• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Analisis Keberlanjutan Kegiatan Penangkapan Madidihang

4.7.3 Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi

Kesuksesan dalam penangkapan ikan tuna sangat ditentukan oleh teknologi yang di gunakan, terutama alat tangkap dan ukuran dari kapal (Moron 2002). Hal ini penting diperhatikan, karena tuna merupakan ikan migrasi dan berada di perairan Samudera yang sebarannya pada umumnya terdapat pada lapisan termoklin. Sebagai komoditi yang mudah rusak maka ikan harus segera dilakukan penanganan, apabila tidak ditangani segera maka kualitas ikan akan cepat turun. Dengan demikian, pada kapal longline maupun purse seine selalu dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan dan pengawetan, karena fishing ground jauh dari pusat pendaratan.

Berbeda dengan kapal sekoci Sendang Biru Kabupaten Malang, walaupun memiliki jangkauan jauh, namun tidak dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan dan penyimpanan yang memadai. Faktor ini sering kali dijadikan alasan bahwa perikanan tuna rakyat Indonesia walaupun menangkap ikan target tuna di perairan ZEEI, karena keterbatasan teknologi sering kali disebut kapal kecil dan tradisional. Pada umumnya yang disebut kapal tradisional tersebut, menurut Sutisna (2007) memiliki ciri sebagai berikut:1) produksi dan produkstivitasnya rendah), 2) rentan terhadap perubahan kebijakan ekonomi, 3) tergantung pada musim dan tengkulak, 4) kapasitas tangkap terbatas, dengan kualitas yang rendah, 5) intensitas konflik tinggi terutama penguasaan fishing ground, 6) sulit mengakses bantuan, 7) kemampuan belanja rendah, dan 8) aksebilitas rendah.

Berdasarkan kategori tersebut, maka seringkali keberlanjutan dari armada kecil atau tradisional tersebut terancam. Untuk melihat keberlanjutan kapal sekoci nelayan Sendang Biru, yang beroperasi di wilayah perairan ZEEI Selatan Jawa maka dipilih indikator yang diduga berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi. Indikator-atribut yang dipilih terutama yang berkaitan dengan teknologi penangkapan dan alat bantunya, penanganan, pendaratan dan dampak dari teknologi yang digunakan. Atribut-atribut yang

dijadikan indikator untuk menilai status keberlanjutan dari dimensi teknologi tersaji pada Tabel 29.

Tabel 29 Nilai dan skor setiap atribut pada dimensi teknologi

No Jenis Dimensi Penilaian Skor

1 Lama trip 7-10 hari 1

2 Tempat mendarat terpusat 2

3 Pre-sale processing (ex:gutting, filleting)

Kadang-kadang

1

4 Proses Pengawetan Menggunakan es balok 1

5 Alat tangkap pasif 1

6 Alat tangkap selektif Selektif 2

7 Rumpon Rumpon laut dalam (300-6000 m) 2

8 Sonar tidak menggunakan 1

9 Ukuran Kapal panjang 16 M 2

10

Kemampuan tangkap (Catching

Power)

pertamabahan trip per tahun 18.7% dan

jumlah armada 19.2% 1

11 Gear side efffect tidak merusak lingkungan. 2

Dari hasil analisis Rapfish dari ke-11 atribut dimensi terknologi diproleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 72.56 dengan status cukup berkelanjutan, seperti tersaji pada Gambar 42.

Gambar 42 Indeks keberlanjutan dimensi teknologi kegiatan penangkapan perikanan tuna.

Tingginya nilai indeks keberlanjutan ini berarti secara umum bahwa teknologi yang digunakan untuk menangkap ikan tuna oleh kapal sekoci dengan alat bantu rumpon sangat baik digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan sumberdaya Madidihang yang berada di perairan ZEEI Samudera Hindia, khususnya di WPP 573 yang selama ini belum dilakukan secara

optimal. Dengan demikian, untuk atribut-atribut yang memberikan pengaruh positif terhadap nilai indeks perlu dipertahankan, bahkan dijaga dan ditingkatkan. Namun demikian, walaupun secara simultan semua atribut tersebut memberikan pengaruh yang positif terhadap nilai indeks status, akan tetapi ada atribut yang memiliki pengaruh negatif terhadap nilai indeks.

Dari hasil analisis leverage yang dilakukan terhadap dimensi teknologi diperoleh hasil bahwa atribut proses pengawetan dan penanganan ikan memberikan pengaruh yang negatif terhadap nilai indeks status keberlanjutan, seperti tersaji pada Gambar 43. Agar keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tersebut, keberlanjutannya dapat terjaga dengan baik maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan, khususnya untuk untuk proses penanganan dan pengawetan ikan di atas kapal.

Gambar 43 Peran masing-masing atribut dimensi teknologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square (RMS).

Penanganan ikan di atas kapal oleh nelayan sekoci tidak dilakukan atas dasar kriteria standar mutu, namun dilakukan agar ikan tidak mengalami kebusukan. Hal ini terjadi sebagai akibat belum diterapkannya standar mutu pada saat penjualan di PPP Pondokdadap. Dengan demikian, maka perbaikan mutu di kapal berhubungan erat dengan keterkaitan pengelolaan di PPP Pondokdadap. Penjualan ikan di PPP Pondokdadap pada saat ini baru menerapkan standar mutu berdasarkan kriteria fisik, yaitu melihat kesegaran ikan berdasarkan kriteria kekenyalan, bau dan warna insang ikan. Penerapan

standar mutu berdasarkan kandungan mikroba seperti salmonella dan e.coli, total plate count (TPC) dan kandungan histamine belum dilakukan, sehingga hampir 70% memiliki mutu rendah. Berdasarkan kondisi tersebut, maka sebagian besar diperuntukan untuk ikan kaleng, dan sisanya (30%) untuk produksi loin dan steak (PT Kelola Mina Laut). Rendahnya kualitas ikan hasil tangkapan tersebut, berimplikasi terhadap harga jual.

Nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru mengharapkan adanya perbaikan dalam sistem pengelolaan di PPP Pondokdadap, yaitu adanya sarana prasarana untuk penanganan ikan tuna, dan ketersediaan es curah (dry es). Nelayan menginginkan adanya care master di PPP Pondokdadap, sehingga penjualan ikan berpatokan kepada harga berdasarkan mutu ikan, tidak lagi kepada volume dan ukuran ikan. Apabila kondisi tersebut diterapkan, maka nelayan akan melakukan proses penanganan dan pengawetan yang baik di atas kapal.

Nelayan Sendang Biru sesungguhnya telah menguasai proses pengawetan rantai dingin (chiled), namun karena kondisi penjualan di PPP Pondokdadap dianggap belum kondusif, maka penanganan ikannya baru sebatas pengeluaran insang dan isi perut dengan proses pengawetan seadanya. Pengeluaran isi perut dan insang dilakukan manakala punya waktu senggang, dan biasanya pada malam hari setelah kegiatan penangkapan berhenti. Penanganan dalam kapal dianggap menambah beban biaya, sementara harga jual antara yang bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah adalah sama. Disisi lain harga es semakin tinggi, karena es diperoleh dari Kota Malang, Blitar dan Tulungagung.

Apabila terjadi perbaikan sistem pelelangan di PPP Pondokdadap dan tersedianya sarana dan prasara yang menunjang sistem pengelolaan ikan pasca tangkap, niscaya tingkat keberlanjutan dari pemanfaatan sumbersaya ikan tuna oleh nelayan sekoci tersebut akan semakin meningkat, karena dari 11 atribut yang di evaluasi tingkat sensitifitasnya, hanya faktor pengawetan dan proses penangan pasca tangkap yang menjadi pengungkit utama dalam menilai status keberlanjutan pemanfaatan dari Madidihang.

Pengetahuan nelayan tentang penggunaan alat tangkap dan metode memancing perlu dipertahankan, karena walaupun sederhana, alat tangkap

yang digunakan memiliki efektivitas tinggi, terutama memancing dengan metode copping dan layang-layang. Metode copping, merupakan metode yang paling efektif dalam penangkapan ikan, karena mata pancing diletakkan sampai kedalaman 100 m, pada lapisan termoklin. Sehingga sebagian besar ikan yang tertangkap adalah yang berukuran di atas 10 kg. Sedangkan metode layang-layang diperoleh ikan di atas 20 kg. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan tersebut merupakan alat tangkap selektif, karena dikhususkan untuk menangkap ikan tuna, berbeda dengan alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap multi species. Sehingga penggunaan hand line tersebut penting untuk dipertahankan, terutama metode alat pancing dengan menggunakan layang-layang yang menghasilkan ikan berukuran besar, yaitu di atas 20 kg. Pelarangan penggunaan pancing layang-layang di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang dibuat tidak berdasarkan partisipasi atau keterlibatan nelayan. Artinya kebijakan masih bersifat top down belum bottom up.

Tingginya produktivitas hasil tangkapan nelayan tersebut, merupakan implementasi dari penggunaan teknologi rumpon yang dilakukan oleh nelayan sekoci sebagai fishing ground. Dengan demikian, penggunaan rumpon menjadi sangat penting, tanpa ada rumpon kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna oleh nelayan sekoci akan berakhir. Menurut Cayré (1991) keberadaan rumpon tersebut menjadi vital, karena ikan tuna memiliki asosiasi dengan rumpon. Dengan demikian, keberadaan rumpon menjadi baik apabila digunakan oleh nelayan tradisional yang menggunakan hand line, dan sebaliknya apabila digunakan purse seine sebagai alat tangkap.

Namun demikian keberadaan rumpon nelayan sekoci tersebut pada saat ini keberlanjutannya terancam karena telah diganggu oleh nelayan purse seine. Pengawasan dan perlindungan akan keberadaan rumpon tersebut, perlu dilakukan dengan segera. Tanpa rumpon efektifitas nelayan sekoci akan menurun. Pada saat ini efektivitas kegiatan pemanfaatan ikan tuna di rumpon oleh nelayan sekoci memiliki nilai efektivitas yang tinggi, yaitu sekitar 76%, jika dibandingkan dengan armada lainnya.

Tingginya produktivitas hasil tangkapan sekoci tersebut, mengakibatkan terjadinya laju penambahan upaya tangkap dan armada tangkap. Dari tahun 2003 hingga tahun 2010, telah terjadi peningkatan kapasitas dengan rataan per tahunnya adalah 32% dan 25.1%. Perubahan ini pada batas tertentu dapat mengancam keberlanjutan, sehingga faktor tersebut merupakan atribut yang perlu mendapat perhatian yang serius.

Apabila atribut-atribut tersebut dapat dikelola dengan baik maka nilai indeks keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya tersebut, akan bisa meningkat dari cukup berkelanjutan menjadi sangat berkelanjutan. Peran pemerintah harus lebih dominan, karena pada dasarnya nelayan Sendang Biru merupakan nelayan yang tanggap akan inovasi dan teknologi, serta memiliki kejujuran yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tingkat adopsi rumpon dan dilakukannya pendaratan yang terpusat di PPP Pondokdadap, padahal memungkinkan untuk terjadinya transhipment atau penjualan langsung ke Benoa, terutama yang menangkap di fishing ground dengan koordinat antara 114°-115° BT. Adanya kegiatan perikanan terpusat tersebut memudahkan untuk melakukan pencatatan dan monitoring dari masing-masing hasil tangkapan sebagai mana dipersyaratkan dalam perdagangan Madidihang, yang membutuhkan Catch certificate (CC) terutama untuk penjualan ke Uni Eropa dan USA. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang memberikan dampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan dari dimensi teknologi.