• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Korban Menurut Hukum Pidana Nasional

BAB V PERANAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN

B. Kedudukan Korban Menurut Hukum Pidana Nasional

Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana belum ditempatkan secara proposional dan adil bahkan cenderung terlupakan, sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan korban. Hal tersebut dinyatakan viktimolog Grabosky sebagai berikut : “ ... crime victim as the forgotten and neglected participant in the criminal justice system” Karmen menyatakan “... crime victimwere pictured as “invisible” or “forgotten” Zweig juga menyatakan bahwa : “in our time we experience too many things too quicklyfor us to have good memories”, we forget the victim”. Holman menyatakan : “The state exact punishment most commonly in the form of a loss of liberty or in many instance monetary fines. In this process, the victim is ignored and outside the process”. James Reilly berkomentar : “If there is one word that describe how the criminal justice system treat victims of crime and witnessses, it is badly”.

R. Ellias, Mc. Donald, dan Doerner mengatakan bahwa korban menjadi korban kedua kali dalam Sistem Peradilan Pidana dengan istilah antara lain “second victimization”, “twice vitimized” , dan “double victimization”. Ellias mengatakan : “arguing that victim

90

encounter a society that neglects their victimization, and criminal justice system that imposes a second victimization”.

Donald menyatakan : “... to day he is seen at best as the forgotten

man of the system and at worst as being twice victimized, the second time by the system it self”. Kemudian Doener menyatakan : “victims sustain cost from at least two different sources , in this sense, they face double victimization”. Menjadi korban kedua kali dimaksudkan sebagai berikut : First, they lose time from work, suffer physical injury and mental anguish, incur medical expenses, have property damaged or taken, and endure a variety of other inconveniences because of the criminal episode. Then when these enter the halls of justice, they are subject to a second set of problems”.

Studi yang dilakukan oleh Knudtan (1977), Elias (1983), Vennard (1976), Cambera dan Millar (1983) memperkuat pandangan di atas. Doener menyatakan korban dalam Ssistem Peradilan Pidana mengalami kekecewaan. Ketika berpartisipasi di dalam Sistem Peradilan Pidana justru memperburuk kondisinya dan merasa terasing. Problem yang dialami korban dalam Sistem Peradilan Pidana menurut Shapland bersumber dari tiadanya status korban dalam Sistem Peradilan Pidana. Beberapa studi dilakukan oleh Vennard,

Marquire, Howley dan Kelly menunjukkan hal tersebut. Pendapat

lain dikemukakan Forer yang melihat aspek ganti rugi tidak diberikan bagi korban menunjukkan bahwa korban dalam Sistem Peradilan Pidana terabaikan. Korban kecewa karena hakim tidak membebankan ganti rugi kepada pelaku tindak pidana. Korban juga mengkritik jaksa yang tidak menuntut pelaku agar membayar ganti

91 rugi dalam proses banding maupun dalam rekomendasi putusan hukuman. Bohmer melakukan studi terhadap korban perkosaan menyatakan bahwa hakim tidak simpatik kepada korban, justru bermurah hati kepada pelaku pemerkosaan tersebut.

Terabaikannya hak-hak korban dalam Sistem Peradilan Pidana dinilai kontradiktif dibandingkan perlakuan aparat penegak hukum terhadap pelaku. Pelaku dalam Sistem Peradilan Pidana diberikan berbagai hak dan fasilitas sebagaimana dikatakan oleh Mc. Donald yang menyatakan sebagai berikut : “Offenders are provide with lawyershousing, food, medical care, recreational, opportunities, schooling, job training, and phychological counseling. Victim must fend for themselves. At best, victims are the forgotten person within the crime problem, at worst, more intent on satisfying the needs of its constituent agencies and official than of the directly injures parties”.

Kesenjangan perlakuan antara pelaku dan korban dalam Sistem Peradilan Pidana dibahas oleh Anthony J. Schembri yang mengatakan tindak pidana itu memiliki tiga dimensi yaitu : perbuatan atau tindak pidananya itu sendiri, pelaku, dan korban. Namun Sistem Peradilan Pidana lebih memperhatikan pada tindak pidananya dan pelakunya. Atas konsepsi tersebut Schafer menyitir laporan Paris Prison Congress tahun 1885 yang menyatakan : “The guilty man lodged, fed, clothed, warmed lighted, entertained, at the expense of the state in a model cell, issued from it with a sum of money law fully earned, has paid his debt to society : but the victim has his consolations : he can think that by taxes he pays .... he has contributed

92

to wards the paternal care which has guarded the criminal during his stay in prison”

Serparovic membandingkan perhatian terhadap korban dan pelaku tindak pidana terdapat kesenjangan yang menunjukkan perhatian terhadap pelaku tindak pidana lebih baik melalui dukungan hukum yang ada dibanding korbannya. Sejumlah konsep HAM, dipenuhi berbagai perhatian dan jaminan bagi orang yang potensial menjadi pelaku tindak pidana. Mereka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Mereka harus mendapat perlakuan yang baik, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan, berhak mendapat perawatan, diberi kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. Dapat dikatakan korban yang menjadi objek kekerasan dan penindasan pelaku tindak pidana dari dulu hingga sekarang menjadi pihak yang dilalaikan. Problem yang dialami korban dalam Sistem Peradilan Pidana menurut pandangan

Shapland bersumber dari tiadanya status dan peranan korban dalam

Sistem Peradilan Pidana.

Kedududkan korban dalam Hukum Pidana Nasional sejalan dengan pendapat viktimolog tentang kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana. Kedudukan adalah kedudukan hukum (legal status). Hukum Pidana di sini terdiri atas Pidana Materiil (strafrecht), dan hukum pidana formal (strafprocessrecht) serta hukum pelaksana pidana (strafvollstreckungsrecht). Hukum Pidana Materiil merupakan aturan hukum yang mengikat perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan berdampak adanya suatu akibat berupa pidana. Dalam konteks ini Hukum Pidana Materiil yang dikaji adalah KUHP. Hukum

93 Pidana Formal atau hukum acara dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur cara negara menerapkan sanksi pidana pada peristiwa konkrit. Hukum Pidana Formal yang dikaji dalam tulisan ini adalah KUHAP. Hukum Pelaksanaan Pidana dimaksudkan sebagai ketentuan yang mengatur tentang tata cara melaksanakan putusan hakim berupa pidana. Dalam tulisan ini Hukum Pelaksana Pidana yang dikaji adalah Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.