• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan mengenai beberapa runtutan sejarah gerakan masyarakat terhadap pemilikan lahan oleh perusahaan dan komunal. Kisah perjuangan dimulai dengan pemaparan singkat mengenai sejarah desa di Desa Biringere, dilanjutkan dengan sejarah didirikannya perusahaan semen. Titik puncak cerita dalam bab ini adalah pada bagian sub bab munculnya gerakan perlawanan masyarakat terhadap pemberian hak atas tanggung jawab sosial perusahaan.

Sejarah Tanah Desa Biringere

Awal sejarah, Desa Biringere merupakan desa yang belum terbentuk di Kecamatan Bungoro. Namun, Desa Biringere merupakan desa yang berada di Desa Mangilu sebelum tahun 1990-an.

“... Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak

tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon/tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate anak Karaeng Gowa

yang diutus oleh Gowa untuk memerintah di daerah ini...” (A. Baso Tantu dalam

Makkulau 2007)

Berdasarkan hasil penelusuran beberapa antropolog mengenai daerah Bungoro, terdapat versi lain dari asal-muasal Bungoro, yakni pada saat itu kedatangan Belanda untuk pertama kali di daerah Bungoro sekarang, kemudian sambil menunjuk ke bawah menanyakan nama daerah baru yang didatangi tersebut. Penduduk yang bepenutur bahasa bugis malahan menganggap bahwa yang ditanyakan tersebut adalah sebuah sumur yang berada tidak jauh dari tempat berdiri dan menunjuk Belanda itu. Sehingga penduduk itu menjawabnya, “Bungung ro” (Bugis : sumur itu). Oleh Belanda, dianggaplah nama daerah itu Bungonro, yang kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan menjadi “Bungoro”.

Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang Karaeng dan didampingi oleh 18 kepala Kampong, diantara mana seorang bergelar “Loho”, seorang bergelar “Jennang”, tujuh orang bergelar “Lo‟mo” dan delapan orang yang bergelar “Matowa”. Ornamennya (arajangnya) terdiri dari selembar bendera yang dinamai cinde, yang turun dari langit ke bukit yang bernama Cinde. Kemudian bertambah dengan sebilah sonri (kelewang) dan sebilah tombak yang dinamai Masolo.

Permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan Gowa. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda

ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Pada tahun 1824 semasa pemerintahan Palowong Daeng Pasampo di Bungoro , sebagian dari kekaraengan ini ditempatkan di bawah pemerintahan dari Daeng Sidjalling, saudara dari Palowong Daeng Psampo. Bagian yang dikuasai itu dinamai “Tala‟ju” atau “Bungoro Riwawo” yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue, Lampangang, Campagayya dan Landea.

Masa pemerintahan Karaeng Bungoro yang bernama Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil sehingga kepala wilayah Labakkang yang bernama Mannanggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. Pada tahun 1893, La Pabbicara Daeng Manimbangi baru diangkat menjadi kepala regent Bungoro. Pada tahun 1906 kepala regent ini diasingkan ke Padang (Sumatera Barat) oleh Belanda karena dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketentraman di Sulawesi Selatan (Surat penetapan Pemerintah Belanda tanggal 16 Februari 1906 No. 26. Olehnya itu menurut surat penetapan Pemerintah Belanda tertanggal 30 Juni 1906 No. 34 (stbl No. 309)) wilayah Bungoro dihapuskan dan digabungkan dengan region Pangkajene.

Setelah terjadinya penghapusan dan penyatuan kawasan terbentuklah beberapa wilayah baru, wilayah yang menjadi kawasan aktivitas pabrik semen. Desa Mangilu merupakan desa terdekat pada kawasan pabrik Unit II-III-IV, sehingga dalam pelaksanaan dan pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan tahun 1984, banyak mengalami kendala. Pembangunan yang direncanakan sebagai bentuk usaha pertumbuhan ekonomi di masa itu, menyebabkan kawasan desa yang dipenuhi dengan persawahan dan perkebunan mengalami carut marut. Usaha pengembangan dan pertumbuhan ekonomi di masa Soeharto berkembang pesat setelah bekerja sama dengan Jerman Barat sebagai penanam modal dan dalam pelaksanaannya sebagian kawasan penopang kehidupan masyarakat, yakni sawah dan kebun harus direlakan agar dapat memenuhi janji kesejahteraan bersama.

Rezim Soeharto merupakan rezim yang membatasi masyarakat untuk melakukan penolakan dan aksi tidak setuju. Sehingga atas dasar perjuangan untuk menyejahterahkan masyarakat menjadikan masyarakat patuh terhadap amanat yang diberikan presiden kedua RI di masa itu, bahkan masyarakat rela membuat sertifikat secara cepat guna mempercepat transaksi terhadap lahan yang akan diberikan kepada perusahaan Semen

Dulu waktunya Tonasa mau dibangun, tanah yang dijual ke perusahaan belum

punya sertifikat dan surat yang sah, waktu itu dengan cepat dibuatkanmi surat tanah untuk penjualannya dan perjanjian sebagai alat ganti sertifikat dan kuasa akan tanah supaya lebih gampang pelaksanaan pembangunan untuk kemajuan

negara. “-(Bapak PA, 68 Tahun)

Krisis ekonomi yang melanda menjadikan masyarakat percaya pada masa itu untuk menukarkan tanah mereka dengan kebutuhan mereka. Pernyataan yang mengejutkan ketika proses jual beli tanah pada saat pembebasan lahan untuk pembangunan perusahaan pabrik semen unit II ternyata hanya ditukarkan dengan kebutuhan masyarakat saat itu, tidak sebanding dengan harga jual tanah jika

diakumulasikan, bahkan hasil barter tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat

“...Menurut cerita orang terdahulu, tanah yang dimiliki masyarakat ketika

perusahaan semen unit II akan dibangun di Desa Mangilu pada waktu itu hanya ditukarkan dengan kebutuhan mereka saja, tidak terjadi pertukaran dengan

uang.”-(Bapak AA, 34 Tahun)

Setelah proses barter tersebut perubahan zaman pun berganti, sistem demokratis membuka tabir keberanian masyarakat terdahulu. Sepanjang pertumbuhan dan perkembangan dari kegiatan produksi semen, nyatanya tidak mampu menyejahterakan masyarakat. Masalah tanah adalah masalah hidup dan mati, kebergantungan untuk dapat melanjutkan kehidupan harus dikukuhkan dan menelan pahitnya keterpurukan. Kemiskinan membayangi kehidupan yang tidak memiliki arah yang pasti. Tuntutan akan hak menjadi upaya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Sama halnya dengan kondisi masyarakat Desa Mangilu, setelah harta lenyap, kehilangan mata pencaharian sebagai petani, harus kembali menerima pemekaran wilayah akibat kawasan pabrik yang membelah desa.

“...Sebelum mengalami pemekaran, desa ini telah mengalami kejadian yang

menyebabkan desa ini terbakar hingga tidak menyisahkan tanda karena desa ini merupakan wilayah perbatasan yang diperebutkan. Berdasarkan cerita, desa ini merupakan desa kerajaan dengan kondisi desa yang dikelilingi oleh pegunungan dan sungai, terkenal dengan sawah dan kebunnya, hingga akses jalanpun tidak ada pada masa itu. Jalan setapak yang terbentuk akibat aktivitas manusia sehari- hari untuk menggarap lahan sawah dan kebun terbentuk sesuai dengan kondisi

alam.” (Bapak PA, 68 Tahun)

Pada tahun 1991 pemekaran terjadi, Desa Mangilu dengan segala sejarah panjangnya harus memabagi diri, tidak ada lagi tanah pribadi tidak ada lagi kepemilikan sendiri, sekarang sudah menjadi milik perusahaan dan hanya bersisa tanah waris kerajaan tanpa sertifikat dan kekuatan hukum yang lemah. Ketidakberdayaan ini menjadikan masyarakat menggantungkan nasibnya pada tanah yang masih dapat dimanfaatkan untuk digarap. Meskipun sawah sudah menjadi milik perusahaan, namun menjadi buruh dibekas tanah sendiri sebagai langkah akhir untuk dapat bertahan hidup. Sejarah telah mengukirkan mengenai tanah yang mereka miliki, namun negara pada masa itu menjadikan mereka budak saat ini di lahan sendiri.

Struktur penguasaan tanah menjadi komunal hanya sebatas pada wilayah yang digunakan untuk bertahan hidup dari keadaan yang tidak memungkinkan. Tanah adat sebagai penyelamat untuk dapat membangun kehidupan lebih baik meskipun dengan bangunan berkayu. Kekuasaan berada pada tokoh adat sebagai orang yang dituakan sehingga beliaulah yang mampu memberikan izin akan pemanfaatan pada tanah komunal. Pemekaran yang terjadi pada Desa Mangilu diakibatkan oleh berdirinya perusahaan semen pada masa awal pertumbuhan ekonomi negara. Terpisahkan oleh perusahaan semen, kemudian terbentuk desa baru dengan penduduk baru.

Saat ini, Desa Biringere telah dihuni oleh masyarakat bukan berasal dari masyarakat yang terusir. Mereka adalah penghuni baru dengan segala kisah

pemilikan tanah yang dilihatnya. Mereka juga bukan pendatang yang berada di atas tanah komunal milik adat. Mereka adalah orang-orang yang tidak ingin menyerah dalam hidupnya, mencari kehidupan di tempat yang berbeda dan masih memiliki ikatan persaudaraan yang sama sehingga membentuk satu rumpun. Desa Biringere dikenal sebagai desa yang berada pada kawasan pabrik Semen Tonasa, bahkan tanah yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh pabrik saat ini masih tergolong tanah adat.

“...Tanah perusahaan tersebut masih tergolong tanah adat dan proses

pembebasan lahannya pun dilaksanakan dengan pembuatan sertifikat agar dapat

memiliki keterangan yang jelas mengenai kepemilikan lahan.” (Bapak PA,68

Tahun)

Saat ini, kawasan yang dulu tertutupi oleh sawah, kebun, dan sungai telah berubah menjadi kawasan industri. Sawah yang dulu digarap dan sebagai lumbung padi masyarakat telah berubah, hingga sepertiga kawasan desa telah menjadi kawasan perumahan bagi karyawan perusahaan dan memiliki batas wilayah yang dapat terlihat secara nyata perbedaan diantara keduanya. Kondisi perumahan yang tertata rapi dan besar dengan lapisan batuan yang mendirikannya, menampakkan bahwa inilah suatu bentuk kemajuan. Tuntutan mengenai tanah sudah tidak terbahaskan lagi, masyarakat hanya mampu menatapi tanah yang dahulu dimiliki, tanah yang dulu digarap, serta tanah yang mampu menghasilkan pundi-pundi kehidupan. Tanah sebagai sumber kehidupan kini menjadi kenangan semata, menghasilkan namun tetap harus dibayar dengan nominal mata uang.

Sejarah Perusahaan Tambang Semen Tonasa

PT Semen Tonasa merupakan sebuah perusahaan tambang yang berada pada kawasan industri semen. Didirikan pada tanggal 2 Nopember 1968 dengan kepemilikan 99.9998 persen pada PT Semen Indonesia (Persero) dan 0.0002 persen oleh Koperasi Karyawan Semen Tonasa. Dasar pendirian pabrik ini juga terdapat pada TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No. II/MPRS/1960 tanggal 5 Desember 1960. Sejak 15 September 1995 Perseroan berkonsolidasi dengan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk yang sebelumnya bernama PT Semen Gresik Persero Tbk menjadi sebuah holding company.

Tulisan dari Makkulau (2007) menceritakan mengenai pabrik semen yang terdapat di kawasan Indonesia Timur. Terdapat dua versi terkait nama “Tonasa”, versi pertama, adalah cerita yang berkembang turun temurun dari orang-orang tua di Balocci, di deretan bukit gunung batu kapur (karst) pada kampung tempat awal didirikannya pabrik Semen Tonasa I, seringkali penduduk di kampung tersebut melihat seberkas cahaya yang tidak biasanya muncul diantara bukit-bukit kapur itu. Oleh penduduk desa itu dianggap sebagai pertanda nyata (makassar : aknassa) atau sinyal bahwa suatu saat, kehadiran batu kapur itu akan menjadi penting dan kampungnya akan menjadi ramai dikunjungi, meski mereka sadar bahwa kampung tersebut dikelilingi hutan yang sangat lebat, terpencil dan menjadi sarang para perampok dan penyamun.

Seringkali deretan bukit batu kapur dalam kawasan kampung itu menjadi pelarian para pembunuh dan perampok, serdadu kompeni tidak berani mengejar sampai jauh masuk dalam kawasan batu kapur tersebut. Lama kelamaan penduduk kampung takut untuk melewati lembah-lembah diantara bukit batu kapur tersebut karena dipercayai oleh masyarakat tempat tersebut sebagai tempat persembunyian „tau annassa’ kejahatannya, sehingga dianamai tau annassa atau to nassa

kemudian mendapatkan penyempurnaan pengucapan “Tonasa”.

Versi kedua, menyebutkan cerita penduduk orang-orang tua di Balocci, bahwa kawasan batu kapur dan hutan yang ada disitu adalah satu. Penduduk setempat bahkan penduduk dari Barasa (Pangkajene) dahulunya kalau mau membangun rumah atau untuk memenuhi kebutuhan kayunya maka harus mencarinya di tempat tersebut, karena lokasinya banyak pohon-pohon yang tumbuh „keras,kokoh dan kuat‟ di pinggir perbukitan batu kapur.

Penduduk setempat menyebutnya, “Tone‟na ajuE”(intinya kayu), kayu yang banyak dicari karena bagus untuk “possi bola” (tiang tengah rumah). Maka ramailah pohon tonasa ditebang di kawasan tersebut. Cerita ini kemudian mendapatkan pembenaran ketika nama Tonasa dengan semen yang dihasilkannya menjadi simbol kekuatan/inti kayu atau bagian kayu yang tangguh dan kokoh.

Empat tahun sebelum dihentikannya pengoperasian pabrik Semen Tonasa Unit I (1984), sudah dibangun pabrik Semen Tonasa Unit II, hasil kerjasama Pemerintah RI dengan Kanada ini beroperasi pada 1980 dengan kapasitas 510 000 ton semen/tahun dan dioptimalisasi menjadi 590 000 ton semen/tahun pada 1991, selain itu dilakukan perluasan pembangunan Pabrik Semen Tonasa II yang berada di lokasi yang sama dengan Pabrik Unit II dengan kapasitas 590 000 ton semen/tahun, hasil kerjasama Pemerintah RI dengan Jerman Barat, Pabrik selesai pada akhir tahun 1984 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 3 April 1985. Pada tahun 1990, dilakukan lagi perluasan dengan membangun Pabrik Semen Tonasa Unit IV yang berkapasitas 2 300 000 ton semen/tahun.

Pabrik Semen Tonasa Unit II-III_dan IV terletak di Desa Biringere. Desa ini merupakan satu diantara delapan wilayah kelurahan. Desa dalam lingkup Kecamatan Bungoro, yaitu Bori Appaka, Bulu Cindea, Bowong Cindea, Samalewa, Sapanang, Biringere, Mangilu dan Tabo-Tabo dengan luas wilayah keseluruhan mencapai 90.12 km2. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani dan berkebun, sebagian sebagai pekerja pada industri PT Semen Tonasa dan puluhan industri pengolahan marmer/barang tambang lainnya.

PT Semen Tonasa saat ini terus berkembang, kehadiran pabrik Semen Tonasa Unit II, III dan IV ternyata belum juga dirasa mencukupi kebutuhan semen nasional sehingga pada tahun 2011 ditargetkan sudah bisa memproduksi semen dengan kapasitas 6 juta ton per tahun. Hal tersebut dicapai menyusul pembangunan pabrik semen Tonasa Unit V berkapasitas 2.5 juta ton per tahun. Bila pabrik Tonasa V sudah beroperasi maka kapasitas produksi mencapai lebih dari 6 juta ton per tahun dengan power plant 120 megawatt (MW).

PT Semen Tonasa menguasai market share 47 persen di wilayah Indonesia Timur dengan pertumbuhan 7 sampai 8 persen. Omsetnya mencapai Rp2.3 trilliun per tahun dan diharapkan meningkat menjadi Rp5 trilliun per tahun. Wilayah pemasaran meliputi 13 provinsi di kawasan Indonesia Timur tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara dan Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Sebelumnya, Semen Tonasa juga diekspor ke Bangladesh,

Singapura, Vietnam, Nigeria, Timor Leste, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Kamboja, dan Afrika.

Terdapat dua hal yang dapat dilihat dari keberadaan pabrik semen terbesar di Indonesia Timur ini, yakni eksistensi PT Semen Tonasa diuntungkan oleh bahan baku produksi yang masih melimpah, diantara 1 351.6 juta ton batu kapur dan 152.4 juta ton tanah liat. Perkiraan persediaan bahan baku itu dapat diamanfaatkan hingga lebih dari 100 tahun.

Berdasarkan data Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan No. IUP 540.11/22-IUP/DEP/VII/2013, 13 Juli 2013 diketahui luas batu kapur yang dijadikan bahan olahan semen pabrik di Desa Biringere sebanyak 214.56 Ha dengan masa berlaku 5 tahun. Setelah berjalan selama 1 tahun berdasarkan data dari Dinas Pertambangan (2015), kemajuan pertambangan untuk batu kapur di Desa Biringere pada produksi triwulan IV 2014 (Desember 2014) menunjukkan angka 2 141 068.00 ton sehingga produksi sampai dengan triwulan IV 2014 telah mencapai 7 402 404.50 ton dengan luas areal penggalian/terbuka 114.10 Ha. Berdasarkan data kemajuan penambangan yang dilaporkan oleh perusahaan terhadap Dinas Pertambangan menunjukkan angka yang drastis. Angka drastis ini menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja untuk daerah pertambangan kapur sendiri sebanyak 144 orang yang terdiri dari pegawai pengamat 9 orang, mandor 22 orang, serta 113 pekerja.

Aktvitas pertambangan pada batu kapur yang berada di Desa Biringere menunjukkan bahwa peningkatan produksi terus dilakukan demi memenuhi kebutuhan pasar, tidak hanya batu kapur, penggalian tanah liat, batu gamping dan bahan baku lainnya dilaksanakan pada beberapa titik yang tidak berjauahan dari penggalian batu kapur sehingga dapat terlihat bahwa aktivitas yang dilaksanakan oleh perusahaan memiliki skala yang berlanjut dengan prioritas peningkatan produksi.

Pelaksanaan Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Semen Tonasa

Tahun 2015 merupakan tahun ke-47 didirikannya perusahaan Semen Tonasa. Sebelum memasuki usia 47 tahun, diusianya 45 tahun pada tahun 2013 perseroan telah memproduksi semen sebanyak 5 979 214 ton atau 26.0 persen di atas pencapaian tahun 2012. Selain itu, penjualan pada tahun yang sama juga mengalami peningkatan, yakni mencapai 6 224 329 ton atau naik 34.5 persen dibandingkan tahun 2012. Hasil pencatatan laba perseroan menunjukkan bahwa sebesar Rp676 119 juta dengan kenaikan 5.3 persen dari tahun sebelumnya4.

Terlihat bahwa aktivitas yang dilaksanakan oleh perusahaan Semen Tonasa saat ini terus mengalami pertumbuhan serta penjualan yang sangat baik. Bersamaan dengan pendiriannya, maka perusahaan Semen Tonasa merupakan perusahaan yang mengakui dirinya sebagai perusahaan profit oriented.

Meskipun kita sebagai perusahaan yang berada di tengah masyarakat dan di

bawah naungan BUMN dengan kewajiban melaksanakan CSR sebagai bentuk

4

pertanggungjawaban, namun kita juga melihat bahwa perusahaan ini bukan didirikan sebagai perusahaan yang sosialis, namun perusahaan yang didirikan untuk memperoleh keuntungan dengan motif ekonomi. Kita bukan tidak ingin melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan, namun misalnya, jika masyarakat meminta ikut dilibatkan dalam kegiatan pemberdayaan yang juga mampu meningkatkan keuangan mereka dalam hal pembuatan keset, maka kita akan melihat pembelian barang tersebut dengan permintaan dari masyarakat menggunakan biaya tinggi namun kualitas cukup, bukan kualitas baik namun harga rendah. Sebab, biaya yang akan dikeluarkan akan berbeda, dan jika terdapat pilihan dari keduanya, maka akan lebih baik jika perusahaan membeli barang dengan kualitas baik dan harga rendah, sehingga dana-dana yang masih tersedia dari pembelian bahan untuk penunjang kegiatan di perusahaan dapat disisihkan pada aktivitas lain, terutama dalam penambahan anggaran untuk kegiatan CSR terlebih lagi untuk penunjang kegiatan pemberdayaan yang

dilaksanakan di desa lingkar.” (Bapak AA)

Struktur yang digambarkan menunjukkan PT Semen Tonasa dipimpin oleh direktur utama, membawahi tiga departemen yakni Keuangan, Produksi, dan Komersil. Untuk produksi terdiri dari 3 seksi yakni SKAI, Sekper, serta CSR Umum. CSR Umum terbagi menjadi tiga badan, yakni Badan Pelaksana Umum, Badan Keamanan, serta Badan PKBL & CSR. PKBL & CSR terbagi menjadi tiga program, yakni Program Kemitraan (PK), Program Bina Lingkungan (BL), serta Administrasi dan Keuangan yang berkaitan dengan kedua program tersebut. Semen Tonasa melaksanakan Bina Lingkungan (BL) dan CSR, PKBL merupakan Permen BUMN yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan dibawah naungan pemerintah. Selain itu, perusahaan juga harus melaksanakan CSR, namun antara Bina Lingkungan (PKBL) dan CSR disebut CSR secara umum.

CSR yang dikembangkan oleh Tonasa didasarkan pada pelaksanaan proposal yang bersifat non-komersil yang terdiri dari penerimaan proposal serta program kerja. Berdasarkan dua kegiatan ini maka perusahaan telah menyediakan dana untuk pelaksanaannya. Melihat kondisi dari pelaksanaan kegiatan di lapang, maka perusahaan melaksanakan CSR sebagai salah satu bentuk pertanggungjawabannya terhadap perubahan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak yang dampaknya diterima oleh masyarakat sekitarnya. Dalam pelaksanaannya, CSR perusahaan dapat digambarkan dengan tiga tingkatan yakni tahapan I jika perusahaan hanya melaksanakan CSR sebatas menyumbang dan melaksanakan aturan undang-undang, tahap II dikatakan pelaksanaannya meningkat saat perusahaan melaksanakan CSR sebagai dimensi kesukarelaan yakni melebihi kewajiban hukum dan yang ke-III yakni tahap dimana perusahaan melaksanakan dimensi sosial dimana perusahaan mengintegrasikan kepentingan sosial dalam operasi bisnis seiring dengan perjalanannya menjadi perusahaan yang mampu memperoleh keuntungan namun juga mampu melibatkan masyarakat.

Semen Indonesia merupakan perusahaan BUMN (Pemerintah) yang wajib menjalankan BLPK serta CSR. Setelah bergabung dengan Semen Gresik yang saat ini berubah nama menjadi Semen Indonesia, di bawah Permen BUMN, semen Indonesia (Semen Gresik, Semen Padang, Semen Tonasa dan TC (Vietnam), Semen Tonasa sudah tidak berada pada dimesi sebatas menyumbangkan, namun dapat dikatakan telah memasuki dimensi sosial atau

tahapan ke-III meskipun sebenarnya perusahaan berorientasi keuntungan. Namun, dimensi sosial akan menutupi untuk kepentingan ekonomi yang diemban perusahaan. Perusahaan telah menjalankan CSR berdasarkan permen BUMN dan kewajiban yang tertuang dalam UU mengenai pelaksanaan kegiatan terutama pertambangan. Setelah bergabung dengan SI, Semen Tonasa kini menjadi perusahaan swasta yang jika dalam aturannya hanya menjalankan CSR. Pelaksanaan CSR di Tonasa, perusahaan tetap menjalankan Bina Lingkungan serta Kemitraan, namun dana pelaksanaannya diperoleh dari laba hasil penjualan sisa dari seluruh biaya produksi yang telah dibagi dengan pemegang saham dan itu hanya sebesar 2 persen dari keseluruhan laba yang diterima setelah diserahkan kepadaTonasa.

Pelaksanaan CSR yang selama ini dilakukan oleh perusahaan nyatanya belum mampu memberikan kepuasan maksimum bagi masyarakat, terutama masyarakat desa lingkar yakni Desa Biringere, Dusun Boronguntia. Selama keberadaan perusahaan, CSR yang dijalankan langsung dari perusahaan kepada masyarakat, namun hal ini ternyata banyak mengundang aksi-aksi dari masyarakat, bahkan demonstrasi turun ke jalan hingga ancaman penutupan kegiatan operasi sulit dibendung. Akibat aksi turun ke jalan ini kemudian perusahaan mencari jalan keluar agar masyarakat tidak membatasi ruang gerak.

Tahun 2010 sampai 2011 terbentuk sebuah kesepakatan antara LSM dan komitmen Tonasa untuk tetap melaksanakan kegiatan tanpa harus dibatasi oleh masyarakat. Setelah melalui tahapan penelitian, kemudian diputuskan untuk melaksanakan proses pengembangan masyarakat melalui pembentukan forum desa. Forum desa yang terbentuk kemudian disebar pada beberapa wilayah lingkar penerima dampak dari aktivitas produksi tambang semen.

“Tahun 2012 mulai dibentuk forum desa tepatnya bulan Agustus 2012 yang

dilengkapi dengan mekanisme dan ADRT sebagai suatu organisasi untuk dapat