• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH

TESIS

Oleh

NURNAENI MANURUNG

077005128/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NURNAENI MANURUNG

077005128/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM ENYELESAIKAN SENGKETA TANAH

Nama Mahasiswa : Nurnaeni Manurung

Nomor Pokok : 077005128

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Ketua

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum

2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Didalam praktek penyelesaian sengketa pertanahan menimbulkan permasalahan dalam hal mengadili sengketa tanah apakah termasuk kompetensi absolut/wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara atau wewenang Peradilan Umum, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya putusan pengadilan yang menolak dan menyatakan permohonan gugatan penggugat tidak dapat diterima dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat, sehingga akhirnya Kondisi ini menimbulkan asumsi dari masyarakat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Macan Ompong. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia, dan Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.

Bahwa kewenangan mengadili (kompetensi absolut) antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan tersebut ditentukan dari objectum litis fundamentum

petendi (pokok sengketanya) yang bertujuan untuk pembatalan surat keputusan

(6)

Untuk Membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara, Lembaga Juru Sita, Penerapan Eksekusi Putusan berupa Pembayaran sejumlah uang Paksa (Dwangsom), Penjatuhan Sanksi Administrasi dan Penjatuhan Sanksi Publikasi di Media Massa.

Agar kedepannya dirumuskan oleh pembuat undang-undang bahwa dalam setiap penyelesaian sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum tata usaha negara dan hukum perdata keseluruhannya merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang monolostik dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan, hal ini diperlukan untuk mendapatkan kebenaran materil yang memberikan perlindungan hukum kepada orang atau badan hukum perdata guna mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Agar Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan didasarkan kepada asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan serta asas kepastian hukum, dan kepada aparat penegakan hukum/ Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam pelaksanaan putusa Peradilan Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan baik, dan khusus tentang pelaksana putusan Dwangsom agar Mahkamah Agung RI membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur tentang uang paksa (dwangsom).

(7)

ABSTRACT

Conventional settlement of land disputes is commonly conducted through litigation or court of law. In practice, the settlement of land dispute results in a problem in terms of which institution that has the authority/absolute competence to try the land dispute, Pengadilan Tata Usaha Negara (Public Administration Court) or Peradilan Umum (Public Court). This condition always results in a court decision which refuses and states that the claim of application filed by the plaintiff cannot be trying, this action inflicts loss to the parties involved in the dispute especially the plaintiff. The other problem is that the execution based on the decision of Peradilan Tata Usaha Negara cannot be done that it slows down the procces of law enforcement to claim the right owned by the plaintiff. This condition eventually creates social unrest and confussion that the community assumes that the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is powerless. The purpose of this study is to describe the scope of land dispute under authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara based on the principle of judgement practiced in Indonesia and how the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is implemented in settling land dispute.

(8)

It is suggested that, in the future, the law makers should formulate that in each settlement of land dispute containing all of the aspects of state administration law and civil law is under the authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara as a monolistic institution in investigating, deciding, and settling a land dispute. This is important to get a material evidence that can provide a legal protection for an individual or civil corporate body to get a justice and legal certainly. In investigating, deciding, and settling a land dispute, the judge of Peradilan Tata Usaha Negara should do it based on the principle of quick, simple and low lost investigation and the principle of legal certainly. In implementing their duty and responsibility, the law upholdersd/the officers of Tata Usaha Negara should do it based on the existing legislation that the implementation of the decision of Peradilan Tata Usaha Negara can go well. The Supreme Court of the Republic of Indonesia should immendiately materializethe the implementation of decision especially the one related to Article 119 of Law No.9/2004 by issuing its Immplementation Regulation.

(9)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera Bagi Kita Semua

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat

dan karunia-Nya laporan penelitian berbentuk tesis yang berjudul “Analisis

Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian

Sengketa Tanah”dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini merupakan upaya akademis untuk mengkaji dan menganalisa

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kompetensi peradilan, khususnya

terhadap Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa dibidang

pertanahan.

Secara jujur dan rendah hati, peneliti mengakui betapa penyusunan tesis tidak

terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dari banyak pihak, oleh karena itu pada

kesempatan ini degan setulus hati diucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada

yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH. Selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. Selaku Ketua Pembimbing,

Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH. M.Hum. Selaku Anggota Pembimbing, Bapak

(10)

senantiasa bersedia setiap waktu memberikan bimbingan, menampung dan

memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang peneliti hadapi dalam proses

penyelesaian tesis ini.

3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada

peneliti dan mengubah wawasan peneliti dalam bidang ilmu pengetahuan hukum

yang menjadi bekal dalam penyusunan tesis ini.

4. Seluruh Staff Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara yang selama ini senantiasa membantu peneliti dalam mengikuti

studi dari segi admnistrasi dan informasi.

5. Rekan Ketua Pengadilan TUN Medan yang telah memberikan izin, dukungan dan

motivasi sehingga peneliti dapat mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Suami tercinta beserta anak-anak tersayang peneliti dan seluruh keluarga besar

yang senantiasa memberikan dukungan dan doa pada peneliti dalam mengikuti

studi dan menyelesaikan penyusunan tesis ini.

7. Teman-teman Mahasiswa Kelas Eksekutif Angkatan 2007 Program Studi Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

(11)

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna, oleh

karena itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

Harapan peneliti, semua hasil penelitian tesis ini berguna baik secara teoritis

maupun praktis.

Medan, Agustus 2009

Peneliti,

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurnaeni Manurung

Tempat/Tanggal Lahir : Balige, 15 April 1957

Jenis Kelamin : Wanita

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan/ Jabatan : PTTUN Medan/ Hakim Tinggi

Alamat : Jalan. Lizardi Putra No. 1 Medan Tuntungan

Pendidikan : SD Negeri 7 Balige Tamat Tahun 1970

SLTP Budi Darma Katolik Balige Tamat Tahun 1973

SLTA Katolik Bersubsidi Bintang Timur Balige Tamat Tahun 1976

Strata Satu (S1) Universitas Katolik Parahyangan Tamat Tahun 1985

(13)

DAFTAR ISI

E. Keaslian Penelitian ……… 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……….. 16

G. Metode Penelitian ……… 24

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN SISTEM PERTANAHAN DI INDONESIA ………. 28

A. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia …………. 28

1. Hukum Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara ... 28

2. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara ………. 30

3. Pengertian Pejabat (Het Ambt) dan Pejabat Tata Usaha Negara ………. 34

4. Aktivitas Publik Pejabat Tata Usaha Negara ……….. 48

B. Kedudukan Sistem Pertanahan Di Indonesia ………. 51

(14)

BAB III RUANG LINGKUP SENGKETA PERTANAHAN YANG MENJADI KOMPETENSI PERADILAN

TATA USAHA NEGARA ……….. 79

A. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan ……… 79

1. Perihal Objectum Litis (Objek yang disengetakan) dalam gugatan ………. 85

2. Perihal Petitum Dalam Gugatan ... 88

3. Perihal Hak Atas Tanah dan Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah ……… 91

BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ………. 94

A. Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara ………. 94

B. Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah ……… 108

C. Analisis Kasus ……… 137

1. Duduk Perkara ……… 137

2. Analisis Putusan ………. 141

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 144

A. Kesimpulan ……….. 144

B. Saran ……… 146

(15)

ABSTRAK

Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Didalam praktek penyelesaian sengketa pertanahan menimbulkan permasalahan dalam hal mengadili sengketa tanah apakah termasuk kompetensi absolut/wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara atau wewenang Peradilan Umum, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya putusan pengadilan yang menolak dan menyatakan permohonan gugatan penggugat tidak dapat diterima dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat, sehingga akhirnya Kondisi ini menimbulkan asumsi dari masyarakat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Macan Ompong. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia, dan Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.

Bahwa kewenangan mengadili (kompetensi absolut) antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan tersebut ditentukan dari objectum litis fundamentum

petendi (pokok sengketanya) yang bertujuan untuk pembatalan surat keputusan

(16)

Untuk Membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara, Lembaga Juru Sita, Penerapan Eksekusi Putusan berupa Pembayaran sejumlah uang Paksa (Dwangsom), Penjatuhan Sanksi Administrasi dan Penjatuhan Sanksi Publikasi di Media Massa.

Agar kedepannya dirumuskan oleh pembuat undang-undang bahwa dalam setiap penyelesaian sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum tata usaha negara dan hukum perdata keseluruhannya merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang monolostik dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan, hal ini diperlukan untuk mendapatkan kebenaran materil yang memberikan perlindungan hukum kepada orang atau badan hukum perdata guna mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Agar Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan didasarkan kepada asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan serta asas kepastian hukum, dan kepada aparat penegakan hukum/ Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam pelaksanaan putusa Peradilan Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan baik, dan khusus tentang pelaksana putusan Dwangsom agar Mahkamah Agung RI membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur tentang uang paksa (dwangsom).

(17)

ABSTRACT

Conventional settlement of land disputes is commonly conducted through litigation or court of law. In practice, the settlement of land dispute results in a problem in terms of which institution that has the authority/absolute competence to try the land dispute, Pengadilan Tata Usaha Negara (Public Administration Court) or Peradilan Umum (Public Court). This condition always results in a court decision which refuses and states that the claim of application filed by the plaintiff cannot be trying, this action inflicts loss to the parties involved in the dispute especially the plaintiff. The other problem is that the execution based on the decision of Peradilan Tata Usaha Negara cannot be done that it slows down the procces of law enforcement to claim the right owned by the plaintiff. This condition eventually creates social unrest and confussion that the community assumes that the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is powerless. The purpose of this study is to describe the scope of land dispute under authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara based on the principle of judgement practiced in Indonesia and how the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is implemented in settling land dispute.

(18)

It is suggested that, in the future, the law makers should formulate that in each settlement of land dispute containing all of the aspects of state administration law and civil law is under the authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara as a monolistic institution in investigating, deciding, and settling a land dispute. This is important to get a material evidence that can provide a legal protection for an individual or civil corporate body to get a justice and legal certainly. In investigating, deciding, and settling a land dispute, the judge of Peradilan Tata Usaha Negara should do it based on the principle of quick, simple and low lost investigation and the principle of legal certainly. In implementing their duty and responsibility, the law upholdersd/the officers of Tata Usaha Negara should do it based on the existing legislation that the implementation of the decision of Peradilan Tata Usaha Negara can go well. The Supreme Court of the Republic of Indonesia should immendiately materializethe the implementation of decision especially the one related to Article 119 of Law No.9/2004 by issuing its Immplementation Regulation.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara

Indonesia adalah negara hukum.1 Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah

dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka

merealisir tujuan negara harus memiliki dasar hukum atau dasar kewenangan. Dalam

kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, setiap aktifitas pemerintah harus

berdasarkan hukum dikenal dengan istilah asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau

wetmatigheid van bestuur), artinya setiap aktifitas pemerintah harus memiliki dasar

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya dasar wewenang

yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut maka

aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau

mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.2

Asas legalitas menjadi sendi utama dalam suatu negara hukum, akan tetapi

keberadaan asas legalitas bukan tanpa masalah. Sebab sering terjadi kesenjangan

antara perubahan masyarakat yang cepat dengan peraturan perundang-undangan

tertentu. Seringkali pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan maksimal

terhadap masyarakat, sementara peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

      

1

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tersebut merupakan pasal tambahan sesuai dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001.

2

(20)

bagi tindakan pemerintahan tersebut belum ada. Menurut Bagir Manan bahwa

ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written low) peraturan

perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas, sekedar “moment

opname” dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam yang paling

berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali Out of Date bila

dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.3

Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu dapat terjadi kontradiksi internal bagi

pemerintah. Disatu sisi pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan umum bagi

masyarakat yang berkembang pesat, disisi lain pemerintah harus memiliki dasar

hukum dalam melakukan tindakan, dimana aparat pemerintah yang tidak memiliki

wewenang yang dapat mempengaruhi negara hukum harus memiliki syarat-syarat

essensial, seperti kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-hak

manusia dan human dignity dihormati.4

Langgengnya suatu negara hukum, maka penghormatan terhadap hak-hak

asasi manusia ditandai dengan pencantumannya dalam konstitusi. Pemerintah harus

memegang teguh konstitusi dan menjalankan segala undang-undang serta peraturan

pelaksanaannya dengan benar dan bersama masyarakat menjunjung tinggi hukum dan

pemerintahan tersebut.5

      

3

Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Ujung Pandang : FH- Universitas Hasanuddin, 1996), Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara, hal. 2.

4

Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Aksara Baru, 1979), hal. 11. 5

(21)

Makna negara hukum adalah apabila segala aktivitas kenegaraan dari

lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan dari seluruh warga negara

didasarkan pada hukum, yang berarti pengaturan tata kehidupan seluruh warga negara

harus dibingkai oleh hukum. Oleh karena itu hukum harus dijadikan sebagai

panglima dan menempatkan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan

keamanan berada dan tunduk kepada hukum.6

Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan

hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini kepastian, ketertiban

dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam

kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas

hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Sebagai jaminan adanya kepastian hukum dalam setiap kebijaksanaan

administrasi negara harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan

yang berwujud suatu ketetapan. Namun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa

ketetapan yang dikeluarkan administrasi negara dianggap bertentangan dengan

hukum atau merugikan kepentingan warga negara atau badan hukum perdata,

akibatnya, perlindungan hukum dan keadilan yang diberikan kepada masyarakat

adalah dengan menggugat badan atau pejabat administrasi negara yang mengeluarkan

ketetapan itu di muka pengadilan.7

      

6 Ibid 7

(22)

Negara hukum merupakan salah satu tekad pemerintah sebagai

konsekuensi logis untuk melaksanakan pembangunan nasional dan sebagai salah satu

sarana penegakan keadilan bagi anggota masyarakat. Pembangunan dan pembinaan

bidang hukum seperti ditetapkan dalam beberapa ketetapan MPR diarahkan agar

hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan

disegala bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi

proses pelaksanaan pembangunan buat kepentingan masyarakat.

Salah satu usaha pemerintah untuk menjamin perlindungan keadilan bagi

anggota masyarakat ialah dengan cara diwujudkan Peradilan Tata Usaha Negara

berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal

29 Desember 1986, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun

2004. Perwujudan dan penyempurnaan Peradilan Tata Usaha Negara ini dimaksudkan

bukan hanya untuk perlindungan serta kepastian hukum bagi anggota masyarakat,

tetapi untuk kepentingan administrasi negara agar mendapatkan tempat secara wajar

sehingga benturan yang timbul akibat keputusan administrasi negara mendapat

penyelesaian yang adil dan menyatu.8

Kemudian salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan warga negara

yang juga tunduk pada hukum adalah bidang Pertanahan/Agraria. Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya

disebut UUPA) telah mengatur masalah pertanahan di Indonesia sebagai salah satu

      

8

(23)

peraturan yang harus dipatuhi. Salan satu tujuan pembentukan UUPA adalah

meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas

tanah bagi seluruh rakyat, yakni melalui kegiatan pendaftaran tanah untuk seluruh

wilayah Indonesia yang produknya adalah pemberian alat bukti kepemilikan hak atas

tanah/sertifikat hak milik atas tanah.

Mengingat demikian besarnya peranan tanah dalam kehidupan sosial,

ekonomi, politik serta pengaruhnya terhadap laju atau lambannya suatu proses

pembangunan maka diperlukan peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang

dan/atau badan hukum terhadap tanah atas miliknya.9

Namun kenyataannya, landasan yuridis yang mengatur masalah pertanahan

tidak sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen dengan berbagai alasan, sehingga

menimbulkan masalah/sengketa pertanahan. Sumber masalah/sengketa pertanahan

yang ada sekarang antara lain disebabkan :

1. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;

2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non pertanian;

3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;

4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah

(hak ulayat);

      

9

(24)

5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam

pembebasan tanah.10

Permasalahan tersebut di atas memaksa masyarakat untuk mengajukan

penyelesaian sengketa tanah yang dialami melalui lembaga peradilan baik peradilan

umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan masalah pertanahan yang

terjadi akibat konflik struktural karena kebijakan pemerintah di masa lalu dapat

diselesaikan melalui suatu komisi atau badan peradilan khusus yang dibentuk dengan

undang-undang.

Penyelesaian sengketa pertanahan dengan pendekatan hukum pada

dasarnya kembali didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku, maksudnya

semua penyelesaian masalah pertanahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan

secara yuridis dengan terlebih dahulu diupayakan dengan musyawarah mufakat.

Penyelesaian sengketa pertanahan dengan pendekatan hukum hanya dapat

dilakukan apabila peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan secara efektif

atau dengan kata lain dilakukan penegakan hukum (law enforcement) secara

konsekuen, yaitu penegakan hukum dengan memperhatikan unsur kepastian hukum

(rechtssiccheit), kemanfaatan (zweckmassigheit) dan keadilan (gerechtigheid).11

Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan

secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Peradilan merupakan

      

10

Lutfi I Nasution, Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi, (Bandung : Salatiga Bandung, 2002), hal. 217.

11

(25)

tumpuan harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang

memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu putusan yang

tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaiknya untuk mendapatkan penyelesaian

suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.12

Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan/litigasi

didasarkan kepada objek sengketa tanah, hal ini berkaitan dengan kewenangan untuk

mengadili sengketa tanah apakah termasuk kepada kompetensi/kewenangan absolut

Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan absolut peradilan/atribusi kompetensi/kewenangan (attributie

van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian wewenang antar

badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya pembagian antara

wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.

Menurut Thorbecke dan Buys ukuran untuk menentukan apakah suatu

perkara merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergantung dari

pokok sengketanya (objectum litis fundamentum petendi). Apabila hak yang tertindak

itu berada dalam kerangka hukum publik, maka perkara tersebut merupakan

kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan apabila berada dalam lapangan hukum

perdata maka merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum.13

Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili

sengketa yang berada dalam hukum publik, yaitu sengketa yang timbul akibat

      

12

Abdurrahman, Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung : Alumni, 1987), hal. 63. 13

(26)

perbuatan pemerintah dalam hukum publik yang bersifat ekstern yang bersegi satu

dan bersifat konkrit, individual dan final yang tertuang dalam suatu keputusan Pejabat

Tata Usaha Negara.14

Pada dasarnya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara memiliki

kompetensi/ kewenangan absolut mengadili sengketa tata usaha Negara (Pasal 47 UU

Nomor 5 Tahun 1986). Menurut Pasal 1 butir 4 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo UU

Nomor 9 Tahun 2004, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam

bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau

pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat

dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk menilai dan menentukan

apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi itu

bertentangan dengan hukum atau tidak.

Berdasarkan pengertian di atas maka terhadap sengketa tanah dapat

diselesaikan penyelesaiannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal mengenai

pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah

atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh

sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

Sedangkan dalam hal pemeriksaan dan pemutusan tentang sengketa tanah

yang mengandung aspek keperdataan yang berkaitan dengan perselisihan tentang hak

      

14

(27)

milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan atau hak-hak perdata

semata-mata menjadi kompetensi/ kewenangan kekuasaan Pengadilan Umum.15

Dengan demikian Peradilan Umum berwenang mengadili sengketa-sengketa

pertanahan yang mengandung aspek keperdataan, misalnya kepemilikan atau

penguasaan tanah secara melawan hukum, tindakan yang memperkosa hak milik atas

tanah, perbuatan ingkar janji, jual-beli, sewa-menyewa, jaminan dan lain-lain hak atas

tanah.

Jika dilihat secara normatif maka sengketa pertanahan yang memiliki aspek

hukum tata usaha negara dan aspek hukum perdata dapat diselesaikan secara dualistis

oleh dua peradilan, hal ini disebabkan karena sengketa pertanahan dipandang sebagai

sengketa/perkara yang mempunyai karakter khusus/unik, karena adanya titik

singgung kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan

Umum.

Namun dalam prakteknya kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha

Negara dan Pengadilan Umum menimbulkan permasalahan dalam pemeriksaan dan

pemutusan sengketa pertanahan, sehingga konsekuensi logisnya adalah sering

terjadinya putusan pengadilan yang menyatakan permohonan gugatan penggugat

tidak dapat diterima atau ditolak dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan

kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya

bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya

      

15

(28)

adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha

Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang

dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Tata Usaha Negara

Medan bahwa sengketa tanah yang masuk tahun 2006 berjumlah 24 (dua puluh

empat) perkara, tahun 2007 berjumlah 42 (empat puluh dua) perkara, tahun 2008

berjumlah 40 (empat puluh) perkara, dan sampai pada bulan maret berjumlah 14

(empat belas) perkara. Dari jumlah perkara tersebut membuktikan bahwa

masalah/sengketa tanah di kota Medan sangat marak.

Dari sejumlah keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara

ada kemungkinan diantaranya menimbulkan kerugian di pihak yang dikenakan

keputusan, yaitu warga masyarakat. Kemungkinan ini dapat saja disebabkan

pemerintah merasa mempunyai kedudukan yang lebih kuat terhadap rakyat yang

dikuasainya,16 sehingga dalam melaksanakan tugasnya melampui batas wewenang

(detournament de pouvoir) atau salah menerapkan peraturan perundang-undangan

(abuse de droit).

Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan

oleh badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak

diperlukan suatu badan yang dapat memberikan putusannya secara adil dan objektif,

yang akhirnya dapat memutuskan apakah ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau

      

16

(29)

pejabat administrasi itu batal atau tidak sah dan bagi gugatan yang terbukti tidak

berdasar hukum tentunya harus ditolak oleh pengadilan.

Kemudian Peradilan Tata Usaha Negara belum sepenuhnya memenuhi

harapan masyarakat pencari keadilan. Masih adanya putusan Peradilan Tata Usaha

Negara yang tidak dipatuhi Pejabat TUN merupakan salah satu hal yang

menyebabkan masyarakat masih pesimis terhadap eksistensi Lembaga Peradilan Tata

Usaha Negara dan sebagai alasan utama penyebab dari timbulknya kerugian

dimasyarakat.

Salah satu permasalahan yang timbul di masyarakat adalah mengenai

eksekusi atas putusan Peradilan Tata Usaha Negara, dimana eksekusi ini lebih

cenderung hanya berdasarkan pada kesadaran. Pejabat Tata Usaha Negara atau

dengan peneguran berjenjang secara hirarki (floating form) sebagaimana diatur dalam

Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara ternyata tidak cukup efektif memaksa pejabat Tata Usaha Negara

melaksanakan putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara.

Keputusan-keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan

kerugian di pihak masyarakat, merupakan dasar sengketa antara pejabat dengan

rakyat. Untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi maka pemerintah sudah

menyediakan lembaga yang memiliki wewenang untuk itu, yaitu Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah di ubah

menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang

(30)

Keberadaan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pelaksanaan

Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman (dahulu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman), yang menyatakan bahwa peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Salah satu hal baru yang terdapat dari pemberlakukan Undang-undang

Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah pemberlakukan lembaga paksa berupa :

uang paksa (dwangsom/ astreinte) dan sanksi administrasi serta publikasi putusan

hakim yang diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pemberlakuan Dwangsom/ Uang Paksa dalam proses eksekusi sebenarnya

adalah merupakan upaya tekanan (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi

atau melaksanakan hukuman pokok. Jadi uang paksa adalah merupakan suatu alat

eksekusi secara tidak langsung, dan penerapannya di Peradilan Tata Usaha Negara

menyangkut mengenai, jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang

paksa, kepada siapa uang paksa dibebankan dan sejak kapan uang paksa tersebut

(31)

keadilan terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol

terhadap Pemerintah sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat.17

Oleh karena itu Penulis mengambil penelitian untuk memberikan jawaban

terhadap ruang lingkup dan pelaksanaan sengketa pertanahan yang menjadi

kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di

Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi Penulis untuk melakukan

penelitian dengan mengambil judul penelitian “Analisis Terhadap Kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah”.

B. Permasalahan

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,

maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia ?

2. Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam

penyelesaian sengketa tanah ?

      

17

(32)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan gambaran maupun penjelasan tentang ruang lingkup

pelaksanaan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan

yang dianut di Indonesia setelah dikeluarkannya UU Peradilan TUN yang baru.

2. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha

Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak

yang berkepentingan seperti Badan Pertanahan Nasional dan Lembaga

Swadaya Masyarakat yang peduli mengenai permasalahan pertanahan dan

kepada masyarakat agar mengetahui dan dapat mengambil langkah-langkah

yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa tanah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pertanahan, khususnya yang

menyangkut mekanisme penyelesaian sengketa tanah dalam masyarakat.

(33)

a. Sebagai kajian hukum dan pedoman bagi pemerintah, lembaga peradilan dan

lembaga pertanahan dalam menentukan kebijakan dan mengambil tindakan

dalam menyelesaikan masalah pertanahan yang terjadi dalam masyarakat.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat untuk mengambil tindakan terhadap

sengketa pertahanan yang terjadi di masyarakat..

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa untuk menambah wawasan

ilmu terutama dalam bidang hukum tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas

Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Analisis Terhadap Kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah” belum

pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam

penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian

komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini

merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,

rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya

secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait

(34)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam penulisan tesis ini kerangka teori yang relevan dengan

permasalahan yang diteliti sebagai pisau analisis adalah teori negara hukum. Secara

teoritis, pengertian negara hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja adalah kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk

kepada hukum.

Sedangkan menurut Muhammad Yamin, Indonesia adalah Negara hukum

(rechstaat, government of low) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara

polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan

keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan

kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.18

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum juga lahir dan

berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara

hukum di anggap sebagai konsep universal, tetapi pada tataran implementasi ternyata

memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi

kesejarahan dan juga disamping itu baik secara historis dan praktis konsep negara

hukum muncul dalam berbagai model, seperti Negara hukum menurut konsep Eropah

      

18

(35)

Kontinental yang dinamakan rechstaat, negara hukum menutup konsep Anglo Saxon

(rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila.19

Oleh karena itu berkaitan dengan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara

dengan konsep negara hukum (rechtstaat) adalah sebagai landasan negara hukum

yang melahirkan Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Stahl unsur-unsur negara hukum adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.20

Salah satu persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan,

utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. Secara historis persoalan

kekuasaan (authority) telah muncul sejak Plato, dimana Filosof Yunani tersebut

menempatkan kekuasaan sebagai sarana untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Sejak itu hukum dan keadilan selalu dihadapkan pada kekuasaan dan hingga sekarang

persoalan kekuasaan tetap merupakan persoalan klasik.21

Kemudian dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan selalu

dihubungkan dengan kedaulatan (soverregnity atau souvereinteit), kedaulatan

merupakan sumber kekuasaan tertinggi bagi negara yang tidak berasal dan tidak

      

19

Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 63. 20

Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1982), hal. 57-58. 21

(36)

berada di bawah kekuasaan lain. Dalam catatan perjalanan sejarah ditemukan

beberapa teori tentang kedaulatan, antara lain teori tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan

rakyat, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.

Paul Scholten mengemukakan paham negara hukum, dengan membedakan

tingkatan unsur-unsur negara hukum. Unsur yang dianggap penting disebut asas dan

turunannya disebut dengan aspek. Unsur utama (asas) negara hukum paham Scholten

adalah, a). Ada hak warga negara yang mengandung 2 (dua) aspek, yaitu : pertama,

hak individu pada prinsipnya berada diluar wewenang negara, kedua, pembahasan

terhadap hak tersebut hanyalah dengan ketentuan undang-undang, berupa peraturan

yang berlaku umum, b). Adanya pemisahaan kekuasaan. Scholten, dengan mengikuti

Mostesquieu mengemukakan 3 (tiga) kekuasaan negara yang harus dipisahkan satu

sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan melaksanakan

undang-undang dan kekuasaan mengadili.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa konsep negara hukum atau negara

berdasarkan atas hukum (rechtstaat atau the rule of law) yang mengandung

prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan kekuasaan dan asas kekuasaan kehakiman yang

merdeka, semuanya bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari

kemungkinan bertindak sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam pengertian konsep hukum, negara atau pemerintah (dalam arti luas)

harus menjamin tertib hukum, menjamin tegaknya hukum dan menjamin tercapainya

(37)

didasarkan pada hukum dan keadaan masyarakat yang sesuai dengan hukum yang

berlaku.

Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum adalah adanya

jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum

ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan

atau hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum.

Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan atas ketertiban ini

syarat pokok untuk suatu masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah

tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam

pergaulan antar manusia dalam masyarakat.22 Hukum harus dilaksanakan dan

ditegakkan.

Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya

peristiwa konkrit. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum

merupakan perlindungan justisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang

berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian, karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan

kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban hukum. Penegakan hukum

harus memberi manfaat pada masyarakat, disamping bertujuan menciptakan keadilan.

      

22

(38)

Peradilan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap pencari keadilan

untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam

suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu keputusan yang tidak berat

sebelah, karena itu jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu

perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.

Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat

demokrasi masih tetap diandalkan sebagai katup penekan (pressure value) atas segala

pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum, juga

peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort” yakni sebagai

tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih

diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan.23

Khususnya bagi penegakan hukum administrasi negara dan tata usaha

negara, untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan,

perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan

warga masyarakat diperlukan adanya sarana hukum yaitu Peradilan Tata Usaha

Negara. Peradilan tersebut sekaligus sebagai sarana pengawasan yuridis dan legalitas

bagi administrasi negara.

Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penyelesaian sengketa

yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat,

      

23

(39)

atau penyelesaian sengketa ekstern administrasi negara, tidak termasuk penyelesaian

sengketa interns, yaitu sengketa yang timbul antara sesama administrasi negara.

Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah agar rasa keadilan di

dalam masyarakat terpelihara dan dapat ditingkatkan sebagai bagian dari publik

service pemerintahan terhadap warganya, dan agar keseimbangan antara kepentingan

perseorangan dengan umum dapat terjamin dengan baik.

Prof. Prayudi Atmosudirdjo, merumuskan bahwa tujuan daripada Peradilan

Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi

Negara yang tepat menurut hukum (rechmatige) atau tepat menurut undang-undang

(wetmatig) dan atau tepat secara fungsional (efektif) dan atau berfungsi secara

efisien.24

Selanjutnya sebagai teori hukum pendukung adalah teori good government

yang merupakan prinsip good government (clean) asas-asas umum pemerintahan

yang baik (selanjutnya disebut AAUPB). Philipus M. Hadjon mengatakan pendekatan

dalam hukum administrasi ada 3 (tiga) pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah,

pendekatan hak asasi dan pendekatan fungsionaris.

AAUPB pada hakikatnya merupakan norma pemerintahan, yaitu jenis meta

norma dan norma hukum publik. Selanjutnya AAUPB merupakan hukum tidak

tertulis adalah hasil rechtvinding, tidak identik dengan hukum adat, dan dalam

perkembangan bisa saja beralih menjadi hukum tertulis sebagai norma pemerintahan.

      

24

(40)

Perbedaan antara AAUPB dengan asas-asas umum sama perbedaan antara

norma dan asas umum. Sedangkan AAUPB lahir dari praktek adalah bisa dari praktek

pemerintahan dan bisa dari praktek pengadilan (yurisprudensi).

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terdiri dari :

1. Asas Kepastian Hukum;

2. Asas Keseimbangan;

3. Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh;

4. Asas Bertindak cermat;

5. Asas Motivasi untuk setiap keputusan;

6. Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan;

7. Asas Permainan yang layak;

8. Asas Keadilan atau kewajaran;

9. Asas Menanggapi pengharapan yang wajar;

10.Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal;

11.Asas Perlindungan atas pandangan (cara) hidup;

12.Asas Kebijaksanaan;

13.Asas Penyelenggaraan kepentingan Umum.25

Keseluruhan AAUPB yang baik ini bertujuan untuk mendapatkan tujuan

negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

2. Kerangka Konsepsi

Konseptual adalah merupakan definisi operasional dari berbagai istilah

yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis,

bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada

      

25

(41)

pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan

pustaka.26

Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan

penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini, maka dirasa perlu

untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut :

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah kewenangan Peradilan

Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut objek atau materi atau

pokok sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau

Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat

maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. 27

Sengketa Tata Usaha Negara adalah Sengketa yang timbul dalam bidang

Tata Usaha Negara antara orang dan Badan hukum perdata dengan Badan Tata Usaha

Negara baik dipusat atau pun diderah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata

Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan

yang berlaku.

Sengketa Tanah adalah perselisihan antara kedua belah pihak yang

berkaitan mengenai surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas

tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh

sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dan

      

26 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80.   27

(42)

perselisihan tentang hak milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan

atau hak-hak perdata.

Sertifikat tanah sebenarnya adalah tidak lain daripada salinan Buku Tanah

dan Surat ukur yang telah dijahit menjadi 1 (satu) dengan diberi suatu kertas sampul

yang telah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri/ Dirjen Agraria dan diberikan

kepada seseorang yang mempunyai hak atas tanah sebagai bukti hak dan bukti telah

dilakukan pendaftaran daripada tanah yang bersangkutan.28

Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu Penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum

Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata.29

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang

melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan hukum normatif (yuridis

normative), yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen mewujudkan

      

28

Abdurrahman, Beberapa Aspekta tentang Hukum Agraria, (Bandung : Alumni, 1980), hal. 102. 29

(43)

penerapan mekanisme penyelesaian sengketa tanah melalui kewenangan mengadili

Peradilan Tata Usaha Negara.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif (normative

legal research) untuk mengidentifikasi dan menganalisi faktor hukum yang menjadi

kendala dalam penerapan peraturan perundang-undanga, dimana penelitian ini

mengacu kepada peraturan perundangan-undangan tentang pertanahan dan

Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis, artinya membatasi

kerangka studi kepada suatu pemerian, suatu analisis atau klasifikasi tanpa secara

langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau

teori-teori. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni

memerikan, menganalisis dan mesistematisasikan hukum yang berlaku dengan

penelitian lapangan sebagai penunjang.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini

adalah data sekunder, dimana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tertier. Sehingga Penulisan ini menitik beratkan pada penelitian bahan pustaka

(44)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai

teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan

perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-undang

Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor

9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur

bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum

dan komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam

penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder maka

pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan

analisis terhadap peraturan perundang-undangan, yang dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

a. Menginventarisasi dan menilai dan menganalisis peraturan perundang-undangan

(45)

b. Menginventarisasi dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasannya

berkenaan dengan sengketa pertanahan dan mengenai kompetensi mengadili

Pengadilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

c. Menginventarisasi dan menilai serta memilih secara selektif bahan-bahan bacaan

lainnya seperti majalah, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya

penulisan tesis ini.

4. Alat Pengumpul Data

Bahwa penelitian ini hanya dilakukan dengan studi dokumen yaitu

menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasal-pasal peraturan

perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi,

filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap kualitas dan

kesempurnaan tesis ini dari Peradilan Tata Usaha Negeri Medan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian

dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis

data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian dianalisis

secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis, terhadap asas-asas hukum

sistem-sistem hukum dan sinkronisasi hukum dengan menggunakan metode berpikir

deduktif dan induktif. Maksudnya kaidah-kaidah yang benar dan tepat diterapkan

(46)

 

 

 

penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur

dan tatacara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku

umum dalam perundang-undangan.

(47)

BAB II

KEDUDUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DAN SISTEM PERTANAHAN DI INDONESIA

A. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia

1. Hukum Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum Tata Usaha Negara menurut Van Wijk-Konijmenbelt adalah sebagai

hukum mengenai penyelenggaraan administrasi/ administrare atau penyelenggaraan

pemerintah (bestuur). Kalau mengikuti nomenklatur ”Tata Usaha” maka hukum Tata

Usaha Negara adalah hukum Ketatausahaan. Karena hukum ini mengenai

pemerintahan maka disebut Hukum Tata Usaha Negara. Almarhum Prof Koentjoro

Purbopranoto menggunakan nama “Hukum Tata Pemerintahan”, karena objek hukum

Tata Usaha adalah pemerintah bukan Negara. Hukum mengenai Negara adalah

hukum tata Negara bukan hukum Tata Usaha Negara. Bicara lebih luas, Van

Wijk-Konijnenbelt memberi arti hukum Tata Usaha Negara (bestuurrecht) sebagai hukum

yang disatu pihak mengatur mengenai keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam

pergaulan masyarakat, dipihak lain mengatur perlindungan terhadap anggota

masyarakat akibat keikutsertaan pemerintah dalam mengatur masyarakat tersebut.30

Kleintjes 75 tahun yang lalu (stootsinstellwign van nedherland indie, 432),

menggambarkan hukum Tata Usaha Negara, sebagai hukum tentang pelaksanaan

      

30

(48)

tugas pemerintah. Kalau rumusan Van Wijk-Konijmbelt dan Kleintjes digabung maka

akan didapati 3 unsur penting dalam hukum Tata Usaha Negara, yaitu :

1. Hukum yang mengatur tata cara/ Tata Usaha Negara melaksanakan tugasnya

yang semata mata menyebut pelaksanaan tugas dalam lingkungan pemerintahan,

misalnya wewenang menandatangani keputusan, wewenang menghukum dalam

lingkungan administrasi;

2. Hukum yang mengatur pergaulan masyarakat.

3. Hukum yang mengatur tata cara perlindungan anggota masyarakat akibat

keikutsertaan Tata Usaha Negara dalam pergaulan masyarakat.

Kedalaman pengetahuan pembentukan peraturanperundang-undangan tidak

hanya terbatas pada Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi semua bidang peraturan

perundang-undangan. Lebih lanjut kedalam itu tidak hanya bersifat internal yaitu

hubungan berbagai teori dan kaidah hukum. Tidak kalah penting yaitu hubungan

eksternal konsep politik, konsep ekonomi, konsep sosial, serta kenyataan sosial dan

kultural, dll yang semestinya menjadi arah dan dasar suatu peraturan perundang-

undangan. Sekedar contoh ditinjau dari Falsafah Pancasila dan Konsep ekonomi,

sosial kita tidak lain dari mewujudkan keadilan sosial dari seluruh rakyat Indonesia.

Sudah semestinya dalam konteks ekonomi dan sosial seluruh peraturan perundang-

undangan harus mengandung azas, tujuan, norma, dan kebijakan yang mendorong

kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mungkin bagi negara-negara yang sudah sangat maju tatanan ekonomi

(49)

dll) disertai dengan kekeyaan yang sudah melimpah, dengan berbagai modifikasi

akan menjamin keadilan bagi rakyat mereka.

Hanya dengan kedalaman pengetahuan dapat diharapkan lahir berbagai

peraturan perundang-undangan yang memili landasan konseptual dan arah yang jelas.

Peraturan perundang-undangan modern bukan sekedar instrumen represif atau

preventif. Tidak kalah penting peranan peraturan perundang-undangan sebagai

fasilitator yang memberi arahan dan mendorong menuju perwujudan suatu tujuan

politik, ekonomi, sosial, dan sebagai suatu undang-undang tidak dibuat semata karena

ada keadaan baru, melainkan karena ada cara baru, strategi baru, atau kebijakan baru

untuk mewujudkan suatu cita-cita politik, ekonomi, sosial, dan perkembangan hukum

Tata Usaha Negara.

Dapat dikatakan semua ahli sependapat perkembangan Tata Usaha Negara

tidak terlepas dari penerapan paham negara kesejahtraan (welfarestate)

(verzorgindstaat) atau meninggalkan paham negara sebagai penjaga ketertiban belaka

atau lazim disebut negara penjaga malam (nachtwakersstaat). Seperti dikatakan

karena negara aktif ikut serta dalam pergaulan atau aktifitas masyarakat, maka hukum

Tata Usaha Negara makin berkembang.

2. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam

suatu bangsa terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi negara Republik

(50)

1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi dan disamping itu hak

masyarakat. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan

masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu tujuan pembentukan peradilan

administrasi secara filosofis adalah untuk memberikan perlindungan terhadap

hak-hak perseorangan dan hak-hak-hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian,

keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan

masyarakat atau kepentingan umum.31

Menurut Sjachran Basah tujuan peradilan administrasi adalah :

Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata, melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti hal adanya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administrasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, bersih dan berwibawa dalam kaitan negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa tujuan peradilan administrasi secara preventif untuk mencegah tindakan-tindakan administrasi negara yang melawan hukum dan merugikan, sedangkan secara represif atas tindakan-tindakan tersebut perlu dan harus dijatuhi sanksi.32

Dalam melaksanakan tugasnya itu pemerintah wajib menjunjung tinggi

harkat dan martabat masyarakat pada umumnya dan hak serta kewajiban asasi warga

masyarakat pada khususnya. Oleh karena itu, Pemerintah wajib secara terus menerus

membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara

agar mampu menjadi alat yang efisien, bersih, serta berwibawa dan dalam

      

31

SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1997), hal. 27.

32

(51)

melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan

sikap pengabdian untuk masyarakat. Menyadari sepenuhnya peranan positif aktif

Pemerintah dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan

langkah dalam menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan,

perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan

warga masyarakat.

Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan

perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban serta kepastian hukum)

kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan

tata usaha negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam

bidang tata usaha negara.

Memperhatikan perumusan penjelasan umum undang-undang peradilan tata

usaha negara, tujuan pendirian Peradilan Tata Usaha Negara adalah :

1. Sebagai sarana pemberi perlindungan kepada hak-hak dasar warga masyarakat;

2. Sebagai sarana pembinaan, penyempurnaan dan penertiban bagi aparatur

administrasi negara agar mampu menjadi alat yang melaksanakan tugasnya

berdasarkan hukum (rechtmatigheid van bestuur), bersih dan efisien dalam

kerangka hukum Indonesia.

Sebagai penyelenggaraan pengawasan yudisial terhadap pemerintah,

Peradilan Administrasi berfungsi menegakkan prinsip negara dan mempertahankan

hukum administrasi material. Fungsi mana diketengahkan Giddings, yaitu dengan

(52)

(korektif), disciplinery (disipliner) dan remedial (perbaikan) terhadap tindakan

admnistrasi yang tidak sesuai dengan hukum.

Corrective sebagai pengoreksi tindakan administrasi negara yang sudah

terbukti bertentangan dengan hukum, oleh hukum acara dinyatakan batal atau tidak

sah. Remedial, sebagai sarana perbaikan terhadap akibat yang telah ditimbulkan oleh

tindakan admnistrasi itu, dengan melakukan tindakan pengganti, ganti rugi atau

rehabilitasi. Disciplinary, sebagai pemberi sanksi berupa hukuman dan beban-beban

dan kewajiban-kewajiban lain agar menjadi alat penjera bagi yang bersangkutan dan

alat preventif bagi pejabat lain.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang dinamis, bertujuan

mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta

tertib. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedudukan warga

negara di dalam hukum. Dalam usaha mewujudkan tujuan tersebut di atas, sesuai

dengan sistem pemerintahan negara yang dianut dalam UUD 1945, melalui

aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara Pemerintah diharuskan berperan aktif dan

positif.

Pemerintah wajib secara terus menerus membina, menyempurnakan dan

menertibkan aparatur tersebut agar menjadi aparatur yang efisien, efektif, bersih dan

berwibawa yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan

dilandasi semangat dan sikap pengabdian bagi masyarakat.

Sadar terhadap peran aktif dan positif tersebut di atas, pemerintah telah

(53)

perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan

warga masyarakat. Perselisihan inilah yang disebut dengan Sengketa Tata Usaha

Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa

antara pemerintah dengan warga negaranya. Dalam hal ini sengketa timbul sebagai

akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang melanggar hak warga

senegaranya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PTUN diadakan dalam rangka

memberi perlindungan kepada rakyat. Dengan kata lain tujuan PTUN sebenarnya

tidak semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan

melainkan juga untuk melindungi hak-hak masyarakat.33

3. Pengertian Pejabat (Het Ambt) dan Pejabat Tata Usaha Negara

a. Pengertian Pejabat (Het Ambt)

Pejabat adalah pegawai pemerintahan yang memegang suatu jabatan tertentu

dan penting dalam bidang pemerintahan. Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara

dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang peradilan Tata

Usaha Negara menyatakan bahwa, Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau

Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

      

33

(54)

Menurut penjelasan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa yang dimakud “urusan

pemerintah” ialah kegiatan yang bersifat eksekutif dan yang dimaksud dengan

“peraturan perundang-undangan” ialah semua peraturan yang bersifat mengikat

secara umum dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik

ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat

mengikat secara umum.

Indoharto menyebutkan ukuran untuk dapat disebut badan atau Pejabat TUN

adalah fungsi yang dilaksanakan, bukan nama sehari-hari, bukan pula kedudukan

strukturalnya dalam salah satu lingkungan kekuasaan negara. Adalah pengelompokan

Badan atau Pejabat TUN, yaitu:

a. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada dibawah Presiden selaku

eksekutif.

b. Instansi-instansi dalam lingkungan negara diluar lingkungan kekuasaan eksekutif

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan urusan

pemerintahan.

c. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud

untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

d. Instansi-instansi yang merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan

Referensi

Dokumen terkait

Keaktifan hakim ( judicial activism ) Pengadilan Tata Usaha Negara melalui penemuan hukum progresif diperlukan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kompetensi PTUN dalam menyelesaikan sengketa kepegawaian serta bagaimana akibat hukum terhadap PTUN yang menerima

Kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan Undang-undang No 3 Tahun 2006, telah mengalami perluasan kewenangan dalam

Kewenangan peradilan tata usaha Negara dalam menanggani sengketa pemilihan umum kepala daerah (PILKADA) yang bersifat administrative diatur didalam undang- undang Nomor

Pembuktian merupakan tahapan dalam proses beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa, berupa penyajian alat-alat bukti yang

2016, Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Hak Atas Tanah (Study Kasus Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar). Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Program

Prosedur penyelesaian sengketa pemiludi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menggunakan hukum acara biasa akan tetapidibuat khusus dengan meniadakan tahap

Alasan ataupun pentingnya pemilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan didalam kehidupan masyarakat yaitu: 1 Adanya keinginan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa