• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HADIS-HADIS SYI’AH

AL-QIFARI DAN KONSEP PERIWAYATAN HADIS PERSPEKTIF AHLUSUNNAH

B. Keshahihan Sumber

Kriteria keshahihan hadis yang dirumuskan oleh para ulama tidaklah muncul secara tiba-tiba, namun melalui proses yang panjang dan rumit. Imam al-Syafi’i -sebagaimana telah disinggung di awal- secara tidak langsung telah merumuskan kaidah-kaidah keshahihan hadis tersebut dalam buku Risa>lah-nya.

Secara lebih luas pembagian dan klasifikasi hadis terjadi pada

abad III atau tepatnya pada masa al-Tirmidhi> (209-279 H).Pada masa

itu dikenal pembagian hadis yang maqbu>l menjadi shahih dan hasan,

dan yang mardu>d diistilahkan dengan dha’if.182 Dengan demikian, maka klasifikasi hadis shahih, hasan, dan dha’if sudah muncul di kalangan ulama Ahlusunnah wal Jama’ah sejak era ulama

mutaqaddimi>n.183

Bagi kalangan Ahlusunnah jika hendak meneliti atau mengkritisi riwayat-riwayat Syi’ah hendaknya memahami konsep pembagian hadis yang terdapat pada kalangan Syi’ah, karena ulama

mutaqaddimi>n Syi’ah184 juga membagi kualitas hadis yang berkisar

181 Hampir semua riwayat yang dikutip oleh al-Qifari dari referensi Syi’ah

di-anggap sebagi hadis yang shahih, padahal tidak demikian adanya. Banyak kritik dari ulama-ulama Syi’ah sendiri terkait dengan kualitas riwayat-riwayat dalam al-Kafi dan juga referensi yang lain. Lihat kembali bahasan tentang penilaian ulama terhadap al-Ka>fi> dalam bab III dari disertasi ini.

182 Klasifikasi kualitas hadis menjadi tiga jenis: shahih, hasan dan dha’if baru

dikenal pada masa al-Tirmidhi>. Para ulama hadis sebelum al-Tirmidhi> membagi hadis menjadi dua jenis: shahih dan dha’if. Hadis dha’if menurut mereka terbagi menjadi dua: dha’if yang masih bisa diamalkan (menyerupai hasan dalam pembagian al-Tirmidhi) dan dha’if yang memang lemah dan harus ditinggalkan. Lebih rinci dapat dilihat dalam Taqiyuddin Ahmad ibn Taimiyah, Majmu>’ Fata>wa Shaykh al-Isla>m ibn Taimiyah (Bairut: Da>r al-‘Arabiyah, 1398 H), jilid XVIII, 23-25.

183 Ulama mutaqaddimi>n, di kalangan Ahlusunnah adalah ulama yang masa

hidupnya sebelum dan hingga akhir abad III H. Lihat Abu H{asana>t Abdul Hay al-Laknawi>, al-Raf’u wa-al-Takmi>l fi> al-Jarh} wa-al-Ta’di>l, (Beirut: Da>r al-Aqs}a>, 1407 H/1987 M) 64.

184 Ulama mutaqaddimi>n, di kalangan ahli hadis Syi’ah adalah ulama yang masa

hidupnya sebelum Ahmad bin T{{a>wu>s ibn Musa H{illi> (w. 673 H), dan muridnya Hasan ibn Yusuf ibn ‘Ali ibn Dawud ibn Mutahhar H{illi> (w. 726 H). Lihat al-Subh}a>ni>, Kulliya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, (Qum: Muassasah al-Nashr al-Isla>mi>, 1421 H) 358-359.

113

pada dua jenis: 1) hadis mu‘tabar, dan 2) hadis ghair mu‘tabar.185

Pembagian seperti ini didasarkan kepada: pertama, kriteria internal, seperti keakuratan periwayat; dan kedua, kriteria eksternal, seperti kemuktabaran hadis yang dihubungkan dengan Zurarah, Muhammad ibn Muslim, dan Fudhail ibn Yasar. Maka hadis yang memenuhi dua kriteria ini dapat dianggap shahih, atau muktabar, sehingga dapat dijadikan sandaran hukum. Namun sebaliknya, jika hadis tidak memenuhi kriteria di atas, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan muktabar atau shahih yang implikasinya hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.186

Sementara itu, ulama mutaakhkhiri>n187 Syi’ah membagi

kualitas hadis menjadi empat jenis: s}ah}i>h} (shahih), muwaththaq

(andal), h}asan (hasan), dan d}a’i>f (dha’if).188 Klasifikasi dan pembagian

hadis ini mulai dikenal sejak akhir abad VII H, tepatnya pada masa Ahmad ibn T{awu>s al-H{illi> (w. 673 H) dan muridnya al-Hasan ibn Yusuf ibn Dawud ibn Mut}ahhar al-H{illi> (w. 726 H). Meski demikian, golongan Syi’ah Akhba>ri>189 masih bersikeras dengan pernyataan

bahwa pembagian kualitas hadis seperti itu tidaklah beralasan dan menyatakan bahwa semua hadis dapat dipercaya, terutama hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab al-mu‘tamadah.

Pendifinisian hadis shahih di kalangan ulama mutaqaddimi>n

Sunni –sebagaimana telah di singgung di atas, baru berbentuk

185 Ja’far al-Subh}a>ni>, Kulliya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l (Qum: Muassasah Nashr

al-Islami>, 1421 H), 358.

186 Al-Subh}a>ni>, Kulliya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, 358-359.

187 Ulama mutaakhkhiri>n, di kalangan ahli hadis Syi’ah adalah ulama yang

hidupnya semasa dengan Ahmad ibn T{a>wu>s ibn Musa al-H{illi> dan al-Hasan ibn Yusuf ib Ali ibn Dawud ibn Mut}ahhar al-H{illi> (w. 726 H) ataupun sesudahnya. Lihat al-Subh}a>ni>, Kulliya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, 358-359.

188 Al-Askari>, Ma’a>lim al-Madrasatain (Teheran: Muassasah al-Bi’thah, 1407

H). jilid III, 240.

189 Golongan Akhba>ri> merupakan salah satu kelompok Syi’ah Imamiyah yang

tidak mau menerima ijtihad. Mereka cenderung menerima dan mengamalkan apa adanya hadis-hadis yang sampai pada mereka, dan menganggap semua hadis yang terdapat dalam al-Kutubal-Arba‘ah sebagai hadis shahih yang diyakini seluruhnya bersumber dari para imam. Mereka pun menolak ijma’ dan akal sebagai dalil syariat. Di sisi lain, terdapat golongan Syi’ah Us}u>li> yang justru mau menerima ijtihad, mengakui ijma’ dan akal sebagai dalil syariat, serta tidak menganggap seluruh hadis dalam al-Kutub al-arba’ah sebagi hadis shahih. Lihat abu Zahrah, al-Ima>m al-S}a>diq, 225-227. Nashir ibn Abdillah al-Qifa>ri>, Us}u>l Madha>hib Shi>‘ah Ima>miyah al-Ithna>-‘ashariyah (Jizah: Da>r al-Rid}a>, cet. III, 1998), 116-117.

114

kriteria-kriteria hadis maqbul, dan belum berbentuk definisi matang tentang hadis shahih. Sebagaimana nampak pada ungkapan imam Syafi’i, bahwa hadis dapat diterima sebagai hujjah jika: 1) diriwayatkan oleh orang yang ‘udu>l (terpercaya kualitas agamanya),

thiqah (cekatan dalam periwayatan), memahami makna hadis dengan

sempurna, dan terhindar dari ‘illah (cacat); serta 2) mata rantai periwayatannya bersambung (maus}u>l).190

Definisi hadis secara lebih matang justru disampaikan oleh ulama mutaakhkhiri>n. Ibn al-S}ala>h (577-643 H) misalnya, beliau mendi-finisikan hadis shahih dengan:

ﻂﺑﺎﻀﻟﺍ ﻝﺪﻌﻟﺍ ﻦﻋ ﻂﺑﺎﻀﻟﺍ ﻝﺪﻌﻟﺍ ﻞﻘﻨﺑ ﻩﺩﺎﻨﺳﺇ ﻞﺼﺘﻳ ﻱﺬﻟﺍ ﺪﻨﺴﳌﺍ ﺚﻳﺪﳊﺍ

ﱃﺇ

ﻼﻠﻌﻣ ﻻ ﻭ ﺍﺫﺎﺷ ﻥﻮﻜﻳ ﻻ ﻭ ﻩﺎﻬﺘﻨﻣ

.

191

‘Hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan d}a>bit} (cekatan) dari awal hingga akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan maupun kecacatan.’

Demikian pula dengan definisi yang telah disampaikan oleh imam al-Nawawi> (631-676 H), dimana beliau mendefinisikan hadis shahih dengan:

ﺔﻠﻋ ﻻ ﻭ ﺫﻭﺬﺷ ﲑﻏ ﻦﻣ ﲔﻄﺑﺎﻀﻟﺍ ﻝﻭﺪﻌﻟﺎﺑ ﻩﺪﻨﺳ ﻞﺼﺗﺍ ﺎﻣ

.

192

‘Hadis yang bersambung sanadnya, diiwayatkan oleh perawai yang adil dan cekatan dan tidak terdapat kejanggalan maupun kecacatan.’

Dengan memperhatikan dua definisi hadis shahih di atas, dapat difahami bahwa kriteria sebuah hadis agar dapat dikatakan shahih jika memenuhi lima kriteria yang sering diistilahkan dengan shuru>t al-qabu>l, yaitu: 1) sanad bersambung; 2) perawi bersifat ‘udu>l

(terpercaya); 3) perawi bersifat d}a>bit} (cekatan); 4) tidak terdapat

shudhu>dh (kejanggalan); dan 5) tidak terdapat ‘illah (cacat). Dari lima

190

Muh}ammad bin Idris al-Sha>fi‘i>, al-Risa>lah (Kairo: Da>r al-Tura>th, 1399 H/1979 M), 370-371.

191 Taqiyuddin abu ‘Amr ‘Uthman Ibn al-S}ala>h},, Muqaddimah fi> ‘Ulu>m

al-H{adi>th (Bairut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1398 H/ 1978 M), 151.

192 Jalaluddin Abdul Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> fi>

115

shuru>t al-qabu>l itu, tiga pertama berkaitan dengan sanad, dan dua

terakhir berkaitan dengan matan dan sanad.193

Beda halnya dengan kriteria hadis shahih yang diajukan oleh kelompok Syi’ah Imamiyah. Jika ditelusuri, didapatkan bahwa kriteria hadis shahih menurut definisi mereka adalah:

ﺕﺎﻘﺒﻄﻟﺍ ﻊﻴﲨ ﰲ ﻪﻠﺜﻣ ﻦﻋ ﻝﺪﻌﻟﺍ ﻲﻣﺎﻣﻹﺍ ﻞﻘﻨﺑ ﻡﻮﺼﻌﳌﺍ ﱃﺇ ﻩﺪﻨﺳ ﻞﺼﺗﺍ ﺎﻣ ﻮﻫ

.

‘Hadis yang bersambung sanadnya kepada orang yang maksum, diriwayatkan oleh orang yang adil lagi d}a>bit dari orang yang seperti itu dalam seluruh tingkatan sanad.194 Ada pula ulama Syi’ah

yang mendefinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya kepada orang yang maksum, diriwayatkan oleh orang yang adil dari kelompok imamiyah dari orang yang sepertinya dalam seluruh tingkatan sanad dan tidak terdapat kejanggalan.195

Dengan memperhatikan beberapa definisi hadis shahih di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa kriteria keshahihan hadis menurut kelompok Syi’ah Imamiyah adalah: 1) sanadnya bersambung kepada Nabi saw. atau imam yang maksum; 2) seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad berasal dari kelompok Syi’ah Imamiyah; 3) para periwayatnya bersifat adil; 4) para periwayatnya bersifat dhabit; dan 5) terhindar dari kejanggalan.

Definisi hadis shahih di atas, adalah definisi dan kriteria hadis

shahih yang disampaikan oleh kelompok muta’akhkhiri>n Syi’ah.

Sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama

mutaqaddimi>n, yang mana mereka memiliki kriteria tersendiri untuk dapatnya sebuah hadis dikatakan shahih. Kriteria tersebut adalah: 1) diperoleh dari sumber yang terpercaya, kendatipun ia termasuk salah satu dari us}u>l al-arba’ mi`ah,196 atau terdapat dalam sebuah kitab yang

193 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang:

UIN Press, 2009), 29

194 Murtad}a> al-Askari>, Ma‘a>lim al-Madrasatain (Teheran: Muassasah

al-Bi‘thah, 1407 H ), juz III, 240

195 Al-Subh}a>ni>, Us}u>l al-H{adi>th, 44.

196 Di kalangan Syi’ah Imamiyah terdapat pemahaman yang beragam tentang

istilah us}u>l al-arba‘ mi’ah. Shaykh al-Mufid misalnya, mengungkapkan bahwa, “kaum Syi’ah Imamiyah dari periode Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib hingga era Abu Muhammad Hasan al-‘Askari> telah menyusun sebanyak empat ratus kitab yang disebut dengan al-us}u>l.” Sementara al-Tabrisi> menyebutkan, “kumpulan dari jawaban-jawaban imam Ja’far al-S}a>diq yang terdiri dari empat ratus masalah telah ditulis dalam sebuah kitab dan dinamakan dengan al-us}u>l.” Beda halnya dengan apa yang dituturkan oleh Muhaqiq al-H{illi>, beliau mengatakan, al-us}u>l adalah:

jawaban-116

pernah diperlihatkan kepada salah seorang imam; dan 2) sejalan dengan dalil lain yang bersifat qat}’i> (pasti) dan sesuai dengan konteks yang dapat dipercaya, meskipun tidak semua perawinya –dari aspek

kepribadiannya- termasuk orang yang sah untuk dijadikan sandaran.197

Beberapa kriteria keshahihan hadis dari kalangna Ahlusunnah maupun Syi’ah yang telah dipaparkan di atas tidak lebih merupakan kaidah-kaidah yang masih global atau yang sering diistilahkan dengan kaidah mayor. Oleh sebab itu pada bahasan berikut kaidah-kaidah di atas akan dirinci kembali menjadi beberapa unsur yang diistilahkan dengan kaidah minor. Adapun kaidah-kaidah minor tersebut adalah:

a) Ittis}a>l al-Sanad (ketersambungan sanad)

Kriteria hadis shahih yang pertama adalah ketersambungan sanad. Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah: tiap-tiap perawi dalam sanad mendengar langsung dari perawi sebelumnya (gurunya), dan kondisi ini terus berkesinambungan dari awal sanad hingga akhir sanad.198 Jika ketersambungan sanad tersebut berakhir sampai pada Nabi saw., maka diistilahkan dengan muttas}il marfu>’, namun jika terhenti hingga sahabat maka diistilahkan dengan mauqu>f, dan jika hanya sampai pada tabi’în diistilahkan dengan maqt}u>’. Ini jika proses periwayatannya melalui informasi langsung, namun jika proses penerimaannya dalam bentuk dokumen tertulis maka harus ada ketersambungan antara penerima naskah dengan pemilik naskah asli.199

Persyaratan ketersambungan sanad untuk hadis shahih tidak hanya terdapat dalam kelompok Ahlusunnah namun terdapat juga pada kelompok Syi’ah. Mereka menetapkan bahwa sebuah hadis dapat dikatakan shahih jika memenuhi syarat keshahihan hadis, salah satunya adalah ketersambungan sanad.

jawaban imam Ja’far yang menyangkut berbagai permasalahan yang kemudian ditulis hingga mencapai empat ratus kitab. Dari beberapa pandangan dan pendapat itu, Muhsin al-Amin berusaha untuk mengkompromikan, bahwa us}u>l. al-arba’ mi’ah umumnya diriwayatkan dari seluruh imam Syi’ah, dan khususnya dari imam Ja’far al-S}a>diq. Lihat pada al-Ami>n, A‘ya>n al-Shi>‘ah, jilid I, 140.

197 Al-Hasani>, Hashim Ma’ru>f, “Telaah Kritis Kitab Hadis Syi’ah, al-Ka>fi>”>, al

-Hikmah, no 6, 1992, 32.

198 Muhammad Adib S}a>leh}, Lamah}a>t fi> Us}u>l al-H{adi>th (Bairut: Maktab

al-Isla>mi>, 1409 H/1988 M), 100.

117

Makna ketersambungan sanad di kalangan Syi’ah dapat dikatakan sama dengan kaidah yang terdapat dalam Ahlusunnah,

namun sedikit berbeda jika dikaitkan dengan istilah muttas}il musnad

atau marfu>’. Hadis marfu>’ di kalangan Ahlusunnah adalah hadis yang bersambung hingga Nabi saw. namun di kalangan Syi’ah, hadis yang

marfu>’ tidak saja yang berakhir kepada Nabi saw, namun juga yang

berakhir hingga salah seorang imam yang maksum.200

Dalam hal ini, kelompok Syi’ah memiliki argumen tersendiri. Imam dalam pandangan mereka memiliki otoritas dan kewenangan dari Allah melalui pesan Rasulullah saw. sebagai penerus dan penyampai hukum-hukum agama. Hukum-hukum tersebut dapat diperoleh melalui ilham dari Allah atau melalui perjumpaan dengan

imam sebelumnya.201

Di sisi lain, para imam juga berstatus sebagai periwayat yang menyampaikan hadis-hadis Nabi saw., dan apa yang bersumber dari mereka dapat dikategorikan sebagai sunnah. Para imam juga mendapatkan wasiat ilmu turun temurun yang ditulis oleh imam Ali hasil dari apa yang didektekan oleh Rasulullah saw.202

Hal ini tercermin pula dalam ucapan imam Ja’far al-S}a>diq:

"

ﲔﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﻱﺪﺟ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﻱﺪﺟ ﺚﻳﺪﺣ ﰊﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﰊﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻲﺜﻳﺪﺣ

ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ ﲑﻣﺃ ﺚﻳﺪﺣ ﻦﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﻦﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﲔﺴﳊﺍ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ

ﺚﻳﺪﺣ ﻭ

ﻞﺟ ﻭ ﺰﻋ ﷲﺍ ﻝﻮﻗ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺚﻳﺪﺣ ﻭ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺚﻳﺪﺣ ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ ﲑﻣﺃ

".

“Hadisku adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis Husain, hadis Husain adalah hadis Hasan, hadis Hasan adalah hadis amirul mukminin Ali, hadis amirul mukminin Ali adalah hadis Rasulullah, dan hadis Rasulullah adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla.”203

Proses penerimaan hadis dengan model seperti di atas memang nampak sulit untuk diterima oleh kalangan Ahlusunnah yang memiliki kriteria sangat ketat dalam proses penerimaan hadis. Kelonggaran

200 Al-Subh}a>ni>, Us}u>l al-H}adi>th, 52

201 Muhammad Rid}a> al-Muz}affar, Us}u>l al-Fiqh fi> Maba>h}ith al-Alfa>z}

wa-al-Mula>zama>t al-‘Aqliyah (Qum: H{auzat al-’Ilmiyah, 1419 H), juz I, 63.

202 Al-‘Askari>, Ma’a>lim al-Madrasatain, 321-322.

203 Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qu>b al-Kulaini>, Us}u>l al-Ka>fi> (Bairut: Da>r

118

yang dimiliki Syi’ah dalam penerimaan hadis bisa jadi mirip dengan apa yang berlaku di kalangan kolompok sufi, yang mana mereka dapat menerima hadis dengan jalan muka>shafah (tersingkapnya tabir hingga dapat bertemu dengan Rasulullah saw.).

b) Al-‘Ada>lah (adil terpercaya)

Syarat ke dua kesahihan hadis adalah al-‘ada>lah, yang dari

aspek bahasa terambil dari kata al-‘adl yang bermakna lurus, tengah,

konsisten.204 Adapun istilah al-‘ada>lah di kalangan ahli hadis Sunni

bermakna:

.ﺓﺀﻭﺮﳌﺍ ﻰﻠﻋ ﺔﻈﻓﺎﶈﺍ ﻭ ﻯﻮﻘﺘﻟﺍ ﺔﻣﺯﻼﻣ ﻰﻠﻋ ﺎﻬﺒﺣﺎﺻ ﻞﻤﲢ ﺔﻜﻠﳌﺍ

Yaitu, ‘satu potensi yang dapat menjaga seseorang untuk dapat kontinyu dalam bertakwa dan mampu menjaga kewibawaan dan

muru’ah-nya (prestis).’205

Defini ‘Azami di atas tidak jauh beda dengan definisi yang diberikan oleh al-Subki> (w. 771 H), beliau mengatakan al-‘ada>lah

ialah:

ﻭ ﻦﻳﺪﺘﻟﺍ ﺔﻣﺯﻼﻣ ﻰﻠﻋ ﻞﻤﲢ ﺔﻜﻠﳌﺍ

ﺚﻌﺒﻳ ﺎﳑ ﺓﺀﻭﺮﳌﺍ ﻭ ﻯﻮﻘﺘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺔﻈﻓﺎﶈﺍ

ﻪﺘﻧﺎﻣﺃ ﻭ ﻪﻗﺪﺼﺑ ﺔﻘﺜﻟﺍ ﻰﻠﻋ

.

‘Satu potensi yang akan membawa pada kontinyuitas terhadap ajaran agama dan menjaga kewibawaan yang dapat menumbuhkan

rasa percaya terhadap kejujuran dan amanatnya.’206

204 Abu al-Fad}l Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Manz}ur,, Lisa>n

al-‘Arab (Bairut: Da>r al-S}adr, 1410 H/1990 M), jilid XI, 430. Al-Kharma>wi>, Mukta>r al-S}ah}i>h} (Kairo: al-Ami>riyah, 1355 H/1938 M), bab لﺪﻋ. Kata al-‘ada>lahatau al-‘adl sendiri sebenarnya memiliki beberapa pengertian: 1) anonim dari kata nista dan aniaya. Dengan demikian makna al-‘adl bisa berarti jujur dalam bertransaksi dan berinteraksi; 2) anonim dari kata fasik dan berbuat maksiat. Dengan demikian al-‘adl bermakna al-taqwa>; 3) bermakna al-‘is}mah (terjaga dari perbuatan dosa). Predikat ini berlaku bagi para nabi dan malaikat; 4) terjaga dari perbuatan salah dan dosa atas kehendak Allah swt. Predikat ini berlaku bagi para wali Allah, dan sebagian ulama memberlakukan juga sifat dan predikat ini untuk para sahabat Nabi saw.; 5) terjaga dari kesalahan dalam berijtihad. Predikat ini akan disandang oleh al-ima>m al-Mahdi> al-muntaz}ar (imam Mahdi yang ditunggu kedatangannya); 6) terhindar dari dusta yang disengaja dalam periwayatan (hadis) yang dapat menyebabkan tertolaknya riwayat mereka. Predikat ini disandang oleh para sahabat. Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, juz II, 214.

205 ‘Azami, Manhaj al-Naqd, 24; S}a>lih}, Lamah}a>t fi> Us}u>l al-H{adi>th, 110. 206 Ta>juddin abi Nas}r Abdul Wahha>b Al-Subki>,, Jam‘u al-Jawa>mi‘ (Kairo:

119

Demikian pula dengan definisi Abdul Muhdi:

ﺍﺮﻫﺎﻇ ﺓﺩﺎﻋ ﺓﺀﻭﺮﳌﺎﺑ ﻞﳜ ﺎﻤﻋ ﺯﺍﺮﺘﺣﻻﺍ ﺎﺎﻋﺍﺮﻣ ﺐﺟﻮﺗ ﺔﻔﺻ

.

Yaitu ‘sifat yang jika dimiliki oleh seseorang akan dapat menjaga dirinya dari rusak atau cacatnya kewibawaan secara dhohir.’207

Definisi di atas, nampaknya tidak jauh beda dengan definisi yang diberikan oleh kalangan Syi’ah, hanya saja mereka mensyaratkan bahwa seorang perawi dapat dikatakan adil jika ia berasal dari kalangan Syi’ah, salain Syi’ah dalam pandangan mereka memiliki aqidah yang rusak atau cacat (fa>sid al-aqi>dah).208

Ja’far al-Subh}a>ni> mengartikan ‘ada>lah dengan karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untuk senantiasa

berada dalam orbit ketaqwaan dan menjaga muruahnya.209 Demikian

pula dengan definisi yang disampaikan oleh Hasan ibn Zainuddin, beliau mengatakan: al-‘ada>lah ialah: tabiat atau potensi yang terdapat pada diri seseorang yang dapat mencegah dari perbuatan dosa besar

dan kecil atau sesuatu yang dapat menghilangkan muruah.210

Ada beberapa kriteria yang disampaikan oleh kelompok Sunni maupun Syi’i bagi seorang perawi agar dapat dikatakan adil. Menurut kelompok Sunni seperti ibn Sala>h} dan al-Suyu>t}i> menyatakan bahwa kriteria tersebut adalah: 1) muslim, maka selain muslim periwayatan hadisnya tidak dapat diterima, karena periwayatan ini berkaitan dengan masalah agama: 2) baligh, syarat ini berlaku bagi yang hendak meriwayatkan hadis (‘inda al-ada>’) dan bukan saat menerima hadis (‘inda al-tah}ammul); 3) berakal; 4) terhindar dari sebab-sebab kefasikan; dan 5) memelihara muruah.211 Al-H{a>kim al-Naisa>bu>ri> (w.

405 H) yang disebut-sebut sebagai ulama Syi’ah juga memberikan kriteria keadilan perawi: 1) muslim; 2) tidak mengajak pada perbuatan

207 Abdul Muhdi ibn Abdul Qadir ibn Abdul Hadi, ‘Ilm al-Jarh} wa-al-Ta’di>l;

Qawa>‘iduhu wa-A’immatuhu (Kairo: Mat}ba’ah al-Azhariyah, 1980), 17.

208 Al-Subha>ni>, Us}u>lal-H{adi>thwa-Ah}ka>muhu, 50. Al-Dahlawi>, Mukhtas}ar

al-Tuh}fah al-Ithna>‘ashariyah, 49-50.

209 Al-Subh}a>ni>, Us}u>l al-H{adi>th wa-Ah}ka>muhu, 118.

210 Jamaluddin Abi Mans}u>r al-Shaykh Hasanibn Zainuddin,, Ma’a>lim al-Di>n

wa-Mala>dh al-Muja>hidi>n (Teheran: al-Maktabat al-Isla>miyah, t.th.), 201.

211 Ibn al-S}ala>h}, Muqaddimah fi> ‘Ulu>m al-H}adi>th, 152; al-Suyu>t}i>, Tadri>b

al-Rawi>, juz. I, 300; Ahmad ibn Ali ibn Tha>bit, al-Kifa>yah fi> Qawa>ni>n al-Riwa>yah (Kairo: Da>r al-Kutub al-H{adi>thah, t.th), 246.

120

bid’ah; dan 3) tidak melakukan perbuatan maksiat yang dapat

menggugurkan keadilannya.212

Keadilan seorang perawi dapat diketahui dari rekomendasi seorang imam atau pakar hadis yang memuji kredibilitasnya serta ketersohoran kualitas keilmuan, kejujuran dan ketaqwaan perawi tersebut di kalangan masyarakat dan ulama.213 Demikian pula di kalangan Syi’ah, keadilan perawi dapat diketahui dari rekomendasi para pakar hadis yang memberikan sinyal-sinyal yang mudah difahami oleh masyarakat akan kredibilitas perawi tersebut, atau dengan merujuk pada buku-buku perawi hadis (rija>l al-h}adi>th) yang ditulis oleh para pakar yang berisi pujian dan justifikasi (tazkiyah) dari mereka.214

Lebih lanjut, terdapat beberapa argumen naqli> maupun aqli>

yang diajukan oleh para ulama hadis, baik dari kalangan Ahlusunnah maupun Syi’ah terkait keadilan perawi hadis sebagai salah satu syarat ke-shahihan hadis yaitu, antara lain firman Allah dalam QS. al-Hujura>t: 6:                               

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik

membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

             

‘dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu

dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.’ (QS. Thala>q: 2)

212 Al-H{a>kim Abi Abdillah Muhammad ibn Abdillah Al-Naisa>bu>ri>, Kita>b