• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Peradilan

BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PERADILAN TATA

A. Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Peradilan

Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan bahwa Setiap orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkan atau tidak dikeluarkannya suatu sertifikat hak atau surat keputusan pemberian hak atas tanah oleh badan atau pejabat kantor pertanahan secara bertentangan dengan perundangan di bidang pertanahan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan meminta supaya surat keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dinyatakan batal atau tidak sah.

Gugatan harus dinyatakan dalam bentuk secara tertulis, dimana gugatan harus memuat syarat formil dan materil. Syarat formil memuat nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya serta nama jabatan, tempat kedudukan tergugat, sedangkan syarat materil meliputi uraian tentang dasar gugatan atau posita/ fundamentum petendi dan tuntutan atau petitum.

Gugatan harus diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Tata Usaha Negara dari kantor pertanahan yang bersangkutan. (Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Apabila seseorang atau Badan Hukum Perdata sekaligus mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan ke Pengadilan Umum mengenai keperdataan, maka kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili proses administrasi yang objek sengketanya mengenai penerbitan sertifikat atau surat keputusan pemberian hak atas tanah, dan sertifikat hak atas tanah.

Setelah surat gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang mengadili, kemudian Penggugat membayar uang muka biaya perkara, lalu perkara tersebut dicatat dalam buku register perkara oleh panitera pengadilan (Pasal 59 ayat (1), (2)), kemudian diteliti secara administratif oleh staf kepaniteraan. (SEMA RI Nomor 2 Tahun 1991).

Kemudian berkas perkara tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelum menetapkan hakim yang akan mengadili sengketa, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dalam rapat permusyawaratan berwenang memutuskan dengan suatu ketetapan yang menyatakan bahwa gugatan pertanahan tidak diterima atau tidak berdasar (Pasal 62 ayat (1) huruf a s/d huruf e).

Apabila penggugat merasa tidak puas atas penetapan dismissal Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, maka ia dapat mengajukan perlawanan dalam tenggangwaktu 14 (empat belas) hari setelah ditetapkannya (Pasal 62 ayat (3) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Kemudian Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menunjuk Majelis Hakim yang akan mengadili perkara perlawanan tersebut dengan acara singkat. Apabila perlawanan itu dinyatakan tidak beralasan tidak dapat dibenarkan, hakim akan

menolaknya dalam suatu putusan, sedangkan apabila perlawanan itu dinyatakan beralasan/ dapat dibenarkan, maka penetapan dimissal Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dinyatakan gugur demi hukum dalam suatu penetapan hakim. Selanjutnya Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menunjuk kembali Majelis Hakim mengadili pokok perkaranya dengan acara biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum. (Pasal 62 ayat (4), (5) dan (6) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya, terlebih dahulu hakim yang telah ditunjuk memanggil penggugat dan Kepala Kantor BPN sebagai tergugat supaya hadir dalam acara pemeriksaan persiapan, dalam rangka melengkapi/ menyempurnakan gugatan Penggugat yang kurang jelas. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penggugat tidak dapat memperbaiki gugatannya, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum tetapi dapat diajukan gugatan baru. (Pasal 63 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Setelah perbaikan surat gugatan diserahkan oleh Penggugat dalam jangka waktu yang telah ditentukan, selanjutnya hakim akan memanggil kedua belah pihak dengan surat tercatat supaya hadir dalam acara sidang biasa. (Pasal 64 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Panggilan tersebut baru dianggap sah apabila masing-masing pihak telah menerimanya. (Pasal 65 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis Hakim, minimal dengan 3 (tiga) orang Hakim (Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004), dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam sengketa yang menyangkut kepentingan umum atau keselamatan negara, persidangan dinyatakan tertutup umum. Jika tidak, maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum. (Pasal 70 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Apabila setelah dipanggil secara sah dan patut Penggugat atau kuasanya tidak hadir pada hari persidangan pertama dan pada hari sidang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara. Dalam hal ini Penggugat diberi hak mengajukan gugatan baru kembali kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. (Pasal 71 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Sebaliknya apabila pejabat kantor pertanahan yang digugat atau kuasanya tidak hadir 2 (dua) kali sidang berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua sidang dengan surat penetapan meminta alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka hakim ketua sidang dengan surat penetapan meminta alasan tergugat memerintahkan Tergugat supaya hadir dan atau menanggapi gugatan. Apabila setelah lewat dua bulan tidak diterima berita dari alasan Tergugat ataupun dari Tergugat, maka hakim melanjutkan pemeriksaan tanpa hadirnya Tergugat hingga keputusan terhadap pokok gugatan, asalkan didasarkan pada pembuktian secara tuntas (Pasal 72 UU Nomor 5

Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Apabila terdapat lebih dari satu Tergugat salah satunya atau lebih diantaranya atau kuasanya tidak hadir dipersidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, pemeriksaan harus ditunda. Apabila pada hari penundaan sidang tersebut, Tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya. (Pasal 73 ayat (1) dan (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Setelah kedua belah pihak hadir sesuai dengan panggilan sidang, pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan surat gugatan Penggugat dan dilanjutkan dengan pembacaan surat jawaban Tergugat oleh Hakim Ketua sidang. (Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Selanjutnya Penggugat diberikan kesempatan untuk mengajukan repliknya. Apabila Penggugat hendak merubah surat gugatannya, maka kepadanya masih diberikan kesempatan dalam repliknya, asalkan tidak merugikan kepentingan Tergugat. Kemudian kepada Tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan dupliknya. Apabila tergugat hendak mengajukan perubahan atas dalil jawabannya, maka dapat disampaikan dalam uraian dupliknya, sepanjang tidak merugikan Penggugat. (Pasal 75 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Apabila penggugat berkeinginan mencabut gugatannya, hal itu dimungkinkan setiap saat selama Tergugat belum memberikan jawaban, tetapi apabila Tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan itu harus atas persetujuan Tergugat (Pasal 76 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Apabila Tergugat mengajukan Eksepsi, maka terhadap eksepsi tentang kewenangan mengadili harus diputus terlebih dahulu sebelum memeriksa mengenai pokok sengketa, sedangkan terhadap eksepsi lain yang bukan mengenai kewenangan mengadili baik absolut atau relatif akan diputus bersama pokok sengketa. (Pasal 77 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Setelah jawab menjawab selesai, pemeriksaan dilanjutkan dengan cara pembuktian dan kedua belah pihak diberikan kesempatan secara seimbang untuk mengajukan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004, yaitu berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak. Dalam tahap pembuktian tersebut Hakim berperan aktif menentukan hal yang harus dibuktikan dan beban pembuktian kepada para pihak (Pasal 107 Jo. Pasal 80 Jo. Pasal 85 Jo. 86 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Guna memperoleh gambaran yang lebih jelas atas duduk perkara, hakim dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas tanah yang tercantum dalam surat keputusan tata usaha negara yang digugat. (Pasal 96 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Selanjutnya setelah selesai acara pembuktian, kepada kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat terakhir berupa kesimpulan masing-masing. (Pasal 97 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Setelah acara kesimpulan, hakim bermusyawarah untuk melakukan penilaian atau pengujian atas surat keputusan pertanahan yang digugat dan setelah itu

hakim akan membacakan putusannya. (Pasal 97 ayat (2) Jo Pasal 108 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Apabila putusan tidak diucapkan dalan persidangan terbuka untuk umum, maka putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (Pasal 108 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Berdasarkan Pasal 107 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004, penilaian atau pengujian merupakan pendapat akhir dari Hakim yang telah melakukan pemeriksaan, harus didasarkan minimal dengan 2 (dua) alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 dan dari alat bukti itu lalu timbul suatu keyakinan bagi hakim untuk menentukan pakah keputusan dibidang pertanahan yang digugat itu akan dinyatakan batal atau tidak sah atau akan dinyatakan sah menurut hukum. Jadi Hakim akan memutus perkara dengan minimal 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan untuk memperoleh

kebenaran materiil.69

Apabila terbukti secara sah melalui minimal 2 (dua) alat bukti dan oleh karena itu menimbulkan keyakinan bagi Hakim, maka Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menyatakannya batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai perintah untuk menerbitkan sertifikat atau pembatalan surat keputusan hak yang dimohonkan oleh Penggugat. (Pasal 53 ayat (2) Jo. Pasal 107, Pasal 97 ayat (7), (8), (9), (10) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

      

69

Y. Sri Pudyatmoko dan W Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1996), hal. 77

Selain itu pula diperhatikan, selama proses berlangsung pihak ketiga sebagai pemilik surat keputusan yang digugat (misalnya pemilik sertifikat tanah) yang merasa kepentingannya dirugikan dapat masuk kedalam perkara yang sedang diperiksa tersebut sebagai pihak ketiga, baik atas prakarsanya sendiri maupun prakarsa hakim untuk mempertahankan haknya atau bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. (Pasal 83 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Bagi para pihak yang tidak merasa puas atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat mengajukan banding dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan diberitahukan kepadanya secara sah. (Pasal 122, Pasal 123 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004). Sedangkan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan merupakan putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir. (Pasal 124 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Selanjutnya Pengadilan Tata Usaha Negara akan memutus sengketa tersebut dan bagi mereka yang tidak menerima putusan banding dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan kasasi dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Selain upaya hukum biasa, tersedia pula upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Acara pemeriksaan peninjauan kembali dilakukan menurut ketentuan dimaksud

dalam Pasal 77 ayat (1) 14 Tahun 1985 Jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Berdasarkan Pasal 115 Jo Pasal 119 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap akan dilaksanakan secara adminstratif di bawah pengawasan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Tatacara pelaksanaan putusan tersebut tergantung dari kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat sebagaimana tercantum dalam Pasal 97 ayat (9) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004.

Uraian proses penyelesaian sengketa pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara yang baik adalah adanya ketentuan yang menjamin bahwa roda pengadilan dapat berjalan lancar, dengan perkataan lain agar penetapan oleh pengadilan tentang bagaimanakah hukumnya dalam perkara yang dihadapkan kepadanya itu dapat diperoleh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, penetapan tentang apakah hukum itu berjalan dengan adil, tidak berat sebelah dan biaya yang diperlukan untuk memperoleh keputusan pengadilan itu beserta realisasinya tidak terlampau memberatkan para pencari keadilan, karena hukum acara itu sifatnya mengabdi kepada hukum materiel, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum

materiel itu selalu diikuti dengan penyesuain hukum acara yang berlaku.70

      

70

Sehubungan dengan proses penyelesaian sengketa pertanahan melalui peradilan dapat dipedomani kepada teori Seidman dan Chamblis mengenai bekerjanya hukum dalam masyarakat. Teori ini menjelaskan :

1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang

peran (role ocupant) itu diharapkan bertindak;

2. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons

terhadap suatu peraturan hukum, merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga pelaksana serta kompleks kekuatan sosial, politik dan lain sebagainya.

3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons

terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peran;

4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi

peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain- lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari

pemegang peran serta birokrasi.71

      

71

Apabila teori Seidmen dan Chambliss diterapkan pada proses penyelesaian pertanahan tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum yang menyangkut tentang pembatasan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum adalah berfungsi memberikan informasi/ pedoman kepada masyarakat pencari keadilan tentang tata cara mengajukan gugatan sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum tata usaha negara dan hukum perdata. Kemudian berdasarkan ketentuan tersebut masyarakat pencari keadilan sebagai pemegang peran telah meresponsnya, dengan cara mengajukan gugatan sengketa pertanahan tentang surat Keputusan Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan tentang hak keperdataannya ke Peradilan Umum.

Ketentuan tersebut juga menjadi pedoman bagi pengadilan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan dan selanjutnya pembuat undang-undang akan merespons umpan balik dari masyarakat pencari keadilan guna menentukan langkah- langkah lebih lanjut tentang pembagian wewenang absolut antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum terhadap setiap kasus pertanahan yang konkret atau tidak.

Faktor hukum merupakan salah satu aspek yang esensi dari proses penegakan hukum dan tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum. Ketentuan

tentang pembagian kewenangan absolut antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum merupakan ketentuan yang bersifat umum. Berdasarkan kerangka berpikir positivisme ketentuan itu harus berlaku terhadap semua kasus konkret tanpa kecuali, termasuk dalam sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum Tata Usaha Negara dan aspek hukum perdata.

Sengketa pertanahan mempunyai titik singgung antara aspek hukum tata usaha negara dan aspek hukum perdata, dipandang sebagai suatu sengketa atau perkara yang bersifat khas atau unik, dengan demikian telah terjadi perubahan- perubahan dalam situasi sosial yang menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru maka kebutuhan itu akan diakomodasikan dengan cara melakukan peninjauan dan penaatan

kembali terhadap peraturan-peraturan formil yang ada.72

Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum terhadap proses penyelesaian sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum tata usaha negara dan aspek hukum perdata, sehingga berdasarkan prinsip pragmatis dan kemanfaatan terbesar, proses dualistis harus diganti dengan proses monolistis, yaitu proses melalui satu badan peradilan.

Kemudian timbul pemikiran bahwa selain dari proses satu badan peradilan, jika dikaitkan dengan kerangka berpikir positivisme bahwa pengaturan tentang pembagian kewenangan absolut antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum harus dilaksanakan sesuai dengan norma hukum positif yang sudah ada.

      

72

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinajauan Sosiologis, (Bandung : Sinar Baru,)hal. 36-39.

Hukum positif tidak boleh diganggu gugat sekalipun dalam pelaksanaannya terdapat ketimpangan-ketimpangan yang menghambat terciptanya keadilan dan kepastian hukum.

Menurut Penulis, langkah yang lebih baik dalam penyelesaian sengketa pertanahan adalah dengan cara terlebih dahulu memahami objek permasalahan dari sengketa pertanahan, guna menentukan pilihan yang tepat, yaitu diajukan gugatan sengketa pertanahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau ke Pengadilan Umum, hal ini tentunya dapat dilihat dengan kriteria yang telah ditentukan oleh undang- undang.

Untuk itu pihak yang merasa dirugikan perlu mempelajari dan memperhatikan secara seksama proses kedua peradilan tersebut dan permasalahan yang timbul dari sengketa pertanahan tersebut.

Peradilan Tata Usaha Negara mengatur secara eksplisit mengenai hal-hal yang bersifat mendasar tentang :

1) Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diberi kewenangan untuk menyatakan

gugatan tidak berdasar atau tidak diterima sebelum memeriksa pokok sengketanya, sehingga proses mubazir yang akan mempertebal rasa kekecewaan Penggugat dapat dihindari/ dieliminir. (Pasal 62 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

2) Hakim Peradilan Tata Usaha Negara bersifat aktif dalam membantu merumuskan

kesempurnaan surat gugatan penggugat pada tahap pemeriksaan persiapan sehingga dapat meminimalkan gugatan dinyatakan tidak diterima karena adanya

kekurangan dari segi formil. (Pasal 63 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

3) Hakim Peradilan Tata Usaha Negara diberikan wewenang untuk menentukan

pembuktian dan beban pembuktian, yang berorientasi pada perwujudan kebenaran materiil. (Pasal 107 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas diatur secara eksplisit dalam proses peradilan umum.

Apabila sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum perdata dan hukum tata usaha negara dinyatakan sebagai kewenangan absolut peradilan umum, maka perwujudan kebenaran materiil dalam menguji keputusan tata usaha negara akan berubah menjadi perwujudan kebenaran formil.

Hal ini didukung oleh Prof. Star Busmann, yang menyatakan bahwa didalam hukum acara perdata hakim mengejar kebenaran formil, yaitu kebenaran yang dicapai oleh hakim dalam batas-batas yang ditentukan oleh para pihak yang

berperkara.73 Selain itu juga akan menyulitkan posisi orang atau badan hukum

perdata yang menggugat badan atau pejabat tata usaha negara, karena kedudukan mereka berada pada posisi yang tidak seimbang. Sebaliknya apabila sengketa pertanahan tersebut dinyatakan sebagai kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara, maka perwujudan kebenaran formil terhadap gugatan keperdataan akan berubah menjadi perwujudan kebenaran yang bersifat materiil. Jika akan diserahkan

      

73

R. Soepomo, Hukum Atjara Perdata Pengadilan Negeri, (Djakarta : Pradnya Paramita, 1969), hal. 36-39.

menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, maka terdapat kekurangan perangkat hukum, antara lain ketentuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan secara riil dan pembayaran ganti kerugian kepada orang perorangan atau badan hukum perdata.

Apabila benar-benar diperhatikan, maka terdapat perbedaan karakteristik antara jalur lewat proses perdata dengan jalur proses Peradilan Tata Usaha Negara. Disatu pihak proses Hakim Tata Usaha Negara dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih, dalam arti lewat proses ini dapat diperoleh pembatalan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dan kadangkala berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 dapat diperoleh suatu keputusan Tata Usaha Negara yang baru, yang wajib dikeluarkan oleh Tergugat sebagai ganti keputusan yang dibatalkan, sedangkan bagi peradilan perdata hal itu tidak ada pengaturannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka sebaiknya untuk meningkatkan mutu proses peradilan kepada pencari keadilan, sebaiknya sengketa pertanahan yang mengandung aspek Hukum Tata Usaha Negara dan aspek Hukum Perdata diselesaikan secara tuntas oleh Peradilan Tata Usaha Negara.

B. Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian