• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. Keberdayaan Keamanan

Dari lima pilar keberdayaan masyarakat dalam program TJS perusahaan Indocement, keberdayaan bidang keamanan dinilai paling belum maksimal. Hal ini terlihat dari rataan skor secara umum di mana aspek keamanan memiliki skor paling kecil. Kondisi ini sejalan dengan penilaian penerima manfaat yang diwakili oleh 410 responden.

Hanya 40 persen atau 164 orang penerima manfaat yang menilai aspek keamanan pada kategori baik. Penilaian buruk mencapai angka 109 orang atau 26.6 persen, sangat baik 84 orang atau 20.5, dan penilaian sangat buruk mencapai 53 orang atau 12.9 persen. Angka terakhir merupakan penilaian yang paling tinggi dibandingkan dengan empat pilar lainnya. Program yang dilaksanakan pada pilar keamanan mencakup program pembinaan SDM keamanan lingkungan, program pembangunan pos keamanan lingkungan, serta program bantuan seragam dan kelengkapan SDM keamanan lingkungan.

Aziz et al. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Participatory Action Research as the Approach For Women's Empowerment memaparkan tentang pemberdayaan masyarakat di Pakistan dengan pendekatan partisipasi. Gagasan pokok dalam penelitian ini menekankan lima model langkah dalam pemberdayaan masyarakat. Langkah-langkah tersebut menggambarkan jalur praktik dan sistem yang tidak menguntungkan masyarakat. Langkah-langkah tersebut antara lain penyelidikan lapangan, analisis aksi, pelatihan advokasi, dialog kebijakan, dan tindakan pelacakan untuk perubahan.

Temuan di atas menunjukkan bahwa keberdayaan penerima manfaat dapat dikatakan baik karena seluruh keberdayaan penerima manfaat memiliki rataan skor di atas 2.52. Keberdayaan masyarakat yang baik secara tidak langsung mengindikasikan keberhasilan perusahaan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Setiap perusahaan seharusnya memahami bahwa setiap perusahaan yang hadir di komunitas tertentu dapat menjadi bagian dari lingkungan sosial tersebut.

Kondisi ini membuat perusahaan tidak bisa apatis terhadap masyarakat yang ada disekelilingnya. Perusahaan seharusnya menyadari dan tidak hanya cukup mengetahui bahwa lingkungan sosial harus dijaga dengan baik. Salah satu caranya ialah dengan menekan dampak psikologis, ekonomi, dan budaya terhadap orang- orang di sekelilingnya (Soemanto 2007).

Pengaruh Karakteristik Penerima Manfaat terhadap Saluran Komunikasi Program TJS Perusahaan

Pada hasil penelitian, terlihat hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa karakteristik penerima manfaat berpengaruh terhadap saluran komunikasi. Dengan kata lain, apabila karakteristik penerima manfaat meningkat yang meliputi pendidikan, pendapatan, status sosial, dan partisipasi sosial, pemahaman penerima manfaat terhadap saluran komunikasi akan meningkatkan. Peubah karakteristik penerima manfaat mempunyai beberapa indikator, antara lain tingkat pendidikan, pendapatan, status sosial, partisipasi sosial, dan keterdedahan media yang tersaji pada Tabel 18.

Hasil penelitian yang tertuang dalam Tabel 18 di atas menggambarkan bahwa tingkat pendidikan penerima manfaat berpengaruh terhadap indikator kebijakan korporasi perusahaan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.137 pada taraf nyata p≤0.05. Dapat dikatakan, semakin tinggi tingkat pendidikan penerima manfaat, semakin baik persepsi masyarakat terhadap kebijakan korporasi. Penerima manfaat dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kecenderungan lebih bijak dalam menerjemahkan dan lebih paham terhadap visi misi perusahaan.

Tabel 18 Pengaruh karakteristik penerima manfaat terhadap saluran komunikasi program TJS perusahaan, 2016

Karakteristik Penerima Manfaat

Nilai Koefisien Regresi β terhadap Saluran Komunikasi Program TJS Perusahaan Kebijakan Korporasi Peran Pendamping Peran Tokoh Masyarakat Peran Media Tingkat pendidikan 0.137* 0.090 0.091 - 0.013 Tingkat pendapatan 0.105* 0.117* 0.098 0.063 Status sosial 0.140* 0.219* 0.153* 0.159* Partisipasi sosial - 0.025 0.260* 0.045 0.052 Keterdedahan media - 0.055 - 0.025 0.011 0.050 Keterangan : *berpengaruh nyata pada p≤0.05 β = koefisien regresi linier sederhana

Wawasan yang luas memberikan kesempatan kepada para penerima manfaat untuk melihat kebijakan korporasi dari perspektif yang lebih luas, sehingga memahami nilai-nilai positif yang coba dikomunikasi oleh perusahaan melalui kegiatan Bilik Informasi (Bilikom). Penerima manfaat yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung lebih dapat memahami visi-misi perusahaan. Kebijakan korporasi dalam penelitian ini merupakan pedoman perusahaan dalam melaksanakan program TJS perusahaan. Penerima manfaat yang memiliki pendidikan tinggi melihat kebijakan korporasi merupakan wujud dari cara pandangan perusahaan, yaitu adanya dorongan tulus dari dalam (internal driven) dalam mengimplementasikan program-program TJS perusahaan dan akan memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat. Tingkat pendidikan akan berdampak terhadap cara pandang masyarakat dalam melihat dan memahami secara lebih utuh tujuan dari TJS perusahaan. Realitas ini sejalan dengan pendapat Ibrahim (2001). Ia mengatakan bahwa tingginya tingkat pendidikan menyebabkan wawasan pengetahuan individu semakin baik dan sumber informasi yang mereka gunakan semakin beragam, sehingga jenis pesan yang diterima juga semakin banyak. Pandangan Ibrahim menguatkan kondisi yang terjadi di lapangan. Penerima manfaat cenderung tidak memahami konsep pelaksanaan rogram TJS perusahaan. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat di desa binaan yang menganggap TJS perusahaan suatu kewajiban yang harus di lakukan oleh perusahaan.

Hal ini juga ditemukan oleh Soekanto (2002). Ia menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan juga memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran, menerima hal-hal baru, dan mengembangkan cara berpikir secara ilmiah. Keluaran pendidikan, baik formal maupun nonformal, adalah terjadinya perubahan perilaku dalam bentuk kepemilikan kemampuan yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Seperti yang dinyatakan Slamet (2003), perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pendidikan berupa (1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui; (2) perubahan dalam keterampilan atau kebisaan dalam melakukan sesuatu; dan (3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Sementara itu, di sisi lain pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap indikator peran pendamping, peran tokoh masyarakat, dan peran media tidak ditemukan.

Pada Tabel 18, tingkat pendapatan penerima manfaat berpengaruh nyata terhadap indikator kebijakan perusahaan dan peran pendamping dengan nilai masing-masing koefisien regresi sebesar 0.105 dan 0.117 pada taraf nyata p≤0.05. Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan masyarakat, semakin baik pula persepsi masyarakat terhadap kebijakan perusahaan. Dalam hal ini, peran pendamping diperankan oleh pendamping masing-masing desa binaan. Tinggi rendahnya status sosial ekonomi seseorang, menurut (Yulisanti 2000), ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Pendidikan yang dimaksud adalah jenis dan tinggi rendahnya pendidikan akan memengaruhi jenjang status sosial seseorang. Pendidikan bukan sekadar memberikan keterampilan kerja, tetapi juga mengubah selera, minat, etiket, dan cara bicara seseorang. Pekerjaan yang memadai akan memudahkan dalam mencari pekerjaan. Ada beberapa jenis pekerjaan tertentu yang dapat membuat seseorang menjadi lebih terhormat daripada orang lain. Pekerjaan yang dimaksud sangat berkaitan erat dengan jabatan/posisi seseorang dalam lingkungan kerjanya. Jika produktivitas tinggi, penghasilan yang diterima akan tinggi.

Penerima manfaat yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi cenderung menilai baik perusahaan karena mereka tidak begitu menggantungkan hidupnya dari perusahaan tersebut. Hal ini membuat penerima manfaat ini bisa melihat secara lebih obyektif kebijakan-kebijakan perusaahan dalam program TJS perusahaan. Mereka juga melihat bahwa program TJS perusahaan dapat dilihat sebagai suatu inovasi yang dapat membantu dan mengembangkan masyarakat miskin. Jika melihat penerima manfaat yang memiliki tingkat pendapatan rendah, mereka cenderung menilai indikator kebijakan korporasi, terutama arena Bilikom, dengan nilai yang tidak begitu baik. Hal ini disebabkan mereka memiliki ketergantungan terhadap kebijakan TJS perusahaan terutama berkaitan dengan bantuan yang akan diberikan.

Masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi pada umumnya merupakan tokoh masyarakat, sehingga mereka memiliki peluang besar untuk dapat terlibat dalam diskusi Bilikom. Dari hasil FGD diperoleh bahwa masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah memiliki banyak sekali masukan terkait dengan program-program TJS perusahaan. Sementara itu, berkaitan dengan pengaruh tingkat pendapatan terhadap peran pendamping, penerima manfaat yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi memiliki kecenderungan melihat peran pendamping lebih positif. Hal tersebut dikarenakan penerima manfaat memiliki hubungan yang baik dengan para pendamping desa. Penerima manfaat yang memiliki tingkat pendapatan tinggi pada umumnya juga memiliki posisi sebagai elit desa atau tokoh masyarakat, sehingga mereka memiliki frekuensi pertemuan yang lebih tinggi dengan para pendamping desa, baik di arena Bilikom atau di kantor desa. Hal ini berbeda dengan penerima manfaat yang memiliki pendapatan rendah. Mereka tidak memiliki frekuensi tinggi dalam bertemu dengan pendamping. Saat bekerja pun, pendamping cenderung lebih memilih untuk berkomunikasi terlebih dahulu dengan masyarakat dengan pendapatan tinggi (elite desa), sehingga frekuensi bertemu antara pendamping dengan penerima manfaat berpendapatan tinggi cenderung lebih sering. Seperti yang diutarakan oleh salah satu masyarakat di desa binaan, pendamping jarang mendatangi masyarakat, biasanya mereka hanya datang ketika Bilikom dan terbatas hanya kepada tokoh- tokoh masyarakat.

Temuan serupa juga ditemukan oleh Situmeang (2012). Dalam penelitiannya ditemukan bahwa masyarakat yang memiliki status atau posisi terpandang dalam masyarakat memiliki peluang yang lebih tinggi untuk dilibatkan yang lebih tinggi oleh perusahaan, baik dalam rangka merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, dan mengevaluasi kegiatan TJS perusahaan. Hal ini disebabkan masyarakat yang memiliki status ekonomi pada umumnya adalah tokoh masyarakat dan dianggap sebagai wakil masyarakat. Menurut Hutomo (2000), masyarakat yang masuk ke dalam kategori miskin hanya memiliki dua sumber pendapatan, yaitu melalui upah/gaji atau surplus usaha informal. Menurutnya, hal ini dikarenakan masyarakat jenis ini dianggap memiliki kemampuan yang terbatas.

Selanjutnya, indikator status penerima manfaat dalam kegiatan sosial berpengaruh nyata terhadap empat indikator pada peubah saluran komunikasi dengan nilai masing-masing koefisien regresi sebesar 0.140, 0.219, 0.153 dan 0.159 taraf nyata p≤0.05. Artinya, status masyarakat sebagai penerima manfaat menentukan efektivitas saluran komunikasi program TJS perusahaan Indocement. Status sosial di desa secara tidak langsung berkaitan dengan akses terhadap partisipasi dalam pengambilang keputusan di desa. Penerima manfaat yang memiliki status sosial yang tinggi umumnya adalah mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Mereka juga sering ikut terlibat dalam proses diskusi mengenai program TJS perusahaan pada kegiatan Bilikom. Hal ini membuat mereka dapat melihat pendekatan pada saluran komunikasi sebagai hal yang positif. Penerima manfaat yang memiliki pendapatan yang tinggi cenderung melihat peran pendamping secara positif karena penerima manfaat yang memiliki pendapatan yang tinggi memiliki relasi yang relatif lebih baik dengan para pendamping. Di lokasi penelitian peneliti menemukan orang-orang kaya (yang menjadi penerima manfaat) yang berperan sebagai tokoh masyarakat informal (tuan tanah). Mereka memiliki frekuensi yang cukup tinggi untuk bertemu dan berdiskusi dengan kordes. Hal ini membuat mereka mampu mengakses informasi mengenai TJS secara lebih detail.

Temuan ini juga ditemukan oleh Situmeang (2012). Ia mengatakan bahwa status sosial sangat menentukan dalam merencanakan kegiatan TJS perusahaan di lokasi penelitiannya. Dalam penelitian Situmeang (2012), Pertamina sering melibatkan masyarakat yang memiliki status sosial sampai dengan tahapan evaluasi. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam program TJS perusahaan yang dilakukan oleh Pertamina.

Pelibatan tokoh masyarakat juga dianggap sebagai salah satu usaha untuk mengurangi risiko kesalahan sebuah program. Hal ini dikarenakan program- program yang berasal dari hasil diskusi dengan tokoh masyarakat telah dianggap sebagai aspirasi dari masyarakat. Menurut Nasution (2004), tingkat status sosial ekonomi dilihat atau diukur dari pekerjaan orangtua, penghasilan dan kekayaan, tingkat pendidikan orang tua, keadaan rumah dan lokasi, pergaulan dan aktivitas sosial. Sitorus (2000) mendefinisikan status sosial. Menurutnya, hal tersebut merupakan kedudukan seseorang di masyarakat, di mana didasarkan pada pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang tinggi ke yang lebih rendah dengan mengacu pada pengelompokkan menurut kekayaan.

Indikator lain ialah partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosial tidak berpengaruh nyata p≤0.05 terhadap keempat indikator saluran komunikasi. Keterlibatan penerima manfaat dalam kegiatan sosial tidak menentukan kualitas saluran komunikasi dalam program TJS perusahaan Indocement. Indikator terakhir ialah keterdedahan media berpengaruh negatif terhadap peran pendamping dengan nilai koefisien regresi sebesar -0.025.

Nilai ini menjelaskan bahwa semakin baik keterdedahan masyarakat penerima manfaat berbanding terbalik dengan peran seorang pendamping. Hal ini disebabkan penerima manfaat yang memiliki keterdedahan yang tinggi akan cenderung memiliki pengetahuan yang luas, sehingga mereka paham fungsi- fungsi ideal yang dapat dilakukan oleh pendamping.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh SF (30), salah satu masyarakat dari Desa Leuwikaret. Ia menganggap pendamping tidak adil karena tidak mendatangi seluruh penerima manfaat. Pendamping hanya tokoh-tokoh masyarakat saja. Menurutnya, pendamping seharusnya melakukan komunikasi yang intens dengan seluruh penerima manfaat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Triyono (2014) yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat melalui Community Development Program Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) PT Holcim Indonesia Tbk Pabrik Cilacap.” Dalam penelitiannya, PT Holcim tidak serta-merta memberikan Program Posdaya kepada masyarakat. Namun, PT Holcim melakukan koordinasi dengan pihak kelurahan serta masyarakat terlebih dahulu. Melalui proses demikian, segala macam bentuk kegiatan Posdaya bersumber dari masyarakat serta memerhatikan aspek potensi subyek Posdaya.

Menurut Rogers (2003) komunikan yang kosmopolit akan lebih banyak menggunakan atau terdedah oleh media massa dibandingkan dengan kebanyakan komunikan lainnya, dengan demikian mereka memiliki informasi yang lebih banyak. Jahi (1988) mengemukakan keterdedahan terhadap media massa akan memberikan kontribusi terhadap perbedaan perilaku. Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, memusatkan perhatian, menimbulkan aspirasi, dan sebagainya.

Keterdedahan ini berkaitan dengan aktivitas pencarian informasi berupa aktivitas mendengarkan, melihat, membaca, atau secara lebih umum mengalami, dengan sedikitnya sejumlah perhatian minimal pada pesan media. Keterdedahan terhadap media komunikasi adalah mendengarkan, melihat membaca, atau secara lebih umum mengalami, dan dengan sedikitnya ada perhatian minimal pada pesan media (Rakhmat 2007). Agar tujuan tercapai, keterdedahan perlu mendapatkan perhatian perusahaan melalui pemilihan model dan aktivitas komunikasi yang tepat, baik dengan melalui media massa maupun melalui komunikasi interpersonal.

Keterdedahan seseorang terhadap media komunikasi mempunyai korelasi yang sangat tinggi antara satu dengan lainnya, sehingga dapat dibuat indeks keterdedahan pada media komunikasi (Rogers 2003). Terpaan media atau keterdedahan (exposure) adalah intensitas keadaan khalayak di mana terkena pesan-pesan yang disebarkan oleh suatu media (Effendy 1991). Keterdedahan berarti intensitas khalayak dalam mengakses pesan-pesan yang disebarkan oleh pihak komunikator melalui media-media yang digunakan. Menurut Berlo (1960), karakteristik individu dan pengetahuan dari penerima pesan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan komunikasi. Keterdedahan sebagai padanan

kata media exposure yang umum dipakai dalam penelitian komunikasi melalui media massa

Hasil wawancara dan FGD di lapangan menjelaskan penerima manfaat yang berpendidikan SMA atau sederajat memahami konsep program TJS perusahaan, sehingga mereka memiliki pemahaman penerima manfaat yang baik untuk kebijakan koprorasi perusahaan. Hal sebaliknya terjadi ketika masyarakat yang berpendidikan rendah. Mereka tidak memahami dasar hukum pelaksanaan program TJS perusahaan. Berikut pernyataan dari salah seorang peserta FGD di Desa Bantarjati.

“.. Kalau merujuk Undang-Undang yang ada harusnya lima persen

keuntungan kegiatan tambang Indocement itu untuk lingkungan. Kalau diibarat peribahasa ini tikus mati di lumbung padi. Contohnya di desa kami ada BUMD Desa yang ingin kerja sama dengan Indocement belum juga terealisasi. Padahal semua persyaratan yang di minta Indocement sudah kita penuhi…” (AS, 52, L).

Pemahaman masyarakat tentang program TJS perusahaan tentunya mempermudah dalam melakukan komunikasi antara masyarakat dengan perusahaaan. Karakteristik tingkat pendidikan, pendapatan, status sosial, partisipasi sosial dan keterdedahan media berpengaruh nyata pada penilaian terhadap keempat indikator saluran komunikasi. Dengan demikian, hipotesis penelitian (H1) yang menyebutkan terdapat pengaruh nyata antara karakteristik penerima manfaat terhadap saluran komunikasi dapat diterima pada indikator tingkat pendidikan, pendapatan, status sosial dan partisipasi sosial terhadap indikator peran pendamping dan kebijakan korporasi pada saluran komunikasi. Temuan ini memperlihatkan pentingnya Indocement untuk memetakan terlebih dahulu karakteristik masyarakat penerima manfaat agar dapat menyesuaikan jenis saluran komunikasi yang digunakan dalam rangka menyebarkan informasi kepada masyarakat penerima manfaat.

Pengaruh Karakteristik Penerima Manfaat dan Saluran Komunikasi terhadap Pendekatan Komunikasi Program TJS Perusahaan

Keberdayaan masyarakat merupakan langkah dan agenda yang penting bagi pelaksanaan dan implementasi program TJS perusahaan Indocement. Keberdayaan masyarakat dalam program TJS perubahan paling tidak menyasar lima aspek yang menjadi pilar keberdayaan. Kelima pilar tersebut antara lain adalah aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial-insfrasruktur dan keamanan. Lima pilar keberdayaan masyarakaat dalam program TJS perusahaan tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Masing-masing pilar dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Melalui penelitian ini, keberdayaan masyarakat terkait program TJS perusahaan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti karakteristik penerima manfaat, saluran komunikasi, dan pendekatan komunikasi. Pengujian peubah yang memiliki pengaruh dalam penelitian ini menggunakan regersi linier sederhana tanpa menggunakan uji klasik.

Pengaruh Karakteristik Penerima Manfaat terhadap Pendekatan Komunikasi Program TJS Perusahaan

Pengujian hipotesis pada peubah karakteristik penerima manfaat terhadap peubah pendekatan komunikasi program TJS perusahaan didapatkan tidak berpengaruh signifikan (original sample estimate 0.03, t-hitung 0.944) dan mempunyai hubungan yang positif. Dengan demikian, hipotesis penelitian (H1) yang menyebutkan terdapat hubungan nyata antara peubah karakteristik penerima manfaat terhadap peubah pendekatan komunikasi program TJS perusahaan ditolak. Hasil pengujian hipotesis penelitian ini tidak ditemukan pengaruh karakteristik penerima manfaat terhadap pendekatan komunikasi program TJS perusahaan. Dengan demikian, pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan program TJS perusahaan oleh Indocement, baik community development maupun sustainable development, tidak dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, status sosial, partisipasi sosial maupun keterdedahan terhadap media.

Hasil penelitian pada Tabel 19 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara indikator pendapatan masyarakat penerima manfaat terhadap indikator sustainable development dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.146 pada taraf

nyata p≤0.05. Nilai ini menjelaskan bahwa semakin mapan perekonomian penerima manfaat, semakin baik persepsi penerima manfaat terhadap pendekatan komunikasi program TJS pembangunan berkelanjutan. Hal ini menandakan bahwa penerima manfaat dengan tingkat pendapatan tinggi cukup kritis dalam melihat program TJS perusahaan yang ditawarkan. Penerima manfaat—yang memiliki tingkat ekonomi yang baik—melihat program-program pembangunan berkelanjutan memiliki potensi untuk dapat memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Sementara itu, penerima manfaat dengan pendapatan rendah melihat program pembangunan berkelanjutan akan memberikan hasil, tetapi hasilnya relatif lama. Sementara itu, mereka membutuhkan bantuan yang sifatnya cepat untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pada penelitian ini, tingkat pendapatan penerima manfaat berdampak pada perbedaan penilaian terhadap pendekatan program komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan.

Temuan serupa juga ditemukan oleh Situmeang (2012). Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa masyarakat yang memiliki status atau posisi terpandang dalam masyarakat memiliki peluang yang lebih tinggi untuk dilibatkan secara lebih oleh perusahaan, baik dalam rangka merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan dan mengevaluasi kegiatan TJS perusahaan. Hal ini disebabkan masyarakat yang memiliki status ekonomi pada umumnya adalah tokoh masyarakat dan dianggap dapat mewakili masyarakat.

Di lapangan, dalam menyusun program sustainable development, perusahaan dapat melihat dan melakukan pemetaan sosial mengenai potensi- potensi apa yang ada. Agar dapat memetakan potensi-potensi yang terdapat di desa, perusahaan melibatkan tokoh masyarakat yang merupakan elite untuk membahas dan mendiskusikan kemungkinan program-program yang tepat. Adinugraha (2016). Ia mengatakan bahwa perencanaan program pertanian yang berasal dari tingkat masyarakat desa relatif hanya dikuasai oleh elite-elite, masyarakat umum tidak dapat memberikan masukan yang signifikan karena mereka sudah berada di bawah cengkraman para elite dan akan memiliki risiko bagi masyarakat miskin.

Tabel 19 Pengaruh karakteristik penerima manfaat terhadap pendekatan komunikasi program TJS perusahaan, 2016

Karakteristik Penerima Manfaat

Nilai Koefisien Regresi β terhadap Pendekatan Komunikasi Program TJS Perusahaan

Community development Sustainable development

Tingkat pendidikan 0.051 0.094

Pendapatan 0.093 0.146*

Status sosial 0.168* 0.129*

Partisipasi sosial 0.055 0.039

Keterdedahan media - 0.044 - 0.085

Keterangan : *berpengaruh nyata pada p≤0.05 β = koefisien regresi linier sederhana Selain itu, indikator status sosial berpengaruh signifikan terhadap indikator community development dan sustainable development pada peubah pendekatan komunikasi sebesar 0.168 dan 0.129 taraf nyata p<0.05. Dapat dikatakan, status penerima manfaat dalam kegiatan sosial berpengaruh nyata dengan pendekatan komunikasi, baik melalui pengembangan masyarakat maupun pendekatan berkelanjutan. Sementara itu, tidak terdapat hubungan antara indikator partisipasi sosial dan keterdedahan media dengan dua indikator pada peubah pendekatan komunikasi program TJS perusahaan rentang waktu 2011 hingga 2015. Status sosial yang dimiliki oleh penerima manfaat secara tidak langsung memiliki kaitan dengan frekuensi komunikasi yang tinggi dengan perusahaan, baik pada konteks komunikasi dalam program Bilikom maupun komunikasi secara personal dengan pendamping dan sesama tokoh masyarakat. Penerima manfaat yang memiliki status sosial yang tinggi memiliki kecenderungan untuk menilai pendekatan komunikasi pada program pengembangan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan secara lebih positif. Hal tersebut dikarenakan penerima manfaat dengan status sosial tinggi memiliki akses lebih tinggi untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan perencanaan program TJS dan memiliki peluang komunikasi yang lebih intensif. Realitas ini kemudian menjadi dasar perbedaan penilaian dengan masyarakat yang memiliki status sosial rendah.

Menurut Nasution (2004), tingkat status sosial ekonomi dilihat atau diukur dari pekerjaan orang tua, penghasilan dan kekayaan, tingkat pendidikan orangtua, keadaan rumah dan lokasi, pergaulan dan aktivitas sosial. Sitorus (2000)

Dokumen terkait