• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kebijakan Korporas

Kebijakan korporasi dalam konteks penelitian ini diartikan dasar dan pedoman perusahaan dalam melaksanakan program TJS perusahaan. Kebijakan korporasi tertuang dalam bentuk visi, misi, program dan kegiatan yang

dilaksanakan oleh Indocement. Kebijakan korporasi merupakan wujud dari cara pandangan perusahaan yaitu adanya dorongan tulus dari dalam (internal driven) dalam mengimplementasikan program program TJS perusahaan. Model implementasi program program TJS perusahaan yang digunakan oleh Indocement termasuk ke dalam model keterlibatan langsung. Implementasi pelaksanaan keseluruhan program TJS perusahaan telah tepat karena dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan.

Penerima manfaat menilai pelaksanaan visi, misi, program, dan kegiatan Indocement melalui TJS perusahaan ada pada kategori baik dengan rataan skor 2.84. Jika dilihat dari masing-masing indikator, penerima manfaat program TJS perusahaan Indocement yang diwakili 410 responden menilai pelaksanaan dan implementasi kebijakan korporasi sebagai saluran komunikasi masuk kategori baik. Penilaian ini berdasarkan frekuensi dan persentase di mana 60.5 persen atau 248 responden menilai baik. Sebanyak 62 responden atau 15.1 persen menilai sangat baik, 96 responen atau 23.2 persen menilai buruk dan sebanyak lima responden atau 1.2 persen menilai sangat buruk.

Penyebarluasan informasi tentang kebijakan perusahaan terjadi melalui arena komunikasi yang bernama Bilik Informasi (Bilikom). Positifnya penilaian penerima manfaat terhadap saluran komunikasi indikator kebijakan korporasi karena penerima manfaat menganggap Bilikom dapat menampung aspirasi dari masyarakat. Bilikom dilaksanakan setiap tiga bulan sekali, pesertanya terdiri dari perwakilan masyarakat perdesaan yang diwakili oleh tokoh masyarakat. Pemerintah diberikan kewenangan oleh perusahaan untuk menentukan tokoh masyarakat siapa yang akan hadir dalam kegiatan Bilikom. Masyarakat umum tidak dapat hadir karena mereka sudah diwakili oleh tokoh masyarakat, kondisi ini menjadikan celah informasi hanya dikuasai oleh beberapa orang saja karena informasi dari hasi Bilikom tidak tersebarluaskan kepada masyarakat. Pemerintah desa binaan juga mengakui sampai saat ini belum terdapat mekamisme untuk memastikan sejauh mana informasi yang diperoleh tokoh masyarakat sudah menyebar. Selain itu, belum ada mekanisme di tingkat RW untuk memastikan cara penjaringan aspirasi masyarakat.

Kondisi ini didukung oleh penelitian Sukada (2007) yang menyebutkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government (pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun, dan menetapkan kebijakan, senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan hasil (output), serta dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Wibowo (2009) menyimpulkan bahwa proses perencanaan partisipatif hanya tahap penyelidikan dan perumusan masalah sudah melibatkan masyarakat sedangkan tahap identifikasi daya dukung, menetapkan langkah-langkah rinci dan merangcang anggaran, masyarakat tidak disertakan. Terkait transparansi anggaran program TJS perusahaan Indocement Lia Damayanti, senior CSR officer Indocement melalui indeph interview menjelaskan

“ … Di lapangan sebenarnya tidak berlaku sama rata sama rasa. Kalau

dilihat dari bujetnya, lebih seperti Lulut. Yang mereka tahu sama rata dan sama rasa itu kulitnya saja, seperti beasiswa. Contohnya kita mau santuni kaum duafa di Lulut, di desa lain tidak ada. Kalau kita bicara ring,

sebetulnya 12 desa binaan itu ring satu. Tapi kita perlakuan kita berbeda

dan para kepala desa sebenarnya sudah paham…” (LD, 44, P).

Wibowo memaparkan juga faktor-faktor yang memengaruhi proses perencanaan partisipatif adalah keterlibatan masyarakat, pelaku kebijakan, pemahaman pelaku kebijakan, serta lingkungan kebijakan. Namun, berbeda dengan hasil penelitian Aulya et al. (2013), di mana kesimpulan penelitiannya menyebutkan faktor-faktor penghambat yang teridentifikasi dalam implementasi program CSR, baik dari internal maupun eksternal, adalah: 1) tidak ada spesifikasi kebijakan dari internal perusahaan mengenai pelaksanaan CSR; 2) proses administrasi yang memakan waktu yang cukup lama; 3) tidak ada struktur organisasi atau aktor pelaksana yang khusus menangani CSR; 4) implementasi dinilai warga masih belum transparan; 5) masih sering terjadi miskomunikasi dalam internal perusahaan.

Program TJS perusahaan Indocement dirumuskan berdasarkan data dari social mapping perusahaan. Data social mapping diperbarui setiap lima tahun sekali. Data social mapping Indocement diperoleh dari hasil penelitian pihak ketiga. Program yang dirumuskan itu kemudian dibicarakan dalam forum Bina Lingkungan Komunikasi (Bilikom). Forum Bilikom sangat strategis, yaitu mempertemukan antara eksternal dan internal stakeholders perusahaan. Forum Bilikom dilaksanakan reguler dengan key performance index (KPI) dan adanya stakeholders mapping (waktu, agenda dan notulensi. Anggota forum Bilikom merupakan perwakilan perusahaan dan perwakilan masyarakat. Forum Bilikom dilaksanakan selama 48 kali di 12 desa binaan selama satu tahun, sehingga satu desa mendapat empat kali putaran Bilikom selama satu tahun.

Agenda Bilikom dalam empat putaran di satu desa dalam kurun waktu setahun adalah:

1) Putaran pertama, penyampaian program yang telah disetujui oleh perusahaan, penyampaian waktu pelaksanaan dan pembentukan tim yang akan melaksanakan program;

2) Putaran kedua, evaluasi kemajuan pelaksanaan program TJS PT Indocement semester pertama;

3) Putaran ketiga, penyampaian hasil Musrenbangdes kepada perusahaan untuk dikaji sebagai bahan skala prioritas perusahaan, dan evaluasi program TJS Indocement yang telah maupun yang belum dilaksanakan;

4) Putaran keempat, evaluasi program TJS Indocement yang telah berjalan selama setahun dan silaturahim pasca Idul Fitri.

Berdasarkan aspek hukum dalam kebijakan korporasi, menurut Fajar (2010) terdapat empat jenis TJS perusahaan, yaitu: (1) Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga keharmonisan kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Di dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat TJS perusahaan yang seutuhnya; (2) Hobbesian leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari pemerintah serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas TJS perusahaan perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan TJS perusahaan; (3) Corporate governance theory, menghendaki

adanya corporate accountability dari direksi korporasi. Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi yaitu antara pemilik dan manajemen korporasi; (4) Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang-undangan seperti Undang-Undang Perseroan Terbatas yang di dalamnya juga mengatur mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Reflexive law theory adalah teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.

Sejalan dengan hal tersebut, Indocement dalam kegiatan TJS perusahaannya juga menerapkan beberapa aspek terkait kebijakan perusahaan. Beberapa kebijakan yang relevan dengan program TJS perusahaan di antaranya keselamatan dan kesehatan kerja, keamanan, lingkungan, dan komunitas. Masing- masing aspek kebijakan perusahaan secara terperinci sebagai berikut:

1) Senantiasa menjalankan perusahaan untuk selalu mematuhi undang-undang, peraturan yang berlaku, dan standar yang relevan;

2) Senantiasa menjalankan perusahaan dengan melaksanakan pengendalian risiko untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, selamat, dan sehat;

3) Senantiasa berupaya untuk menghemat sumber daya alam, mengutamakan keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja, serta mengendalikan dan mengurangi dampak lingkungan, terutama emisi debu melalui kegiatan perbaikan secara terus-menerus; dan

4) Senantiasa berupaya meningkatkan program untuk menciptakan hubungan kerja sama yang harmonis dengan lingkungan sekitar.

Keberadaan Bilikom sebagai instrumen kebijakan korporasi mampu memunculkan aspirasi-aspirasi yang berasal dari masyarakat langsung. Namun, aspirasi yang berasal dari masyarakat desa binaan cenderung bersifat jangka pendek atau hanya seputar bantuan biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan pembukaan lapangan pekerjaan. Aspirasi masyarakat desa binaan yang cenderung jangka pendek disebabkan oleh masyarakat desa cenderung memiliki tingkat pendidikan yang tidak tinggi, sehingga secara ekonomi mereka masih rentan. Kerentanan ini yang kemudian menyebabkan masyarakat belum mampu melepaskan diri dari tekanan pemenuhan kebutuhan dasar. Pembicaraan di tingkat masyarakat desa binaan masih berkutat seputar meminta pemenuhan kebutuhan tersebut. Masyarakat di desa binaan masih berbicara mengenai bagaimana bisa makan untuk esok hari. Kondisi ini menjadi dasar argumentasi yang menjelaskan mengapa masyarakat desa binaan belum mampu memberikan aspirasi-aspirasi yang bersifat jangka panjang.

Hal ini sejalan dengan teori kebutuhan Maslow yang menjelaskan bahwa manusia memiliki jenjang tingkat kebutuhan dalam hidup. Setiap satu tingkatan kebutuhan sudah terpenuhi, akan meningkat kepada tingkat berikutnya. Salah satu teori yang dikemukakan di sini adalah teori hirarki kebutuhan menurut Maslow karena dianggap relevan dengan situasi dalam memenuhi kebutuhannya. Teori kebutuhan tersebut menyatakan bahwa seseorang berperilaku karena dimotivasi oleh adanya keinginan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Kelima macam kebutuhan berjenjang dari segi prioritas (Situmeang 2012), adalah :

2) Safety needs atau security needs, yakni kebutuhan keselamatan atau keamanan;

3) Affection needs atau love needs atau social needs atau belonging needs yang merupakan kebutuhan akan hubungan sosial atau berkelompok;

4) Esteem needs atau egoistic needs adalah kebutuhan penghormatan atau ingin dihargai;

5) Self-actualization atau self realization needs atau self fulfillment needs atau self expression needs, yakni kebutuhan pemuasan diri. Berbagai kebutuhan yang diinginkan seseorang tercermin pada perilaku. Perilaku individu ditentukan oleh kebutuhan yang paling kuat.

Dokumen terkait