• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebingungan Kedua

Dalam dokumen MengapaKamiInginAndaKaya_DonaldTrump (Halaman 130-133)

Kebingungan kedua adaiah mengenai Tuhan dan uang. Saya masih ingat bahwa teman ibu saya, yang sangat kaya, selalu berpendapat bahwa uang adalah iblis. Saya bertanya-tanya mengapa, jika dia berpikir uang adalah iblis, dia tidak menyumbangkan saja seluruh uangnya ke gereja yang dia datangi.

256 257

Saya bahkan bertanya-tanya, apakah orang miskin masuk surga sedangkan orang kaya tidak. Kebingungan antara Tuhan dan uang ini menghantui saya.

Saat mengikuti perkemahan gereja di musim panas, saya menemukan jawabannya. Gereja itu mengajak serta seorang pendeta muda, hanya untuk musim panas itu. Saya masih ingat hari ketika dia masuk ke dalam area perkemahan itu. Semua pemimpin gereja yang sudah agak tua terperanjat ketika dia masuk dengan gitar terikat di punggung, memakai celana jin, kaus, dan sepatu boot ala koboi. Saya perlu mengingatkan Anda bahwa saat itu adalah Hawaii pada awal tahun 1960-an, dan satu-satunya orang yang kami lihat berpakaian seperti itu adalah anak-anak nakal di film. Namun, secara alami, anak-anak langsung menyukainya.

Alih-alih menceramahi dan mengatakan kepada kami apa yang harus dan tidak boleh dilakukan, dia mengajak kami bernyanyi dan menari. Alih-alih diajari untuk merasa sedih atau bersalah, kami diajari untuk menyukai diri kami sendiri.

Kepala gereja terlihat dan berpakaian seperti kacang panjang yang di-keringkan. Dia sering kali sambil marah-marah memperingatkan kami akan potensi iblis yang bertubuh manusia. Jadi, ketika pendeta muda yang ceria ini tiba, ketegangan di antara mereka terlihat nyata. Selama salah satu acara api unggun di malam harinya, saya mengajukan pertanyaan saya yang biasa mengenai uang. Pendeta yang lebih tua memulai dengan kecintaan pada uang adalah akar dari segala kejahatan dan bahwa lebih mudah bagi seekor unta untuk melewati lubang jarum daripada bagi

orang kaya untuk masuk ke surga, Saya merasa semangat saya turun karena saya

merasa bersalah atas keinginan saya untuk menjadi orang kaya.

Pendeta muda mempunyai pandangan berbeda mengenai topik Tuhan dan uang. Alih-alih marah atas kecintaan saya pada uang, dia menceritakan sebuah kisah mengenai orang kaya dan tiga hambanya, yang dikenal se-bagai Perumpaan tentang Talenta dari Injil Matius. Cerita itu mengisahkan tentang seorang majikan kaya yang sebelum melakukan lawatan perjalanan memberikan sejumlah uang (talenta) kepada ketiga hambanya. Kepada yang pertama dia memberikan lima talenta, hamba kedua dua talenta, dan hamba ketiga satu talenta.

Hamba pertama yang menerima lima talenta langsung memutar uang

itu dan mengubah lima talentanya menjadi sepuluh talenta. Hamba yang mendapat dua talenta juga mendapat laba dua talenta. Hamba yang hanya menerima satu talenta menggali lubang di tanah dan menguburnya.

Ketika pulang, sang majikan berkata kepada hambanya yang meng-gandakan uang mereka, "Bagus sekali, hamba yang baik dan setia. Engkau telah setia dalam perkara kecil; aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu."

Sampai pada tahap ini dalam cerita tersebut, pendeta muda itu berkata, "Perhatikan kata 'Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Menu-rutmu apa artinya ini?"

Beberapa dari kami merasa bingung saat mencoba menjawab pertanyaan itu. Akhirnya, seorang gadis kecil berkata, "Tuhan kita ingin kita menjadi kaya. Tuhan kita bahagia jika kita kaya, jika kita juga mendapatkan hartanya yang banyak?"

Pendeta muda itu tersenyum, tetapi tidak menjawab. Alih-alih, dia berkata, "Mari saya bacakan lagi kepada kalian apa yang dikatakan oleh hamba yang menguburkan talentanya." Setelah itu, dia meletakkan gitarnya, membuka Alkitabnya, dan membaca jawaban hamba itu:

"'Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah. Ini, terimalah kepunyaan tuan!'"

Pendeta muda itu mengangkat kepalanya untuk melihat apakah kami masih mendengarkan dan berkata, "Dia menuduh tuannya adalah manusia yang kejam, jadi dia tidak melakukan apa-apa."

"Maksud Anda, dia menyalahkan tuannya?" tanya gadis kecil yang Sama. Pendeta muda itu tersenyum lagi dan membaca jawaban majikan tersebut kepada hambanya, "'Hai kamu, hamba yang jahat dan malas."'

"Majikannya menyebutnya jahat dan malas?" tanya seorang lain yang duduk di sekeliling api unggun. "Karena dia tidak menggandakan uangnya? Maksud Anda, dia menyebutnya jahat dan malas karena tidak menggandakan uangnya?"

258

dah tahu, bahwa aku menuai di cempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kau investasikan kepada bankir, supaya sekembaliku, aku menerimanya beserta dengan bunganya. Sebab itu, ambillah talenta itu dari padanya dan berikanlah kepada orang yang mempunyai sepuluh talenta itu.'"

"Jadi majikan itu memberikan hadiah kepada hamba yang bisa meng-hasilkan uang paling banyak?" tanya saya.

Pendeta muda itu berkata, "Apakah itu yang kau pahami?" "Kedengarannya seperti itu bagi saya," kata saya. "Itu berarti, semakin banyak saya

menghasilkan uang, semakin banyak yang akan diberikan ke-pada saya?" Pendeta muda itu hanya tersenyum dan memainkan gitarnya dengan lembut.

"Apakah tuan dalam kisah ini adalah Tuhan?" tanya seorang gadis kecil, "Apakah kita adalah hamba-hambanya?"

"Apakah Tuhan lebih banyak memberikan imbalan kepada orang kaya daripada kepada orang miskin?" tanya seorang yang lain.

"Jika Tuhan adalah majikannya, apakah Tuhan memberikan imbalan kepada orang kaya dan menghukum orang yang miskin?" tanya orang yang duduk di sebelah saya.

Pada saat itu, pendeta yang lebih tua menggelengkan kepalanya, bingung ke mana arah percakapan ini. Pendeta muda itu hanya memainkan gitarnya, membiarkan pikiran kami berputar-putar di kepala kami, memberikan waktu kepada kami untuk menentukan sendiri pesan moral dari cerita perumpamaan itu. Akhirnya, saat api mulai berderik dan asap membubung ke udara malam, dia bertanya, "Apa yang ingin dikatakan di sini mengenai orang yang mem-punyai uang dan orang yang tidak memmem-punyai uang?"

"Bahwa orang yang tidak mempunyai uang adalah orang malas?" tanya seorang anak laki-laki di seberang saya. "Atau bahwa orang yang tidak mempunyai uang adalah iblis?"

"Bukan, bukan itu maksudnya," jawab seorang yang lain. "Jawaban itu terlalu kejam, bahkan hanya untuk dipikirkan. Dunia ini penuh dengan orang miskin."

"Namun, bagaimana dengan kata 'masuklah dan turutlah dalam keba-

259

hagiaan tuanmu'. Apakah hal itu berarti menjadi kaya membuatmu berba-hagia?"

"Bukan, bukan itu maksudnya," teriak seorang peserta perkemahan muda lainnya. "Ibu dan ayah saya berkata bahwa orang kaya tidak bahagia. Mereka berkata bahwa hanya orang miskin dan orang baik saja yang bisa masuk surga. Mereka berkata bahwa kecintaan pada uang adalah akar dari semua kejahatan."

"Oke, oke," kata pendeta muda itu, menghentikan argumentasi yang memanas. "Mari saya selesaikan bacaan Injil itu."

Setelah meletakkan gitar, dia menyelesaikan bacaannya dengan berkata, "Karena bagi setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi lebih, sehingga dia berkelimpahan. Tetapi, siapa yang tidak mempunyai, bahkan apa pun yang ada padanya akan diambil dari padanya."

Api berderik dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara. Baik pendeta yang tua maupun yang muda terdiam.

"Apakah itu berarti yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertam-bah miskin?" tanya seorang gadis kecil. Pendeta muda dan pendeta tua itu duduk tanpa berbicara. "Itu tidak adil," jawab sang gadis kecil. "Tuhan seharusnya memberikan kepada mereka yang tidak mempunyai apa pun. Tuhan

seharusnya pengasih kepada orang miskin."

"Benar, tidak adil," kata orang yang lain. "Untuk mengatakan 'bagi setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi lebih. Tetapi, siapa yang tidak mempunyai, bahkan apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.' Kedengarannya kejam sekali."

"Apakah ini berarti orang yang malas itu jahat?" tanya suara yang tenang dari sesosok wajah yang tidak bisa saya lihat dalam gelap. "Apakah karena itu harta mereka yang sedikit akan diambil dari mereka?"

Percakapan di sekeliling api unggun berlangsung sampai api padam. Sambil menyiramkan air ke tumpukan arang itu, pendeta muda itu ber- kata, "Waktunya tidur. Kalian bisa mencari jawaban kalian sendiri untuk perumpamaan itu. Beberapa dari kalian akan terus berpikir bahwa uang tidak penting, beberapa dari kalian akan berpikir bahwa orang kaya itu jahat atau bahwa orang miskin mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk masuk surga. Apa pun jawaban kalian akan menentukan seluruh hidup kalian."

Walaupun saya mungkin tidak mema-hami keseluruhan arti dari perumpamaan itu, saya paham mengenai majikan yang memberikan uang kepada orang yang menggandakan uangnya. Saya juga me-mutuskan bahwa majikan itu bisa men-ciptakan sesuatu dari tidak ada. Dengan kata lain, dia kreatif dan kreativitas bersifat tanpa batas. Oleh karenanya kreativitas juga tanpa batas— berlimpah-limpah. Menjadi kreatif dan berkelim-pahan merupakan kebahagiaan majikan itu. Mengenai apa yang terjadi pada orang yang tidak menggandakan uang dan mengapa harta mereka yang sedikit diambil, saya juga tidak yakin akan arti keseiuruhannya. Saya mempunyai dugaan. Walaupun demikian, kata-kata pendeta muda pada malam itu memang benar bagi saya. Jawaban yang saya dapatkan malam itu memang memengaruhi seluruh hidup saya.

Dalam dokumen MengapaKamiInginAndaKaya_DonaldTrump (Halaman 130-133)