• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis ternak yang telah dikembangkan di Kabupaten Cianjur yaitu sapi potong, sapi perah kerbau, domba dan lainnya, disajikan pada Tabel 19. Jumlah

populasi ternak cenderung yang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun

waktu lima tahun terakhir secara nasional populasi sapi potong mengalami peningkatan dari 10,532.889 ekor pada tahun 2006 menjadi 11,869.000 ekor

pada tahun 2010. Hal serupa juga terjadi pada tingkat provinsi Jawa Barat dengan populasi sapi potong mengalami peningkatan dari 236.948 ekor pada tahun 2006 menjadi 327.750 ekor di tahun 2010.

Tabel 19 Jumlah populasi ternak berdasarkan komoditas (2006-2010)

Jenis Usaha Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 Sapi Potong 22.272 23.721 24.415 27.040 27,263 Sapi Perah 1.867 1.905 2.249 2.864 3,652 Kerbau 13.807 14.107 13.824 12.816 10,286 Domba 258.603 264.530 236.914 277.308 354,459 Kambing 86.262 87.690 89.221 96.113 101,345

Ayam Ras Petelur 1.076.250 1.108.537 1.140.718 1.180.831 1,238,997

Ayam Ras Pedaging 2.855.567 2.941.234 3.014.764 3.112.437 5,565,825

Sumber : Dinas Peternakan Cianjur 2010

Gambar 22 Grafik jumlah populasi sapi potong nasional pada tahun 2006 - 2010. Sumber: Diolah dari Statistik Dinas Peternakan 2010

Tabel 20 Jumlah populasi sapi potong di wilayah Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat dan nasional pada tahun 2006– 2010

No Wilayah Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

1 Cianjur 22.272 23.721 24.415 27.040 27.263

2 Jabar 234.948 254.243 272.264 295.554 327.750

3 Nasional 10.569.312 10.875.125 11.514.871 11.719.000 11.869.000

Demikian juga di Kabupaten Cianjur, populasi sapi potong dari 22.272 ekor pada tahun 2006 meningkat menjadi 27.263 ekor pada tahun 2010 meskipun dengan laju yang rendah, disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 22 dan Gambar 23 (Statistik Peternakan 2010; Dinas Peternakan Cianjur 2010).

Gambar 23 Grafik jumlah populasi sapi potong di wilayah Kabupaten Cianjur dan provinsi Jawa Barat, 2006 - 2010.

Sumber: Diolah dari Statistik Peternakan 2010 dan Disperta Cianjur 2010

Sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh petani dalam beternak lebih dari 60% bersifat tradisional. Ternak dilepas pada siang hari, dan sore harinya dimasukkan ke kandang. Akibatnya produktivitas ternak rendah, kotoran sapi tercecer dimana-mana dan mengganggu kebersihan dan keindahan lingkungan dan tidak dapat diolah menjadi pupuk organik. Oleh karena itu perlu diubah menjadi cara pemeliharaan yang dikandangkan (semi intensif atau bahkan secara intensif).

Jenis pakan ternak sapi potong yang dipelihara adalah rumput alam(lebih dari 80%) dan sisanya 20% yang disabitkan. Keadaan ini menjadi kendala yang serius untuk pengembangan sapi di kabupaten Cianjur jika hanya mengandalkan pakan dari rumput alam. Menurut Dinas Peternakan Cianjur (2009), potensi hijauan pakan ternak yang berasal dari limbah pertanian sangat tinggi. Potensi pakan ternak tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 21, dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak sapi untuk pengembangan populasi sapi potong sebanyak 90.897 ekor sapi potong. Jumlah pakan 542.653 ton/tahun diperoleh dari

perhitungan setiap hektar lahan sawah rata-rata akan menghasilkan jerami 6 -10

ton/ha/musim tanam, sedangkan perkebunan sawit yang sudah berproduksi akan

menghasilkan limbah berupa daun, pelepah, tandan kosong, serat perasan, dan

bungkil sebanyak 73,9 Kg/Ha/Hari dan kebun yang belum berproduksi hanya

menghasilkan limbah sebanyak 54,12 Kg/Ha/Hari (Dwiyanto et. al. 2003).

Tabel 21 Potensi pakan ternak yang berasal dari sawah

No Sumber Pakan Luas Areal (Hektar) Volume Pakan

(ton/tahun)

1 Sawah 63.229 505.832

2 Pekebunan 1.420 36.821

Jumlah 542.653

Sumber : Diolah dari dinas Peternakan Cianjur, 2009

Pemanfaatan sumber pakan akan sangat mendukung terlaksananya penerapan berbagai teknologi seperti inseminasi buatan (IB), vaksinasi, dan pengobatan ternak. karena salah satu yang menjadi kendala dalam penerapan teknologi SIPT adalah ternak tidak dikandangkan, akibatnya petugas dari kesehatan hewan mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan dan program kegiatan peningkatan produktifitas ternak. Sebagian besar petani (lebih dari 50 persen) masih menggunakan sistem kawin alam, padahal jika menerapkan teknologi IB seekor sapi potong secara teoritis dapat beranak setiap tahun.

Pengelolaan kesehatan temak ditujukan untuk mengendalikan penyakit dan pengobatan ternak secara umum. Jenis penyakit yang biasa terjadi yaitu cacing dan tympani, namun sudah bisa diatasi sendiri oleh petani atau memanggil petugas kesehatan hewan. Pada awal pemeliharaan biasanya sapi diberi obat cacing, vitamin dan menjaga kebersihan lingkungan untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kesehatan ternak. Kemauan petani untuk melakukan vaksinasi ternak secara rutin masih terlihat rendah yaitu kurang dari 50% dan pemberian obat cacing secara rutin setiap 6 bulan sekali hanya sekitar 16%.

Pencegahan kemungkinan timbulnya infeksi penyakit yang bersifat ektoparasit maupun endoparasit belum dilakukan secara maksimal. Masih dijumpai kondisi tumpukan sisa pakan bercampur dengan kotoran terletak

dipinggir-pinggir kandang, sehingga lingkungan kandang menjadi kotor dan akan menimbulkan berbagai macam penyakit ternak. Kondisi ini menunjukkan perlunya prioritas pengelolaan limbah ternak, pengelolaan pakan, dan penanganan kesehatan ternak

Hasil sampingan yang dapat diperoleh dari kegiatan usaha budidaya sapi potong adalah kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk orgnik. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa kotoran ternak memiliki unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dan dapat menurunkan keasaman tanah serta dapat memperbaiki struktur tanah yang rusak akibat pemakaian pupuk anorganik. Namun pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk organik masih sedikit yang dilakukan oleh petani. Hal ini dikarenakan sistem pemeliharaan ternak yang dilepas, sehingga kotoran ternak tersebut tidak bisa dikumpulkan. Dari hasil wawancara di lapangan, petani dapat menghemat pemakaian pupuk anorganik sampai dengan 40% jika memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik dalam kegiatan usaha pertaniannya. Dari sisi ekonomi, akan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani.

Keragaan produksi menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan harian sapi (PBBH) yang dikelola secara terintegrasi sebesar (0,79 kg/ekor/hari, sedang ternak sapi potong yang dikelola secara parsial 0,32 kg/ekor/hari, disajikan di Tabel 22

Tabel 22 Keragaan produksi padi - sapi potong

Uraian Integrasi Parsial

PBBH (kg/ekor/hari) 0,79 0,32

Konsumsi pakan (kg) 3,52 -

Produksi pukan (kg/ekor/hari) 4 ?

Produksi padi (t/ha) 5,36 4,86

Data primer, diolah

Keterangan: ? = data tidak bisa diamati, pemeliharaan dilepas .

Angka pertumbuhan ini dicapai selama periode pemeliharaan penggemukan sapi potong. PBBH yang dihasilkan dari sapi yang dikelola secara terintegrasi lebih tinggi sekitar 247% dari pola pemeliharaan petani secara parsial. Kegiatan

penggemukan sapi ini bukan semata-mata untuk pencapaian nilai PBBH yang tinggi, tetapi bagaimana sapi potong ini dapat memanfaatkan limbah jerami padi yang belum optimal dimanfaatkan, sehingga pada gilirannya akan menekan biaya produksi dan ramah lingkungan.

Pemeliharaan sapi potong dengan sistem seperti ini mendapat respon yang cukup baik dari petani. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah dana maupun jumlah petani yang ikut serta dalam kegiatan tersebut pada Tabel 23. Dampak dari penelitian ini adalah petani yang semula hanya memperoleh hasil dari padi berupa gabah dan padi, berkembang menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, selain itu diharapkan pula suatu saat menjadi pembuka lapangan kerja baru, dan membuka peluang tumbuhnya simpul-simpul agribisnis baru yang simultan dan berkesinambungan. Perkembangan ini mempunyai prospek yang cerah apalagi didukung dengan potensi alam, limbah pertanian melimpah dan permintaan konsumen akan daging yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Tabel 23 Perkembangan jumlah dana dan kepemilikan saham Periode

Pemeliharaan

Jumlah Sapi (ekor)

Jumlah Pemegang Saham (orang)

I 15 45

II 20 60