• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam

BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PERADILAN TATA

B. Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam

Peradilan Tata Usaha Negara telah menjalankan peran lebih kurang dalam kurun 14 (empat belas) tahun sebagaimana mestinya sebagai sarana publik dan badan

hukum perdata guna melakukan kontrol yuridis terhadap keputusan-keputusan tertulis pejabat Tata Usaha Negara.

Dalam pelaksanaannya ternyata masih ada keputusan-keputusan sengketa Tata Usaha Negara yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap namun penetapannya tidak terlaksana. Hal ini disebabkan karena masih adanya pejabat publik yang masih sangat memprihatinan kesadaran maupun kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Sesuai dengan hukum acara yang ada dan karakteristik Peratun bahwa PTUN bukan sebagai eksekutor (pelaksana putusan) tetapi hanya sebagai pengawas pelaksanaan putusan. Sedangkan yang berkewajiban sebagai eksekutor/pelaksana penetapan adalah pejabat publik itu sendiri.

Dalam teori hukum administrasi, didalam negara hukum bahwa Pejabat Tata Usaha Negara adalah personifikasi hukum (perwujudan dari hukum) dalam kehidupan, oleh karena itu diperluan konsistensi sebagai negara hukum sehingga pejabat publik wajib melaksanaan hukum, termasuk didalamnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai hukum dalam kasus konkrit.

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan institusi peradilan yang paling bungsu di Indonesia, oleh karena itu penegakan hukum melalui institusi ini akan dilakukan secara bertahap karena masih terdapat kekurangan. Pemerintah atau pembuat kebijakan harus memperhatikan sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya penegaan hukum terhadap putusan Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, telah banyak memeriksa dan memutus perkara mengenai keputusan dibidang pertanahan dan pemberhentian dari

jabatan bagi pihak yang melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Dalam pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara tersebut banyak terjadi polemik dimana ada pejabat yang tidak mau menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

Kondisi ini disebabkan karena adanya kesalahan dalam mengaplikasikan asas dan sistem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa jabatan dan fungsi Hakim sama dengan jabatan pemerintahan pada umumnya. Padahal dipandang dari konstitusi, jabatan Hakim itu berbeda, seyogyanya masyarakat harus berhati-hati dalam mengomentari putusan hakim apalagi melecehkannya.

Pada hakekatnya putusan hakim merupakan syarat tentang penegakan hukum dan keadilan. Bila dalam putusan itu terdapat isyarat disisihkannya ketentuan dari suatu undang-undang dalam kasus konkrit, maka pembentuk undang-undang bersama dengan pemerintah harus cepat tanggap, apakah ada yang tidak cermat dalam undang-undang tersebut. Apabila setelah dipertimbangkan dan ternyata putusan itu mengandung kebenaran hendaknya pembuat undang-undang cepat merevisi peraturan tersebut.

Tantangan yang dihadapi oleh Pejabat Tata Usaha Negara cukup memperihatinkan terutama karena pejabat Tata Usaha Negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyaraat secara baik dan benar.

Budaya kerja Pejabat Tata Usaha Negara dapat diawali dalam bentuk nilai- nilai yang terkandung didalamnya, institusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan. Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja.

Disamping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Untuk mengimpelmentasikan itu diperlukan perbaikan persepsi, pola pikir dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuh kembangan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Teori dan ajaran ilmu hukum menyatakan bahwa dalam rangka eksistensi negara hukum, maka perilaku pejabat publik pada hakikatnya adalah personifikasi dari hukum. Semua tingkah laku pejabat harus berdasarkan hukum. Hukum dalam suatu masyarakat negara begitu luas lingkupnya, ada hukum yang tertulis dan ada yang tidak tertulis seperti nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk

juga putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dalam kasus konkrit (das sollen).74

Dapat disimak keluhan masyarakat luas melalui mass media, betapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum tetap, termasuk juga penetapan hakim yang berisi perintah kepada pejabat untuk menangguhkan pelaksanaan surat keputusan yang sedang disengketakan tidak dipatuhi oleh pejabat

      

74

publik, bahkan berkembang asumsi bahwa putusan PTUN sebagai macan ompong (das sain).

Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap keputusan pejabat publik bahwa pejabat publik melakukan langkah-langkah yang tidak rasional, misalnya sebagai permohonan eksekusi diminta untuk membuat permohonan pembatalan SHGB yang merugikan pihak Penggugat. Selanjutnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang efektif karena putusannya/ penetapannya tidak dipatuhi pejabat (tergugat), sebab, Peradilan Tata Usaha Negara tidak proaktif terhadap hasil keputusan/ penetapan yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Walaupun putusan tersebut tidak dilaksanakan Peradilan Tun hanya diam saja.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol yuridis ada yang dipatuhi dan ada yang tidak dipatuhi, tetapi lebih banyak yang tidak dipatuhi karena kurang efektif, bahkan pejabat publiknya saja yang tidak menghormati eksistensi badan peradilan, maka harus diaktifkan fungsi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan ditingkatkan lagi fungsi pengawasan kepada penguasa eksekutif.

Putusan-putusan Peradilan Tata Usaha Negara menghadapi hambatan eksekusi, sedangkan eksekusi menentukan efektifitas badan peradilan. Tidak ada alat pemaksa agar suatu badan atau pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara.

Ketentuan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur pada bagian Kelima mengenai pelaksanaan putusan pengadilan dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Pasal 115 menyebutkan : “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.” Pada saat itu suatu sengketa hukum harus berakhir (litis finiri opertet). Apabila sudah tidak ada upaya hukum biasa lagi yang dapat digunakan berarti Putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (termasuk putusan dengan acara singkat menurut Pasal 63) telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (rejudicate proveritate kabetur).

Putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan publik, yang berarti putusan pengadilan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa (ergaomnes). Putusan Pengadilan diambil untuk memutuskan perkara yang diserahkan kepadanya dalam rangka apa yang dinamakan “Jurisdictio Contentiosa”.

Dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 97 ayat (9) sub a, maka diterapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (2) yaitu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dan kepada Pejabat Tata Usaha Negara

diperuntahkan untuk menyatakan surat keputusan itu menjadi objek sengketa dan memerintahkan Pejabat Tata Usaha Negara untuk menerbitkan surat keputusan Tata Usaha yang baru.

Mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui instansi atasan ditetapkan apabila adanya putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat (9) sub b dan c, Pasal 97 ayat (10), dan Pasal 97 ayat (11), maka diterapkanlah ketentuan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai ayat (6), yaitu dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana tersebut dalam amar putusan untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi ternyata setelah 3 (tiga) bulan lewat dan kewajiban itu tidak dipenuhi, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang agar pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan ini dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan. Apabila ternyata instansi atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuannnya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuatan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara tersebut melaksanakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan. Cara eksekusi seperti ini merupakan mekanisme “eksekusi hierarkis.”

Ketentuan Padal 116 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan masalah Eksekusi putusan hanya berupa “memerintahkan terguggat melaksanakan putusan pengadilan tersebut dan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan, sedangkan wewenang Ketua Pengadilan dalam kaitannya dalam eksekusi putusan pengadilan terbatas hanya mengawasi pelaksanaan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada dasarnya eksekusi di Pengadilan Tata Usaha Negara menekankan pada rasa self respect dan kesadaran hukum dari pejabat tata usaha negara terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya pemaksaan (dwang middelen) yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Ketiadaan upaya paksa dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang memang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah merupakan hambatan yuridis yang akan timbul dalam praktik pada peradilan Tata Usaha Negara sehubungan dengan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

Hambatan lain berkaitan dengan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu mentalitas birokrat yang ada di Pemerintahan apalagi yang di daerah adalah mentalitas yang menganggap jabatan dan kekuasaan adalah segala-galanya.

Seolah-olah tidak ada hak bawahan untuk melakukan koreksi/ kritik atau sanggahan terhadapa atasan. Pegawai Negeri masih suka memelihara mitos bahwa mereka

adalah “priyayi” 75 yang harus dihormati, diistimewakan, kendati sikap dan

perilakunya (termasuk keputusan-keputusan yang diambilnya) boleh jadi sudah melampui kaidah-kaidah hukum yang berlaku, juga sikap arogansi Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri.

Kesulitan eksekusi disatu pihak disebabkan karena pejabat yang bersangkutan telah melaksanakan Keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya ditunda. Kesulitan lain apabila pejabat diberi kewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara baru, membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi seringkali sulit dilaksanakan, meskipun telah ada upaya melalui jalan hirarki, masalah hubungan hirarkhi dan kewenangan serta asas administrasi tidak sepenuhnya mendukung kelancaran eksekusi.

Dalam praktek putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu sulit dilaksanakan, karena adanya budaya hukum Pejabat Tata Usaha Negara yang belum tumbuh sebagaimana mestinya sebagai pengemban kekuasaan publik hendaknya dalam moral segenap Pejabat Tata Usaha Negara harus sudah merupakan budaya bahwa kekuasaan yang disandangnya adalah kekuasaan rakyat yang dipercayakan kepadanya sehingga harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

      

75

R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal. 50.

Dalam prakteknya khususnya dalam pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum tetap banyak yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Hal tersebut memungkinkan terjadi dalam berbagai aspek interaksi antara pejabat selaku pemegang kekuasaan pelayanan publik dengan warga negara yang membutuhkan pelayanan yang terkait dengan kasus-kasus KKN sehingga berakibat lahirnya keputusan-keputusan pejabat publik secara bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir) atau lahirnya putusan pejabat publik yang sewenang- wenang.

Kesadaran hukum memberi pengaruh penting terhadap kepatuhan hukum, ketidak cocokkan antara dasar pengendalian sosial dengan kesadaran hukum pejabat akan berakibat ketidakpatuhan dan pada tahap tertentu hukum tersebut akan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Terbatasnya sarana hukum acara yang dapat mendukung dilaksanakannya Keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap seperti yang ada pada Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Pengaturan pelaksanan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam peraturan perundang-undangan secara mengambang (floating norm) membuat putusan peradilan Tata Usaha Negara sulit untuk dilaksanakan.

Kekurangtegasan pengaturan tersebut berakibat Para Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara memandang sebelah mata terhadap produk Hakim yang bernama

putusan tersebut. Karena tidak ada sanksi apabila putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara itu tidak dipatuhi. Secara teori hukum selain bersifat mengatur maka ia harus bersanksi dan sanksi tersebut bersifat memaksa. Paralel dengan hal tersebut peradilan sebagai lembaga peengak hukum tersebut mutlak harus dilengkapi dengan suatu instrumen pemaksa/lembaga paksa. Peradilan Tata Usaha Negara yang satu- satunya lembaga peradilan yang tidak memiliki lembaga paksa.

Pada hakekatnya putusan pengadilan hakim merupakan isyarat tentang penegakan hukum dan keadilan. Bila dalam putusan itu terdapat isyarat disisihkannya ketentuan dari suatu undang-undang dalam kasus konkrit, maka pembentuk undang- undang bersama pemerintahan harus cepat tanggap, apakah ada yang tidak cermat dalam undang-undang tersebut. Apabila setelah dipertimbangkan dan ternyata putusan itu mengandung kebenaran, hendaknya pembuat undang-undang cepat merevisi peraturan tersebut. Bila tidak, maka kasus-kasus yang sama akan bermunculan, apalagi jika putusan itu telah melalui proses banding dan kasasi muncul sebagai Jurisprudensi.

Tantangan yang dihadapi Pejabat Tata Usaha Negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada pemimpin dan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan benar.

Budaya kerja Pejabat Tata Usaha Negara dapat diawali dalam bentuk nilai- nilai yang terkandung didalamnya, intitusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM

aparatur yang melaksanakan. Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja.

Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan kedalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat.

Oleh karena itu untuk mengimplementasikannya diperlukan persepsi, pola pikir dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuhkembangkan nilai- nilai budaya kerja sesuai dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan cara :

1. Peningkatan Kinerja Aparatur Baik Secara Individu dan Secara Nasional dalam Melaksanakan Tugas dan Tanggung Jawab.

Kinerja aparatur baik secara individu dan secara nasional akan akan dapat berdaya guna bila nilai-nilai dasar budaya kerja dapat diterapkan melalui proses sosialisasi, internalisasi dan institusional dengan cara penerapan nilai-nilai untuk pengembangan jati diri, sikap dan perilaku Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pelayan masyarakat, penerapan-penerapan nilai budaya kerja melalui pengembangan kerja sama dan dinamika kelompok; penerapan-penerapan nilai-nilai budaya keja untuk memperbaiki kebijakan publik penerapan nilai-nilai budaya kerja untuk memperbaiki pelaksanaan manajemen dan pelayanan masyarakat, penerapan nilai- nilai budaya untuk memperbaiki pelaksanaan pengawasan, evaluasi nilai kerja dan penegakan hukum secara konsisten.

Sistem nilai budaya merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia/ individu yang sangat berpengaruh terhadap budaya kerja Pejabat Tata Usaha Negara. Hal tersebut disebabkan karena secara praktis budaya kerja mengandung beberapa pengertian.

Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja.

Secara umum dapat dikatan bahwa birokrasi pemerintah belumlah efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kegemukan, berjalan lambat, belum proporsional, dan propesional. Hampir 50 % PNS belum produktif, efesien, dan efektif, ditinjau dari aspek kelembagaan, kepegawaian, ketatalaksanaan, dan pengawasan.

Dari sisi kelembagaan, masih terjadi duplikasi duplikasi atau overlapping, bentuk organisasi belum berbentuk piramidal, tetapi masih berbentuk piramida terbalik. Dilihat dari kepegawaian juga masih terjadi pengalokasian PNS yang tidak profesional antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia. PNS lebih didominasi oleh golongan II dan I ( hampir 70 % ) dari total pegawai.

Dilihat dari ketatalaksanan dan pelayanan publik, masih terjadi sistem prosedur pelayanan yang belum trasparan, berbelit-belit dan terjadi praktek KKN. Oleh karena itu komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindak lanjuti.

Dalam hal pengawasan dan akuntabilitas aparatur, masih terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masih banyak terjadi praktek KKN disebabkan : Pertama, Masih banyak peraturan perundang-undangan yang memberi peluang terjadinya praktek KKN dan perlu ditinjau kembali. Kedua, Budaya minta dilayani menjadi budaya melayani masyarakat memerlukan waktu untuk diubah. Ketiga, Rendahnya tingkat disiplin masyarakat dan disiplin aparatur dan tingkat disiplin aparatur dan Keempat, belum berfungsinya secara baik aparat pengawas profesional pemerintah termasuk aparat penegak hukum.

Dalam pengembangan budaya aparatur, telah disusun pedoman pelaksanan pengembangan budaya kerja Pejabat Tata Usaha Negara beserta teknis dan mekanisme peleksanaannya, sosialisasi penerapannya, sosialisasi penerapan nilai-

nilai kerja dan aparatur dan ditunjang dengan pelaksanaan pelatihan untuk “mindsetting and volue” dilingkungan aparatur pemerintah, perumusan RUU tentang

Etika Aparatur Negara (RUU Perilaku Aparat Negara ), sebagai acuan kode etik bagi aparat negara dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.

Komitmen mewujudkan birokrasi yang bersih dan profesional harus ditindak lanjuti dengan beberapa antara lain perampingan birokrasi yang meliputi penataan tugas dan fungsi pemerintah disetiap tingkat, rasionalisasi organisasi, rasionalisasi pegawai, desentralisasi dan privatisasi; pengembangan sistem dan metode kerja aparatur; penerapan sistem merit dalam manajemen PNS; penerapan renumerasi PNS yang layak dan adil; pencegahan dan pemberantasan KKN; penyempurnaan sistem dan pelayanan publik yang berkualitas.

Strategi tersebut selanjutnya harus diikuti langkah-langkah praktis dan rasional yang memungkinkan sistem pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efesien diantaranya :

Pertama, Pemetaan peran dan kelembagaan pemerintah dengan sasaran

terwujudnya organisasi pemerintah yang ramping, efektif dan efisien yang dapat mendukung peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan yang berdaya saing tinggi ditingkat nasional dan global.

Kedua, Pengaturan tata laksana pemerintah dengan sasaran terbentuknya,

mekanisme, prosedur, hubungan, metode, dan tata kerja Pejabat Tata Usaha Negara yang tertib dan efektif.

Ketiga, Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dengan sasaran

hadirnya Pegawai Negeri Sipil yang proporsional, netral, dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan serta tindakannya.

Keempat, Pemberantasan KKN dengan sasaran tampilnya Pejabat Tata

Uasaha Negara yang bebas KKN dan kinerja instansi pemerintah yang accountable.

Kelima, Peningkatan kualitas playanan publik yang sederhana, transparan,

tepat, terjangkau, lengkap, wajar, serta adil.

Salah satu perubahan penting adalah pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 masih menimbulkan dilema tersendiri. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya putusan yang telah kekuataan hukum tetap tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak dapat

dieksekusi secara paksa (riel eksekusi), salah satu kendalanya adalah pengaturan lembaga eksekusi secara normatif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak dapat memaksa pejabat untuk mematuhi putusan, karena bentuk tindak lanjut dari putusan yang in kracht van gewijsde hanya berupa peneguran bertingkat secara hirarki yang diatur dalam Pasal 115, 116, dan 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Sehingga dalam kondisi pelaksanaan puusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan dengan baik atau tidak dapat dieksekusi yang pada akhirnya mengakibatkan hilangnya kepecayaan/ kewibawaan terhadap lembaga peradilan pada umumnya dan Peradilan Tata Usaha Negara pada khususnya, dan dengan adanya perubahan Undang-undang nomor 5 Tahun 1986 menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diharapkan permasalahan di atas dalam prakteknya dapat diminmalisir sehingga proses penegakan hukum Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan baik.

2. Prosedur Secara Normatif dan Penangguhan Pelaksanaan Petusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara

defacto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah

kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam menentukan berhasil atau tidaknya pelaksanaan putusan, pengawasan merupakan salah satu paktor efektif dapat terlaksananya putusan pengadilan sesuai dengan perundang-undangan. Secara umum tidak ada yang lebih

penting dalam sistem pengawasan kecuali hasil akhirnya.pelaksanaan putusan adalah ujung tombak dari sistem pengawasan peradilan untuk mendukung tercapainya penyelesaian perkara secara tuntas, yaitu sengketa selesai dan berakhir.

Pengawasan terhadap peleksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa : “Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memproleh kekuatan hukum tetap.”

Pelaksanaan putusan adalah aturan tentang cara dan syarat-syarat yang berkepentingan untuk menjalankan puttusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi substansi putusan dalam waktu yang ditentukan mekanisme “pelaksanaan putusan” adalah merupakan sarana penting dalam penyelesaian atau mengakhiri sengketa yang dimiliki hukum ditinjau (eksekutorial) dan sebab-sebab lain yang mungkin menjadi penyebab keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan putusan.

Putusan adalah hakikat peradaban, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Fungsi putusan badan prdilan adalah untuk memberikan