• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

KELEMBAGAAN NELAYAN TPI MORO DAN KUD 1 Keberadaan Koperasi Unit Desa Mino Utomo

Di Desa Morodemak ada kelembagaan KUD Mino Utomo, KUD tersebut membawahi Tridesa (tiga Desa) yang terdiri dari Desa Morodemak, Desa Purworejo dan Desa Margolinduk. KUD Mino Utomo mengelola TPI Moro yang berlokasi di desa Purworejo. Koperasi ini merupakan cabang dari Koperasi Mina Baruna yang berada di Semarang. Adapun anggota yang termasuk dalam KUD ini adalah para nelayan di Tridesa, yaitu Desa Morodemak, Margolinduk dan Purworejo.

KUD Mino Utomo memiliki bidang usaha Pengelolaan TPI Moro, yaitu bagian usaha yang dikhususkan untuk mengelola TPI MORO atau Tempat Pelelangan Ikan. TPI MORO dibangun oleh pemerintah daerah Kabupaten Demak, namun dalam pengelolaannya dilaksanakan oleh KUD Mino Utomo ini. KUD Mino Utomo menerapkan pajak hasil tangkapan ikan laut sebesar 5% dengan perincian 2% ntuk para pedagang (bakul ikan) dan 3% untuk para nelayan. Pajak sebesar 5% dari hasil tangkapan ikan maupun pembelian hasil tangkapannya diberikan kepada pemerintah tingkat I dan II sebesar 4%, simpanan para pedagang (0.25%), asuransi sebesar 0.25% dan simpanan lain sebesar 0.5%.

KUD Mino Utomo juga mamiliki Unit Simpan Pinjam yang digunakan oleh para nelayan, namun kemudian menjadi kredit macet atau tidak kembalinya uang pinjaman. Hal ini mengakibatkan koperasi sedikit demi sedikit kehilangan simpanannya, sehingga keberlanjutan KUD menjadi sangat rawan.

Kondisi KUD dan TPI Moro, seharusnya bagaimana caranya memikirkan tingkat kesejahteraan nelayan. Namun yang terjadi, ternyata orang-orang yang duduk di kepengurusan KUD dan TPI MORO belum mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Figur pemimpin KUD/TPI MORO harusnya dipegang seseorang yang dianggap sesepuh dan memiliki pengaruh. Kalau tidak dipegang sesepuh, tidak akan baik. Pengurus sekarang, dinilai tidak mampu menjalan tugasnya. Justru sekarang banyak menanggung hutang dan nasib nelayan tidak dipedulikan. Contohnya, yang terjadi sekarang, jika nelayan menjual ikan yang dilelang di TPI MORO, setelah ikan dibawa bakul, uang tidak langsung dibayar. Ditunda sampai seminggu, bahkan 15 hari baru dibayar. Kasihan nasib nelayan.

Seharusnya KUD Mino Utomo sebagai pihak yang mengelola TPI MORO mengetahui kesulitan dan permasalahan yang dialami nelayan secara umum dan melibatkan HNSI, namun ternyata KUD/TPI MORO justru membentuk kelompok sendiri, sehingga HNSI tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam menyelesaikan masalah nelayan. Sedangkan dari pihak pemerintah dan DPRD Demak tidak ada perhatian juga sama sekali terhadap nasib nelayan.

Selama ini ada kelompok nelayan, namun kelompok nelayan yang ada tidak berjalan dengan baik, karena sudah dikendalikan oleh KUD. Kelompok nelayan tersebut tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperhatikan nasib nelayan kecil. Saya pernah mengusulkan pertemuan untuk membicarakan pembentukan kelompok nelayan, yang akan memperjuangkan nasib nelayan kecil. Nelayan kecil di Desa Morodemak sudah tidak betah dengan kondisi yang demikian. Selama apokat (mini trawl) dan cantrang masih beroperasi di perairan Morodemak, nasib nelayan selamanya akan sengsara, karena hasil panangkapan ikan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka. Padahal perekonomian mereka sangat tergantung dengan hasil laut.

2. KUD Mino Utomo sebagai Pihak yang mengelola TPI Moro

Setiap kapal yang mendapatkan hasil tangkapan, mestinya harus dijual di TPI MORO melalui proses pelelangan. Ada masalah, TPI Moro tidak dapat menjamin pembayaran kontan atas transaksi antara bakul dengan nelayan.

Seharusnya TPI MORO hanya menyediakan fasilitas untuk transaksi jual beli antara bakul dan nelayan, namun kenyataannya yang berkembang di lapangan, bakul sering sekali tidak membayar kontan atas persetujuan transaksi harga. Mereka hanya membayar sebagian harga kepada nelayan dengan alasan kekurangannya nanti akan dibayar ketika ikan sudah laku dijual ke konsumen. Padahal nelayan membutuhkan uang kontan saat itu juga, karena akan dilakukan pembagian hasil tangkapan ikan saat itu juga. Kemudian TPI MORO/KUD berinisiatif untuk meminjami bakul terhadap kekurangan pembayarannya kepada nelayan. Ketika TPI MORO/KUD menagih pembayaran hutang kepada bakul, mereka berbelit-belit. TPI MORO/KUD mengalami kesulitan untuk menagihnya. Hal itu terjadi bukan hanya pada satu atau dua bakul. Kalau ada peluang, yang namanya bakul akan memanfaatkan dengan baik untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan ada seorang bakul yang sampai hutang di KUD sebesar Rp 60 jutaan, tetapi dia punya armada truk untuk angkut ikan. Itu yang membuat tidak habis pikir. Kasus hutang bakul yang

cukup tinggi tersebut, dari pihak KUD sudah berupaya melakukan pembinaan dan operasi bersama aparat, paling tidak bisa mengurangi.

TPI MORO/KUD memberlakukan aturan bagi bakul yang melebihi plafon peminjaman Rp 10 juta tidak diperbolehkan melakukan transaksi pelelangan didalam TPI MORO. Anehnya ketika bakul tadi melalukan transaksi jual beli ikan diluar TPI MORO, mereka bisa membayar kontan kepada nelayan. Di luar lokasi TPI MORO memang ada tempat jual beli untuk kapal nelayan yang tidak mau masuk ke TPI MORO. Akhirnya modal KUD/TPI MORO lama kelamaan menipis dan KUD/TPI MORO bangkrut karena modalnya macet dibawa bakul. Kapal nelayan menjadi enggan masuk ke TPI MORO, karena TPI MORO tidak bisa menjamin pembayaran kontan kepada nelayan akibat perilaku para bakul yang curang. Menurut keterangn pihak DKP, sebetulnya ada dana bantuan kompensasi akibat BBM naik, DKP bermaksud mengusulkan untuk menambah struktur permodalan bagi KUD Mino Utomo.

Ada perilaku bakul yang tidak baik lagi dalam mempermainkan harga, ketika ada bakul dari luar, mereka berani mematok harga tinggi, akhirnya bakul dari luar terpaksa pergi. Setelah bakul dari luar pergi, bakul lokal akan menekan harga serendah mungkin. Jika bakul dari luar masih tetap bertahan, sementara bakul lokal kerepotan dengan mematok harga tinggi terus, sementara harga jual tidak nutup, maka bakul dari luar akan diintimidasi supaya takut dan pergi. Pernah ada kejadian ban truknya digembosi (dilubangi) atau diancam.

Kalau sistem di TPI Moro, antara pihak TPI MORO/KUD, bakul, nelayan dan keamanannya terjalin hubungan yang saling bersatu untuk menegakkan aturan yang disepakati bersama, niscaya semua pihak tidak akan dirugikan. Semua kapal nelayan harus menjual hasil tangkapan ikannya di TPI MORO tanpa kecuali. Kemudian semua bakul harus membayar uang kesepakatan hasil pelelangan kepada nelayan secara kontan, yang tidak bisa membayar kontan tidak boleh ikut lelang. Bakul dari luar dijamin keamanannya untuk bisa ikut pelelangan secara terbuka dan bersaing secara sehat dengan bakul lokal untuk menentukan harga dan pihak keamanan siap dengan tugasnya menjamin keamanan nelayan, bakul dan lokasi TPI MORO. Kalau hal ini sudah dapat berjalan dengan baik, pasti semua pihak akan merasa diuntungkan.

3. SPBU Solar TPI Moro

Kasus pembangunan TPI Moro Kabupaten Demak yang berada di Desa Purworejo, awalnya banyak masyarakat nelayan disana menolak. Akhirnya TPI Moro belum berfungsi optimal. Pembangunan TPI MORO yang belum memperhatikan perilaku masyarakat, padahal perilaku masyarakat disana belum siap. Sementara untuk merubah pola pikir dan perilaku masyarakat itu membutuhkan proses dan waktu yang lama serta dana yang besar.

Perilaku nelayan kalau ingin melaut, mereka membeli bahan bakar dengan cara hutang pada pedagang solar atau minyak tanah langganannya, karena sebagian mereka mengisi bahan bakar mesin dengan minyak tanah. Jika nanti mendapatkan hasil akan dibayar. Tentu saja harga bahan bakar di pedagang dengan sistem hutang tidak sama dengan harga bahan bakar solar di SPBU TPI Moro yang harus kontan pembayarannya. Padahal di TPI MORO sudah dibangun dengan megahnya tempat penjualan bahan bakar.

Gambar Maket dan Bangunan TPI Moro serta Kondisi Lingkungan

Nelayan lebih suka membeli bahan bakar di pedagang langganannya. Padahal harganya jauh lebih mahal. Alasan mereka, kalau di membeli di pedagang langgananya bisa dihutang dulu dan dibayar kalau sudah mendapatkan hasil dari penjualan tangkapan ikan, sedangkan di SPBU TPI MORO walaupun lebih murah harganya, tetapi pembelian harus dengan kontan. Ini yang menyebabkan SPBU TPI MORO tidak difungsikan nelayan. Pihak TPI Moro pernah menghimbau, agar para nelayan membeli bahan bakar solar di SPBU TPI MORO. TPI MORO tidak berpikir, nelayan tidak bisa mendapatkan uang langsung dari penjualan ikannya. Apakah TPI MORO mau dihutang nelayan dulu? Sungguh, patut disayangkan bangunan yang begitu indah dengan fasilitas bangunan yang bagus dan murah, ternyata tidak difungsikan oleh para nelayan. Pasti ini ada sesuatu yang salah.

4. Nasib Nelayan yang Memprihatinkan

Nasib nelayan kecil sungguh memperihatinkan. Mereka sekali melaut itu hanya mendapatkan hasil antar 7-10 kg ikan. Kebanyakan mereka tidak masuk ke TPI Moro, karena hasilnya yang sangat sedikit, mereka langsung menjual ke bakul. Bakul terkadang melakukan kecurangan dalam timbangan dan pembayarannya tidak dilakukan kontan, ditunda-tunda. Padahal nelayan kecil untuk membeli bahan bakar mesin perahunya saja berhutang ke pedagang langganannya.

Ada masalah lain yang dialami oleh nelayan. Istri juru mudi kapal seringnya menjadi makelar (perantara) untuk menjualkan ikan hasil tangkapan kapal suaminya kepada bakul. Jika berhasil menjualkan ikan ke bakul, dia akan mendapatkan keuntungan dari nelayan dan dari bakul. Kalau dijual didalam TPI MORO akan melalui pelelangan, istri juru mudi tidak akan mendapatkan keuntungan tadi. Oleh karenanya, juru mudi tidak mau masuk ke TPI MORO, tetapi diluar TPI MORO. Anak buah kapal banyak yang protes dengan kelakuan juru mudi, namun mereka simpan dalam hati, khawatir esok harinya tidak diajak melaut.

Masyarakat nelayan merasa dirugikan oleh ulah bakul yang ikut pelelangan di TPI Moro. Bakul-bakul tersebut tidak mau membayar kontan hasil tangkapan nelayan, kadang baru seminggu dapat uang dari bakul. Akhirnya uang untuk membayar solar tidak ada, sehingga nelayan berhutang, tentu saja harga solar dengan berhutang lebih mahal daripada dengan cara kontan. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan di TPI Moro, bakul lokal (sekitar TPI MORO = kongsi) kalau mengambil ikan hasil pelelangan tidak langsung membayar, pembayaran ditunda sampai ikan terjual dalam waktu seminggu. Sementara bakul dari luar tidak dapat masuk ke TPI Moro, sehingga bakul lokal memberlakukan aturan pembayaran semaunya sampai menjadi kebisaaan yang merugikan nelayan. Merasa tidak ada saingannya, mereka menekan harga yang serendah-rendahnya, melakukan

kecurangan dalam timbangan dan membayar ikan hasil pelelangan ditunda tidak kontan. Pernah didatangkan bakul dari luar, seperti bakul dari Juwana, Jepara, dan lain-lain. Bakul-bakul lokal menggunakan tenaga preman untuk mengintimidasi bakul-bakul yang dari luar. Ada yang digembosi ban mobilnya, ada yang dimintai uang, dan lain-lain.