaknya sanad itu, sementara pada aspek matan yang diperiksa adalah status maqbul dan tidaknya matan.

Namun penggunaan istilah “Kritik Hadis” (naqd al-h}adi>th) sering kali menimbulkan mispersepsi atau kesalahfahaman bagi sebagian umat Islam. Sejauh ini, muncul kesan di masyarakat, termasuk kaum intelektualnya, bahwa kririk hadis merupakan upaya untuk melecehkan kedudukan dan fungsi hadis dalam agama Islam. Karena itu, merekapun menganggap bahwa istilah kritik hadis itu

51 Muhammad Ali Qasim al-‘Umari, Dira>sa>t fi> Manhaj Naqd ‘Inda

al-Muh}addithi>n (Yordania: Da>r al-Nafa>`is, 1420 H/2000 M), 11.

52 Muhammad T{a>hir al Jawa>bi>, Juhu>d al-muh}addithi>n fi> Naqd Matn al-H}adi>th

67

datang dari kaum orientalis Barat, dan pada gilirannya selalu dikonotasikan negatif.53

Anggapan yang berkembang di kalangan sebagian masyarakat ini tentu saja tidak dapat diterima. Pasalnya, sebagai sebuah istilah, kritik hadis jelas telah muncul jauh sebelum para sarjana Barat melakukan kajian hadis. Istilah al-naqd (kritik) sendiri ternyata sudah mulai digunakan oleh beberapa sarjana hadis pada awal abad II H,54

dan imam Muslim (261 H) adalah kategori orang pertama yang berbicara masalah kritik hadis dalam bukunya al-Tamyi>z.

Sekali lagi bahwa, kegiatan kritik hadis dilakukan bukan untuk

menggugat ke-hujjah-an hadis Nabi yang memiliki otoritas dalam

menetapkan Syariat, melainkan untuk melihat sejauh mana hadis tersebut benar-benar bersumber dari Nabi saw. oleh sebab itu, dalam kritik hadis, untuk melihat keshahihan hadis dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) kritik sanad (al-naqd al-kha>riji>) dan kritik matan ( al-naqd al-da>khili>).55

Sementara ibn abi H{atim al-Ra>zi> (w.327 H) dalam pendahuluan kitabnya, al-Jarh} wa-al-Ta’di>l, telah menyebutkan istilah kritik dan kritikus hadis (al-naqd wa-al-naqqa>d) di sejumlah tempat.56 Bahkan, salah satu karya al-Dhahabi> (w. 748 H) yang berkaitan dengan al-Jarh} wa-al-Ta’di>l diberi judul Mi>za>n al-I’tida>l fi> Naqd al-Rija>l.

Namun perlu diakui, meski ada beberapa sarjana hadis yang

telah menggunakan istilah al-naqd, terminologi ini tidak cukup

populer di kalangan mereka. Para sarjana hadis lebih senang menamakan ilmu yang membahas tentang kritik hadis dengan sebutan

al-Jarh} wa-al-Ta’di>l.57 Belakangan ini, beberapa sarjana hadis mulai

53 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) xiv.

Rif’at Fauzi Abdul Mut}t}alib juga mengakui bahwa sekarang ini telah berkembang penggunaan istilah naqd (kritik) secara salah dengan maksud “mengunggapkan cacat-cacat”. Sehingga naqd al-h}adi>th diartikan sebagai upaya untuk menjelaskan cacat-cacat dalam hadis. Lihat Rif’at Fauzi, Tauthi>q al-Sunnah fi> al-Qarn al-Tha>ni> al-Hijri> (Mesir: Maktabah al-Khanji>, 1981) 22.

54 M.M. ‘Azami, Stadies in Hadith Methodology (Indianapolis: Islamic

Theacing Center, 1977), 47.

55 Muh}ammad abu Shuhbah, Difa>’ ‘an-al-Sunnah, (Kairo: Maktabat

al-Sunnah, 1409 H/1989 M) 31. Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H}adi>th (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), 469.

56 Abu Muhammad Abdul Rahman ibn abu> H{a>tim al-Ra>zi>. Al-Jarh}

wa-al-Ta’di>l, (Beirut: Da>r al-Fikr, tth.), jilid I, di antaranya h. 2, 6, 32, 55, 126 232, dan 251.

68

tertarik untuk menggunakan istilah al-nagd dalam judul-judul buku yang mereka tulis. Sementara itu, sebagai sebuah praktek, kritik hadis telah dimulai sejak periode nabi saw. dan berlanjut pada periode-periode berikutnya.

Dengan melihat realita di atas, maka lingkup naqd al-h}adi>th

dapat dikatakan lebih luas dibandingkan ilmu al-Jarh} wa-al-Ta’di>l. Lingkup pembahasan al-Jarh} wa-al-Ta’di>l berkisar pada keadilan dan kedhabitan para periwayat hadis berikut kecacatan mereka, sementara lingkup pembahasan naqd al-h}adi>th berkisar pada keadilan dan kedhabitan para periwayat hadis, ketersambungan sanad serta ada tidaknya shudhu>dh (kejanggalan) dan ‘illah (cacat).

Kendati demikian, ada juga sarjana hadis yang mengartikan ilmu

al al-Jarh} wa-al-Ta’di>l secara lebih luas dan umum. Azami misalnya, pernah mengatakan ilmu al-Jarh} wa-al-Ta’di>l dengan “the knowledge of invaliditing and declaring reliable in Hadith.”58 Dengan

pemahaman ini, maka ilmu al-Jarh} wa-al-Ta’di>l dapat disejajarkan dengan naqd al-h}adi>th.