• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 8. Tulisan Tematik (Nvivo)

Kemunculan Gerakan Masyarakat Lingkar Tambang Bab Sejarah Tanah Desa Biringere

Pada mulanya Bungoro dinamai Kalumpang, yang didirikan oleh seorang anak tunggal dari Karaeng Barasa (Pangkajene) di Kalumpang. Menurut A. Baso Tantu, Kalumpang adalah nama pohon/tanaman keras yang dijadikan nama untuk daerah Bungoro sekarang, yang tidak disetujui oleh bate anak Karaeng Gowa yang diutus oleh Gowa untuk memerintah di daerah ini. (A. Baso Tantu dalam Makkulau 2007)

Dulu waktunya Tonasa akan dibangun, tanah yang dijual ke perusahaan belum punya sertifikat dan surat yang sah, sehingga pada waktu itu dengan cepat dibuatkanlah surat tanah dalam penjualannya dan perjanjian sebagai alat ganti sertifikat dan penguasaan akan tanah agar, menjadi mudah dalam pelaksanaan pembangunan untuk kemajuan negara. (Bapak PA, 68 Tahun)

Menurut cerita orang terdahulu, tanah yang dimiliki masyarakat ketika perusahaan semen unit II akan dibangun di Desa Mangilu pada waktu itu hanya ditukarkan dengan kebutuhan mereka saja, tidak terjadi pertukaran dengan uang.”- (Bapak AA, 34 Tahun)

Sebelum mengalami pemekaran, desa ini telah mengalami kejadian yang menyebabkan desa ini terbakar hingga tidak menyisahkan tanda karena, desa ini merupakan wilayah perbatasan yang diperebutkan. Berdasarkan cerita, desa ini merupakan desa kerajaan dengan kondisi desa yang dikelilingi oleh pegunungan dan sungai, terkenal dengan sawah dan kebunnya, hingga akses jalanpun tidak ada pada masa itu. Jalan setapak yang terbentuk akibat aktivitas manusia sehari-hari untuk menggarap lahan sawah dan kebun terbentuk sesuai dengan kondisi alam.” (Bapak PA, 68 Tahun)

Tanah perusahaan tersebut masih tergolong tanah adat dan proses pembebasan lahannyapun dilaksanakan dengan pembuatan sertifikat agar dapat memiliki keterangan yang jelas mengenai kepemilikan lahan.” (Bapak PA,68 Tahun)

Pelaksanaan Kegiatan CSR Semen Tonasa

Meskipun kita sebagai perusahaan yang berada di tengah masyarakat dan di bawah naungan BUMN dengan kewajiban melaksanakan CSR sebagai bentuk pertanggungjawaban, namun kita juga melihat bahwa perusahaan ini bukan didirikan sebagai perusahaan yang sosialis, namun perusahaan yang didirikan untuk memperoleh keuntungan dengan motif ekonomi. Kita bukan tidak ingin melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan, namun misalnya, jika masyarakat meminta ikut dilibatkan dalam kegiatan pemberdayaan yang juga mampu meningkatkan keuangan mereka dalam hal pembuatan keset, maka kita akan melihat pembelian barang tersebut dengan permintaan dari masyarakat menggunakan biaya tinggi namun kualitas cukup, bukan kualitas baik namun harga rendah. Sebab, biaya yang akan dikeluarkan akan berbeda, dan jika terdapat pilihan dari keduanya, maka akan lebih baik jika perusahaan membeli barang dengan kualitas baik dan harga rendah, sehingga dana-dana yang masih tersedia dari pembelian bahan untuk penunjang kegiatan di perusahaan dapat disisihkan pada aktivitas lain, terutama dalam penambahan anggaran untuk kegiatan CSR

terlebih lagi untuk penunjang kegiatan pemberdayaan yang dilaksanakan di desa lingkar.” (Bapak AA)

Tahun 2012 mulai dibentuk forum desa tepatnya bulan Agustus 2012 yang dilengkapi dengan mekanisme dan ADRT sebagai suatu organisasi untuk dapat melibatkan masyarakat lokal dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan. Tujuan dibentuknya forum desa juga sebagai media untuk memandirikan desa agar dapat meningkatkan partispasi dan mengurangi antipati yang tumbuh pada masyarakat, sebab selama perusahaan berada di antara masyarakat, masyarakat menjadi bergantung pada perusahaan dan meyakini bahwa apa yang mereka minta dapat dikabulakan oleh perusahaan.” (Bapak RL)

Kondisi Perubahan Struktur Agraria Masyarakat

Sekarang tanah yang ditempati sama masyarakat hanya tanah yang dibangun saja rumah. Tidak adami yang punya sawah, kalau masih ada paling di desa lain, bukan di desa ini. Karena desa ini sekarang tidak adami apa-apanya, paling berharga yah ini tanah adat yang dibangun sama masyarakat untuk dijadikan pemukiman.” (Bapak PA, 68 Tahun)

Perubahan dulu sama sekarang banyak sekali bisa dilihat, bukan saja tentang tanah, tapi kepadatan, suasana, udara, berubah semua. Kalau dulu orang punya sawah tidak mengangggur seperti sekarang, dulu belumpi ada jalanan beton masih jalan setapak, berubah pola pemukiman pasti karena dulu rumahnya orang- orang tersebar dekat sawah, tapi dengan adanya perusahaan adalah sedikit perubahan yang baik, terutama air bersih, tapi itumi sekarang keluhannya masyarakat polusinya pabrik sama ledakannya.” (Bapak PA, 68 Tahun)

Dulu banyak sekali sawahnya nenek sama orang tua, tapi sekarang sudah tidak ada karena sudah diambil sama Tonasa. Tidak adami sawah jadi padi tidak ambil dari sawah tapi harus beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau ditanyakan proses pembebasan lahannya, menurut orang tua dulu itu sama nenek- nenek tidak diketahui prosesnya tapi menurut orang tua melalui tokoh adat mengurusnya karena kan sebagian tanah yang dimiliki juga termasuk tanah adat desa jadi waktu itu urusannya sama tokoh adat, kalau bentuk ganti ruginya juga tidak tau bentuknya seperti apa, pokoknya kita tidak dapat hasil dari penjualan tanah, sekarang baru menuntut bagaimana sebenarnya status tanah (sawah) yang dimiliki perusahaan dengan milik masyarakat.” (Bapak HA, 35 Tahun)

Dulu itu orang mau mandi, mencuci, berak, semuanya di sungai. Kalau mau masak juga pakai air dari sungai, tapi untuk kesehatannya mungkin baik-baik saja karena waktu itu banyak yang gunakan sungai untuk kebutuhan sehari-hari dan jarang ada yang sakit, tetapi ada batas larangan-larangan karena setelah kejadian ada anak yang tenggelam dan hanyut jadi mulai jarang digunakan, baru Tonasa masuk dan kasih kita pompa air kemudian jarang ada masyarakat yang ke sungai untuk melakukan aktivitas-aktivitas.” (Ibu NH, 30 Tahun)

Perubahan Bentang Alam

Masyarakat Dusun Boronguntia mengeluhkan polusi serta akibat ledakandengan guncangannya menyebabkan rumah warga mengalami getaran bahkan jika rumahnya pada kondisi berbatu maka akan mengalami retak.” –(Ibu NH, 30 Tahun)

Polusinya itu Tonasa sangat menyiksa, ini saya beringus (flu) terus gara- gara debunya Tonasa yang setiap hari diisap (dihirup). Karena selalu flu dan sakit kepala ke dokter untuk periksa, ternyata dari dokternya dijelaskan kalau kena sinusitis. Perawatan sinusitif bukan perawatan yang murah, ini saya begini susah bernapas, bersin-bersin tidak bisami diapa-apakan, tidak ada uang untuk berobat, harusnya Tonasa yang kasih ke kita bantuan karena tidak tahu apa yang sebenarnya rasakan, harapan dengan apa yang dikasih sama Tonasa.” (Ibu NU, 30 Tahun)

Coba lihat saja dinding rumah bawah sama pondasinya tiang retak-retak biar sudah di plester (tambal) tetap saja retak,kalau tidak di pondasi tambahan mungkin sudah rubuhmi rumah, tapi mau diapakan juga pasti tetap seperti itu. Tanah bergeser juga perlahan-lahan dirasa.” (Ibu NH, 30 Tahun)

Pelibatan Masyarakat Lokal

Pelaksanaan program kemitraan (PK) dilaksanakan dengan mengajukan proposal kemudian akan dilakukan survey untuk melihat masyarakat yang akan mengajukan bantuan dana sesuai dengan kriteria yang ditetapkan perusahaan, yakni mereka yang memiliki aset tanah sebanyak 200 Ha serta uang sebanyak 1 M selama 1 tahun terakhir. Hal ini menjadi alat ukur dikarenakan peminjaman yang dilakukan merupakan dana yang akan kembali pada perusahaan untuk kegiatan lainnya namun masih berkaitan dengan pemberdayaan serta perputaran uang yang diberikan tidak sekedar peminjaman untuk pemakaian pemenuhan kebutuhan, namun untuk peningkatan usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat.”-(Bapak AA)

Jangankan bisa ikut bekerja di Tonasa, kalau mau kerja di Tonasa harus punya kenalan, pun kalau bisa paling bekerja di bagian lapangan. Susah sekali dapat pekerjaan sekarang apalagi kalau lagi tidak ada proyek dan panggilan dari pekerja-pekerja proyek di lapang. Selain itu, kalau bisa ikut programnya Tonasa mau ambil dimana uangnya untuk pengembalian uang cicilannya.”-(Ibu HA, 30 Tahun).

“Saya ikut juga itu kayak pimnajam dana untuk usaha, baru 1 tahun jalan, tapi alhamdulillah lancar. Tidak susah sebenarnya tapi panjang urusannya, karena harus juga dilengkapi dengan kriteria yang Tonasa berikan, jadi diurus dulu terus kalau tidak sesuaiki biasanya na suruhki menunggu, karena kita juga buat proposal sendiri untuk diajukan sendiri, enaknya kalau ada kenalan di Tonasa bisa gampang, tapi kalau tidak ada yah begitu panjang terus dilempar kesana kesini.” (Nenek CA, 60 Tahun)

Dulu pekerjaan rata-rata petani, sekali lahan sawah sudah dijual ke perusahaan untuk dijadikan sebagai lahan perusahaan habis sudah penghasilan masyarakat, yang dulu mereka bertani tiba-tiba harus bekerja selain tani, pendidikan rendah yah paling tinggi sebagai buruh, kalau mau buka usaha juga harus punya modal, modal juga habis.” (Bapak PA, 68 Tahun)

“Untuk bisa kerja di Tonasa susah sekali, apalagi kalau kita tidak punya kenalan, itupun kalau punya harus lagi diliat tingkat pendidikannya. Ini pernah beberapa anak disini melamar kerja di Tonasa tidak ada yang lulus, paling kalau ada yah itu saja ada kenalannya sama petinggi Tonasa.” (Ibu TK, 50 Tahun)

“Kalau mau juga punya usaha sendiri, yah begini keadaannya, harus bisa mengurus sendiri, penuhi aturan peminjamannya koperasi perusahaan, panjang

tapi Alhamdulillah membantu apalagi saya tidak punya suami.” (Ibu AM, 60 Tahun)

Bersyukur anak-anak bisa kerja di Tonasa, biarpun gajinya kecil tapi adalah untuk bantu keluarga. Bapak sudah tidak sehat juga, sawah juga habis diambil Tonasa jadi yah bergantung mami sama Tonasa sekarang.” (Ibu AR, 40 Tahun)

“Kesmpatan kerja memang besar, kita juga sudah mencoba melibatkan masyarakat lokal untuk bergabung sama perusahaan. Buktinya Tahun 2011 kita buka kesempatan kerja untuk mereka yang berpendidikan minimal SMA, meskipun SMA setidaknya punya kualitas mampu bersaing di lapangan, karena meeka bekerja di lapangan secara teknis. Informasi ini paling cepat menyebar diantara karyawan buktinya untuk seluruh Pangkep sebanyak 70% orang lokal yang diterima untuk kerja, meskipun ini pengumuman disampaikan melalui media cetak lokal. Nah kalau untuk lulusan S1 kita umumkan di media cetak nasional jadi mereka yang lulusan S1 dari seluruh Indonesia dapat bergabung, pun kalau ada masyarakat lokal yah tetap harus bersaing dengan yang lain.” (Bapak AA)

Implementasi Kegiatan Pertambangan dan Hubungannya terhadap Kesejahteraan Masyarakat Dusun Boronguntia

Perubahan Tingkat Pendapatan Masyarakat Under-Construction Dusun Boronguntia

Kalau dibilang lebih baik mana? Dulu atau sekarang? Pasti kita jawabnya sekarang. Karena kalau dulu waktu masih baru-baru sudah pemekaran, tidak ada yang namanya jalan berbeton, jangankan jalan berbeton, mau ke sawah saja lewat semak-semak. Itupun dibilang penghasilannya dari hasil tani saja, pun kalau ada sebagian saja padi yang dijual, mau makan sayur juga petik saja di kebun atau sekitar sawah yang ditanam-tanam, makan ikan juga tangkap di sungai, jadi kalau dibilangnya rendah pendapatannya dulu, rendah memang tapi tidak beli-beli beras atau sayur atau ikan. Kalau sekarang semuanya beli, tapi begitumi juga banyak uang, banyak pekerjaan, tidak terbatas di sawah saja, tapi kalau orang tuanya tidak bisa kerja diluar pertanian, karena dari kecil sudah bertani, giliran tidak ada sawah yang bisa digarap jadi pengangguran saja, tidak bisa cari uang, jadi bergantung saja sama anak.”-(Bapak DH, 90 Tahun)

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Kita kalau mau sekolah harus jalan jauh sekali dari rumah, lewat rumput- rumput, masih bagus kalau bisa pakai sendal, jangankan sepatu sendal saja jarang ada yang pakai. Dulu kita mau sekali sekolah tapi orang tua yang tidak sanggup, belum lagi jauhnya sama tidak ada buku. Bagaimana kita mau pintar sedikit sekali orang yang bisa sekolah, membaca saja tidak bisa jadi bisa di kasi bodo-bodo (dibodohi) sama orang. Kalau sekarang enak mi itu anak-anak, sekolahnya dekat dari rumah, gratis, bukunya juga banyak meskipun tidak boleh di bawa pulang, tapi enaklah untuk mereka untuk masa depannya mereka juga.” (Ibu HB, 50 Tahun)

Ada juga sebenarnya sekolahnya Tonasa, tapi wih orang-orang kaya ji yang bisa sekolah disitu dek, kalau seperti kita mau kasi sekolah anakta di situ tidak makan kasian, karena banyak sekali uang dikeluarkan, apalagi kita ini bukan

pegawai tidak bisa ditutupi iurannya, untungnya ada sekolah yang gratis dari pemerintah jadi anak-anak bisa sekolah biar tidak di swasta.” (Ibu NH, 30 tahun)

Kalau untuk kesehatan, dulu harus ke desa sebelah, jauh, dokternya juga jarang karena dulu kan masih desa sekali, dulu juga kalau mau ke puskesmas atau dokter berpikir panjang, karena mahal dan tidak ada jaminan. Tidak seperti sekarang, lebih enak karena ada BPJS yang bisa di pakai, dokternya juga banyak, pelayanannya juga lebih baik dari pada dululah.” (Bapak DH, 90 Tahun)

Harga barang-barang dulu sama sekarang sebenarnya sama, tapi bertambahnya nilai barang terhadap kodnsi nilai mata uang sehingga barang- barang juga harganya berubah. Tapi kalau melihat kondisi memang sekarang serba uang, tapi lebih baiklah kalau dibandingkan sebelumnya. Tapi begitu, banyak uang banyak juga pengeluaran, jadi sama saja tidak ada perubahan, kalau dulu masih bisa diimbangi dari hasil alam, sekarang beli semua, mau cari dimana, tidak ada tempat yang bisa menghasilkan, kecuali gunung hasilkan semen.” (Bapak PA, 68 Tahun)