• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Analisis Keberlanjutan Kegiatan Penangkapan Madidihang

4.7.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Madidihang merupakan komoditas ikan komersial dan bernilai tinggi di pasar dunia. Dengan demikian, penangkapan tuna akan berlangsung apabila diperoleh rente ekonomi yang tinggi. Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang hidup di perairan tropis dan subtropis pada lapisan termoklin, atau pada kolom air yang dalam. Berdasarkan karakteristik tersebut maka untuk mengekstraksi sumberdaya ikan tuna tersebut membutuhkan teknologi dan biaya yang tinggi di samping keterampilan dan pengetahuan dari ABK. Kegiatan penangkapan akan dilakukan apabila diperoleh total revenue yang lebih tinggi daripada total cost, sehingga selain diperoleh profit, modal atau biaya investasi cepat kembali. Untuk mengetahui status keberlanjutan dari kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilihat dari dimensi ekonomi, maka digunakan 11 atribut yang dapat dijadikan indikator untuk menilai status keberlanjutan ekonomi. Atribut-atribut yang digunakan untuk dijadikan indikator dalam penilaian status keberlanjutan ekonomi tersaji pada Tabel 28. Sedangkan untuk mengetahui nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi tersebut dilakukan analisis Rapfish.

Tabel 28 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi ekonomi

No Jenis Dimensi Penilaian Skor

1 Harga Jual US$1 600 per ton 3

2 Kelayakan Usaha R/C : 1.74-2.02 2

3 Tingkat pendapatan Rp.1 701 943.28 > Rp 1 077 600 (UMR Kab.

Malang) 2

4 Sumber pendapatan lain Bekerja penuh sebagai nelayan (full time) 0

5 Kontribusi terhadap PDRB 1.2% 0

6 Pembatasab masuk Melalui persetujuan kelompok nelayan 1

7 Ketenaga kerjaan Tenaga terserap langsung 2 135 orang 2

8 Transfer keuntungan Hampir 88.93% keluar 0

9 Pasar utama 98% ekspor dan 2% lokal 2

10 Subsidi BBM dan fasilitas pelabuhan 0

11. Pembagian kuota Tidak ada 0

Dari hasil analisis Rapfish, pada hasil tangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang dilakukan dari tahun 2003 hingga tahun 2010

yang melakukan kegiatan penangkapan sumberdaya Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya di Selatan Jawa Timur diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi sebesar 72.60% seperti tersaji pada Gambar 40.

Gambar 40 Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kegiatan penangkapan Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan yang tersaji pada Gambar 40, berarti kegiatan perikanan tangkap tuna tersebut berada dalam kategori cukup berkelanjutan. Hal ini berarti kegiatan tersebut memberikan kinerja ekonomi yang tinggi bagi para pelaku perikanan Madidihang di Sendang Biru sehingga memberi manfaat yang besar terhadap perekonomian masyarakat Sendang Biru Kabupaten Malang. perikanan tuna di wilayah ZEEI selatan Jawa Timur.

Tingginya indeks keberlanjutan dimensi ekonomi tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tangkap Madidihang memberikan peluang untuk dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan penghela perekonomian regional, khususnya di Kabupaten Malang. Besarnya nilai ekonomi tersebut diperoleh dari hasil penjualan Madidihang di PPP Pondokdadap yang memiliki harga relatif tinggi yaitu USD 1 664.74 per ton. Tingginya harga tersebut, karena Madidihang merupakan komoditas ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk tujuan ekspor. Produksi Madidihang hasil tangkapan nelayan sekoci sebagian besar (98%) dipasarkan secara langsung ke perusahaan pengolahan ikan yang ada di Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya dan Bali untuk

diproses menjadi bahan atau komoditas ekspor, sisanya (2%) untuk lokal. Harga Madidihang segar di TPI Pondokdadap tersebut, apabila dibandingkan dengan patokan harga dalam penentuan skala keberlanjutan dari Pitcher dan Preikshot (2001), maka harga Madidihang tersebut memiliki nilai skor baik yaitu dengan nilai 3 karena berada dalam rentang harga antara USD 1500-3000.

Berdasarkan tingginya harga tersebut, maka keberadaan nelayan tangkap sekoci di Sendang Biru, pada saat ini menjadi penghela ekonomi di wilayah Malang bagian Selatan. Pada tahun 2010, tenaga kerja langsung yang terserap pada kegiatan perikanan tangkap sekoci sekitar 2 135 orang. Tingginya kinerja nelayan Madidihang tersebut memberikan nilai manfaat langsung kepada pemilik kapal, karena dengan nilai investasi sebesar Rp 89 513 000 dalam waktu 27 bulan sudah kembali. Berdasarkan atas kinerja performa keuangan, keuntungan pemilik kapal ditunjukkan dengan tingginya nilai B/C rationya yang mencapai 2.25 dan nilai IRR sebesar 57.36% Sama halnya dengan pemilik kapal, kinerja ekonomi dari kegiatan perikanan tuna tersebut memberikan dampak langsung kepada nelayan. Nelayan sekoci memiliki pendapatan rataan yang tinggi yaitu Rp 1 701 943.28 per bulan. Apabila dibandingkan dengan upah minimum regional Kabupaten Malang, maka pendapatan nelayan sekoci tersebut berkategori baik, karena berada di atas UMR Kabupaten Malang yang berlaku pada tahun 2010, yaitu Rp 1 077 600.

Tingginya keuntungan yang diperoleh oleh kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci tersebut, selain dirasakan oleh masyarakat juga memberikan kontribusi yang langsung terhadap pendapatan daerah. Restribusi terhadap hasil tangkapan ikan tuna di PPP Pondokdadap diberlakukan sebesar 3% dari total pendapatan. Restribusi ini ditanggung oleh nelayan dan pengusaha sebagai pembeli ikan dari nelayan yang bersangkutan. Dengan demikian, restribusi yang dibayarkan oleh nelayan dan pembeli ikan masing–masing adalah sebesar 1.5%. Selain pihak pengelola PPP Pondokdadap, pungutan restribusi diterapkan oleh pemerintah Desa Tambakrejo Sumbermanjing Wetan, yaitu 0.5% dari total tangkapan. Dengan demikian, kontribusi langsung yang diperoleh pemerintah adalah sebesar 3.5%.

Berdasarkan performa kinerja ekonomi tersebut, maka pada saat ini kegiatan usaha perikanan Madidihang dijadikan komoditas unggulan Kabupaten Malang (Nurani 2010). Tetapi walaupun kegiatan perikanan tangkap tuna ini memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat Sendang Biru, kontribusinya terhadap PDRB masih relatif rendah jika dibandingkan dengan sektor lain di Kabupaten Malang. Hal ini terjadi karena pengembangan sektor perikanan tangkap di Kabupaten Malang masih relatif baru. Sektor perikanan tangkap baru di jadikan sektor unggulan oleh pemerintah Kabupaten Malang pada tahun 2000-an. Namun karena wilayah PPP Pondokdadap berada di area hutan lindung (PT. Perhutani), maka pembangunannya sampai saat ini masih lambat. Upaya untuk mendapatkan perluasan tanah dalam kerangka pengembangan terus dilakukan, namun sampai saat ini belum memperoleh kepastian. Sementara kegiatan perikanan tangkap tuna di Sendang Biru, terus berkembang dengan pesat. Kondisi ini mengakibatkan daya dukung wilayah Sendang Biru sudah melampaui batas. Perluasan PPP Pondokdadap sulit dilakukan, sehingga kondisinya masih buruk dan berdampak terhadap kualitas ikan yang dihasilkan.

Tingginya kinerja ekonomi dari kegiatan perikanan Madidihang ini dipengaruhi oleh atribut yang mempunyai nilai sensitifitas tinggi. Dari 11 atribut yang dijadikan indikator dari analisis Leverage, diperoleh hasil bahwa besarnya indeks keberlanjutan kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang paling sensitif adalah peubah transfer keuntungan, seperti yang tersaji pada Gambar 41.

Atribut transfer keuntungan (kepemilikan usaha) muncul sebagai peubah yang memiliki nilai sensitifitas yang tinggi tidak lepas dari keberadaan kepemilikan usaha dari kapal sekoci yang dipergunakan oleh nelayan Sendang Biru. Hal ini terjadi, karena pada mulanya sebagian besar kapal sekoci yang ada di Sendang Biru berasal dari kapal andon dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008 kapal yang tercatat di Kelompok Nelayan Rukun Jaya, tercatat bahwa kapal sekoci yang dimiliki oleh nelayan lokal sejumlah 220 unit dan andon 131 unit. Namun demikian, dari sejumlah kapal sekoci yang tercatat sebagai kapal lokal hampir 50% dimiliki pengusaha dari luar

Kabupaten Malang. Dengan demikian maka jumlah kapal sekoci milik pengusaha dari luar kabupaten malang adalah sejumlah 241 unit atau sekitar 68.77%. Nelayan dan nahkoda dari kapal sekoci tersebut, baik yang dimiliki oleh nelayan lokal maupun nelayan andon sebagian besar (95%) berasal dari suku Bugis asal Provinsi Sulawesi Selatan, terutama dari Kabupaten Sinjai. Keterlibatan usaha yang diperankan oleh masyarakat Kabupaten Malang, sebagian besar adalah sebagai pengusaha pemodal atau pengambek, dan penyuplai kebutuhan sembako dan es.

Gambar 41 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

Berdasarkan proporsi tersebut maka pendapatan hasil tangkapan sekoci sebagian besar dibawa ke luar wilayah Kabupaten Malang sebesar 88.99%, sisanya tetap berada di Kabupaten Malang. Adanya transfer keuntungan ke luar dari Kabupaten Malang, tidak lepas dari keterbukaan masyarakat Sendang Biru. Masyarakat Sendang Biru terbuka untuk pengusaha baru, yang berasal dari luar Kabupaten Malang, baik sebagai pengusaha tetap maupun sebagai andon. Namun demikian, untuk pengusaha baru yang akan beroperasi di wilayah ZEEI Selatan Jawa Timur dan menggunakan rumpon sebagai alat bantunya, disyaratkan untuk menjadi anggota dari Kelompok Nelayan Rukun Jaya. Persyaratan lain, adalah ketentuan untuk bermitra dengan penduduk lokal sebagai pengambek dan tidak boleh mengganggu ketentuan yang berlaku

umum. Dengan demikian, maka sifat keterbukaan tersebut terbatas (limited entry). Artinya walaupun terbuka tetap dibatasi dengan aturan-aturan yang bersifat lokal.

Tingginya minat investasi di Sendang Biru, menandakan bahwa secara ekonomis kegiatan usaha di bidang perikanan tangkap dengan menggunakan sekoci masih menguntungkan. Adanya keterbukaan tersebut, dalam konteks pengelolaan sumberdaya Madidihang menjadi atribut yang memberikan dampak negatif, karena sumberdaya ikan tuna akan diekstrak secara tak terkendali. Agar dalam pengelolaan Madidihang bisa berkelanjutan, maka keterbukaan kepemilikan usaha tersebut, tetap dipertahankan, namun diatur dengan ketentuan-ketentuan. Menurut Charles (2001) secara umum terdapat dua kunci untuk menjaga keberlanjutan dalam sistem perikanan, yaitu ada aturan yang rasional untuk ditegakkan dan adanya keseimbangan antara tingkat pengaturan sumberdaya yang dibutuhkan oleh nelayan dengan tingkat kinerja yang diperlukan untuk dijalankan secara efektif.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka kepemilikan usaha tersebut, harus mendapatkan perhatian yang seksama, karena apabila dibiarkan akan menyebabkan tingkat konflik di antara para nelayan dan secara aggregate perkembangan perikanan tersebut, tidak memberikan dampak yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi regional, khususnya di Kabupaten Malang bagian selatan. Namun demikian, secara umum dari dimensi ekonomi, menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tuna yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru dari hasil tahun 2003 hingga tahun 2008 menunjukkan status yang cukup berkelanjutan. Besaran subsidi ternyata tidak menjadi kendala dalam perikanan tangkap dengan kapal sekoci ini. Pendapatan nelayan masih relatif besar, sehingga nelayan sekoci jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan nelayan armada lain yang ada di Sendang Biru.

Besarnya nilai ekonomi dari hasil tangkapan ikan tuna tersebut, dikhawatirkan akan berdampak terhadap peningkatan investasi yang tidak terkendali, sehingga dari segi pengelolaan akan berdampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya ikan tuna yang ada di fishing ground. Metode

pengendalian input dengan melakukan pengendalian jumlah kapal, jumlah peralatan tangkap dan pengaturan rumpon perlu segera diberlakukan.