• Tidak ada hasil yang ditemukan

SESUAI DENGAN ALIR KERANGKA PEMIKIRAN

KELEMBAGAAN PENDIDIKAN

Kondisi pendidikan di desa Morodemak timbul dan tenggelam, karena kesulitan dana. Hal ini disebabkan oleh pendapatan nelayan yang sifatnya musiman. Dulu sistem pendidikan yang ada di Desa Morodemak adalah pondok pesantren, belum ada pendidikan formal. Para orang tua memiliki pemikiran, kalau belum bisa menyekolahkan pondok pesantren itu kurang hebat. Oleh karena itu pondok pesantren lokal di desa ini kurang direspon oleh masyarakat. Sekarang masyarakat sudah mulai tumbuh kesadarannya untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Dahulu sekolah itu yang butuh siswa, sekarang justru orang tua yang membutuhkan sekolah untuk anak-anaknya. Kondisi pendidikan anak-anak nelayan desa Morodemak sudah lebih baik dibandingkan 5-10 tahun lalu. Sekarang dengan adanya MTs yang dirintis oleh tokoh-tokoh pendidikan desa Morodemak, banyak anak-anak nelayan yang lulus MTs (setingkat SLTP). Dahulu jarang sekali anak- anak yang lulus SLTP, bahkan lulus SD pun sudah bagus, karena selain ketidakmampuan membiaya sekolah juga sekolahnya sangat jauh sekali. Mengenai pendidikan anak-anak nelayan, selain sekolah umum juga mengikuti pendidikan diniyah (keagamaan).

Di Desa Morodemak ini ada yang namanya Program Kelompok Kerja Madrasah Diniyah (KKMD), itu merupakan program pengembangan pelajaran informal keagamaan, sekarang telah berkembang hampir di seluruh Kabupaten Demak. Di Kecamatan Bonang sendiri sudah ada sekitar 20 Madrasah diniyah yang telah mengikuti Program tersebut. Pada program tersebut anak-anak usia TK sudah mulai belajar Al-Quran dan ada juga program menghafal Al-Quran, sehingga tidak heran di Desa Morodemak sendiri ada sekitar 60 orang putra-putri hafal Al-Quran.

Anak-anak nelayan Desa Morodemak seusia SD, umumnya disekolahkan di MI (Madrasah Ibtidaiyah setingkat SD). Sebagai perbandingan, siswa MI di Morodemak berjumlah 740-an siswa, sedangkan siswa SD hanya 200-an siswa. Padahal SD sudah ada lebih dulu daripada MI. Belum lagi kalau diluar jam sekolah MI, mereka mengikuti pelajaran diniyah. Ketika seusia SLTP, dimasukkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah setingkat SLTP), karena memang di desa Morodemak tidak ada SLTP. Dilihat dari fasilitas gedung sekolah, bangunan sekolah MI dan MTs serta

sekolah Diniyah lebih bagus dibandingkan dengan bangunan SD. MTs Sunan Barmawi berdirinya pada tahun 1984. Sebelum adanya MTs ini, dahulu di Desa Morodemak ada sekolah keagamaan Mualimin dan Mualimat.

Hanya saja ada yang patut disayangkan. Kondisi siswa MTs, kalau sudah kelas 2, mereka banyak yang tidak meneruskan sampai lulus MTs. Begitu naik kelas 3, mereka mendapat pengaruh dari teman-temannya. Biasanya antara siswa kelas 2 dan kelas 3 itu sudah terjalin persahabatan. Ketika kelas 3 sudah lulus, sebagian mereka ada yang melanjutkan ke Madrasah Aliyah. Namun kebanyakan bekerja sebagai nelayan membantu orang tuanya mencari pendapatan. Ini yang mempengarahui siswa kelas 2 yang naik kelas 3, sehingga mereka ikut-ikutan melaut dan tidak melanjutkan sekolah sampai lulus MTs.

Perhatian orang tua terhadap anak dalam masalah menerima pelajaran di sekolah masih kurang, karena waktu untuk memperhatikan perkembangan sekolah anak-anaknya tidak ada. Malam hari bapak-bapak nelayan itu menangkap ikan, pulangnya lelah. Ibunya mencari penghasilan tambahan dan tidak sempat memperhatikan perkembangan pelajaran anak di sekolah. Anaknya sendiri, mereka selain sekolah di MTs juga sibuk mengikuti pelajaran diniyah. Anak-anak nelayan disini umumnya memiliki kegiatan kalau habis sholat subuh mengaji Al Quran, setelah itu mandi dan sarapan lalu pergi sekolah formal MTs. Setelah selesai sekolah, makan siang dan sholat Dhuhur serta istirahat sebentar, kemudian berangkat sekolah diniyah sampai menjelang maghrib. Jadi praktis di rumah, mereka tidak ada waktu untuk mengulang pelajaran, sehingga pelajaran sekolah banyak yang lupa, karena tidak diulang di rumah. Anak-anak nelayan yang sekolah diluar Desa Morodemak justru memiliki nilai yang tinggi, sementara yang sekolah disini nilainya jelek.

Pendidikan yang berkembang di Desa Morodemak adalah pendidikan seperti madrasah. Sekolah Dasar Negeri yang umum justru tidak berkembang. Contohnya, jika diundang rapat pembangunan fasilitas pendidikan BP3, di SD umum wali murid tidak banyak yang datang, tetapi kalau di madrasah banyak wali murid yang datang, sehingga bangunan madrasah jauh lebih megah daripada bangunan SD Negeri yang umum.

Ada anak-anak nelayan yang hanya lulusan MTs, kemudian sudah bekerja melaut. Bahkan ada juga yang sudah mendaftar untuk ujian kelulusan MTs, kurang beberapa bulan saja tidak dilanjutkan. Mereka lebih memilih bekerja, karena kadang orang tuanya yang mengajak melaut. Perkembangan pendidikan anak-anak nelayan kecil memprihatinkan. Banyak diantara mereka, orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah. Akhirnya pendidikan anaknya terlantar. Pendidikan untuk anak nelayan di desa ini, hanpir 99 % semua anak sekolah, minimal lulus SD. Disini sudah ada MTs. Tujuan MTs didirikan adalah untuk sekolah lanjutan setelah lulus SD, jangan sampai hanya lulus SD saja, sehingga program wajib belajar 9 tahun dapat dipenuhi disini. Dana paceklik yang disalurkan ke tempat pendidikan itu sangat membantu. Pendidikan lanjutan Madrasah Aliyah juga ada untuk lanjutan setelah lulus MTs. Namun yang dapat sekolah di MA hanya anak nelayan kaya.

Umumnya di desa-desa pesisir itu memang agak sulit, berbeda dengan desa-desa pertanian, karena faktor karakteristik masyarakatnya. SDM dan tingkat pendidikan masyarakat pesisir agak kurang, sehingga pemikiran dan wawasan mereka juga kurang. Buktinya, kalau diminta membangun fasilitas umum jalan, alasan mereka itu bukan urusan warga, tetapi urusan pemerintah. Faktor tingkat pendidkan yang relatif rendah dan faktor kesulitan ekonomi juga berpengaruh terhadap munculnya konflik. Masyarakat miskin itu, karena tingkat pendidikan dan

ketrampilan mereka yang relatif rendah, sehingga ada keterbatasan lapangan kerja yang bisa menyerap mereka. Untuk memberdayakan mereka perlu adanya BLK untuk pembekalan dan melatih mereka ketrapilan yang bekerjasama dengan perusahaan yang siap memakai tenaga mereka.

Sebetulnya di Desa Morodemak itu banyak yang sarjana, kurang lebih yang masih ada di Desa sekitar 60-an orang sarjana dan sarjana muda, yang lainnya pada cari pekerjaan diluar desa Morodemak karena hidup di desa kurang menjanjikan dan kurang prospek untuk masa depan. Terbatasnya lapangan pekerjaan, membuat mereka banyak yang nganggur. Kadang mereka banyak yang keluar desa untuk mencari alternatif pekerjaan. Ada yang sarjana tidak berhasil bekerja di luar desa Morodemak, ketika pulang justru menjadi anak buah kapal., padahal yang menjadi juru mudinya hanya lulusan SD. Ini yang membuat kecewa orang tua, sudah disekolahkan tinggi-tinggi, pulang-pulang jadi anak buah kapal yang statusnya lebih rendah dari pada juru mudi yang hanya lulusan SD.