• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian sistem usaha pertanian terpadu yang dijabarkan dalam bentuk SIPT dengan berbagai pola dan bentuk dirintis oleh Badan Litbang Pertanian sejak tahun 1980 melalui berbagai proyek dan program, antara lain: (1) Penelitian

Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, (2) Crop Livestock System Research, (3)

SUT Sapi dan Padi, (4) Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa, (5) Proyek Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu, (6) Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan, (7) P4MI, serta (8) Sistem Integrasi Kelapa Sawit dan Sapi di Daerah Perkebunan (Kusnadi 2008).

Menurut kementerian Pertanian (2005), secara garis besar integrasi terkait dengan sistem produksi ternak dibagi menjadi dua sistem yaitu: 1. sistem produksi

berbasis ternak (solely livestock production system) yaitu sekitar 90% bahan

pakan dihasilkan dari on-farm-nya, sedangkan penghasilan kegiatan non

peternakan kurang dari 10%; dan 2. sistem campuran (mix farming system) yaitu

ternak memanfaatkan pakan dari hasil sisa tanaman. Dengan integrasi tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak

dapat saja menjadi unggulan atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix

farming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya. Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak dengan tujuan daur ulang optimal dari

sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture Sistem).

Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain karena didukung oleh input eksternal (High External Input Agriculture Sistem).

Pengelolaan tanaman terpadu adalah strategi yang memperhitungkan keterkaitan atau keterpaduan antara tanaman di satu pihak dengan sumberdaya yang ada di pihak lain, diharapkan dapat meningkatkan hasil padinya. Teknik- teknik produksi yang diterapkan mempertimbangkan sinergisme yang diharapkan mampu memberikan hasil yang tinggi (Kartaatmadja dan Fagi, 2000).

Sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun

dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas (Handaka et al. 2009).

Kegiatan integrasi akan meningkatkan produktivitas baik produktivitas tanaman padi, jagung maupun ternak. Hasil sinergisme tanaman padi-jagung dengan sapi, menurut Kartono.(2002) akan memberikan tambahan pendapatan yang diperoleh dari peningkatan produktivitas pada masing-masing komoditas.

Tanpa integrasi : Produktivitas tanaman pangan : x

Produktivitas ternak sapi : y

Dengan integrasi : Produktivitas tanaman pangan : x + a

Produktivitas ternak sapi : y + b

Hasil sinergisme tanaman dan ternak berupa : a + b (additional out put).

Pada prinsipnya konsep CLS menurut Prasetyo et al. (2002), meningkatkan

efisiensi usaha dengan memanfaatkan input produksi dari dalam (internal input).

Melalui usahatani ternak, input produksi yang berasal dari luar dapat dikurangi (low external input). Usahatani padi dan sapi yang dikelola secara terpadu mampu memberikan keuntungan sekitar 15,86 persen lebih tinggi dari usahatani padi dan sapi yang dikelola secara parsial. Fenomena ini mampu memberikan tambahan keuntungan berturut-turut 29,19 persen dan 27,72 persen. Keunggulan usahatani padi dan sapi yang dikelola secara terrpadu terlihat juga dari efektivitas penggunaan input atau biaya produksi, yang ditunjukkan oleh nilai BCR lebih tinggi pada semua lokasi kajian.

Aspek peningkatan produksi dan pendapatan petani, hasil kajian empiris Kariyasa dan Pasandaran (2004) menunjukkan bahwa usahatani padi yang dikelola tanpa diintegrasikan dengan sapi mampu berproduksi sekitar 4,4 - 5,7 ton/ha, sementara pengelolaan usahatani padi yang diintegrasikan dengan sapi mampu berproduksi sekitar 4,7 - 6,2 ton/ha. Artinya usahatani padi yang pengelolaannya diintegrasikan dengan ternak atau yang menggunakan pupuk kandang mampu berproduksi sekitar 6,9 - 8,8 persen lebih tinggi dibanding usahatani padi yang dikelola secara parsial tanpa menggunakan pupuk kandang.

Menurut Pamungkas dan Hartati (2004), sistem integrasi ternak merupakan salah satu upaya untuk mencapai optimalisasi produksi pertanian. Upaya ini telah banyak dilakukan yang secara signifikan mampu memberikan nilai tambah baik pada hasil usahatani maupun terhadap produktivitas ternak. Usaha ternak sapi terpadu dapat menekan biaya produksi, terutama terhadap penyediaan hijauan pakan, sebagai sumber tenaga kerja serta dapat memberikan kontribusi dalam penghematan pembelian pupuk.

Di Indonesia, ternak sapi dapat diintegrasikan dengan berbagai komoditi tanaman, seperi tanaman pangan (padi, jagung) serta tanaman perkebunan (kelapa

sawit). Disamping itu ternak sapi sangat baik beradaptasi dengan pola iklim dan ketinggian tempat, sehingga dapat dipelihara pada lahan sawah, lahan kering semusim dan lahan kering tahunan dari dataran rendah sampai pegunungan. Kesesuaian lahan untuk pertanian yang berpotensi untuk usahatani sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kesesuaian lahan untuk pertanian di Indonesia.

Wilayah Lahan Sawah Lahan Kering (Tan. Semusim) Lahan Kering

(Tan. Tahunan) Jumlah

………. juta hektar …...…… Sumatera 6,05 6,06 16,84 28,89 Jawa 4,59 1,13 4,47 10,18 Bali dan NTT, NTB 0,48 1,15 1,54 3,17 Kalimantan 3,01 10,77 14,73 28,51 Sulawesi 2,38 1,87 4,80 9,06

Maluku dan Papua 8,04 4,40 8,52 20,96

Indonesia 24,56 25,32 50,89 100,77

Sumber: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, (2009).

Diversifikasi usahatani telah tumbuh dan berkembang di perdesaan, salah satunya bertujuan untuk mengantisipasi resiko usaha dari kegagalan usahatani sejenis. Namun pola integrasi belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil, karena umumnya pola usaha yang dilakukan adalah subsisten. Padahal kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah penguasaan dan pemanfaatan teknologi pertanian (Handaka et al. 2009).

Keuntungan sistem integrasi tanaman – ternak menurut Diwyanto et al.

(2004) adalah: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya, (2) mengurangi resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi, (6) ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi, dan (8) pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman–ternak memadukan sistem usahatani tanaman dengan sistem usahatani ternak secara sinergis sehingga terbentuk suatu sistem yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Menurut Chaniago (2009),

tujuan integrasi tanaman dengan ternak adalah untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman.

Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan ternak dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung dan limbah kacang-kacangan. Pada musim kemarau, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3 persen dari total rumput yang dibutuhkan (Kariyasa 2003). Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatan "ketahanan pakan", juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak.

Model integrasi usahatani dan usaha ternak memberi peluang pada pengembangan peternakan dalam suatu kawasan. Pemanfaatan sumberdaya dengan cara ini akan optimal dan memberi nilai tambah pada produk yang dihasilkan petani. Selain itu, pola-pola semacam ini sangat fleksibel terhadap perubahan harga berbagai komoditi pertanian, baik pada tingkat lokal ataupun global. Menurut Ilham (1998) pendekatan sistem integrasi usahatani melalui pengembangan pola usahatani yang berwawasan lingkungan ditujukan untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil, juga untuk peningkatan pendapatan petani dan menjaga kelestarian sumberdaya alam (Gambar 3).

Gambar 3 Model integrasi usahatani tanaman dan ternak

ON-FARM PEMASARAN HASIL PADI USAHATANI TANAMAN SAPROTAN SAPRONAK PAKAN TERNAK KOMPOS PUPUK ORGANIK BIOGAS PEMASARAN HASIL TERNAK USAHA TERNAK

Pengalokasian sumberdaya yang efisien, pemanfaatan keunggulan komparatif dan pola tanam akan menghasilkan hubungan yang sinergistik antara cabang usahatani. Disamping itu, pola sistem usahatani terintegrasi ini mempunyai beberapa keuntungan baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Aspek lingkungan yaitu adanya upaya dalam hal pemanfaatan limbah, efisiensi lahan dan minimalisasi limbah