• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH VIKTIMOLOGI

D. Latihan

Untuk mengevaluasi dan memperdalam pemahaman mengenai materi BAB II di atas, silahkan anda mengerjakan latihan berikut ini: 1. Mengapakah viktimologi timbul sebagai ilmu yang terpisah dengan

kriminologi ?

2. Bagaimanakah tahapan perkembangan viktimologi ? 3. Apakah manfaat mempelajari sejarah viktimologi ?

4. Mengapakah hak-hak korban tidak banyak diatur dalam KUHAP ?

38

5. Apakah yang menjadi hak korban dalam proses peradilan pidana ?

Petunjuk Jawaban Latihan :

1. Sebelum mengerjakan latihan tersebut, terlebih dahulu harus membaca materi tentang sejarah viktimologi, Hak Asasi Manusia dan perlindungan korban, berulang-ulang dengan cermat, sampai merasa sudah cukup paham.

2. Kerjakan latihan tanpa bantuan orang lain

3. Jika dalam mengerjakan latihan mengalami kesulitan, maka diskusikanlah dengan teman-teman sejawat yang lebih memahami materi tersebut, jika memang diperlukan silahkan dikomunikasikan dengan tutor atau dosen yang membina mata kuliah Viktimologi.

E. Rangkuman

Perkembangan Viktimologi diawali pada tahun 1941 oleh Von Henting dengan makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.” Kemudian tahun 1947 Mendelsonh menulis makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali digunakan secara terpisah dari kriminologi. Perkembangan Viktimologi dapat dibagi dalam tiga fase yaitu :

a. fase Pertama Viktimologi hanya mempelajari korban tindak pidana saja (Penal or Special Victimology) .

39 b. fase kedua Viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban

tindak pidana saja tetapi juga meliputi korban kecelakaan (General Victimology).

c. fase ketiga Viktimologi lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia (New Victimology).

Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul “de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi. Pada Tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban tindak pidana dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.

Korban bukan hanya sebagai obyek tindak pidana tetapi perlu mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum.

Memperhatikan sejarah perkembangan hukum pidana, pada awalnya reaksi adanya tindak pidana menjadi hak korban yang mengakibatkan timbulnya dendam yang tidak berkesudahan. Untuk

40

mengatasi timbulnya dendam tersebut, maka muncullah gagasan adanya ganti kerugian. Persoalannya ada tindak pidana yang tidak hanya merugikan korban saja tetapi juga mengganggu ketertiban masyarakat. Dengan demikian muncullah hubungan antara pelaku dengan masyarakat yang diwakili oleh negara, oleh karena itu negaralah yang berhak menuntut ganti rugi pada pelaku sekaligus sebagai wakil dari korban. Sehingga korban kehilangan hak untuk menuntut ganti kerugian.

Reaksi formal yang telah dimonopoli negara selanjutnya didelegasi ke Jaksa Penuntut Umum dalam rangka mewakili kepentingan rakyat sekaligus kepentingan korban. Dalam posisi ini korban bukan sebagai pihak yang berperkara melainkan sebagai obyek tindak pidana yang ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti yaitu sebagai saksi dalam persidangan.

Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan mengapa perlindungan korban tindak pidana harus mendapat perhatian, antara lain :

1. Sistem Peradilan Pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada pelaku tindak pidana (offender centered)

2. Semakin disadari bahwa selain korban tindak pidana konvensional, tidak kalah pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.

3. Adanya sistem hukum yang konvesional dimana hubungan yang terlihat bukan hubungan koordinasi antara pelaku dan korban, tetapi hubungan sub-ordinasi antara pelaku dengan penguasa.

41 4. Berkembangnya tindak pidana yang tidak menimbulkan korban

(crime without victim) dari tindak pidana dengan korban yang tersebar (diffusion victimization).

Relatif kecilnya perhatian terhadap korban tindak pidana tampak pada pengaturan dalam KUHAP yang merumuskan hak-hak korban dalam 4 (empat) pasal saja, yaitu Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP yang mengatur tentang penggabungan ganti rugi dengan perkara pidana. Menurut Arif Gosita hak korban adalah : 1. Mendapatkan ganti kerugian atas penderitaannya, pemberian ganti

kerugian tersebut sesuai kemampuan pelaku dalam memberikan ganti rugi dan keterlibatan korban dalam terjadinya tindak pidana

2. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku karena korban tidak membutuhkannya

3. Mendapatkan restitusi atau kompensasi untuk ahli waris apabila korban meninggal dunia akibat tindak pidana tersebut

4. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi 5. Mendapatkan hak miliknya kembali

6. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi

7. Mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen)

F. Tes Formatif

a. Apakah yang menjadi alasan korban diwakili oleh Penuntut Umum a. Karena korban tidak paham hukum

42

c. Karena akibat adanya tindak pidana yang mengganggu ketertiban masyarakat

d. Karena terjadinya balas dendam dari korban

b. Bagaimanakah hubungan pelaku dan Penuntut Umum dalam proses peradilan pidana ?

a. Sebagai mitra dalam menyelesaikan tindak pidana b. Adanya hubungan timbal balik

c. Adanya hubungan koordinasi d. Adanya hubungan subordinasi

c. Bagaimanakah seharusnya kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana ?

a. Sejajar dengan pelaku

b. Sejajar dengan penuntut umum c. Sub ordinasi dengan penuntut umum d. Koordinasi dengan pelaku

d. Bagaimanakah kedudukan korban menurut KUHAP a. Sebagai pihak yang dirugikan

b. Sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya tindak pidana c. Sebagai pihak yang membantu penyelesaian tindak pidana d. Sebagai pihak yang berlawaan dengan pelaku tindak pidana e. Apakah yang seharusnya menjadi dasar hakim dalam memutuskan

ganti rugi yang harus ditanggung pelaku atas tindak pidana yang dilakukan :

a. Keikutsertaan korban akan terjadinya tindak pidana b. Permintaan korban

43 d. Kerugian dan keikutsertaan korban akan terjadinya tindak

pidana

Setelah mengerjakan Tes Formatif, cocokkan jawabannya dengan kunci Tes Formatif di bagian akhir Buku Ajar ini. Hitung jawaban yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan terhadap materi Bab II.

Rumus :

Jumlah jawaban yang benar Tingkat penguasaan = --- X 100 %

5 Arti tingkat penguasaan yang dicapai : 90 - 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik 70 – 79 % = cukup < 70 % = kurang

Bila penguasaan mencapai 80 %, dapat meneruskan pada Bab III. Artinya penguasaan dan pemahaman saudara terhadap materi BAB II sudah Bagus ! Tetapi jika tingkat penguasaan masih di bawah 80 %, harus mengulangi Bab II, terutama bagian yang belum dikuasainya.

44

BAB III

HUBUNGAN VIKTIMOLOGI DENGAN

KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA

A. Pendahuluan

BAB III ini membahas materi yang berkaitan dengan hubungan viktimologi dengan kriminologi, yang di dalamnya membicarakan tentang pengertian kriminologi, perbedaan viktimologi dan kriminologi, hubungan viktimologi dan kriminologi,serta hubungan viktimologi dengan hukum pidana. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mengerti dan memahami hubungan viktimologi, kriminologi dan hukum pidana.

Viktim timbul jika ada tindak pidana. Tindak pidana dipelajari dalam kriminologi dan diatur dalam Hukum Pidana. Untuk menanggulangi korban perlu adanya aturan yang dapat dilaksanakan secara baik. Karenanya Hukum Pidana butuh kriminologi yang mempelajari pelaku dan viktimologi yang mempelajari korbannya.

Viktimologi merupakan ilmu yang mempelajari korban. Fokus viktimologi terletak pada bagaimana orang menjadi korban. Kriminologi merupakan ilmu yang memfokuskan pada adanya kejahatan atau tindak pidana. Hasil pemikiran kriminologi dan viktimologi dirumuskan dan menjadi materi telaah Hukum Pidana. Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :

a. Menjelaskan pengertian kriminologi

b. Menjelaskan perbedaan kriminologi dan viktimologi c. Menjelaskan hubungan viktimologi dengan kriminologi

45 d. Menjelaskan pengertian Hukum Pidana

e. Menjelaskan hubungan viktimologi, kriminologi dan Hukum Pidana