• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Sistem Pertanahan Di Indonesia

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

B. Kedudukan Sistem Pertanahan Di Indonesia

Hukum pertanahan di Indonesia diatur pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta beberapa peraturan pelaksanaannya. Dimana dalam undang-undang ini telah mengandung asas- asas hukum tanah nasional, yaitu :

a. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun

harus dilandasi oleh hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional;

b. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh

hukum tanah nasional dilindungi oleh hukumnya dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa;

c. Disediakannya berbagai sarana hukum untuk menanggulangi berbagai gangguan,

misalnya gangguan oleh sesama anggota masyarakat, gugatan perdata melalui pengadilan negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikota;

d. Prinsip musyawarah dalam perolehan tanah, kecuali dalam keadaan memaksa

Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan kepada pemilik asal tanah diberikan ganti rugi.44

Sedangkan tujuan pokok UUPA sebagaimana disebut dalam bagian penjelasan umum, yaitu :

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur;

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan;

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya;

Selanjutnya hal penting yang perlu dikemukakan adalah mengenai tata cara tercipta dan hapusnya hak atas tanah yaitu :

a. Hak-hak atas tanah dapat tercipta :

1) Melalui konversi dari hak-hak yang lama, yaitu hak eigendom menjadi hak

milik, hak milik dapat, hak agrarisch eigendom, hak grant sultan dan yang sejenisnya menjadi hak milik, jika pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 berkewarganegaraan Indonesia tunggal, hak erpacht untuk perkebunan

      

44

Adi Mansar, Hukum Tanah, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sentralisme Production, 2006), hal. 5.

besar menjadi hak guna bangunan, hak erpacht untuk perumahan serta hak postal menjadi hak guna bangunan, hak-hak yang mirip dengan hak pakai menjadi hak pakai, hak golongan yang bersifat tetap menjadi hak milik dan yang tidak tetap menjadi hak pakai. Perubahan atau konversi tersebut didasarkan pada ketentuan-ketentuan konversi pada tanggal 24 September 1960;

2) Melalui pemberian oleh Negara terhadap hak-hak atas tanah yang primer,

seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai, sebagaimana diatur pada Pasal 22,31,37 dan 41 UUPA. Pemberian hak dilakukan dengan menerbitkan surat keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang, diikuti dengan pendaftarannya pada kantor pertanahan Kabupaten/ Kotamadya.

3) Terjadinya hak milik menurut hukum adat (Pasal 22 ayat (1) UUPA);

4) Pemberian hak-hak atas tanah yang sekunder dari pemegang haknya.

b. Hak-hak atas tanah menjadi hapus karena hal-hal sebagai berikut :

1) Melalui suatu peristiwa hukum, sebagaimana diatur pada Pasal 27,34,40

UUPA dan PP Nomor 40 Tahun 1996. Hapusnya hak tersebut dituangkan dalam surat keputusan. Hapusnya hak karena hukum, seperti ditentukan Pasal 21 UUPA, surat keputusan tersebut bersifat Deklaratoir, tetapi bagi hapusnya hak karena pembatalan, seperti dimaksud dalam undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, surat keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif, artinya hak yang bersangkutan hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut.

2) Berakhirnya hak-hak yang berjangka waktu tertentu, seperti hak guna usaha dan hak guna bangunan jika tidak ada kemungkinan untuk dan tidak diperpanjang (Pasal 29 Jo Pasal 34 huruf a dan Pasal 35 Jo Pasal 40 huruf a UUPA);

3) Dilepaskannya atau diserahkannya secara sukarela oleh pemegang haknya,

diatur pada Pasal 34 huruf c dan Pasal 40 huruf c untuk Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan serta Pasal 27 ayat (2) untuk Hak Milik;

4) Pembatalan hak oleh pejabat yang berwenang karena tidak dipenuhinya

kewajiban atau adanya suatu pelanggaran yang dilakukan pemegang haknya. Pembatalan hak tersebut dituangkan dalam suatu surat keputusan yang bersifat konstitutif, artinya, hak yang bersangkutan baru batal dengan diterbitkannya surat keputusan tersebut;

5) Hapusnya hak karena hukum, karena tidak dipenuhinya suatu kewajiban atau

dilanggarnya suatu larangan;

6) Hapusnya suatu hak karena pencabutan hak, seperti diatur pada Pasal 18

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961.

7) Musnahnya tanah yang bersangkutan.

Untuk mewujudkan kepastian hukum atas tanah diperlukan kegiatan pendaftaran tanah yang harus didukung oleh faktor-faktor, yaitu : tersedianya perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten dan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif.

2. Kedudukan Tanah Menurut Hukum Adat

Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan milik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht). Setiap anggota persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.

Dalam hal ini bisa kita lihat penjelasan Ter Haar tentang pemilikan tanah adat sebagai berikut :

Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut musimnya, maka orang lain bisa mendesaknya supaya memilih: mengerjakan terus atau menyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya dan

mendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu.45

Bertolak dari pandangan Ter Haar ini bisa diketahui, bahwa seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang.

Selama dia masih mengerjakan tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan diberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bisa diambil oleh orang lain yang akan menggarapnya.

      

45

Mr. B.Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta : Pradjnya Paramita,1985), hal 91.

Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang dikatakan sebagai hak ulayat. Soerojo Wignojodipoero mengatakan berikut ini :

Sebagai seorang warga persekutuan (komunal) maka tiap individu mempunyai hak untuk :

a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya.

b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal.

c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar.

d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus

e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan di atasnya.46

Dengan mengungkapkan sejumlah hasil yang bisa dipetik ini, Soerojo menyebutkan bahwa hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakan hak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.

Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak yang secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untuk menguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk menggarap atau

      

46

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), hal. 201-202. 

mencari nafkah dari hutan dengan izin Kepala Desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan van Volenhoven, Logeman

dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan negara.47

3. Hak Penguasaan Tanah Menurut UUPA Nomor 5 Tahun 1960

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Keadilan sosial sektor pertanahan atau pertanian sudah pasti meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya bagi petani. Klaim hak

atas tanah sering juga disebut sebagai istilah reclaiming.48 Perwujudan tindakan

dalam hak atas tanah, tertuang dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pada Pasal 2 yang berdasarkan kepada ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 yaitu : Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

      

47

Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, (Jakarta : Chandra Pratama, 1995), hal. 28.  

48

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;

Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam Pasal 2 UUPA tersebut di atas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah dihakki oleh seorang maupun tidak. Penguasaan tanah terhadap tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yang mempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain adalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan Hak Pengelolaan pada suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh Hak Ulayat dari

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum sepanjang kenyataan Hak Ulayat itu masih

ada.49 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas adalah merupakan aspek

publik.

Bertolak dari ketentuan dalam Pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah adalah negara. Namun demikian negara tidak sewenang-wenang dalam pemilikannya, melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi kepentingan umum seluruh warga negara. Negara menjadi pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal, dan negara bisa menjadi suatu lembaga hukum yang berwenang untuk melepaskan tanah dalam bentuk peralihan

hak (jual-beli, hibah, warisan).50

Tegasnya hak menguasai daripada negara tersebut mempunyai aspek publik berupa :

1. Mengatur persediaan, penggunaan, peruntukan dan pemeliharaan.

2. Mengatur hubungan hukum.

3. Mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum.

4. Hak-Hak Atas Tanah

Di dalam pasal 4 ayat 1 UUPA Nomor5 Tahun 1960 disebutkan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-

      

49

Penjelasan Umum UUPA Nomor 5 tahun 1960 Bagian II.

50 Syafruddin Kalo, Syafruddin Kalo, Legalisasi Alas Hak Atas Tanah Yang Dimiliki Oleh Masyarakat, Swasta, Instansi, Makalah Pelatihan Penyidik dibidang Pertanahan pada tanggal 29-30 Juli 2004, (Medan : POLDA Sumatera Utara). hal. 8. 

orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah tersebut dapat berbentuk Hak milik, Hak guna usaha, Hak guna bangunan, Hak pakai, Hak sewa, Hak membuka tanah, Hak memungut hasil hutan, Hak-hak yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam pasal 53 yaitu : hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Berikut ini penjelasan dari penguasaan hak-hak atas tanah menurut UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yaitu :

a. Hak Milik

Di dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Hak Milik adalah hak turun-temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan di dalam Pasal 6 yaitu mempunyai fungsi sosial.

Sebagai subjek hak milik ini adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita. Prinsip nasionalitas dari hak milik ini adalah ketat sekali sehingga tidak bisa disimpangi, maka melalui Pasal 21 ayat (3) telah menetapkan dengan tegas bahwa jika warga negara Indonesia tersebut menjadi orang asing, atau kawin dengan orang asing atau hak ini jatuh kepada bukan warga negara Indonesia maka dalam tempo satu tahun harus sudah melepaskan hak ini kepada warga negara Indoesia, dengan ancaman haknya itu gugur dan tanahnya jatuh kepada orang asing. Karena disini sifat yang punya hak limitatif maka tidak mungkin diperluas untuk orang atau badan hukum lain, seperti orang asing atau badan hukum asing.

Hak Milik ini hanya dapat dialihkan ataupun beralih dengan suatu akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), dan demikian pula dapat diikat dengan hak

tanggungan. Hak milik ini beralas hak baik itu karena ketentun konversi seperti konversi dari tanah-tanah eks BW maupun dari tanah-tanah eks hukum adat, dan dari hak pengelolaan yang tertuang dalam perjanjian pendirian hak tersebut.

Hak milik ini harus didaftarkan di kantor pertanahan setempat baik untuk pendaftaran pertama kali maupun pendaftaran mutasi atau pengikatan jaminan dengan hak tanggungan, maupun kemudian didirikan di atasnya berupa hak guna bangunan atau hak pakai, pendaftaran ini berguna agar hak tersebut mempunyai keabsahan publik, artinya publik harus menghormati hak tersebut.

Ketentuan mengenai pemberian Hak Milik atas tanah yang dikuasai oleh Negara dan hak pengelolaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Pasal 22 menegaskan ada 3 (tiga) hal yang menjadi dasar lahirnya hak milik, antara lain : menurut hukum adat, karena ketentuan undang-undang dan karena penetapan pemerintah.

b. Hak Guna Usaha (HGU)

Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia.

UUPA mengatur mengenai hak usaha ini mulai dari Pasal 28 hingga Pasal 34. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun jika

dipergunakan untuk perusahaan pertanian, perusahaan perikanan atau peternakan dan dapat diperpanjang sampai 35 (tiga puluh lima) tahun dalam hal perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dan atas permintaan pemegang hak serta mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun itu untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Hak Guna Usaha Ini dapat dipunyai oleh :

a. Warga negara Indonesia;

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Pasal 4 menyebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah tanah negara. Hak guna usaha ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 30 UUPA. Kewenangan atas pemberian hak guna usaha ini menurut Pasal 31 UUPA terjadi karena penetapan pemerintah. Untuk membuktikan adanya suatu hak guna usaha perlu pendaftaran yang meliputi : Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; Pendaftaran atas hak tanah dan peralihannya; Pemberian surat-surat tanda bukti hak, sebagai alat

pembuktian yang kuat.51

      

51

Penetapan luas tanah pertanian diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 - LN 1960 - 174. Pencabutan hak-hak atas dan benda-benda yang ada diatasnya diatur didalam UU Nomor 20 Tahun 1961-LN - 1961 - 28. Pendaftaran tanah diatur dalam PP Nomor10 Tahun 1961 - LN - 1961 - 28 yang sekarang diganti dengan PP Nomor24 Tahun 1997 - LN - 1997 - 57.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak-Hak Atas Tanah diatur lebih lanjut mengenai prosedur pemberian hak HGU antara lain sebagai berikut :

1. Apabila tanah tersebut adalah kawasan hutan, maka diperlukan izin Departemen

Kehutanan bahwa tanah tersebut dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan.

2. Tanpa pelepasan hak dari Departemen Kehutanan maka HGU tidak mungkin

dapat diberikan. Disamping itu apabila di atas tanah yang akan diberikan HGU, terdapat tanaman/bangunan milik pihak lain yang alas haknya sah, pemilik tanaman/bangunan diberi ganti kerugian yang dibebankan kepada pemegang hak HGU yang baru.

3. HGU secara dapat diberikan kepada perorangan minimum 25 (dua puluh lima)

hektare.

4. Untuk badan hukum luasnya tergantung dari putusan pertimbangan pejabat yang

berwenang.

5. HGU terjadi dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang

ditunjuk.

6. HGU wajib didaftarkan dalam buku tanah di kantor Pertanahan dan hak itu terjadi

semenjak didaftarkan berlaku sebagai tanda bukti kepada pemegang hak dengan memberikan sertifikat hak atas tanah.

Disamping itu pada SK pemberian hak HGU harus ada klausula yang menyatakan tanah tersebut ahrus dibebaskan dahulu dari rakyat penggarap baik berdasarkan hak ulayat maupun berdasarkan hak-hak lainnya.

Dalam pelaksanaannya Hak Guna Usaha (HGU) dapat hapus karena :

a. Berakhirnya jangka waktu pemberian HGU;

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

d. dicabut untuk kepentingan umum;

e. diterlantarkan;

f. tanahnya musnah;

g. pemegang hak bukan warga negara Indonesia atau badan hukum asing, artinya

pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak yang memenuhi syarat.

c. Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak guna bangunan di dalam UUPA diatur mulai dari Pasal 35 hingga Pasal 40, yang merumuskan hak guna bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun yang dapat diperpanjang atas permintaan pemegang hak paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dapat dijelaskan bahwa HGB berbeda dengan Hak Milik atas tanah. Subjek hukum yang dapat menjadi pemegang HGB dijelaskan pada Pasal 36 ayat (1) UUPA yang berbunyi :

Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ini adalah:

2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Hak guna bangunan ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 35 ayat 3 UUPA). Hak guna bangunan dapat terjadi:

1) Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara karena penetapan

pemerintah;

2) Mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk autentik antara

pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu.

Dalam pelaksanaannya Hak Guna Bangunan (HGB) dapat hapus karena :

1) Waktunya berakhir;

2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi;

3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;

4) Dicabut untuk kepentingan umum;

5) Diterlantarkan;

6) Tanahnya musnah;

7) Pemegang hak bukan warga negara Indonesia atau badan hukum yang tidak

didirikan menurut hukum Indonesia dan tidak berkedudukan di Indonesia.

Hak guna bangunan harus didaftarkan baik mengenai pemberiannya, peralihannya maupun hapusnya, pendaftaran mana merupakan alat pembuktian yang kuat tentang hal tersebut kecuali tentang hapusnya hak itu karena jangka waktunya

berakhir. Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

d. Hak Pakai

Hak Pakai di dalam UUPA diatur mulai dari Pasal 41 hingga Pasal 43, yang menyatakan bahwa Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-

undang ini.52

Ada pembagian hak pakai yang dibuat menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Hak pakai Privat dan Hak Pakai Khusus. Pembatasan hak pakai ini terbatas pada hak menggunakan, dah hak memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau berdasarkan perjanjian hak milik dengan seseorang, namun bukan perjanjian sewa menyewa.

Hak Pakai dapat diberikan Jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu dan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian mana tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

      

Yang dapat mempunyai hak pakai adalah: a. Warga negara Indonesia;

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia;

d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, seperti gedung-

gedung kedutaan negara-negara asing, orang-orang dan badan-badan hukum asing.

Dalam pelaksanaannya undang-undang memberi jangka waktu terhadap hak