• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

KELEMBAGAAN EKONOM

Di Desa Morodemak yang paling lambat perkembangan kelembagaannya adalah kelembagaan ekonomi. Buktinya, trasi, krupuk udang dan krupuk tengiri yang paling enak adalah di desa ini. Namun karena tidak bisa membuat tampilan kemasan, sehingga kalah bersaing. Tidak adanya jaringan pemasaran yang baik, membuat sulit memasarkannya, sehingga yang dibutuhkan oleh warga disini adalah bimbingan dan pelatihan ketrampilan pengolahan hasil tangkapan ikan dan sistem manajemen pemasarannya serta bantuan modal usaha.

Masyarakat desa ini perlu diberi pelatihan ketrampilan pengolahan hasil tangkapan ikan, perintisan industri rumah tangga, pengelolaan manajemen dan pemasaran untuk peningkatan ekonomi. Kebanyakan anak muda disini setelah lulus MTs, mereka nganggur (tidak kerja), karena tidak ada alternatif pekerjaan lain, mereka akhirnya jadi nelayan. Sedangkan yang perempuan mereka nganggur total di rumah. Seorang anak nelayan yang sudah terjun menjadi nelayan, pikirannya mati. Hanya melaut, datang dari melaut tidur, nanti melaut lagi, begitu seterusnya, pikirannya (wawasannya) tidak berkembang. Kendala yang di masyarakat Desa Morodemak adalah rata-rata SDM-nya itu kurang. Masyarakat Desa Morodemak perkembangan ekonominya sangat tergantung dengan hasil tangkapan di laut. Di desa ini tidak ada pabrik (industri).

Di desa Morodemak ini perekonomian hanya mengandalkan laut, sehingga kurang berkembang. Contohnya, kalau hasil melaut sepi pada seperti musim paceklik ini, maka pasar Gebang (pasar kecamatan) juga ikut sepi. Pada saat hasil tangkapan ikan banyak, nelayan banyak yang membelanjakan uangnya ke pasar Gebang, sehingga pasar gebang ikut ramai dari penjual pakaian, makanan, perabot rumah tangga dan lain-lain ikut memeriahkan pasar.

1. Pendapatan Nelayan Tidak Menentu

Pendapatan nelayan tidak menentu, terkadang dapat sedikit atau bahkan tidak dapat sama sekali, tapi dilain waktu bisa mendapatkan hasil yang banyak. Orang di desa ini merasa gengsi untuk mencari alternatif pekerjaan selain nelayan. Sejak kecil telah tertanam nilai-nilai keagamaan, namun masalah pengembangan ekonomi diabaikan. Itu karena sudah turun temurun dan mendarah daging sejak dulu yang ditanamkan oleh orang tuanya.

Sebelum adanya motorisasi, memang pada umumnya masyarakat nelayan disini, ketika musim hujan tidak ada pemasukan pendapatan bagi nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya mereka menjual barang yang dimilki. Ada yang menjual perabot rumah tangga, genting, bantal dan lain-lain. Dengan adanya motorisasi, keadaan lebih baik, karena kalau hujan tidak begitu lebat dan disertai ombak besar, nelayan masih bisa melaut dengan kapal bermesin. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa pendapatan mereka itu tidak menentu.

Pendapatan yang paling banyak biasanya setelah bulan Agustus dan September. Selama 20 hari bisa mendapatkan uang Rp 900 ribu. Pendapatannya selama ini tidak pernah ada yang ditabung. Kalau mendapatkan hasil banyak, digunakan untuk jajan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Ada kebisaaan buruk bagi nelayan, khususnya sebagian juru mudi, mereka mendapatkan hasil pembagian yang paling banyak. Seringnya digunakan untuk berjudi, mabuk- mabukan dan main perempuan. Kebiasaan nelayan, kalau mendapatkan hasil banyak digunakan untuk bersenang-senang. Mereka tidak memikirkan nantinya kalau hasilnya sedikit, bahkan tidak mendapatkan apa-apa.

Dahulu nelayan Desa Morodemak mengalami musim panen dengan hasil tangkapan ikan yang banyak dan musim paceklik dengan hasil tangkapan ikan yang sedikit. Pergantian musim tersebut teratur sesuai dengan musimnya masing-masing. Namun sekarang sungguh memprihatinkan, seringnya nelayan pulang dengan hasil yang mengecewakan. Padahal nelayan disini, kehidupannya tergantung dengan hasil penangkapan ikan, sampai-sampai di tepi sungai Morodemak sering dipenuhi oleh kapal dan perahu nelayan yang sedang bersandar.

2. Penjualan Hasil Tangkapan ke TPI Moro

Banyak keluhan dari nelayan Desa Morodemak berkaitan dengan pemasaran hasil tangkapan ikan. Terkadang nelayan dalam sekali melaut bisa mendapatkan antara 30 – 60 basket (keranjang), tetapi dihargai sangat murah. Tadinya harga 1 basketnya bisa mencapai Rp 7000,- sekarang hanya dihargai Rp 2000,- s/d Rp 3000,- karena jumlah ikan yang banyak dan bakulnya sedikit, sehingga tidak ada persaingan harga. Bakul yang menentukan harganya. Padahal ikan kalau tidak segera laku akan mudah busuk, terpaksa nelayan mau tidak mau melepas dengan harga yang murah. Ini yang dari dulu dikeluhkan oleh masyarakat nelayan. Bagaimana caranya harga ikan bisa lebih baik, sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka. Permasalahan dasar sebetulnya adalah semua bakul yang terlibat pelelangan ikan adalah bakul lokal. Tidak seorang pun bakul yang berasal dari luar, sehingga dalam penentuan harga ikan, mereka saling berkompromi (kongkalikong) untuk mempermainkan harga ikan supaya murah, sehingga menguntungkan mereka.

KUD Mino Utomo juga mengalami problem masalah modal usaha. Bakul- bakul yang membeli ikan, terkadang mereka tidak membayar kontan lunas, tetapi bisaanya dibayar 50%. Padahal nelayan maunya dibayar semua, karena uang hasil tangkapan harus dibagi rata pada hari itu juga. Akhirnya KUD yang meminjami kekuarangannya. Lama kelamaan modal KUD habis, sementara bakul belum membayar kekurangannya dalam waktu yang lama. Kalau ditagih sangat sulit sekali, jumlahnya sekitar Rp 150 juta. Hal ini yang jadi masalah, karena sanksi hukumnya tidak ada, sehingga para bakul yang ngemplang tadi tidak ada tindakan apa-apa, bahkan semakin berani ngemplangnya.

KUD pernah memberlakukan sebelum mengikuti pelelangan, para bakul harus memberi uang jaminan terlebih dahulu. Mereka memberikan uang muka, misalnya Rp 10 juta, namun ketika waktu pelelangan, transaksi mereka melebihi uang muka yang diberikan, misalnya Rp 15-20 juta, akhirnya sama saja mereka

ngemplang Rp 5-10 juta. Kalau ditagih sulit dan tidak ada sanksi hukumnya. Sebetulnya kalau diancam dengan mendatangkan aparat penegak hukum atau kasusnya diangkat ke pengadilan, mereka takut. Namun KUD harus keluar uang untuk urusan yang seperti itu.

Ada masalah lain lagi, bahwa nelayan dalam menjual hasil tangkapan ikannya tidak mau dilelangkan oleh TPI, mereka maunya menjual ikan kepada bakul sendiri, karena mereka sudah terikat dengan bakul tertentu. Permasalahan yang lain juga ada, umumnya juru mudi tidak mau masuk ke Tempat Pelelangan Ikan yang dikelola oleh KUD Mino Utomo dan melelang ikannya di TPI tersebut, selain karena membayar retribusi juga juru mudi tidak mendapatkan keuntungan. Sebab, jika dijual di luar mereka akan mendapatkan keuntungan, karena biasanya istri juru mudi tersebut berperan sebagai perantara untuk menjualkan ikan kepada bakul, dari jasa menjualkan ikan tersebut istri juru mudi akan mendapatkan persenan yang dipotongkan dari uang hasil penjualan ikan dan dapat persenan dari bakul yang membeli ikan. Jadi dapat keuntungan dari kapal dan bakul. Akhirnya uang yang diterima nelayan pun berkurang. Tentang istri juru mudi yang menjadi perantara dalam penjualan hasil tangkapan ikan, itu sangat merugikan anak buah nelayan, sampai-sampai ada yang protes. Anak buah yang protes tersebut, biasanya tidak diikutkan lagi melaut oleh juru mudi.

Menumbuhkan kesadaran untuk saling menguntungkan sangat kurang antara bakul, juru mudi, perantara bagi nelayan. Sebagai perbandingan saja, TPI yang sudah berjalan dengan baik, sehingga muncul kesadaran untuk saling menguntungkan baik bakul, juru mudi, perantara dan nelayan ada tiga, yaitu TPI di Pekalongan, Juwana dan Tegal. Manajemen dan aturan-aturannya tegas dan jelas didukung dengan kesadaran masyarakat nelayannya dan bakul. Sebagai contoh kongkret, disana setiap kapal nelayan akan menjual ikannya pasti masuk TPI, sehingga pendapatan retribusi TPI lumayan besar. Imbasnya kalau ada nelayan yang meninggal diberi santunan Rp 1.250.000,- yang diambilkan dari uang retribusi tadi, karena memang sudah dianggarkan. Sementara yang terjadi di TPI disini, sebaliknya. Padahal dalam satu bulan sekitar 2-3 orang nelayan meninggal, sementara kapal mereka enggan masuk dalam TPI. Ini jadi masalah.

Seharusnya KUD bekerjasama dengan kelembagaan agama yang melibatkan tokoh agama untuk memberi penerangan melalui pengajian dalam rangka menyadarkan para perantara dan bakul, kalau perbuatan mereka itu merugikan para nelayan. Pendekatan melalui agama dengan melibatkan tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat itu penting sekali.

Nelayan kalau membeli bahan bakar solar untuk mesin tempel perahu tidak mau membeli di POM solar yang disediakan di TPI. Mereka lebih senang membeli diluar, padahal harga diluar TPI lebih mahal. Solar di TPI satu liter Rp 2.200,- diluar TPI bisa mencapai Rp 2.400,- Alasan mereka kalau membeli solar di TPI harus tunai tidak boleh ngebon (bayar belakangan), sementara kalau diluar TPI boleh ngebon, boleh dibayar setelah pulang melaut dan mendapatkan hasil. Kalau tidak mendapatkan hasil mereka hutang. Terkadang mereka mengganti bahan bakar solar dengan minyak tanah yang harganya jauh lebih murah, tapi bisa merusakkan mesin. 3. Bantuan Kapal dan Alat Tangkap

Dalam rapat antara pemerintah kabupaten dengan perwakilan dari masyarakat Desa, disepakati bahwa Desa Wedung dan Desa Morodemak untuk program bantuan PEMP 2003 mendapatkan bantuan berupa kapal senilai Rp 600 juta untuk 2 buah kapal. Kualitasnya baru semua. Namun ketika itu ada ketidaksepakatan antara pemerintah kabupaten dengan keinginan masyarakat. Masyarakat inginnya kapal itu buatan dari Jawa Timur, karena memiliki kualitas yang bagus. Aturan main di pemerintah daerah, pembuatan kapal harus dengan bendera CV agar bisa dipertanggungjawabkan bukan perorangan. Setelah diserahkan oleh sebuah CV, CV tersebut memesan kapal di Batang Jawa Tengah. Akhirnya kapal yang kami terima berbentuk paket yang sduah jadi dan tentunya mutu kapal dan alat tangkapnya tersebut tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

Program tersebut ternyata berjalan kurang bagus, karena karakteristik masyarakat yang SDM-nya kurang, sehingga masalah manajemen pengelolaan organisasi tidak menguasai. Hal ini diperparah dengan kondisi nelayan yang miskin luar biasa, maunya mereka habis melaut dengan kapal tersebut hasilnya harus dibagi habis. Padahal saya menyarankan untuk sebagian hasilnya dikembangkan. Akhirnya pengurus menjadi trauma karena amanah harus mengelola kapal tersebut untuk mengembangkan perekonomian Desa Morodemak, sementara ini dari penghasilan kapal belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Desa Morodemak. Padahal anggota pengurus itu orang-orang pilihan yang jujur dan sangat terbuka.

Mengenai program bantuan dari DKP berupa kapal, ada beberapa pengurus yang mengundurkan diri, karena merasa terbebani dan tidak cocok dengan sistem pengelolaannya. Mengapa program pembangunan pemerintah banyak yang kurang berhasil dan tidak berlangsung lama, karena sifat bantuan dipegang oleh banyak orang dan dikelola oleh kelembagaan bukan perorangan. Buktinya KUD Mino Utomo, dahulu mendapatkan bantuan dari PUSKUD berupa kapal, ternyata tidak bertahan lama dan bubar. Masalahnya kalau ada keuntungan pendapatan, semua orang merasa mendapatkan imbalan. Begitu ada kerusakan kapal, tidak ada yang bertanggung jawab untuk memperbaiki, karena bukan dikelola pribadi.