• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Peran Pendamping

Pendampingan sosial, menurut Suharto (2006), merupakan salah satu strategi yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan. Prinsipnya adalah membantu orang lain agar mampu membantu dirinya sendiri, seperti prinsip pekerja sosial. Pekerja sosial berperan sebagai pendamping bukan pemecah masalah secara langsung. Mereka hadir dan terlibat membantu memecahkan persoalan. Pendampingan sosial diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin. Pendamping bertugas untuk membantu mengatasi masalah secara bersama-sama dan mengahadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut berupa rancangan program untuk perbaikan sosial dan ekonomi, membuka akses bagi kebutuhan, dan lainnya.

Indikator lain dari saluran komunikasi adalah peran pendamping dalam program TJS perusahaan Indocement. Peran pendamping adalah melihat pelaksanaan tugas dan fungsi seseorang dalam mendampingi dan dipercayakan perusahaan untuk menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat. Peran pendamping dalam program TJS Indocement dilakukan oleh koordinator desa (Kordes). Dalam implementasinya, terdapat tiga tingkatan pendamping yaitu senior officer yang memiliki wewenang untuk mengatur dan melaksanakan program-program TJS perusahaan Indocement, junior officer dan yang paling operasional adalah junior inspector yang bertugas sebagai kordes lapangan. Kordes lapangan ini bertugas di lapangan mengawasi program-program yang digulirkan perusahaan atau menangkap informasi-informasi yang didapat di desa. Dia tidak berwenang mengambil keputusan. Informasi yang dia dapat dilaporkan ke atasan. Koordinator desa melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan program pengembangan masyarakat pada masing-masing desa binaan. Masing-masing desa binaan memiliki satu orang Kordes sebagai jembatan antara masyarakat degan perusahaan. Peran dari seorang pendamping menurut Soesilowati et al. (2011) sangat memengaruhi efektivitas dari pelaksanaan CSR. Keterlibatan pendamping sebagai aktor yang melembaga dalam suatu jaringan menyebabkan proses pemberdayaan berjalan efektif. Hasilnya adalah peningkatan pendapatan subyek serta memberi multiplier effect bagi masyarakat dan pemerintah daerahnya.

Kesimpulan dari penelitian Sumaryo (2009) terkait implementasi Tanggung-jawab Sosial Perusahaan (corporate social responsibility) dalam Pemberdayaan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, sebagai berikut: Salah satu kasus di Provinsi Lampung menyebutkan karakter individu masyarakat dan kualitas program CSR tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku berusaha, sedangkan kompetensi fasilitator dan faktor pendukung berpengaruh

nyata terhadap perubahan perilaku berusaha masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan penilaian penerima manfaat terhadap pendamping sudah cukup baik, hal ini diindikasikan dengan temuan lapang dalam FGD, di mana penerima manfaat menilai pendamping (kordes) di beberapa desa binaan telah cukup mengakomodasi aspirasi masyarakat. Berikut penuturan salah satu penerima manfaat di Desa Leuwikaret.

“.. Kalau Kordes itu cukup dekat, cukup komunikatif, cuman lagi-lagi kalau

kita mau berunding itu justru pihak manajemen Indocement membenturkan dengan Kordes-Kordes ini. Nah jujur kalau mereka itu pada baik, tapi kewenangan mereka itu tidak ada, jadi mereka hanya mendengarkan kita, iyah aja, ketika disampaikan ke sana juga dari sana tidak ada follow up. Jadi mereka pun sebetulnya cuman disuruh saja sama manajemen, disuruh ke sana-ke sana, kita juga mungkin dulu ya suka marah-marah sama mereka tapi sekarang kita makin paham, dengan memarahi mereka kita

malah menjadi jauh…” (DR, 50, L).

Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya pendamping di desa setiap hari, sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan masyarakat dan memetakan potensi desa yang dapat dikembangkan. Kordes juga dinilai mampu menanggapi keluhan warga mengenai kegiatan perusahaan yang dirasa merugikan. Selain itu, menurut beberapa responden juga menyatakan bahwa kinerja Kordes selama tiga tahun ini sudah membantu menjembatani masyarakat dengan petinggi perusahaan. Pelaksanaan program dapat berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat, walaupun tidak terlaksana dengan cepat. Hasil indeph interview dengan LD, senior CSR officer Indocement menjelaskan peran pendamping dalam program TJS perusahaan sebagai berikut:

“.. Kita ada level tingkatan staf CSR. Tugasnya adalah mewakili perusahaan

untuk mengkomunikasikan berbagai macam kebijakan perusahaan kepada desa. Tugas kedua adalah menyaring informasi dari masyarakat. Kita lakukan komunikasi dua arah. Selain menyamaikan pesan-pesan perusahaan, juga menerim pesan dari masyarakat untuk disampaikan ke manajemen baik

secara formal maupun informal…”(LD, 44, P).

Keberadaan pendamping dinilai oleh pihak perusaahan sangat penting karena perusahaan tidak dapat selalu berada di dekat masyarakat. Melalui pendamping, perusahaan berharap agar masyarakat bisa lebih dekat dengan perusahaan dan informasi-informasi yang berasal dari perusahaan atau sebaliknya dapat tersampaikan dengan segera. Perusahaan berharap, pendamping berperan sebagai jembatan informasi antara masyarakat dan perusahaan. Melalui FGD diperoleh informasi, penerima manfaat menilai bahwa pendamping lebih suka bertemu masyarakat, namun tidak semua kalangan masyarakat. Pendamping lebih sering datang kepada tokoh-tokoh tertentu (tokoh agama, tokoh sosial, dan elit), sementara itu penerima manfaat yang bukan tokoh masyarakat relatif hanya bertemu di kantor desa, dalam kegiatan Bilikom, dan ketika berpapasan dengan masyarakat. Penerima manfaat juga menilai peran Kordes hanya sebatas menyampaikan informasi dari perusahaan kepada penerima manfaat, tetapi tidak sebaliknya. Sementara itu, dari hasil wawancara mendalam dengan Kordes, terdapat Kordes yang mengakui bahwa mereka bukannya tidak menyampaikan informasi kepada perusahaan. Kordiantor

desa sudah menyampaikan aspirasi kepada atasannya, namun atasan mereka tidak dapat mengambil keputusan langsung, masih harus melaporkan kepada atasannya lagi. Struktur berjenjang ini yang kemudian diduga oleh para Kordes membuat aspirasi yang sudah mereka sampaikan tidak tersampaikan.

Berkaitan dengan jangka waktu keterlibatan fasilitator (pelaku pemberdayaan) dalam mengawal proses pemberdayaan terhadap warga masyarakat. Sumodiningrat (2000) menjelaskan pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Dalam rangka menjaga kemandirian tersebut, tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran. Kaitannya dengan program TJS perusahaan, peran pendamping menjadi peran yang sangat penting. Keterlibatan pendamping melakukan peran motivator, peran fasilitator, dan peran katalisator.

Keberhasilan program TJS perusahaan turut ditentukan oleh keberadaan pendamping program dari perusahaan. Pendamping (CD worker) dalam program TJS perusahaan sangat penting keberadaannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai penerima program. Dalam konteks program TJS perusahaan Indocement, peran pendamping dilakukan oleh koordinator desa (Kordes). Menurut Ife dan Tesoriero (2008) peranan seorang pendamping dalam melakukan pendampingan, memiliki beberapa peranan dan keterampilan penting, yakni memfasilitasi (facilitative roles), mendidik (educational roles), representasi (representational roles), dan teknis (technical roles). Peranan dan keterampilan diharapkan akan mendorong terciptanya partisipasi masyarakat.

Kelemahan program TJS perusahaan adalah kurangnya tenaga pendamping dan tidak adanya pendamping yang memiliki peranan dan keterampilan yang cukup dalam melakukan pendampingan. Koordinator desa dalam mendampingi masyarakat hanya berorientasi pada tugas sebagai seorang TJS perusahaan bukan karena kesadaran dalam membantu masyarakat sekitar. Kesadaran palsu yang ada pada Kordes menyebabkan tidak terciptanya kedekatan antara pendamping dan masyarakat (kesenjangan sosial).

Dokumen terkait