• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertambangan

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang (UU Minerba No. 4 Tahun 2009) dalam Zulkifli (2014)

Tahapan kegiatan pertambangan yaitu (UU Minerba No. 4 tahun 2009) : 1. Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk

mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. 2. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usai pertambangan untuk

memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

3. Studi kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang.

4. Operasi Produksi adalah kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

5. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.

6. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.

7. Pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.

8. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.

9. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.

10.Kegiatan pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah pertambangan.

11.Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas

lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

12.Pemberdayaan masyarakat adalah usaha untuk meninggalkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

Agraria dan Pertanahan

Agraria berasal dari bahasa Latin, yakni ager dan agerarius. Ager yang berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian (Harsono 1994). Pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 1 ayat (2) menjelaskan bahwa agraria meliputi bumi,air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. UUPA juga mengatur mengenai kekayaan alam yang terkandung di bumi, termasuk di dalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala macam batuan, termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan).

Supriadi (2006) menyebutkan keterkaitan dengan pengertian agraria, tujuan pokok yang ingin dicapai dengan adanya UUPA, yaitu :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan.

Tanah juga diatur dalam pasal 4 UUPA, yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk. Pertama, hak-hak atas tanah yang bersifat primer. Kedua, hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu :

1. Hak Milik atas tanah (HM); 2. Hak Guna Usaha (HGU); 3. Hak Guna Bangunan (HGB); 4. Hak Pakai (HP).

Selain hak primer atas tanah, terdapat hak atas tanah yang bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan sementara marena hak-hak ersebut

dinikmati dalam waktu terbatas, dan haknya dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu :

1. Hak gadai;

2. Hak usaha bagi hasil; 3. Hak menampung;

4. Hak menyewa atas tanah pertanian.

Tanah merupakan salah satu sumber agraria selain perairan, hutan, bahan tambang dan udara (UUPA 1960). Wiradi (2009) mengungkapkan satu sisi dari rakyat menganggap tanah adalah tumpuan kehidupan sementara di sisi lain negara membutuhkan pengorbanan rakyat untuk menyerahkan tanahnya demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah akan sangat menentukan corak sebuah masyarakat dan dinamika hubungan antar lapisan di dalam masyarakat tersebut (Wiradi 2009).

Struktur penguasaan tanah menurut Wiradi (2009) adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal) maupun penguasaan efektif (garapan/operasional), atas sumber-sumber agraria; juga sebaran alokasi atau pembentukannya. Ketimpangan agraria merupakan ketidaksesuaian dalam hal penguasaan formal (pemilikan) maupun penguasaan efektif, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan kebijakan sektoral terhadap sumber-sumber agraria, khususnya tanah (Wiradi 2009).

Penguasaan terhadap tanah dapat mengalami pencabutan hak milik. Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang disediakan pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa,

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Selain pencabutan atas hak milik tanah, terdapat pembebasan hak atas tanah/pengadaan tanah. Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya pembebasan hak atas tanah tersebut. Pembebasan hak atas tanah selama ini telah mengalami perubahan, yaitu semula diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Tata Cara Pembebasan Hak Atas Tanah. Pada tahun 1993 kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Masalah pertanahan merupakan salah satu sektor pembangunan yang memerlukan penanganan yang amat serius dan ekstra hati-hati dari pemerintah. Hal ini disebabkan karena tanah merupakan kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Pemerintah berkewajiban untuk melindungi, mengatur ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, dan pada sisi lain, tuntutan

akselerasi pembangunan ekonomi yang harus dipicu yang akhirnya membutuhkan tanah sebagai tempat pijakan segala aktivitas ekonomi tersebut (Supriadi 2006).

Salah satu kebijakan pemerintah yang paling mendasar di bidang pertanahan dan mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan merupakan salah satu kebijakan pemerintah dari 9 (sembilan) kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden pada tahun 2003 dalam bentuk Keputusan Presiden (Supriadi 2006). Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan merupakan wujud dari langkah yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka mengambil tanah-tanah warga masyarakat demi suatu pembangunan. Pasal 2 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dinyatakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara (a) pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, (b) pencabutan hak atas tanah ayat 1. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan (ayat 2) (Supriadi 2006).

Transisi Perubahan Mata Pencaharian Masyarakat

Masyarakat tidak begitu saja muncul seperti saat ini, tanpa adanya perkembangan yang dimulai di masa lampau, yang bahkan sampai sekarang mungkin saja terdapat masyarakat yang mewakili masa tersebut (Mutakim dan Pasya 2003). Masyarakat mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Kemajuan yang dimiliki masyarakat saat ini sejalan dengan perubahan yang terjadi secara global, tetapi ada masyarakat yang berkembang tidak seperti mengikuti perubahan jaman melainkan berubah sesuai dengan konsep mereka tentang perubahan itu sendiri. Soemardjan dalam Soekanto (1984) mengemukakan ciri-ciri perkembangan masyarakat :

1. Masyarakat sederhana/bersahaja 2. Masyarakat madya

3. Masyarakat pramodern-modern

Perubahan yang dialami oleh masyarakat dari zaman ke zaman dipengaruhi oleh berbagai faktor yang menyebabkan besarnya perubahan yang dialami oleh masyarakat, pertumbuhan ekonomi setelah krisis memaksa pertumbuhan industri sebagai langkah menuju perubahan kehidupan. Kondisi pertumbuhan dan akselerasi pembangungan membentuk masyarakat transisi.

Masyarakat transisi merupakan masyarakat yang berada di antara masyarakat tradisional dan modern, atau masyarakat peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Kehidupan masyarakat ini umumnya berada di wilayah marginal atau pinggiran atau kota-desa, lebih jelasnya secara fisik masih berada di daerah administrasi desa tetapi pengaruh kota terhadap kehidupan sudah nampak. Masyarakat transisi, masih banyak terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Masyarakat transisi dapat dilihat dari pendidikan, kesehatan, industri, perubahan fungsi lahan, mata pencaharian dan konflik. Kondisi ini dapat menyebabkan perubahan perilaku masyarakat. Salah satu penyebab terbesar adalah pembangunan yang kemudian mengubah ciri masyarakat. Industri sebagai bagian dari evolusi industri pada masa pertumbuhan ekonomi menunjukkan sebuah proses perubahan dalam kehidupan sosial.

Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Kurniawan (2013) menunjukkan bahwa pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat industri akan mengalami perubahan dan peningkatan. Masyarakat sekitar tambang dikatakan sebagai masyarakat yang mengalami transisi dan akan mengalami perubahan pada jenis mata pencaharian dari sektor pertanian beralih profesi di sektor non-pertanian. Selain itu, solidaritas yang berubah menunjukkan bahwa pekerjaan masyarakat sekitar tambang mengubah sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian menjadi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan membuka usaha di rumah, serta menggambarkan bahwa masyarakat dapat bekerja di sektor industri sebagai karyawan dan membuka usaha di sekitar industri.

Kesejahteraan

Kesejahteraan merupakan salah satu alat ukur untuk mengetahui kondisi masyarakat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu lembaga sosial di dunia membatasi kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Kesejahteraan sosial diartikan sebagai suatu intuisi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas terorganisir swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Definisi kesejahteraan sosial juga dikonsepkan oleh Suharto (2005) dalam tiga konsep, yaitu :

1. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial (makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan);

2. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial;

3. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk mencapai kondisi sejahtera.

Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996) dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator yaitu (1) rasa aman (security), (2) Kesejahteraan (welfare), (3) Kebebasan (freedom), dan (4) jati diri (Identity)

Menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1986), kesejahteraan dapat diukur dari beberapa aspek kehidupan:

1) Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagianya;

2) Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan sebagainya;

3) Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya;

4) Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan sebagainya.

Konsep kesejahteraan merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk mengukur keadaan seseorang pada kondisi tertentu pada wilayah tertentu. Konsep kesejahteraan berbeda di setiap daerah, sehingga tingkat kesejahteraan di setiap daerah dapat berbeda-beda pula, tergantung pendefinisian daerah tersebut mengenai kesejahteraan. Lebih rinci dalam BPS (2010) dijelaskan bahwa:

1. Pendapatan adalah penghasilan tetap yang diperoleh dalam satu bulan oleh responden yang merupakan pemasukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka.

2. Konsumsi atau pengeluaran keluarga adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

3. Fasilitas tempat tinggal yang dapat diukur dari luas lantai rumah, penerangan, jenis alas/lantai rumah, kondisi MCK, kondisi bangunan, atap, sumber air. Kondisi dan kualitas rumah yang ditempati dapat menunjukkan keadaan sosial ekonomi rumah tangga.

4. Kesehatan anggota keluarga merupakan indikator kebebasan dari penyakit

5. Akses terhadap layanan kesehatan merupakan kemudahan responden dalam menjangkau dan memperoleh fasilitas untuk kesehatan seperti JAMKESMAS dan lain-lain.

6. Akses terhadap pendidikan merupakan kemudahan responden dalam memperoleh jenjang pendidikan yang baik dan tinggi

7. Kepemilikan alat transportasi merupakan jenis alat transportasi yang dimiliki responden untuk mempermudah akses ke berbagai tempat. Secara umum kesejahteraan ada kaitannya dengan kemiskinan. Intervensi kapitalis ke dalam wilayah yang belum mengetahui secara jelas tentang konsep- konsep kepemilikan lahan cenderung akan dipermainkan oleh para kapitalis, hingga terampasnya kesejahteraan mereka. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Tauchid (2009) yang menyatakan bahwa, arena penanaman modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga manusia yang cukup banyak dan murah, maka dicarilah tempat yang tanahnya baik dan cukup banyak penduduknya. Alhasil di daerah-daerah tersebut menjadi semakin sempit dan rakyatnya semakin terdesak. Secara serentak kemiskinan masih merupakan wajah pedesaan yang utama dimana dua-pertiga dari penduduk miskin dunia merupakan kaum miskin pedesaan (Bernstein 2008). Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian di

atas terkait kesejahteraan, maka dapat dibuat sebuah konsep baru bahwa kesejahteraan adalah suatu konsep yang menggambarkan kondisi seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan politik serta memiliki akses pada sumberdaya agraria sesuai dengan ukuran kesejahteraan yang ditentukan pada daerah tersebut.

Struktur Agraria dan Kesejahteraan

Kaitan antara struktur agraria dan kesejahteraan petani sangat erat karena bagi para petani sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah utama (Sitorus, dkk. 2008). Melalui pengusahaan sumberdaya lahan diharapkan para petani akan memiliki penghasilan yang cukup dan berkelanjutan2 sehingga tujuan utama para

petani untuk “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “membuat

kehidupan yang lebih baik” (a better living) dapat dicapai.

Terkait dengan sumberdaya lahan sebagai basis kesejahteraan petani oleh Sitorus, dkk. (2008) menjelaskan mengenai seberapa jauh sistem tersebut dapat berperan akan ditentukan oleh, 1. Karakteristik sumberdaya lahan sendiri (the characteristics of interpersonal agrarian arrangements) serta 2. Keadaan hubungan sosial (state of social relationship) dalam komunitas petani (baik diantara sesama komunitas lokal maupun antara komunitas lokal dan pendatang). Oleh Fremerey dan Aminy (2002) dalam Sitorus, dkk. (2008) juga menjelaskan mengenai konteks land tenure, yakni keamanan sosial-ekonomi mencakup tiga hal, 1. Akses lahan (land access), 2. Pengakuan tanah milik (recognition of land holding), dan 3. Tipe penggunaan lahan (type of land use). Sejalan dengan itu, Sitorus, dkk. (2008) menjelaskan mengenai basis kesejahteraan petani yang bersumber dari lahan dapat diperoleh, 1. Melalui penguasaan “lahan sebagai modal ekonomi” yang dikuasai para petani melalui mekanisme hak penguasaan tetap. Atau 2. Melalui pengusahaan “lahan sebagai modal sosial” yang dikuasai para petani melalui kelembagaan penguasaan sementara (seperti sistem sewa atau bagi hasil).

Sajogyo (1985) menyebutkan bahwa sumberdaya lahan merupakan tempat tani berinvestasi dan mengakumulasikan kekayaan yang dapat ditransfer dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Oleh karena itu bentuk struktur penguasaan sumberdaya agraria (struktur agraria)-termasuk lahan- yang turut menentukan akses beragam lapisan petani dalam penguasaan sumberdaya agraria juga akan menentukan keadaan peta kesejahteraan keluarga/komunitas petani3. Berlangsungnya perubahan struktur agraria berpotensi mengarah pada struktur yang semakin terstratifikasi atau semakin terpolasirasi, sehingga akan mendorong

2

Menurut Haan (2000) dalam Sitorus, dkk. (2008) suatu mata pencaharian dapat dikategorikan sebagai mata pencaharian berkelanjutan bila terdapat kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dasar (self-defined basic need) serta menjamin orang untuk dapat menghadapi goncangan (shock) dan tekanan (stress)

3

Keluarga petani adalah sebuah rumahtangga yang merupakan satu unit bersama dalam hal pendapatan maupun pengeluaran.

terjadinya perubahan peta kesejahteraan keluarga, baik meningkatkan maupun memperburuk kondisi peta kesejahteraan keluarga petani.

Hasil kajian Soentoro (1980) dalam Sitorus (2008) menunjukkan bahwa perbedaan pemanfaatan pelayanan pemerintah menyebabkan perbedaan kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih baik. Secara spesifik, berdasarkan akses terhadap penguasaan tanah, perubahan struktur agraria yang berlangsung akan merujuk pada gejala penajaman diferensiasi kelas masyarakat pedesaan (kaum tani) (Sitorus 2008).

Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan ekonomi pada zaman kemerdekaan Indonesia menjadikan tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat. Tanah yang dimiliki merupakan satu-satunya peninggalan yang dimiliki oleh masyarakat untuk meneruskan kehidupan. Pertumbuhan ekonomi pada masa itu sedang mengalami kegencaran untuk membangunkan kembali kondisi Indonesia yang mengalami keterpurukan setelah dijajah. Pembangunan ekonomi tercepat pada masa itu adalah pertumbuhan industri yang mengikuti sistem peninggalan negara barat. Industri mulai tumbuh, namun pertumbuhannya dibarengi dengan sistem pemberian tanah untuk pembangunan kawasan industri. Pemberian secara sukarela pada masa itu diakibatkan oleh janji pemerintah untuk dapat memberikan penghidupan yang lebih baik.

Industri tambang yang menjadi salah satu penghasil devisa terbesar negara dan mampu memajukan bangsa ternyata belum mampu mengarahkan masyarakat untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Tanah hibahan kini menjadi tanah perusahaan yang juga pembebasannya belum diketahui untuk penerimaan ganti rugi. Kehidupan masyarakat sekitar tambang, terutama tambang semen tidak mengalami perubahan yang sangat signifikan, melainkan mereka sebagai penerima dampak tersebar dari aktivitas penambangan. Program pertumbuhan ekonomi negara dan pembangunan, menjadikan industri pertambangan sebagai lahan peningkatan kesejahteraan dan program ini diperuntukan untuk masyarakat yang mengalami keterpurukan. Aktivitas pertambangan yang terus berlangsung dan terus menambah kapasitas jumlah produksi menjadi salah satu bentuk perubahan struktur agraria yang mendorong perubahan ekologi, sebagai akibat dari aktivitas pertambangan pada produksi dan eksploitasi mendorong perubahan bentang alam dan berdampak terhadap akses masyarakat lokal. Hal ini tentu saja akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat di desa lingakar tambang. Secara ringkas, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam gambar 1.

Keterangan :

: Penelitian secara kualitatif : Penelitian secara kuantitatif : Mendorong

: Berdampak

Gambar 1 Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang diusulkan untuk penelitian ini, terdapat hipotesa yang dihasilkan yakni :

Eksploitasi sumberdaya mendorong terjadinya operasi produksi yang menyebabkan perubahan bentang alam dan struktur agraria sekitar tambang serta mendorong terjadinya pengadaan tanah, pembebasan tanah, penciptaan jenis lapangan pekerjaan baru, kesempatan partisipasi masyarakat yang terbatas hingga kelembagaan baru.

Dari hipotesis pengarah di atas lalu didapatkan hipotesis uji sebagai berikut : 1. Semakin tinggi kegiatan operasi proses produksi tambang semen, maka cenderung menyebabkan tingginya perubahan struktur agraria;

2. Semakin tinggi perubahan struktur agraria, maka cenderung menyebabkan tingginya peluang usaha/kerja masyarakat pada kegiatan tambang;

3. Semakin tinggi perubahan struktur agraria dengan keberadaan perusahaan maka cenderung semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Perubahan Struktur Agraria

Perubahan  Perubahan bentang alam  Pelibatan masyarakat lokal  Tingkat akses Pendidikan  Tingkat akses kesehatan  Tingkat pemenuhan kebutuhan pokok Tingkat Kesejahteraan Eksploitasi tambang

Definisi Konseptual

1. Eksploitasi merupakan aktivitas pengerukan terhadap sumberdaya alam dan mineral yang terdapat dalam tanah.

2. Operasi produksi adalah aktivitas pertambangan yang dilaksanakan pada kawasan yang telah mengalami eksploitasi sumberdaya alam di sekitar pemukiman masyarakat penerima dampak.

3. Perubahan struktur agraria adalah perubahan penggunaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah sebagai akibat dari aktivitas pertambangan serta perubahan pemanfaatan lahan milik masyarakat lokal di sekitar lingkar tambang.

4. Perubahan bentang alam, pelibatan masyarakat, serta peluang usaha atau kerja sebagai langkah yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai upaya mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan.

5. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu kondisi dimana masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka baik secara obyektif (yang dapat terlihat) hingga secara subyektif (perasaan).

Definisi Operasional

Berikut ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang dianalisis :

1. Perubahan struktur agraria adalah kondisi yang dialami oleh suatu komunitas atau masyarakat terhadap pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan terhadap sumberdaya agraria. Jumlah pertanyaan terdiri dari 5 pertanyaan tertutup yang diukur dengan skala ordinal, sebagai keterangan