ANALISIS KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH
TESIS
Oleh
NURNAENI MANURUNG
077005128/HK
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TANAH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NURNAENI MANURUNG
077005128/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM ENYELESAIKAN SENGKETA TANAH
Nama Mahasiswa : Nurnaeni Manurung
Nomor Pokok : 077005128
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Ketua
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi D i r e k t u r
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum
2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
ABSTRAK
Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Didalam praktek penyelesaian sengketa pertanahan menimbulkan permasalahan dalam hal mengadili sengketa tanah apakah termasuk kompetensi absolut/wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara atau wewenang Peradilan Umum, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya putusan pengadilan yang menolak dan menyatakan permohonan gugatan penggugat tidak dapat diterima dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat, sehingga akhirnya Kondisi ini menimbulkan asumsi dari masyarakat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Macan Ompong. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia, dan Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.
Bahwa kewenangan mengadili (kompetensi absolut) antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan tersebut ditentukan dari objectum litis fundamentum
petendi (pokok sengketanya) yang bertujuan untuk pembatalan surat keputusan
Untuk Membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara, Lembaga Juru Sita, Penerapan Eksekusi Putusan berupa Pembayaran sejumlah uang Paksa (Dwangsom), Penjatuhan Sanksi Administrasi dan Penjatuhan Sanksi Publikasi di Media Massa.
Agar kedepannya dirumuskan oleh pembuat undang-undang bahwa dalam setiap penyelesaian sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum tata usaha negara dan hukum perdata keseluruhannya merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang monolostik dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan, hal ini diperlukan untuk mendapatkan kebenaran materil yang memberikan perlindungan hukum kepada orang atau badan hukum perdata guna mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Agar Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan didasarkan kepada asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan serta asas kepastian hukum, dan kepada aparat penegakan hukum/ Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam pelaksanaan putusa Peradilan Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan baik, dan khusus tentang pelaksana putusan Dwangsom agar Mahkamah Agung RI membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur tentang uang paksa (dwangsom).
ABSTRACT
Conventional settlement of land disputes is commonly conducted through litigation or court of law. In practice, the settlement of land dispute results in a problem in terms of which institution that has the authority/absolute competence to try the land dispute, Pengadilan Tata Usaha Negara (Public Administration Court) or Peradilan Umum (Public Court). This condition always results in a court decision which refuses and states that the claim of application filed by the plaintiff cannot be trying, this action inflicts loss to the parties involved in the dispute especially the plaintiff. The other problem is that the execution based on the decision of Peradilan Tata Usaha Negara cannot be done that it slows down the procces of law enforcement to claim the right owned by the plaintiff. This condition eventually creates social unrest and confussion that the community assumes that the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is powerless. The purpose of this study is to describe the scope of land dispute under authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara based on the principle of judgement practiced in Indonesia and how the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is implemented in settling land dispute.
It is suggested that, in the future, the law makers should formulate that in each settlement of land dispute containing all of the aspects of state administration law and civil law is under the authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara as a monolistic institution in investigating, deciding, and settling a land dispute. This is important to get a material evidence that can provide a legal protection for an individual or civil corporate body to get a justice and legal certainly. In investigating, deciding, and settling a land dispute, the judge of Peradilan Tata Usaha Negara should do it based on the principle of quick, simple and low lost investigation and the principle of legal certainly. In implementing their duty and responsibility, the law upholdersd/the officers of Tata Usaha Negara should do it based on the existing legislation that the implementation of the decision of Peradilan Tata Usaha Negara can go well. The Supreme Court of the Republic of Indonesia should immendiately materializethe the implementation of decision especially the one related to Article 119 of Law No.9/2004 by issuing its Immplementation Regulation.
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera Bagi Kita Semua
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat
dan karunia-Nya laporan penelitian berbentuk tesis yang berjudul “Analisis
Terhadap Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah”dapat diselesaikan. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini merupakan upaya akademis untuk mengkaji dan menganalisa
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kompetensi peradilan, khususnya
terhadap Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa dibidang
pertanahan.
Secara jujur dan rendah hati, peneliti mengakui betapa penyusunan tesis tidak
terlepas dari bimbingan, bantuan, dorongan dari banyak pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini degan setulus hati diucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH. Selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN. Selaku Ketua Pembimbing,
Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH. M.Hum. Selaku Anggota Pembimbing, Bapak
senantiasa bersedia setiap waktu memberikan bimbingan, menampung dan
memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang peneliti hadapi dalam proses
penyelesaian tesis ini.
3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada
peneliti dan mengubah wawasan peneliti dalam bidang ilmu pengetahuan hukum
yang menjadi bekal dalam penyusunan tesis ini.
4. Seluruh Staff Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara yang selama ini senantiasa membantu peneliti dalam mengikuti
studi dari segi admnistrasi dan informasi.
5. Rekan Ketua Pengadilan TUN Medan yang telah memberikan izin, dukungan dan
motivasi sehingga peneliti dapat mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan penulisan tesis ini.
6. Suami tercinta beserta anak-anak tersayang peneliti dan seluruh keluarga besar
yang senantiasa memberikan dukungan dan doa pada peneliti dalam mengikuti
studi dan menyelesaikan penyusunan tesis ini.
7. Teman-teman Mahasiswa Kelas Eksekutif Angkatan 2007 Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.
Harapan peneliti, semua hasil penelitian tesis ini berguna baik secara teoritis
maupun praktis.
Medan, Agustus 2009
Peneliti,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Nurnaeni Manurung
Tempat/Tanggal Lahir : Balige, 15 April 1957
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan/ Jabatan : PTTUN Medan/ Hakim Tinggi
Alamat : Jalan. Lizardi Putra No. 1 Medan Tuntungan
Pendidikan : SD Negeri 7 Balige Tamat Tahun 1970
SLTP Budi Darma Katolik Balige Tamat Tahun 1973
SLTA Katolik Bersubsidi Bintang Timur Balige Tamat Tahun 1976
Strata Satu (S1) Universitas Katolik Parahyangan Tamat Tahun 1985
DAFTAR ISI
E. Keaslian Penelitian ……… 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……….. 16
G. Metode Penelitian ……… 24
BAB II KEDUDUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN SISTEM PERTANAHAN DI INDONESIA ………. 28
A. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia …………. 28
1. Hukum Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara ... 28
2. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara ………. 30
3. Pengertian Pejabat (Het Ambt) dan Pejabat Tata Usaha Negara ………. 34
4. Aktivitas Publik Pejabat Tata Usaha Negara ……….. 48
B. Kedudukan Sistem Pertanahan Di Indonesia ………. 51
BAB III RUANG LINGKUP SENGKETA PERTANAHAN YANG MENJADI KOMPETENSI PERADILAN
TATA USAHA NEGARA ……….. 79
A. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan ……… 79
1. Perihal Objectum Litis (Objek yang disengetakan) dalam gugatan ………. 85
2. Perihal Petitum Dalam Gugatan ... 88
3. Perihal Hak Atas Tanah dan Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah ……… 91
BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ………. 94
A. Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara ………. 94
B. Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah ……… 108
C. Analisis Kasus ……… 137
1. Duduk Perkara ……… 137
2. Analisis Putusan ………. 141
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 144
A. Kesimpulan ……….. 144
B. Saran ……… 146
ABSTRAK
Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Didalam praktek penyelesaian sengketa pertanahan menimbulkan permasalahan dalam hal mengadili sengketa tanah apakah termasuk kompetensi absolut/wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara atau wewenang Peradilan Umum, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya putusan pengadilan yang menolak dan menyatakan permohonan gugatan penggugat tidak dapat diterima dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat, sehingga akhirnya Kondisi ini menimbulkan asumsi dari masyarakat bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai Macan Ompong. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia, dan Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.
Bahwa kewenangan mengadili (kompetensi absolut) antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan tersebut ditentukan dari objectum litis fundamentum
petendi (pokok sengketanya) yang bertujuan untuk pembatalan surat keputusan
Untuk Membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara, Lembaga Juru Sita, Penerapan Eksekusi Putusan berupa Pembayaran sejumlah uang Paksa (Dwangsom), Penjatuhan Sanksi Administrasi dan Penjatuhan Sanksi Publikasi di Media Massa.
Agar kedepannya dirumuskan oleh pembuat undang-undang bahwa dalam setiap penyelesaian sengketa pertanahan yang mengandung aspek hukum tata usaha negara dan hukum perdata keseluruhannya merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang monolostik dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan, hal ini diperlukan untuk mendapatkan kebenaran materil yang memberikan perlindungan hukum kepada orang atau badan hukum perdata guna mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Agar Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu sengketa pertanahan didasarkan kepada asas pemeriksaan cepat, sederhana dan biaya ringan serta asas kepastian hukum, dan kepada aparat penegakan hukum/ Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam pelaksanaan putusa Peradilan Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan baik, dan khusus tentang pelaksana putusan Dwangsom agar Mahkamah Agung RI membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur tentang uang paksa (dwangsom).
ABSTRACT
Conventional settlement of land disputes is commonly conducted through litigation or court of law. In practice, the settlement of land dispute results in a problem in terms of which institution that has the authority/absolute competence to try the land dispute, Pengadilan Tata Usaha Negara (Public Administration Court) or Peradilan Umum (Public Court). This condition always results in a court decision which refuses and states that the claim of application filed by the plaintiff cannot be trying, this action inflicts loss to the parties involved in the dispute especially the plaintiff. The other problem is that the execution based on the decision of Peradilan Tata Usaha Negara cannot be done that it slows down the procces of law enforcement to claim the right owned by the plaintiff. This condition eventually creates social unrest and confussion that the community assumes that the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is powerless. The purpose of this study is to describe the scope of land dispute under authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara based on the principle of judgement practiced in Indonesia and how the decision of Peradilan Tata Usaha Negara is implemented in settling land dispute.
It is suggested that, in the future, the law makers should formulate that in each settlement of land dispute containing all of the aspects of state administration law and civil law is under the authority/competence of Peradilan Tata Usaha Negara as a monolistic institution in investigating, deciding, and settling a land dispute. This is important to get a material evidence that can provide a legal protection for an individual or civil corporate body to get a justice and legal certainly. In investigating, deciding, and settling a land dispute, the judge of Peradilan Tata Usaha Negara should do it based on the principle of quick, simple and low lost investigation and the principle of legal certainly. In implementing their duty and responsibility, the law upholdersd/the officers of Tata Usaha Negara should do it based on the existing legislation that the implementation of the decision of Peradilan Tata Usaha Negara can go well. The Supreme Court of the Republic of Indonesia should immendiately materializethe the implementation of decision especially the one related to Article 119 of Law No.9/2004 by issuing its Immplementation Regulation.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum.1 Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah
dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka
merealisir tujuan negara harus memiliki dasar hukum atau dasar kewenangan. Dalam
kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, setiap aktifitas pemerintah harus
berdasarkan hukum dikenal dengan istilah asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau
wetmatigheid van bestuur), artinya setiap aktifitas pemerintah harus memiliki dasar
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya dasar wewenang
yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut maka
aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau
mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.2
Asas legalitas menjadi sendi utama dalam suatu negara hukum, akan tetapi
keberadaan asas legalitas bukan tanpa masalah. Sebab sering terjadi kesenjangan
antara perubahan masyarakat yang cepat dengan peraturan perundang-undangan
tertentu. Seringkali pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan maksimal
terhadap masyarakat, sementara peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
1
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tersebut merupakan pasal tambahan sesuai dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001.
2
bagi tindakan pemerintahan tersebut belum ada. Menurut Bagir Manan bahwa
ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written low) peraturan
perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas, sekedar “moment
opname” dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam yang paling
berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali Out of Date bila
dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.3
Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu dapat terjadi kontradiksi internal bagi
pemerintah. Disatu sisi pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan umum bagi
masyarakat yang berkembang pesat, disisi lain pemerintah harus memiliki dasar
hukum dalam melakukan tindakan, dimana aparat pemerintah yang tidak memiliki
wewenang yang dapat mempengaruhi negara hukum harus memiliki syarat-syarat
essensial, seperti kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-hak
manusia dan human dignity dihormati.4
Langgengnya suatu negara hukum, maka penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia ditandai dengan pencantumannya dalam konstitusi. Pemerintah harus
memegang teguh konstitusi dan menjalankan segala undang-undang serta peraturan
pelaksanaannya dengan benar dan bersama masyarakat menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan tersebut.5
3
Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Ujung Pandang : FH- Universitas Hasanuddin, 1996), Makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara, hal. 2.
4
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Aksara Baru, 1979), hal. 11. 5
Makna negara hukum adalah apabila segala aktivitas kenegaraan dari
lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan dari seluruh warga negara
didasarkan pada hukum, yang berarti pengaturan tata kehidupan seluruh warga negara
harus dibingkai oleh hukum. Oleh karena itu hukum harus dijadikan sebagai
panglima dan menempatkan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan berada dan tunduk kepada hukum.6
Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam
kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas
hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Sebagai jaminan adanya kepastian hukum dalam setiap kebijaksanaan
administrasi negara harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang berwujud suatu ketetapan. Namun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa
ketetapan yang dikeluarkan administrasi negara dianggap bertentangan dengan
hukum atau merugikan kepentingan warga negara atau badan hukum perdata,
akibatnya, perlindungan hukum dan keadilan yang diberikan kepada masyarakat
adalah dengan menggugat badan atau pejabat administrasi negara yang mengeluarkan
ketetapan itu di muka pengadilan.7
6 Ibid 7
Negara hukum merupakan salah satu tekad pemerintah sebagai
konsekuensi logis untuk melaksanakan pembangunan nasional dan sebagai salah satu
sarana penegakan keadilan bagi anggota masyarakat. Pembangunan dan pembinaan
bidang hukum seperti ditetapkan dalam beberapa ketetapan MPR diarahkan agar
hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan
disegala bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi
proses pelaksanaan pembangunan buat kepentingan masyarakat.
Salah satu usaha pemerintah untuk menjamin perlindungan keadilan bagi
anggota masyarakat ialah dengan cara diwujudkan Peradilan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal
29 Desember 1986, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004. Perwujudan dan penyempurnaan Peradilan Tata Usaha Negara ini dimaksudkan
bukan hanya untuk perlindungan serta kepastian hukum bagi anggota masyarakat,
tetapi untuk kepentingan administrasi negara agar mendapatkan tempat secara wajar
sehingga benturan yang timbul akibat keputusan administrasi negara mendapat
penyelesaian yang adil dan menyatu.8
Kemudian salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan warga negara
yang juga tunduk pada hukum adalah bidang Pertanahan/Agraria. Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA) telah mengatur masalah pertanahan di Indonesia sebagai salah satu
8
peraturan yang harus dipatuhi. Salan satu tujuan pembentukan UUPA adalah
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi seluruh rakyat, yakni melalui kegiatan pendaftaran tanah untuk seluruh
wilayah Indonesia yang produknya adalah pemberian alat bukti kepemilikan hak atas
tanah/sertifikat hak milik atas tanah.
Mengingat demikian besarnya peranan tanah dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik serta pengaruhnya terhadap laju atau lambannya suatu proses
pembangunan maka diperlukan peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang
dan/atau badan hukum terhadap tanah atas miliknya.9
Namun kenyataannya, landasan yuridis yang mengatur masalah pertanahan
tidak sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen dengan berbagai alasan, sehingga
menimbulkan masalah/sengketa pertanahan. Sumber masalah/sengketa pertanahan
yang ada sekarang antara lain disebabkan :
1. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non pertanian;
3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah
(hak ulayat);
9
5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.10
Permasalahan tersebut di atas memaksa masyarakat untuk mengajukan
penyelesaian sengketa tanah yang dialami melalui lembaga peradilan baik peradilan
umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan masalah pertanahan yang
terjadi akibat konflik struktural karena kebijakan pemerintah di masa lalu dapat
diselesaikan melalui suatu komisi atau badan peradilan khusus yang dibentuk dengan
undang-undang.
Penyelesaian sengketa pertanahan dengan pendekatan hukum pada
dasarnya kembali didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku, maksudnya
semua penyelesaian masalah pertanahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
secara yuridis dengan terlebih dahulu diupayakan dengan musyawarah mufakat.
Penyelesaian sengketa pertanahan dengan pendekatan hukum hanya dapat
dilakukan apabila peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan secara efektif
atau dengan kata lain dilakukan penegakan hukum (law enforcement) secara
konsekuen, yaitu penegakan hukum dengan memperhatikan unsur kepastian hukum
(rechtssiccheit), kemanfaatan (zweckmassigheit) dan keadilan (gerechtigheid).11
Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan
secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Peradilan merupakan
10
Lutfi I Nasution, Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi, (Bandung : Salatiga Bandung, 2002), hal. 217.
11
tumpuan harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang
memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu putusan yang
tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaiknya untuk mendapatkan penyelesaian
suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.12
Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan/litigasi
didasarkan kepada objek sengketa tanah, hal ini berkaitan dengan kewenangan untuk
mengadili sengketa tanah apakah termasuk kepada kompetensi/kewenangan absolut
Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan absolut peradilan/atribusi kompetensi/kewenangan (attributie
van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian wewenang antar
badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya pembagian antara
wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.
Menurut Thorbecke dan Buys ukuran untuk menentukan apakah suatu
perkara merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergantung dari
pokok sengketanya (objectum litis fundamentum petendi). Apabila hak yang tertindak
itu berada dalam kerangka hukum publik, maka perkara tersebut merupakan
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan apabila berada dalam lapangan hukum
perdata maka merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum.13
Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili
sengketa yang berada dalam hukum publik, yaitu sengketa yang timbul akibat
12
Abdurrahman, Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung : Alumni, 1987), hal. 63. 13
perbuatan pemerintah dalam hukum publik yang bersifat ekstern yang bersegi satu
dan bersifat konkrit, individual dan final yang tertuang dalam suatu keputusan Pejabat
Tata Usaha Negara.14
Pada dasarnya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara memiliki
kompetensi/ kewenangan absolut mengadili sengketa tata usaha Negara (Pasal 47 UU
Nomor 5 Tahun 1986). Menurut Pasal 1 butir 4 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo UU
Nomor 9 Tahun 2004, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat
dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk menilai dan menentukan
apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi itu
bertentangan dengan hukum atau tidak.
Berdasarkan pengertian di atas maka terhadap sengketa tanah dapat
diselesaikan penyelesaiannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal mengenai
pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah
atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh
sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
Sedangkan dalam hal pemeriksaan dan pemutusan tentang sengketa tanah
yang mengandung aspek keperdataan yang berkaitan dengan perselisihan tentang hak
14
milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan atau hak-hak perdata
semata-mata menjadi kompetensi/ kewenangan kekuasaan Pengadilan Umum.15
Dengan demikian Peradilan Umum berwenang mengadili sengketa-sengketa
pertanahan yang mengandung aspek keperdataan, misalnya kepemilikan atau
penguasaan tanah secara melawan hukum, tindakan yang memperkosa hak milik atas
tanah, perbuatan ingkar janji, jual-beli, sewa-menyewa, jaminan dan lain-lain hak atas
tanah.
Jika dilihat secara normatif maka sengketa pertanahan yang memiliki aspek
hukum tata usaha negara dan aspek hukum perdata dapat diselesaikan secara dualistis
oleh dua peradilan, hal ini disebabkan karena sengketa pertanahan dipandang sebagai
sengketa/perkara yang mempunyai karakter khusus/unik, karena adanya titik
singgung kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Umum.
Namun dalam prakteknya kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Umum menimbulkan permasalahan dalam pemeriksaan dan
pemutusan sengketa pertanahan, sehingga konsekuensi logisnya adalah sering
terjadinya putusan pengadilan yang menyatakan permohonan gugatan penggugat
tidak dapat diterima atau ditolak dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan
kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya
bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya
15
adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha
Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang
dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Tata Usaha Negara
Medan bahwa sengketa tanah yang masuk tahun 2006 berjumlah 24 (dua puluh
empat) perkara, tahun 2007 berjumlah 42 (empat puluh dua) perkara, tahun 2008
berjumlah 40 (empat puluh) perkara, dan sampai pada bulan maret berjumlah 14
(empat belas) perkara. Dari jumlah perkara tersebut membuktikan bahwa
masalah/sengketa tanah di kota Medan sangat marak.
Dari sejumlah keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara
ada kemungkinan diantaranya menimbulkan kerugian di pihak yang dikenakan
keputusan, yaitu warga masyarakat. Kemungkinan ini dapat saja disebabkan
pemerintah merasa mempunyai kedudukan yang lebih kuat terhadap rakyat yang
dikuasainya,16 sehingga dalam melaksanakan tugasnya melampui batas wewenang
(detournament de pouvoir) atau salah menerapkan peraturan perundang-undangan
(abuse de droit).
Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak
diperlukan suatu badan yang dapat memberikan putusannya secara adil dan objektif,
yang akhirnya dapat memutuskan apakah ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau
16
pejabat administrasi itu batal atau tidak sah dan bagi gugatan yang terbukti tidak
berdasar hukum tentunya harus ditolak oleh pengadilan.
Kemudian Peradilan Tata Usaha Negara belum sepenuhnya memenuhi
harapan masyarakat pencari keadilan. Masih adanya putusan Peradilan Tata Usaha
Negara yang tidak dipatuhi Pejabat TUN merupakan salah satu hal yang
menyebabkan masyarakat masih pesimis terhadap eksistensi Lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara dan sebagai alasan utama penyebab dari timbulknya kerugian
dimasyarakat.
Salah satu permasalahan yang timbul di masyarakat adalah mengenai
eksekusi atas putusan Peradilan Tata Usaha Negara, dimana eksekusi ini lebih
cenderung hanya berdasarkan pada kesadaran. Pejabat Tata Usaha Negara atau
dengan peneguran berjenjang secara hirarki (floating form) sebagaimana diatur dalam
Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara ternyata tidak cukup efektif memaksa pejabat Tata Usaha Negara
melaksanakan putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara.
Keputusan-keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan
kerugian di pihak masyarakat, merupakan dasar sengketa antara pejabat dengan
rakyat. Untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi maka pemerintah sudah
menyediakan lembaga yang memiliki wewenang untuk itu, yaitu Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah di ubah
menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang
Keberadaan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pelaksanaan
Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (dahulu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman), yang menyatakan bahwa peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Salah satu hal baru yang terdapat dari pemberlakukan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah pemberlakukan lembaga paksa berupa :
uang paksa (dwangsom/ astreinte) dan sanksi administrasi serta publikasi putusan
hakim yang diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pemberlakuan Dwangsom/ Uang Paksa dalam proses eksekusi sebenarnya
adalah merupakan upaya tekanan (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi
atau melaksanakan hukuman pokok. Jadi uang paksa adalah merupakan suatu alat
eksekusi secara tidak langsung, dan penerapannya di Peradilan Tata Usaha Negara
menyangkut mengenai, jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang
paksa, kepada siapa uang paksa dibebankan dan sejak kapan uang paksa tersebut
keadilan terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol
terhadap Pemerintah sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat.17
Oleh karena itu Penulis mengambil penelitian untuk memberikan jawaban
terhadap ruang lingkup dan pelaksanaan sengketa pertanahan yang menjadi
kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di
Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi Penulis untuk melakukan
penelitian dengan mengambil judul penelitian “Analisis Terhadap Kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah”.
B. Permasalahan
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas,
maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia ?
2. Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam
penyelesaian sengketa tanah ?
17
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan gambaran maupun penjelasan tentang ruang lingkup
pelaksanaan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan
yang dianut di Indonesia setelah dikeluarkannya UU Peradilan TUN yang baru.
2. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha
Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan seperti Badan Pertanahan Nasional dan Lembaga
Swadaya Masyarakat yang peduli mengenai permasalahan pertanahan dan
kepada masyarakat agar mengetahui dan dapat mengambil langkah-langkah
yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa tanah.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pertanahan, khususnya yang
menyangkut mekanisme penyelesaian sengketa tanah dalam masyarakat.
a. Sebagai kajian hukum dan pedoman bagi pemerintah, lembaga peradilan dan
lembaga pertanahan dalam menentukan kebijakan dan mengambil tindakan
dalam menyelesaikan masalah pertanahan yang terjadi dalam masyarakat.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat untuk mengambil tindakan terhadap
sengketa pertahanan yang terjadi di masyarakat..
c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa untuk menambah wawasan
ilmu terutama dalam bidang hukum tanah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas
Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Analisis Terhadap Kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah” belum
pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam
penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian
komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini
merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya
secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam penulisan tesis ini kerangka teori yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti sebagai pisau analisis adalah teori negara hukum. Secara
teoritis, pengertian negara hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja adalah kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk
kepada hukum.
Sedangkan menurut Muhammad Yamin, Indonesia adalah Negara hukum
(rechstaat, government of low) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara
polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan
keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan
kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.18
Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum juga lahir dan
berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara
hukum di anggap sebagai konsep universal, tetapi pada tataran implementasi ternyata
memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi
kesejarahan dan juga disamping itu baik secara historis dan praktis konsep negara
hukum muncul dalam berbagai model, seperti Negara hukum menurut konsep Eropah
18
Kontinental yang dinamakan rechstaat, negara hukum menutup konsep Anglo Saxon
(rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila.19
Oleh karena itu berkaitan dengan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara
dengan konsep negara hukum (rechtstaat) adalah sebagai landasan negara hukum
yang melahirkan Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut Stahl unsur-unsur negara hukum adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.20
Salah satu persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan,
utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. Secara historis persoalan
kekuasaan (authority) telah muncul sejak Plato, dimana Filosof Yunani tersebut
menempatkan kekuasaan sebagai sarana untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Sejak itu hukum dan keadilan selalu dihadapkan pada kekuasaan dan hingga sekarang
persoalan kekuasaan tetap merupakan persoalan klasik.21
Kemudian dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan selalu
dihubungkan dengan kedaulatan (soverregnity atau souvereinteit), kedaulatan
merupakan sumber kekuasaan tertinggi bagi negara yang tidak berasal dan tidak
19
Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 63. 20
Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1982), hal. 57-58. 21
berada di bawah kekuasaan lain. Dalam catatan perjalanan sejarah ditemukan
beberapa teori tentang kedaulatan, antara lain teori tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan
rakyat, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.
Paul Scholten mengemukakan paham negara hukum, dengan membedakan
tingkatan unsur-unsur negara hukum. Unsur yang dianggap penting disebut asas dan
turunannya disebut dengan aspek. Unsur utama (asas) negara hukum paham Scholten
adalah, a). Ada hak warga negara yang mengandung 2 (dua) aspek, yaitu : pertama,
hak individu pada prinsipnya berada diluar wewenang negara, kedua, pembahasan
terhadap hak tersebut hanyalah dengan ketentuan undang-undang, berupa peraturan
yang berlaku umum, b). Adanya pemisahaan kekuasaan. Scholten, dengan mengikuti
Mostesquieu mengemukakan 3 (tiga) kekuasaan negara yang harus dipisahkan satu
sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan melaksanakan
undang-undang dan kekuasaan mengadili.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa konsep negara hukum atau negara
berdasarkan atas hukum (rechtstaat atau the rule of law) yang mengandung
prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan kekuasaan dan asas kekuasaan kehakiman yang
merdeka, semuanya bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari
kemungkinan bertindak sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam pengertian konsep hukum, negara atau pemerintah (dalam arti luas)
harus menjamin tertib hukum, menjamin tegaknya hukum dan menjamin tercapainya
didasarkan pada hukum dan keadaan masyarakat yang sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum adalah adanya
jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum
ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan
atau hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum.
Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan atas ketertiban ini
syarat pokok untuk suatu masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah
tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat.22 Hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan.
Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya
peristiwa konkrit. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan perlindungan justisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian, karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban hukum. Penegakan hukum
harus memberi manfaat pada masyarakat, disamping bertujuan menciptakan keadilan.
22
Peradilan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap pencari keadilan
untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam
suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu keputusan yang tidak berat
sebelah, karena itu jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu
perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.
Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat
demokrasi masih tetap diandalkan sebagai katup penekan (pressure value) atas segala
pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum, juga
peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort” yakni sebagai
tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih
diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan.23
Khususnya bagi penegakan hukum administrasi negara dan tata usaha
negara, untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan,
perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan
warga masyarakat diperlukan adanya sarana hukum yaitu Peradilan Tata Usaha
Negara. Peradilan tersebut sekaligus sebagai sarana pengawasan yuridis dan legalitas
bagi administrasi negara.
Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penyelesaian sengketa
yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat,
23
atau penyelesaian sengketa ekstern administrasi negara, tidak termasuk penyelesaian
sengketa interns, yaitu sengketa yang timbul antara sesama administrasi negara.
Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah agar rasa keadilan di
dalam masyarakat terpelihara dan dapat ditingkatkan sebagai bagian dari publik
service pemerintahan terhadap warganya, dan agar keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan umum dapat terjamin dengan baik.
Prof. Prayudi Atmosudirdjo, merumuskan bahwa tujuan daripada Peradilan
Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi
Negara yang tepat menurut hukum (rechmatige) atau tepat menurut undang-undang
(wetmatig) dan atau tepat secara fungsional (efektif) dan atau berfungsi secara
efisien.24
Selanjutnya sebagai teori hukum pendukung adalah teori good government
yang merupakan prinsip good government (clean) asas-asas umum pemerintahan
yang baik (selanjutnya disebut AAUPB). Philipus M. Hadjon mengatakan pendekatan
dalam hukum administrasi ada 3 (tiga) pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah,
pendekatan hak asasi dan pendekatan fungsionaris.
AAUPB pada hakikatnya merupakan norma pemerintahan, yaitu jenis meta
norma dan norma hukum publik. Selanjutnya AAUPB merupakan hukum tidak
tertulis adalah hasil rechtvinding, tidak identik dengan hukum adat, dan dalam
perkembangan bisa saja beralih menjadi hukum tertulis sebagai norma pemerintahan.
24
Perbedaan antara AAUPB dengan asas-asas umum sama perbedaan antara
norma dan asas umum. Sedangkan AAUPB lahir dari praktek adalah bisa dari praktek
pemerintahan dan bisa dari praktek pengadilan (yurisprudensi).
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terdiri dari :
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Keseimbangan;
3. Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh;
4. Asas Bertindak cermat;
5. Asas Motivasi untuk setiap keputusan;
6. Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan;
7. Asas Permainan yang layak;
8. Asas Keadilan atau kewajaran;
9. Asas Menanggapi pengharapan yang wajar;
10.Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal;
11.Asas Perlindungan atas pandangan (cara) hidup;
12.Asas Kebijaksanaan;
13.Asas Penyelenggaraan kepentingan Umum.25
Keseluruhan AAUPB yang baik ini bertujuan untuk mendapatkan tujuan
negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
2. Kerangka Konsepsi
Konseptual adalah merupakan definisi operasional dari berbagai istilah
yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis,
bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada
25
pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan
pustaka.26
Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan
penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini, maka dirasa perlu
untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut :
Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut objek atau materi atau
pokok sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. 27
Sengketa Tata Usaha Negara adalah Sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang dan Badan hukum perdata dengan Badan Tata Usaha
Negara baik dipusat atau pun diderah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku.
Sengketa Tanah adalah perselisihan antara kedua belah pihak yang
berkaitan mengenai surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas
tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh
sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dan
26 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80. 27
perselisihan tentang hak milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan
atau hak-hak perdata.
Sertifikat tanah sebenarnya adalah tidak lain daripada salinan Buku Tanah
dan Surat ukur yang telah dijahit menjadi 1 (satu) dengan diberi suatu kertas sampul
yang telah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri/ Dirjen Agraria dan diberikan
kepada seseorang yang mempunyai hak atas tanah sebagai bukti hak dan bukti telah
dilakukan pendaftaran daripada tanah yang bersangkutan.28
Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu Penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.29
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan hukum normatif (yuridis
normative), yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen mewujudkan
28
Abdurrahman, Beberapa Aspekta tentang Hukum Agraria, (Bandung : Alumni, 1980), hal. 102. 29
penerapan mekanisme penyelesaian sengketa tanah melalui kewenangan mengadili
Peradilan Tata Usaha Negara.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif (normative
legal research) untuk mengidentifikasi dan menganalisi faktor hukum yang menjadi
kendala dalam penerapan peraturan perundang-undanga, dimana penelitian ini
mengacu kepada peraturan perundangan-undangan tentang pertanahan dan
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis, artinya membatasi
kerangka studi kepada suatu pemerian, suatu analisis atau klasifikasi tanpa secara
langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau
teori-teori. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni
memerikan, menganalisis dan mesistematisasikan hukum yang berlaku dengan
penelitian lapangan sebagai penunjang.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini
adalah data sekunder, dimana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tertier. Sehingga Penulisan ini menitik beratkan pada penelitian bahan pustaka
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai
teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan
perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-undang
Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor
9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur
bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum
dan komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder maka
pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan
analisis terhadap peraturan perundang-undangan, yang dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menginventarisasi dan menilai dan menganalisis peraturan perundang-undangan
b. Menginventarisasi dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasannya
berkenaan dengan sengketa pertanahan dan mengenai kompetensi mengadili
Pengadilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Menginventarisasi dan menilai serta memilih secara selektif bahan-bahan bacaan
lainnya seperti majalah, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya
penulisan tesis ini.
4. Alat Pengumpul Data
Bahwa penelitian ini hanya dilakukan dengan studi dokumen yaitu
menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi,
filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap kualitas dan
kesempurnaan tesis ini dari Peradilan Tata Usaha Negeri Medan.
5. Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian
dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis
data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian dianalisis
secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis, terhadap asas-asas hukum
sistem-sistem hukum dan sinkronisasi hukum dengan menggunakan metode berpikir
deduktif dan induktif. Maksudnya kaidah-kaidah yang benar dan tepat diterapkan
penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur
dan tatacara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku
umum dalam perundang-undangan.
BAB II
KEDUDUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DAN SISTEM PERTANAHAN DI INDONESIA
A. Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia
1. Hukum Tata Usaha Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum Tata Usaha Negara menurut Van Wijk-Konijmenbelt adalah sebagai
hukum mengenai penyelenggaraan administrasi/ administrare atau penyelenggaraan
pemerintah (bestuur). Kalau mengikuti nomenklatur ”Tata Usaha” maka hukum Tata
Usaha Negara adalah hukum Ketatausahaan. Karena hukum ini mengenai
pemerintahan maka disebut Hukum Tata Usaha Negara. Almarhum Prof Koentjoro
Purbopranoto menggunakan nama “Hukum Tata Pemerintahan”, karena objek hukum
Tata Usaha adalah pemerintah bukan Negara. Hukum mengenai Negara adalah
hukum tata Negara bukan hukum Tata Usaha Negara. Bicara lebih luas, Van
Wijk-Konijnenbelt memberi arti hukum Tata Usaha Negara (bestuurrecht) sebagai hukum
yang disatu pihak mengatur mengenai keikutsertaan pemerintah secara aktif dalam
pergaulan masyarakat, dipihak lain mengatur perlindungan terhadap anggota
masyarakat akibat keikutsertaan pemerintah dalam mengatur masyarakat tersebut.30
Kleintjes 75 tahun yang lalu (stootsinstellwign van nedherland indie, 432),
menggambarkan hukum Tata Usaha Negara, sebagai hukum tentang pelaksanaan
30
tugas pemerintah. Kalau rumusan Van Wijk-Konijmbelt dan Kleintjes digabung maka
akan didapati 3 unsur penting dalam hukum Tata Usaha Negara, yaitu :
1. Hukum yang mengatur tata cara/ Tata Usaha Negara melaksanakan tugasnya
yang semata mata menyebut pelaksanaan tugas dalam lingkungan pemerintahan,
misalnya wewenang menandatangani keputusan, wewenang menghukum dalam
lingkungan administrasi;
2. Hukum yang mengatur pergaulan masyarakat.
3. Hukum yang mengatur tata cara perlindungan anggota masyarakat akibat
keikutsertaan Tata Usaha Negara dalam pergaulan masyarakat.
Kedalaman pengetahuan pembentukan peraturanperundang-undangan tidak
hanya terbatas pada Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi semua bidang peraturan
perundang-undangan. Lebih lanjut kedalam itu tidak hanya bersifat internal yaitu
hubungan berbagai teori dan kaidah hukum. Tidak kalah penting yaitu hubungan
eksternal konsep politik, konsep ekonomi, konsep sosial, serta kenyataan sosial dan
kultural, dll yang semestinya menjadi arah dan dasar suatu peraturan perundang-
undangan. Sekedar contoh ditinjau dari Falsafah Pancasila dan Konsep ekonomi,
sosial kita tidak lain dari mewujudkan keadilan sosial dari seluruh rakyat Indonesia.
Sudah semestinya dalam konteks ekonomi dan sosial seluruh peraturan perundang-
undangan harus mengandung azas, tujuan, norma, dan kebijakan yang mendorong
kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mungkin bagi negara-negara yang sudah sangat maju tatanan ekonomi
dll) disertai dengan kekeyaan yang sudah melimpah, dengan berbagai modifikasi
akan menjamin keadilan bagi rakyat mereka.
Hanya dengan kedalaman pengetahuan dapat diharapkan lahir berbagai
peraturan perundang-undangan yang memili landasan konseptual dan arah yang jelas.
Peraturan perundang-undangan modern bukan sekedar instrumen represif atau
preventif. Tidak kalah penting peranan peraturan perundang-undangan sebagai
fasilitator yang memberi arahan dan mendorong menuju perwujudan suatu tujuan
politik, ekonomi, sosial, dan sebagai suatu undang-undang tidak dibuat semata karena
ada keadaan baru, melainkan karena ada cara baru, strategi baru, atau kebijakan baru
untuk mewujudkan suatu cita-cita politik, ekonomi, sosial, dan perkembangan hukum
Tata Usaha Negara.
Dapat dikatakan semua ahli sependapat perkembangan Tata Usaha Negara
tidak terlepas dari penerapan paham negara kesejahtraan (welfarestate)
(verzorgindstaat) atau meninggalkan paham negara sebagai penjaga ketertiban belaka
atau lazim disebut negara penjaga malam (nachtwakersstaat). Seperti dikatakan
karena negara aktif ikut serta dalam pergaulan atau aktifitas masyarakat, maka hukum
Tata Usaha Negara makin berkembang.
2. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam
suatu bangsa terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi negara Republik
1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi dan disamping itu hak
masyarakat. Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum. Karena itu tujuan pembentukan peradilan
administrasi secara filosofis adalah untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak perseorangan dan hak-hak-hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian,
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum.31
Menurut Sjachran Basah tujuan peradilan administrasi adalah :
Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum, tidak hanya untuk rakyat semata-mata, melainkan juga bagi administrasi negara dalam arti hal adanya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Untuk administrasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan dalam melaksanakan tugas-tugasnya demi terwujudnya pemerintahan yang kuat, bersih dan berwibawa dalam kaitan negara hukum berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa tujuan peradilan administrasi secara preventif untuk mencegah tindakan-tindakan administrasi negara yang melawan hukum dan merugikan, sedangkan secara represif atas tindakan-tindakan tersebut perlu dan harus dijatuhi sanksi.32
Dalam melaksanakan tugasnya itu pemerintah wajib menjunjung tinggi
harkat dan martabat masyarakat pada umumnya dan hak serta kewajiban asasi warga
masyarakat pada khususnya. Oleh karena itu, Pemerintah wajib secara terus menerus
membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara
agar mampu menjadi alat yang efisien, bersih, serta berwibawa dan dalam
31
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1997), hal. 27.
32
melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan
sikap pengabdian untuk masyarakat. Menyadari sepenuhnya peranan positif aktif
Pemerintah dalam kehidupan masyarakat, maka pemerintah perlu mempersiapkan
langkah dalam menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan,
perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan
warga masyarakat.
Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan
perlindungan (berdasarkan keadilan, kebenaran dan ketertiban serta kepastian hukum)
kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan
tata usaha negara, melalui pemeriksaan, pemutusan dan penyelesaian sengketa dalam
bidang tata usaha negara.
Memperhatikan perumusan penjelasan umum undang-undang peradilan tata
usaha negara, tujuan pendirian Peradilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Sebagai sarana pemberi perlindungan kepada hak-hak dasar warga masyarakat;
2. Sebagai sarana pembinaan, penyempurnaan dan penertiban bagi aparatur
administrasi negara agar mampu menjadi alat yang melaksanakan tugasnya
berdasarkan hukum (rechtmatigheid van bestuur), bersih dan efisien dalam
kerangka hukum Indonesia.
Sebagai penyelenggaraan pengawasan yudisial terhadap pemerintah,
Peradilan Administrasi berfungsi menegakkan prinsip negara dan mempertahankan
hukum administrasi material. Fungsi mana diketengahkan Giddings, yaitu dengan
(korektif), disciplinery (disipliner) dan remedial (perbaikan) terhadap tindakan
admnistrasi yang tidak sesuai dengan hukum.
Corrective sebagai pengoreksi tindakan administrasi negara yang sudah
terbukti bertentangan dengan hukum, oleh hukum acara dinyatakan batal atau tidak
sah. Remedial, sebagai sarana perbaikan terhadap akibat yang telah ditimbulkan oleh
tindakan admnistrasi itu, dengan melakukan tindakan pengganti, ganti rugi atau
rehabilitasi. Disciplinary, sebagai pemberi sanksi berupa hukuman dan beban-beban
dan kewajiban-kewajiban lain agar menjadi alat penjera bagi yang bersangkutan dan
alat preventif bagi pejabat lain.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang dinamis, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta
tertib. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedudukan warga
negara di dalam hukum. Dalam usaha mewujudkan tujuan tersebut di atas, sesuai
dengan sistem pemerintahan negara yang dianut dalam UUD 1945, melalui
aparaturnya di bidang Tata Usaha Negara Pemerintah diharuskan berperan aktif dan
positif.
Pemerintah wajib secara terus menerus membina, menyempurnakan dan
menertibkan aparatur tersebut agar menjadi aparatur yang efisien, efektif, bersih dan
berwibawa yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan
dilandasi semangat dan sikap pengabdian bagi masyarakat.
Sadar terhadap peran aktif dan positif tersebut di atas, pemerintah telah
perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan
warga masyarakat. Perselisihan inilah yang disebut dengan Sengketa Tata Usaha
Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa
antara pemerintah dengan warga negaranya. Dalam hal ini sengketa timbul sebagai
akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang melanggar hak warga
senegaranya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PTUN diadakan dalam rangka
memberi perlindungan kepada rakyat. Dengan kata lain tujuan PTUN sebenarnya
tidak semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan
melainkan juga untuk melindungi hak-hak masyarakat.33
3. Pengertian Pejabat (Het Ambt) dan Pejabat Tata Usaha Negara
a. Pengertian Pejabat (Het Ambt)
Pejabat adalah pegawai pemerintahan yang memegang suatu jabatan tertentu
dan penting dalam bidang pemerintahan. Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang peradilan Tata
Usaha Negara menyatakan bahwa, Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
33
Menurut penjelasan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa yang dimakud “urusan
pemerintah” ialah kegiatan yang bersifat eksekutif dan yang dimaksud dengan
“peraturan perundang-undangan” ialah semua peraturan yang bersifat mengikat
secara umum dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik
ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat
mengikat secara umum.
Indoharto menyebutkan ukuran untuk dapat disebut badan atau Pejabat TUN
adalah fungsi yang dilaksanakan, bukan nama sehari-hari, bukan pula kedudukan
strukturalnya dalam salah satu lingkungan kekuasaan negara. Adalah pengelompokan
Badan atau Pejabat TUN, yaitu:
a. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada dibawah Presiden selaku
eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan negara diluar lingkungan kekuasaan eksekutif
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan urusan
pemerintahan.
c. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud
untuk melaksanakan urusan pemerintahan.
d. Instansi-instansi yang merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan