• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Analisis Keberlanjutan Kegiatan Penangkapan Madidihang

4.7.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Penentuan atribut-atibut pada dimensi kelembagaan didasarkan kepada lembaga yang memiliki pengaruh dan keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan kegiatan pemanfaatan Madidihang di Sendang Biru. Lembaga yang dipilih sebagai atribut terdiri dari lembaga formal dan non-formal. Lembaga formal yang dipilih dan diduga memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dari dimensi kelembagaan adalah: 1) Pemerintah: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemvrop Jatim dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2) Polairud/TNI AL, 3) PPP Pondokdadap, 4) KUD Mina Jaya dan LEPPM3. Sedangkan yang berasal dari lembaga non-formal adalah: 1) Pengambek dan 2) Perusahaan inti. Sedangkan atribut illegal fishing adalah atribut yang berkaitan dengan etika dalam sistem patrun-clien, yaitu terjadinya transshipment.

Pemerintah dalam hal ini, adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Peranan

dari pemerintah, berkaitan langsung terhadap pembuatan aturan dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tuna sebagai ikan pelagis yang berada dalam yuridiksi perairan ZEEI, dimana pengelolaannya berkaitan dengan lembaga internasional yaitu IOTC. Peranan lain dari pemerintah ini adalah penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan sebagai pusat pendaratan ikan, infrastruktur jalan, listrik dan air. Selain itu pemerintah memiliki peranan penting dalam melakukan resolusi konflik yang terjadi, penyediaan modal dan bantuan seperti subsidi. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan tuna di perairan ZEEI terutama dalam pengaturan alat tangkap dan area penangkapan, serta melakukan pengendalian dan monitoring terhadap aktivitas yang di lakukan oleh nelayan.

Berdasarkan peranan yang penting tersebut, maka dalam penentuan atribut diberi skala 2. Namun dari penilaian terhadap peranan pemerintah tersebut masih belum optimal, terutama dalam penyediaan infrastruktur yang yang menunjang kegiatan perikanan tuna, seperti fasilitas dan kapasitas pelabuhan, air dan listrik, dan bantuan modal masih rendah. Pelabuhan perikanan dalam upaya pembangunan tidak dirancang untuk pendaratan ikan tuna, yang membutuhkan penanganan khusus dan cepat. Air yang dibutuhkan untuk mencuci ikan, perbekalan dan pembuatan es (pabrik es) masih kurang, es masih didatangkan dari Kota Malang, Blitar dan Tulungagung, padahal es merupakan bahan baku yang vital dalam perikanan tuna. Akibatnya harga es menjadi tinggi, dan menambah beban biaya operasional. Permodalan yang disediakan oleh pemerintah yang disalurkan melalui Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPM3) tidak mencukupi kebutuhan permodalan nelayan Sendang Biru. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dalam penentuan skor memperoleh angka 1 (satu). Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah belum peduli terhadap nelayan kecil yang mengekstrasi sumberdaya perikanan Madidihang yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia.

PPP Pondokdadap merupakan pusat pendaratan utama dari nelayan sekoci. PPP Pondokdadap dikelola oleh Badan Pengelola PPP Pondokdadap Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Badan ini memiliki tugas

pokok dan fungsi, diantaranya pengaturan dan penyediaan sarana dan prasarana yang ada di Pelabuhan Pondokdadap. Sedangkan pengelolaan Pondokdadap dalam hal pelelangan dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang yang wewenangnya selanjutnya diberikan kepada KUD Mina Jaya. PPP Pondokdadap pada mulanya merupakan pelabuhan dengan klasifikasi PPI. Namun karena jumlah kapal bertambat labuh semakin meningkat dan produksi ikan semakin tinggi maka dinaikkan kelasnya menjadi pelabuhan perikanan pantai (PPP). Kenaikan kelas ini tidak diikuti dengan penambahan sarana dan prasarana yang sesuai dengan persyaratan PPP sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 tahun 2004 tentang Pelabuhan Perikanan, namun sebatas persaingan untuk pengelolaan dari pelabuhan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya partisipasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten dalam perencanaan pembangunan pelabuhan. Dari wawancara diperoleh hasil, bahwa pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan tersebut. Padahal apabila direncanakan dengan baik, niscaya PPP Pondokdadap akan menjadi pelabuhan perikanan tuna rakyat terbesar di Selatan Jawa.

Berdasarkan Kepmen Kep.10/Men/2004 tersebut peranan pelabuhan perikanan mempunyai peranan penting dalam menunjang peningkatan produksi, memperlancar arus lalu lintas perikanan, mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat perikanan serta mempercepat pelayanan terhadap seluruh kegiatan yang bergerak dalam bidang usaha perikanan. Adapun yang dimaksud dengan pelabuhan perikanan pantai dalam pasal 1:6 Kep.10/Men/2004 adalah pelabuhan perikanan kelas C, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan usaha perikanan di wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial dan ZEEI. Selanjutnya dalam pasal 10:4 disebutkan bahwa kriteria teknisnya, diantaranya:1) memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan sekurang-kurangnya 10 GT dengan panjang dermaga 100 m dan mampu menampung sekaligus 30 kapal. Sedangkan fasilitas yang harus tersedia (pasal 15:3) diantaranya:1) tempat pelelangan ikan, 2) fasilitas navigasi, 3) fasilitas suplai air bersih, es, listrik dan

menara pengawas, 4) fasilitas pemeliharaan kapal seperti dock/slipway, serta (5) fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu.

Berdasarkan peranan tersebut maka PPP Pondokdadap diberi skala 2. Kondisi PPP Pondokdadap pada tahun 2010 masih memprihatinkan, panjang dermaga kurang, hanya sekitar 25 meter dengan menggunakan ponton. Padahal jumlah kapal yang bertambat labuh setiap harinya adalah: kapal sekoci (10 GT) 346 unit atau per hari 60-70 unit, Payang (15 GT) 32 unit per hari, sampan pakisan (5 GT) 12 unit per hari, sehingga dermaga tersebut harus menampung sekaligus sekitar 1140 GT per hari. Dengan demikian, maka dermaga yang ada telah melebihi daya tampungnya. Akibatnya terjadi antrian panjang dan lama, sehingga menimbulkan kerusakan ikan hasil tangkapan. Produksi ikan yang didaratkan rata-rata per hari adalah 12 650.12 kg. Dari jumlah produksi ikan tersebut sekitar 46% adalah Madidihang (PPP Pondokdadap, 2010). Kondisi ini diperparah dengan rusaknya ponton dan kotornya TPI, karena fasilitas prasyarat utama, air, tidak tersedia. Berdasarkan kondisi tersebut maka saat ini PPP Pondokdadap tidak memadai, rusak dan kotor, sehingga dalam penskoran diberi nilai nol (0).

Atribut lain yang memiliki nilai sensitif tinggi selain PPP Pondokdadap adalah atribut KUD Mina Jaya. KUD Mina Jaya sesungguhnya bukan koperasi perikanan, namun merupakan koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di daerah pedesaan, dengan wilayah kerjanya mencangkup wilayah kecamatan Sumbermanjing Wetan. Pada mulanya KUD ini merupakan penyatuan dari beberapa koperasi pertanian yang kecil dan banyak jumlahnya dipedesaan yang secara resmi didorong perkembangannya oleh pemerintah. Sehingga pembinaannya dilakukan oleh dinas koperasi Kabupaten Malang. Namun demikian, karena koperasi nelayan belum ada maka KUD Mina Jaya menjadi tumpuan dan harapan nelayan. KUD Mina Jaya di Sendang Biru berperan dalam hal:1) penyelenggaraan dan pelaksanaan lelang, 2) Menyediakan solar, es dan kebutuhan melaut , 3) menentukan peserta lelang, 4) memungut restribusi di TPI, dan 5) memberikan sanksi kepada peserta lelang apabila melakukan kecurangan. Selain memiliki fungsi tersebut,

sebagai koperasi serba usaha, juga berperan sebagai koperasi simpan pinjam. Namun, khusus untuk fungsi simpan pinjam, belum berjalan dengan baik.

Dengan demikian, pada akhirnya fungsi utama dari koperasi tersebut berperan dalam pelelangan dan penyedia BBM dan sembako. Fungsi lain sebagai penyangga ekonomi nelayan belum dilakukan. Lembaga keuangan lain yang ada di Sendang Biru, adalah LEPM3. Lembaga ini berperan dalam penyediaan permodalan usaha, namun sampai saat ini tidak memiliki peranan penting dalam kegiatan perikanan tuna, karena LEPM3 merupakan lembaga yang membiayai usaha mikro, sedangkan usaha kapal sekoci merupakan usaha padat modal. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut, maka KUD Mina Jaya tidak memberikan peranan dan pelayanan yang baik terhadap kegiatan perikanan tangkap Madidihang. Hal ini terjadi karena sebagian besar sumberdaya manusianya bukan berasal dari nelayan. Kepentingan nelayan menjadi dikesampingkan, sementara kepentingan usaha menjadi prioritas. Berdasarkan peranan tersebut, maka peranan KUD Mina Jaya dan LEPM3 diberi skor dengan nilai 1. Oleh karena fungsi KUD Mina Jaya dan LEPM3 tidak berperan dengan baik, maka permasalahan permodalan dan kebutuhan biaya melaut dari nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru pada saat ini bersandar kepada pengambek.

Pengambek dalam sistem perikanan tuna di Sendang Biru sangat memegang peranan penting, karena keberlangsungan dari kegiatan kapal sekoci tergantung kepada pengambek. Adapun yang dimaksud pengambek tersebut adalah orang atau seseorang yang melakukan pekerjaan jasa permodalan dengan cara membiayai seluruh kegiatan opersional dari kapal yang dikoordinasinya, termasuk biaya kebutuhan dari ABK atau pemilik kapal dalam kegiatan penangkapan. Selain berfungsi mengkoordinasi dan membiyai kapal sekoci, tugas pengambek adalah:1) menyediakan kebutuhan melaut: BBM, es, dan sembako, 2) menjualkan ikan hasil tangkapan di pelelangan, 3) menyediakan biaya pembuatan rumpon, 4) menyediakan tempat tinggal untuk ABK andon. Mekanisme ini disepakati bersama antara pemilik kapal dengan pengambek. Jasa dari kegiatan tersebut, pengambek memperoleh bagian dari hasil penangkapan sebesar 5% (Lampiran 8). Atas dasar

pertimbangan tersebut, maka keberadaan pengambek dianggap positif oleh nelayan, sehingga dalam pemberian skor diberi nilai 2. Timbal balik dari pelayanan jasa tersebut, maka nelayan tidak diperbolehkan melakukan penjualan di tempat lain atau melakukan transshipment di area tangkap. Sampai saat ini kejadian transhipment tidak dilakukan oleh nelayan, sehingga dalam penilaian di beri sekor 2. Perbuatan transhipment tersebut merupakan salah satu perbuatan illegal fishing.

Kesepakatan yang dibuat antara pengambek dengan nelayan atau pemilik kapal yang dikoordinirnya, untuk kapal yang berasal dari luar Sendang Biru, diwajibkan untuk menjadi anggota kelompok nelayan Rukun Jaya, sehingga keanggotaan kelompok nelayan Rukun Jaya, merupakan kelompok usaha bersama dalam kegiatan perikanan tangkap tuna di Sendang Biru. Peranan kelompok nelayan ini tinggi dalam hal menyelesaikan konflik atau menyampaikan kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Kelompok Nelayan Sendang Biru di beri nilai dengan skor 2. Namun peranan dari kelompok nelayan tersebut sampai saat ini masih rendah, terutama dalam penyelesaian konflik diantara pelaku usaha, ataupun konflik alat tangkap dan area tangkap. Dengan demikian, kelompok nelayan tersebut berdasarkan peranannya di beri skor 1.

Belum berfungsinya lembaga-lembaga formal dan informal yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia membuat nelayan sekoci berada dalam posisi lemah. Nelayan sekoci pada saat ini dijadikan tumpuan oleh berbagai pihak sebagai sumber kehidupan, atau dengan kata lain menjadi sumber ekploitasi pihak yang lebih kuat dalam pengendalian sembako dan pemasaran hasil. Pada saat ini nelayan sekoci merasa berjuang sendirian untuk mengektrasi sumberdaya perikanan Madidihang yang memiliki nilai ekonomi penting sebagai penghasil devisa negara. Agar dalam pengelolaan akan datang berkelanjutan maka diperlukan perusahaan swasta nasional yang dapat dijadikan partner untuk berusaha dengan nelayan sekoci.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dalam dimensi kelembagaan diusulkan adanya perusahaan inti dalam atribut. Perusahaan inti tersebut

diharapkan dapat mengatasi peramasalahan pasar, kualitas ikan dan penyediaan modal yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah dan lembaga informal lainnya yang mendukung kegiatan perikanan tangkap Madidihang yang berorientasi ekspor. Menurut (Charles 2001) keberhasilan kegiatan penangkapan ikan tuna tergantung kepada pasar, semakin besar diminati pasar, maka harga semakin tinggi, sebaliknya apabila pasar tidak menghendaki maka harga akan rendah. Ikan tuna yang di hasilkan olen nelayan sekoci sebagian besar (>70%) berorientasi ekspor. Tuna tersebut di pasarkan ke perusahan pengolahan ikan seperti Aneka Tuna Indonesia Pasuruan, PT Avila dan PT Maya di Banyuwangi, PT Bali Raya dan PT Lautan Samudera di Benoa, PT Kelola Mina Laut di Gresik dan perusahaan lainnya. Perusahaan tersebut membeli ikan dari pedagang di Sendang Biru yang sekaligus sebagai agen. Patokan harga ikan di Sendang Biru, sangat ditentukan oleh patokan harga dari perusahaan-perusahaan tersebut. Kualitas Madidihang yang dihasilkan oleh nelayan Sendang Biru pada umumnya bermutu rendah, sebagian besar untuk pengalengan, sisanya untuk loin dan steak. Nelayan menginginkan adanya kemitraan langsung seperti yang dilakukan oleh PT Kelola Mina Laut, sebagai perusahaan inti dengan nelayan Lombok sebagai plasma. Perusahan inti menentukan standar mutu hasil tangkapan, dengan patokan harga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga lelang. Apabila terjadi kemitraan antara perusahaan besar seperti PT Kelola Mina Laut dengan nelayan Sendang Biru, maka kegiatan penangkapan Madidihang di perairan ZEEI akan memiliki keberlanjutan secara ekologi, karena perusahaan inti menentukan standar ikan yang berukuran besar yang boleh ditangkap, seperti yang dilakukan oleh nelayan Lombok.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka keberadaan perusahaan yang bermitra dengan nelayan sebagai plasma di beri nilai 2. Oleh karena bentuk kemitraan tersebut belum ada, maka dalam penilaian diberi skor nol (0). Atribut-tribut dimensi kelembagaan tersebut disajikan dalam Tabel 31.