• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. ANALISIS WISATA ALAM BERKELANJUTAN

7.1. Kendala dalam Pengelolaan TWA Gunung Meja sebagai Objek

Ada beberapa permasalah yang terjadi terkait dengan pengelolaan terhadap TWA Gunung Meja sehingga kawasan tersebut belum berkembang sebagai objek wisata di Kota Manokwari yang menarik untuk dikunjungi, antara lain adanya interaksi masyarakat di dalam kawasan yang mengancam keberadaan TWA Gunung Meja, adanya kegiatan pembuangan sampah dalam kawasan oleh masyarakat kota bahkan oleh aparat dari Dinas Kebersihan, tidak tesedianya fasilitas umum dan penunjang dalam kawasan serta kurang adanya pemeliharaan terhadap situs bersejarah, jalan dalam kawasan serta Pusat Informasi.

7.1.1. Interaksi Masyarakat dalam kawasan

Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi di dalam dan di sekitar TWA Gunung Meja yang mengancam keberadaan kawasan ini, antara lain perladangan/kebun masyarakat, pengambilan kayu bakar, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, pengambilan tanah (top soil) dan pengambilan batu-batu karang.

1. Perladangan atau Kebun Masyarakat

Perladangan atau kebun masyarakat yang terdapat di sekitar dan di dalam kawasan terdiri dari ladang/kebun yang letaknya jauh dari pemukiman dan kebun pekarangan. Ladang/kebun yang letaknya jauh dari pemukiman pada umumnya diusahakan oleh peladang urban yang tinggal di luar kawasan dan daerah penyangga, yaitu masyarakat Anggori, dan Susweni. Lahan yang digunakan adalah tanah yang dipakai dengan sistem sewa kepada pemilik hak ulayat dan merupakan hak guna yang diberikan karena hubungan kekeluargaan. Pola perladangan ini adalah dengan sistem ladang berpindah. Sedangkan perladangan lainnya adalah kebun pekarangan, yaitu lahan pekarangan rumah masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan yang ditanami dengan jenis tanaman semusim dan jenis tanaman buah-buahan, terutama masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan (berbatasan langsung dengan batas kawasan).

116

Pola pembukaan lahan atau kebun masyarakat secara umum mempunyai beberapa tahapan, sebagai berikut :

• Pembersihan lantai hutan, yaitu menebas semak belukar, menebang pohon-pohon tingkat pancang dan tiang.

• Menebang pohon-pohon besar yang ada di dalam hutan, kemudian lahan tersebut dibiarkan beberapa waktu tertentu agar bekas ranting pohon dan semak belukar menjadi kering. Ranting pohon dan semak belukar yang ada dikumpulkan pada suatu tempat.

• Pembakaran dilakukan setelah ranting-ranting pohon dan semak belukar yang ada sudah kering dan kemudian hasil pembakaran abu dibiarkan agar terdekomposisi dengan tanah yang ada.

• Setelah itu dilakukan penanaman sesuai jenis tanaman yang akan diusahakan.

• Setelah tanaman dipanen, maka mereka akan berpindah ke lokasi lahan yang baru sekitar pinggiran pal batas kawasan atau masuk ke dalam kawasan TWA Gunung Meja.

Kebun pekarangan pada umumnya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran dan dalam kawasan, terutama pada wilayah pemukiman masyarakat sekitar Kampung Ayambori, Brawijaya, Kampung Ambon Atas, Manggoapi dan Fanindi. Lahan pekarangan setelah ditanami, maka penanaman berikutnya akan terus meluas masuk ke dalam kawasan.

Berdasarkan hasil laporan Potret Gunung Meja (2004), ada 33 KK yang teridentifikasi membuka kebun/pekarangan di dalam kawasan TWA Gunung meja dengan jenis tanaman pertanian yaitu sayur-sayuran dan ubi-ubian, 10 KK yang menanam jenis tanaman holtikultura seperti kakao, kopi, kelapa dan cengkeh sedangkan untuk buah-buahan adalah langsat, durian, rambutan, mangga, alpokat, nangka dan pisang teridentifikasi sebanyak 30 KK. Adapun jumlah produksi untuk hasil pertanian adalah sebanyak 0,813 ton/KK/tahun dengan harga pasar diasumsikan seragam untuk hasil pertanian yaitu Rp. 5.000,- /kg atau Rp. 5.000.000,-/ton. Untuk hasil kebun masyarakat adalah sebanyak 0,46 ton/KK/tahun dengan harga pasar diasumsikan seragam untuk seluruh hasil kebun yaitu Rp. 8.000,-/kg

117 atau Rp. 8.000.000,-/ton. Untuk hasil buahan dalam kebun masyarakat, jumlah produksinya adalah sebanyak 0,55 ton/KK/tahun dengan harga pasar diasumsikan seragam yaitu Rp. 5.000,-/kg atau Rp. 5.000.000,-/ton.

2. Pengambilan Kayu untuk Kayu bakar, Kayu Bangunan dan non bangunan

Kawasan TWA Gunung Meja selain dimanfaatkan sebagai lahan perladangan atau kebun, kawasan ini juga merupakan sumber bahan baku kau terutama untuk kayu bakar rumah tangga dan dijual serta untuk keperluan pagar kebun. Kayu yang biasanya diambil oleh masyarakat adalah kayu-kayu besar yang sudah kering, terutama jenis pohon jati, Eucalyptus dan matoa. Cara pengambilan kayu adalah sebagai berikut :

• Pembakaran pangkal pohon-pohon besar yang ada dalam kawasan hutan, petak tanaman atau di sepanjang ruas jalan yang ada di dalam dan sekitar kawasan.

• Pohon tersebut dibiarkan sampai kering untuk jangka waktu tertentu, jika penyinaran baik (panas matahari terus-menerus) pohon ini akan kering antara 2-3 minggu.

Penebangan dilakukan menggunakan kapak atau chain-saw, kemudian kayu dibelah menjadi beberapa bagian kecil dan atau juga dipotong-potong pendek dalam bentuk log yang ditumpuk di pinggir jalan.

• Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda empat pada malam hari atau saat menjelang malam di bawa ke rumah masyarakat atau langsung kepada pembeli. Selain itu, pengambilan pohon yang berdiameter 10 cm untuk pembuatan pagar kebun, penyokong tanaman sayur-sayuran di kebun, kayu bakar dan pembuatan kerangka bangunan pondok atau gubuk.

Berdasarkan hasil laporan dari Potret TWA Gunung Meja 2004, pada umumnya pengambilan kayu digunakan untuk kayu bakar, kayu bangunan dan non bangunan. Untuk kayu bakar, jumlah yang diambil dari TWA Gunung Meja adalah kurang lebih 223 m3 per tahun dengan harga pasar adalah Rp. 30.000,- per m3 dan teridentifikasi sebanyak 27 KK yang memanfaatkan hasil hutan sebagai kayu bakar. Untuk kayu bangunan,

118

jumlah yang diambil dari TWA Gunung Meja adalah kurang lebih 13 m3 per tahun dengan harga pasar adalah Rp. 500.000,- per m3 dan teridentifikasi sebanyak 23 KK yang memanfaatkan hasil hutan sebagai kayu bangunan. Sedangkan untuk kayu non bangunan, jumlah yang diambil dari TWA Gunung Meja adalah kurang lebih 33 m3 per tahun dengan harga pasar adalah Rp. 200.000,- per m3 dan teridentifikasi sebanyak 11 KK yang memanfaatkan hasil hutan sebagai kayu non bangunan.

3. Pengambilan Top Soil dan Batu Karang

Pengambilan top soil dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk digunakan sebagai media tanaman hias dan tanaman pekarangan.Pengambilan tanah top soil dilakukan pada wilayah barat kawasan (Pal Batas TWA Nomor 13-25) dekat Perumahan Dosen dan Asrama Mahasiswa UNIPA dan juga sepanjang jalan Anggori-Aipiri. Tanah yang diambil menggunakan karung-karung plastik dengan berat tanah sekali pengambilan adalah 5-6 karung atau lebih kurang 150-200 Kg. Sedangkan pengambilan batu karang dalam kawasan dilakukan di sepanjang jalan yang membelah kawasan dari arah barat (asrama Mahasiswa UNIPA) sampai kea rah timur (dekat Tugu Jepang) dengan jumlah satu tumpukan kurang lebih 3 M³. Batu-batu tersebut ditumpuk sepanjang sisi kiri-kanan jalan dan kemudian akan diangkut oleh pengumpul batu liar menggunakan kendaraan roda empat ke rumah atau dijual.

Pengambilan top soil di TWA Gunung Meja diperkirakan mencapai kurang lebih 120 karung/tahun dengan harga pasar Rp. 50.000,-/karung yang dimanfaatkan oleh 15 KK, sementara pengambilan batu karang kurang

lebih sebanyak 100 tumpukan dengan harga pasar adalah Rp. 100.000,-/tumpukan yang dimanfaatkan oleh 5 KK .

Berdasarkan perhitungan manfaat ekonomi dari interaksi atau pemanfaatan hasil alam di TWA Gunung Meja berupa hasil kebun, hasil hutan seperti kayu bakar, kayu bangunan dan non bangunan serta pemanfaatan top soil dan batu karang, maka total manfaatnya secara lengkap disajikan pada tabel berikut.

119 Tabel 27. Manfaat Ekonomi dari Pemanfaatan Hasil Alam di TWA Gunung

Meja

Hasil Interaksi KK/Tahun Produksi/ Harga/ satuan Jumlah KK Pemanfaat Penerimaan Total 1. Perladangan/Kebun Masyarakat • Pertanian : Tanaman Sayuran dan Ubi-ubian. • Tanaman Holtikultura : Kakao, Kopi, Kelapa dan Cengkeh. • Buah-buahan : Langsat, Durian, Rambutan, mangga, Alpokat, Nangka dan Pisang 0,813 ton 0,46 ton 0,55 ton Rp. 5.000.000,- Rp. 8.000.000,- Rp. 5.000.000,- 33 10 30 Rp. 30.195.000,- Rp. 36.800.000,- Rp. 82.500.000,- 2. Pengambilan Kayu • Kayu Bakar • Kayu Bangunan • Kayu Non Bangunan 223 m3 13 m3 33 m3 Rp. 30.000,- Rp. 500.000,- Rp. 200.000,- 27 23 11 Rp. 180.630.000,- Rp. 149.500.000,- Rp. 72.600.000,- 3. Top Soil dan Batu

Karang • Top Soil

• Batu Karang 120 karung 100 Tumpukan

Rp. 50.000,-

Rp. 100.000,- 15 5 Rp. 90.000.000,- Rp. 50.000.000,-

Total Rp. 692.225.000,-

Sumber : Potret TWA Gunung Meja (2004)

Berdasarkan tabel 26 terlihat bahwa total pemanfaatan hasil alam TWA Gunung Meja dari hasil kebun/ladang oleh masyarakat berupa pertanian, tanaman holtikultura dan buah-buahan, pengambilan kayu berupa kayu bakar, kayu bangunan dan non bangunan, serta pengambilan top soil dan batu karang sebesar Rp. 692.225.000,- per tahun.

Pemanfaatan hasil alam di TWA Gunung Meja tersebut merupakan suatu pelanggaran mengingat Gunung Meja merupakan kawasan lindung, sehingga kegiatan pemanfaatan dalam kawasan dianggap suatu kegiatan ilegal. Pemanfaatan hasil alam oleh masyarakat masih terus berlangsung di dalam kawasan karena tekanan ekonomi, karena tidak ada alternatif kegiatan ekonomi lainnya dimana kegiatan wisata di TWA Gunung Meja saat ini belum mampu

120

menjadi alternatif ekonomi bagi masyarakat. Selain itu, masalah kearifan lokal masyarakat yang menganggap Gunung Meja sebagai “Ayamfos” atau “Dapur hidup” sehingga tingkat ketergantungan mereka terhadap hasil alam yang masih tinggi, meskipun pada tahun 2004 pemerintah sudah membayar kompensasi kepada masyarakat terhadap hak ulayat mereka di Gunung Meja. Persoalan lain adalah tidak adanya blok atau zonasi khusus untuk pemanfaatan tradisional yang seharusnya diperhatikan pemerintah dalam pembagian blok atau zonasi dalam kawasan konservasi. Berdasarkan pedoman pengembangan wisata alam di kawasan Taman Wisata Alam (Wahyuningsih, 2001) seharusnya dalam pembagian blok atau zonasi dalam kawasan Taman Wisata Alam untuk kegiatan wisata alam, selain zona pemanfaatan untuk kegiatan wisata dan zona perlindungan, juga harus ada zona pemanfaatan tradisional yaitu kawasan yang bisa digunakan oleh masyarakat lokal yang sudah bermukim sebelum kawasan tersebut dijadikan kawasan konservasi.

7.1.2. Pembuangan Sampah dalam Kawasan

Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja saat ini menjadi tempat pembuangan sampah liar. Ada beberapa kantong-kantong plastik besar berisi sampah menumpuk di beberapa titik jalan aspal di kawasan TWA Gunung Meja dari daerah Sarinah hingga ke Kampung Ayambori di Distrik Manokwari Barat. Tumpukan sampah juga terdapat di kawasan hutan TWA Gunung Meja, yaitu di sepajang jalan setapak dari pintu masuk Sarinah menuju daerah Amban.

Pembuangan sampah yang biasanya dilakukan pada malam hari bukan hanya dilakukan oleh warga Kota Manokwari tetapi juga oleh petugas kebersihan di Manokwari. Hal ini diketahui karena beberapa waktu lalu warga Kampung Ayambori menemukan truk sampah milik Dinas Pekerjaan Umum Manokwari akan membuang sampah ke hutan Gunung Meja.

Menurut Polisi Kehutanan sekaligus Kepala Resort Manokwari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari Papua Barat, perilaku membuang sampah di TWA Gunung Meja sudah berlangsung lama. Namun sejauh ini upaya pencegahan hanya terbatas imbauan, belum ada tindakan tegas sehingga pembuangan sampah ke dalam kawasan sampai saat ini masih tetap

121 dilakukan. Hal ini tentunya akan mengurangi daya tarik dan estetika TWA Gunung Meja sebagai objek wisata alam.

7.1.3. Keterbatasan Fasilitas Umum dan Penunjang dalam Kawasan

Fasilitas umum dan penunjang dalam kawasan wisata merupakan salah satu faktor pendukung dalam berkembangnya suatu objek wisata. Salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya jumlah pengunjung ke TWA Gunung Meja dibandingkan dengan objek wisata lain seperti Pasir Putih dan Pantai Bakaro adalah tidak tersedianya fasilitas umum dalam kawasan. Berdasarkan hasil survei terhadap wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut, fasilitas umum yang tidak tersedia dalam kawasan namun sangat dibutuhkan oleh wisatawan adalah fasilitas MCK, tempat parkir, tempat pembuangan sampah, tempat istirahat, pusat informasi dan tempat penjualan makanan.

Selain tidak tersedianya fasilitas umum dan penunjang untuk kegiatan ekowisata di kawasan TWA Gunung Meja, ada beberapa fasilitas yang sudah tersedia namun tidak dijaga dan dipelihara keberadaannya. Tugu Jepang sebagai objek wisata dan situs bersejarah yang merupakan salah satu daya tarik kegiatan wisata di kawasan ini, saat ini dalam keadaan memprihatinkan karena tidak dirawan dengan alasan kekurangan anggaran oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan anggaran untuk pemeliharaan dan pengembangan wisata di Manokwari sebagian besar dialokasikan untuk objek wisata Pasir Putih. Selain itu, jalan setapak dalam kawasan, yaitu jalan yang menghubungi pintu masuk dari daerah Sarinah menuju situs bersejarah Tugu Jepang dalam keadaan sangat parah. Hal ini menyebabkan beberapa masyarakat yang berniat mengunjungi Tugu Jepang melalui daerah Sarinah harus melalui daerah Amban yang jaraknya jauh dari situs bersejarah, bahkan ada beberapa yang akhirnya mengurungkan niat untuk mengunjungi situs bersejarah Tugu Jepang.

Tidak adanya petugas yang berjaga dan memberikan informasi bagi pengunjung di pintu masuk, merupakan salah satu kendala bagi wisatawan terutama bagi wisatawan asing atau wisatawan dari luar Manokwari serta wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi kawasan tersebut untuk melakukan perjalanan wisata dalam kawasan. Bahkan pusat informasi yang terletak disamping pintu masuk kawasan saat ini dalam keadaan rusak karena

122

tidak dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan tidak adanya perhatian dari pemerintah untuk melakukan fungsinya sebagai pihak yang harus menjaga kawasan dan memberikan pelayanan terhadap para pengunjung.