• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu kunci keberhasilan sistem integrasi usahatani tanaman dan ternak adalah teknologi pengolahan dan pemanfaatan pupuk organik (kompos) untuk meningkatkan kesuburan lahan. Permasalahan utama dari pukan bila dimanfaatkan sebagai sumber hara pada tanaman adalah rendahnya kandungan hara dan masih tingginya nilai C/N. Untuk mempercepat dekomposisi pukan dapat diberikan kapur dan probiotik. Pemberian probiotik (kumpulan mikroba pengurai) diharapkan mampu mempercepat proses pematangan pupuk organik.

Menurut Anwar (2003), pupuk organik yang ideal serta siap untuk digunakan memiliki nilai C/N ratio sama dengan atau kurang dari 25, berwarna

coklat dan bersifat gembur dengan kelembaban berkisar 50−55% . Bila

kelembaban kurang dari 50% maka fermentasi berjalan lebih lama. Hasil analisis

unsur hara pukan menunjukkan bahwa fermentasi dapat memperbaiki kualitas

pupuk. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya C/N kotoran sapi antara sebelum

dan setelah fermentasi dari 33,67 menjadi 19,03. Hasil analisis Pukan sebelum

dan setelah fermentasi pada Tabel 25. Tabel 25 Komposisi unsur hara pukan sapi

Jenis Kandungan hara (%)

pH C Organik N Total C/N Rasio Al Fosfat P 2O Kalium K 5 2O Pukan 7,29 36,70 1,09 33,67 1,63 1,19 0,08 Pukan fermentasi 7,44 20,93 0,98 19,03 1,68 1,51 1,72

Dalam penelitian dicobakan pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari pukan sapi dengan dosis 2 ton/ha yang dikombinasikan dengan benih unggul dan pupuk anorganik setengah dari dosis yang direkomendasikan. Pemanfaatan pupuk organik 2 ton/ha menghasilkan 5,36 ton/ha gabah kering panen, meningkat 10,29% dan secara ekonomis mengurangi penggunaan pupuk anorganik mencapai 57,14% (Tabel 26).

Pukan sapi dapat menjadi alternatif pengganti pupuk anorganik dan belum dioptimalkan manfaatnya untuk lahan pertanian. Penggunaan pupuk anorganik di

tingkat petani kurang efisien karena tidak diikuti peningkatan hasil. Kecenderungan petani untuk menambah pupuk urea mencapai 400 kg/ha guna mengatasi pelandaian produksi, merupakan tindakan inefisiensi. Secara ekonomis mengurangi penggunaan pemakaian urea mencapai 71.43%, TSP 50% dan KCl 50% per musim tanam. Hasil ini cenderung lebih tinggi dari yang dilaporkan BPTP Pertanian Jabar (2001) dimana pemupukan urea mampu meningkatkan efisiensi mencapai 30%-40 %.

Tabel 26 Pemanfaatan pupuk organik (1 ha padi/musim)

No Jenis Pupuk Volume (Kg) Efisiensi (%)

1 Urea tanpa pupuk organik 350

Urea dengan pupuk organik 100 71.43

Selisih 250

2 TSP tanpa pupuk organik 100

TSP dengan pupuk organik 50 50

Selisih 50

3 KCl tanpa pupuk organik 100

KCl dengan pupuk organik 50 50

Selisih 50

Rataan 57.14

Pemanfaatan pukan sebagai pupuk organik bukan merupakan hal baru dalam sistem usahatani, namun penggunaan pukan untuk menjaga kesuburan tanah di kalangan petani masih sangat terbatas. Kendala yang dihadapi oleh masyarakat pengguna pukan adalah masih terbatasnya persediaan pukan, proses pengomposan memakan waktu dan masih sedikitnya instalasi pengomposan baik milik pemerintah maupun masyarakat.

Beberapa manfaat penggunaan pukan (kompos) dalam jangka panjang mampu mempertahankan keanekaragaman dan kehidupan organisme tanah melalui peningkatan kandungan bahan organik tanah yang mudah terdekomposisi, dan pertukaran kation. Bahan organik merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme tanah (Wada, 1981 dalam Sutanto, 2002).

Potensi pukan di Kabupaten Cianjur sangat besar seiring dengan populasi sapi potong yang ada yaitu sekitar 27.263 ekor (Dinas Peternakan, 2010). Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa seekor sapi potong dewasa mampu

menghasilkan pupuk organik rata-rata 4 kg/ekor/hari sehingga bila diasumsikan

dapat menghasilkan pupuk organik sejumlah 315 ton/hari. Rataan produksi kompos 2,4 ton/5 ekor/4 bulan, bila diasumsikan harga jual Rp 400/kg, seperti harga di Kabupaten Cianjur maka akan diperoleh tambahan pendapatan Rp 960.000/musim. Kontribusi tambahan penerimaan dari kompos sebesar 10.02%, sedangkan pola kebiasaan petani tidak ada penerimaan dari pukan.

4.6. Pengolahan Jerami Padi untuk Pakan Ternak

Pengambilan jerami padi harus dilakukan karena cara pemanenannya secara serempa. Para petani melakukan pengolahan maupun penyimpanan jerami dengan dan tanpa pengolahan lebih dahulu. Pengolahan jerami padi banyak dilakukan dengan teknologi fermentasi, yaitu menggunakan biostarter yang telah tersedia di pasaran kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak, disajikan pada Tabel 25.

Hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata jerami padi yang dihasilkan sekitar 7,26 ton/ha, disajikan pada Tabel 27, sesuai penelitian Diwyanto (2002). Asumsi yang digunakan dimana setiap ekor sapi memerlukan pakan 5–6 kg/ekor/hari, maka satu kali panen cukup untuk memelihara minimal 2 ekor sapi sepanjang tahun. Umumnya petani menyimpan jerami padi untuk pakan sapi sekitar 3-4 ton dan sisanya dibakar. Berdasarkan hasil penelitian, sapi yang diberi pakan jerami fermentasi mampu meningkatkan bobot hidup sapi sebesar 0,79 kg/ekor/hari.

Tabel 27 Produksi jerami padi

Limbah Produksi/ha (ton)

Jerami padi (MT I) 7,08

Jerami padi (MT II) 7,44

Hasil analisis proksimat jerami sebelum dan setelah fermentasi (Tabel 28) menunjukkan bahwa fermentasi dapat meningkatkan protein sebesar 2,88% dari

4,01% menjadi 7,09%, serat kasar menurun 6,32%, dan peningkatan TDN 6,95%. Peningkatan protein dan penurunan kadar serat kasar sangat mendukung dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak, Umumnya yang menjadi factor pembatas dalam pemanfaatannya sebagai pakan ternak adalah rendahnya nilai nutrisi. Tabel 28 Kandungan nutrisi jerami padi dan jerami padi fermentasi

Bahan baku Bahan

kering (%)

Hasil analisis proksimat (%) BETN (%) TDN (%) PK LK SK Abu Jerami padi 87,58 4,21 10,61 24,76 19,05 40,78 41,68 Jerami fermentasi 89,18 7,09 15,0 18,44 21,31 35,69 48,63

Data primer, diolah

PK : protein kasar; LK : lemak kasar; SK : serat kasar

V HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelayakan Usahatani

Usahatani pola SIPT menggunakan input pupuk organik yang berasal dari pukan sapi dan sedikit pupuk kimia/pestisida, dan usahatani pola kebiasaan petani juga dilakukan sebagai pembanding . Dengan adanya perbedaan tindakan tersebut, dapat diduga adanya perbedaan produksi dan produktivitas.

5.1 Analisis Usahatani Penggemukan Sapi Potong

Hasil analisis finansial usahatani penggemukan sapi (Tabel 29) menunjukkan bahwa biaya input usahatani sapi yang dikelola secara terintegrasi sebesar Rp 113.439.600 lebih tinggi daripada secara parsial yaitu Rp 48.758.500. Pendapatan yang diperoleh dari sapi yang dikelola secara terintegrasi sebesar Rp 23.102.000 /20 ekor/musim atau Rp 1.155.100/ekor/musim.

Tabel 29 Analisis biaya dan pendapatan usaha pemeliharaan sapi potong

No Uraian Analisis Finansial

SIPT Parsial 1 Biaya (Rp) 113.439.600 48.758.500 2 Penerimaan (Rp) 136.541.600 49.149.000 3 Pendapatan (Rp) 23.102.000 390.500 4 R/C 1,20 1,01 5 MBCR 1,35 -

6 Keuntungan per ekor 1.155.100 39.050

7 PBBH (kg) 0,79 0,32

Ket : PBBH: pertambahan bobot badan harian

Kontribusi tambahan penerimaan pola SIPT terutama dari penjualan

kotoran yang sudah diproses menjadi pupuk organik sebesar 10,02%, sedangkan rendahnya pendapatan ternak pada pola parsial karena tidak ada tambahan dari penjualan pupuk organik. Hal ini menunjukkan bahwa dengan manajemen kandang kelompok produktivitas ternak sapi bisa ditingkatkan. Analisis finansial tersebut menggunakan asumsi harga bakalan/kg Rp 19.000,00 konsentrat Rp

1.500/kg, jerami padi Rp 125/kg, jerami fermentasi Rp 140/kg, fine compost Rp 400/kg, kandang Rp 20.000/ekor, dan tenaga kerja 1 HOK Rp 25.000.

Nilai R/C yang dihasilkan secara terintegrasi adalah 1.20 sedangkan secara parsial 1.01, artinya setiap pengeluaran biaya produksi Rp 1.000, memberikan penerimaan Rp 1.200 (terintegrasi) dan Rp 1.010 (parsial). Hal ini menunjukkan bahwa usaha sapi secara terintegrasi dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta secara finansial layak untuk dikembangkan dibandingkan secara parsial.

Nilai MBCR dari penerapan usahatani sapi yang dikelola secara terintegrasi 1.35 artinya setiap tambahan biaya dalam menerapkan SIPT sebesar Rp. 1.000 dapat meningkatkan penerimaan Rp 1.350

Tabel 30 menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari sapi yang dikelola secara terintegrasi (1 ha sawah + 2 ekor sapi) mencapai Rp 9.086.867/2 ekor/musim atau Rp 4.543.433 /ekor/musim. Penerimaan sebesar Rp 25.446.160

dan biaya mencapai Rp 16.359.293 dengan nilai R/C ratio 1,56. Selain tambahan

pendapatan, ketersediaan pupuk organik juga dapat lebih terjamin dan dibuat sendiri sehingga ketergantungan pupuk anorganik dapat dikurangi.

Tabel 30 Analisis integrasi usahatani padi-sapi

Uraian Usahatani

padi/ha (a)

Usahatani 2 sapi (b)

Usahatani padi + sapi (a + b)

Biaya (Rp) 5.145.333 11.213.960 16.359.293

Penerimaan (Rp) 11.792.000 13.654.160 25.446.160

Pendapatan (Rp) 6.646.667 2.440.200 9.086.867

R/C 1,56

Priyanti et al. (2001) mengatakan bahwa usahatani tanaman-ternak dengan

pengelolaan lahan 0,30-0,64 hektar dan sapi 2 ekor dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga Rp 852.170,00/bulan dengan kontribusi usaha peternakan terhadap total pendapatan rumah tangga mencapai 40%

5.2 Analisis Usahatani Padi Sawah

Hasil analisis finansial usahatani padi disajikan pada Tabel 31, biaya input padi yang dikelola secara terintegrasi sebesar Rp 5.145.333 sedikit lebih tinggi

daripada usahatani padi yang dikelola secara parsial oleh petani yaitu sebesar Rp 5.095.000 karena biaya penambahan pupuk organik. Besar pendapatan dipengaruhi oleh produksi dan penekanan pembelian pupuk anorganik (57,14%). Pendapatan padi yang dikelola secara terintegrasi lebih tinggi sekitar Rp 1.049.667 (18,75%) dari pada padi yang dikelola secara parsial. Bila ditinjau dari segi biaya untuk pembelian pukan diketahui bahwa penggunaan pukan sapi memerlukan biaya sebesar Rp. 430.000/ha, sedangkan pupuk kimia sebesar Rp. 1.130.000/ha atau menghemat 13.60% dari biaya produksi. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan pembelian pupuk kimia menjadi pupuk organik pada usaha padi pola SIPT sebesar 13.60%. Nilai R/C yang dihasilkan lebih tinggi pada padi yang dikelola secara terintegrasi adalah 2,29 dari pada padi yang dikelola secara parsial 2,10, artinya setiap pengeluaran biaya produksi yang dikeluarkan Rp 1.000, memberikan penerimaan Rp 2.290 dan Rp 2.100 secara parsial.

Tabel 31 Analisis finansial padi sawah selama 4 bulan (ha/musim tanam)

No Uraian Analisis Finansial

SIPT Parsial 1 Biaya (Rp) 5.145.333 5.095.000 2 Penerimaan (Rp) 11.792.000 10.692.000 3 Pendapatan (Rp) 6.646.667 5.597.000 4 R/C 2,29 2,10 5 MBCR 21,85

6 Produksi padi (ton/ha) 5,36 4,86

Nilai MBCR dari penerapan usahatani padi yang dikelola secara terintegrasi 21,85 artinya setiap tambahan biaya dalam menerapkan SIPT sebesar Rp. 1.000 dapat meningkatkan penerimaan Rp 21.850.

5.3. Pola Integrasi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sistem integrasi usahatani padi dan sapi dapat meningkatkan pendapatan dan nilai R/C seperti disajikan pada Tabel 32. Peningkatan pendapatan petani pola integrasi sebesar 60,08% dari Rp

17.181.500 (pola parsial) menjadi Rp 43.042.000 (pola integrasi). Nilai R/C meningkat dari 1.27 menjadi 1,33 (meningkat 5,18%).

Tabel 32 Analisis biaya dan pendapatan SIPT dibandingkan pola padi secara parsial (luas tanam padi 5 ha dan 20 ekor sapi/musim)

No Variabel SIPT Parsial

1 Biaya (Rp) 128.875.600 64.043.500

2 Penerimaan (Rp) 171.917.600 81.225.000

3 Pendapatan (Rp) 43.042.000 17.181.500

4 R/C 1,33 1,27

5 MBCR 1,40

Hasil penelitian Litbang Kementerian Pertanian republik Indonesia tahun 2002 pada beberapa provinsi menunjukkan bahwa produksi usahatani pola padi - ternak meningkat berkisar antara 0,20 - 0,55 ton per hektar. Pendapatan dari usahatani padi pada pola integrasi padi - ternak di Grobogan pertahun sebesar

Rp. 2,45 juta/hektar dangan B/C rasio 2,2 ( Prasetyo et al. 2002).

Dari hasil analisis imbangan biaya, diperoleh nilai MBCR 1.40, artinya setiap tambahan biaya dalam menerapkan teknologi sebesar Rp. 1.000 dapat meningkatkan penerimaan Rp 1.400. Hal ini berarti bahwa sitem integrasi usahatani layak untuk dikembangkan dalam skala lebih luas atau wilayah dengan tipologi agroekosistem yang mirip.

5.4. Indeks dan Status Keberlanjutan SIPT

Analisis keberlanjutan usahatani pola sistem integrasi padi-sapi (SIPT)

dilakukan menggunakan metode Rap-SIPT dengan teknik multidimensional

scaling (MDS). Analisis Rap-SIPT menghasilkan status dan indeks

keberlanjutan SIPT (IkB-SIPT) di wilayah Kabupaten Cianjur. Berdasarkan

hasil diskusi dengan stakeholder dan pakar, disepakati 33 atribut yang

tersebar dalam empat dimensi SIPT yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi, seperti tertera pada Tabel 33, 34, 35, dan 36.

Tabel 33 Dimensi ekologi SIPT Nomor Dimensi Ekologi

1 Sistem Pemeliharaan ternak

2 Pemanfaatan limbah ternak untuk pupuk organik

3 Pemanfaatan jerami padi untuk pakan ternak

4 Tingkat penggunaan pupuk kimia / pestisida

5 Daya dukung pakan

6 Pemotongan sapi betina produktif

7 Kesesuaian lahan (kesuburan tanah)

8 Kepadatan temak (ekor/1000 orang)

9 Tingkat pemanfaatan lahan untuk padi

Tabel 34 Dimensi ekonomi SIPT Nomor Dimensi Ekonomi

1 Tingkat kelayakan usahatani / finansial dan ekonomi

2 Kemitraan usaha

3 Besarnya pasar

4 Sumber modal usahatani

5 Ketersediaan lembaga keuangan (bank/kredit)

6 Kontribusi terhadap PAD

7 Perubahan jumlah sarana ekonomi (10 tahun terakhir)

8 Subsidi pemerintah

Tabel 35 Dimensi sosial-budaya SIPT Nomor Dimensi Sisial Budaya

1 Persepsi masyarakat dalam integrasi usahatani pola SIPT

2 Kelembagaan/kelompok tani

3 Tingkat pendidikan

4 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan

5 Frekuensi konflik

6 Besarnya pengaruh daerah sekitar

7 Lokasi usaha peternakan dengan pemukiman penduduk

Tabel 36 Dimensi teknologi SIPT Nomor Dimensi Teknologi

1 Teknologi informasi

2 Teknologi budidya

3 Pengandangan Ternak

4 Penyebaran tempat pos pelayanan kesehatan hewan ( Poskeswan )

5 Teknologi Pengolahan Limbah

6 Pemberantasan hama dan penyakit (PHT)

7 Teknologi pengolahan hasil pertanian (PHP)

8 Penyebaran tempat pos pelayanan Inseminasi Buatan ( IB )

RAP - SIPT Ordination

4 6 . 3 4 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80 100 120 SIPT Sustainability O th er D is tin gi sh in g F ea tu re s

Gambar 25 Analisis Rap-SIPT yang menunjukkan nilai IkB-SIPT

Hasil analisis Rap-SIPT untuk multi dimensi pada Gambar 25, menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan SIPT (IkB-SIPT) yang diperoleh sebesar 46.34 pada skala keberlanjutan 0 – 100. Nilai IkB ini terletak diantara selang keberlanjutan 0% (buruk) dan 100% (baik) yaitu IkB maksimum yang dapat dicapai pada multi dimensi. Nilai IkB-SIPT yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 33 atribut yang tersebar dalam empat dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya dan teknologi) masuk dalam kategori kurang berkelanjutan, mengingat nilai IkB-SIPT berada pada selang nilai 26 – 50 (Kurang: 25 > Nilai indeks < 50). Untuk mengetahui dimensi (aspek) pembangunan apa yang masih lemah dan memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-SIPT pada setiap dimensi.

Berdasarkan hasil analisis Rap-SIPT untuk dimensi ekologi pada Gambar 26, yang menyertakan 9 atribut menunjukan bahwa nilai IkB dimensi ekologi adalah 49.35 pada skala keberlanjutan 0–100. Ini rmasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan, mengingat nilai IkB-SIPT berada pada selang nilai 26 – 50 (Kurang: 25 > Nilai indeks < 50). Nilai IkB ini terletak diantara selang keberlanjutan 0% (buruk) dan 100% (baik). Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani pola SIPT di kabupaten Cianjur kurang memberikan manfaat dari aspek ekologi.

RAP - SIPT Ordination

4 9 . 3 5 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80 100 120 SIPT Sustainability O th er D is tin gi sh in g F ea tu re s

Gambar 26 Analisis Rap-SIPT yang menunjukkan nilai IkB-dimensi Ekologi Dalam upaya meningkatkan status IkB dimensi ekologi ini di masa yang akan datang, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif mempengaruhi nilai IkB dimensi ekologi tersebut. Analisis sensitivitas

dilakukan bertujuan u nt uk me lihat at r ibut ya ng se ns it if memberikan kontribusi terhadap nilai IkB dimensi ekologi tersebut.

Berdasarkan hasil analisis leverage/sensitivita sebagaimana pada Gambar

27, terdapat sembilan atribut yang paling dominan/sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai IkB dimensi ekologi dan lima atribut yang sensitif

menentukan IkB dimensi ekologi SIPT dengan nilai root mean square (RMS)

pada skala yang terjauh ialah sebesar 1.76%, yaitu: sistem pemeliharaan ternak, yang diikuti dengan atribut yang terletak pada skala berikutnya ialah pemanfaatan pupuk organik dari limbah ternak, pemanfaatan limbah jerami, penggunaan pupuk kimia/pestisida untuk usahatani, dan daya dukung pakan dengan nilai RMS berturut-turut sebesar 1.45%, 1.30%, 1.24, dan 1.17%.

Analisis Leverage Dimensi Ekologi 0.293937683 0.745338457 1.239418013 1.449962579 1.301475546 1.757553081 0.560203553 1.170337686 0.85092927 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 Kesesuaian lahan Tingkat pemanfaatan lahan TKT penggunaan pupuk kimia/pestisida Pemanfaatan limbah ternak (pupuk organik) Pemanfaatan limbah jerami (pakan ternak) Sistem Pemeliharaan Kepadatan temak (ekor/orang) Daya dukung pakan Pemotongan sapi betina produktif

Attr

ib

ute

Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 27 Peran masing-masing atribut ekologi yang dinyatakan dalam

bentuk perubahan RMS IkB-SIPT

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh petani adalah sebagian besar dilepas pada siang dan malam hari (75%) dan 20% semi intensif (sapi dilepas pada siang hari, dan sore hari dimasukkan ke kandang) dan hanya 5% dengan cara intensif. Hal ini berakibat produktivitas ternak rendah sehingga cara tersebut perlu diubah menjadi cara pemeliharaan yang dikandangkan (semi intensif atau bahkan intensif). Bagi petani, pemeliharaan sapi dengan cara tersebut tentu akan menjadi masalah terutama masalah penyediaan pakan.

Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi, maka sistem perkandangan yang diterapkan dalam pengelolaan usaha tani pola SIPT adalah pengandangan temak dalam satu kandang komunal agar kotoran ternak terkonsentrasi dan mudah dikumpulkan dalam satu tempat, bermanfaat dalam menjaga kesehatan ternak, dan kebersihan lingkungan serta meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial antar petani. Pengandangan ternak secara komunal merupakan solusi kendala keterbatasan lahan yang dimiliki petani.

Menurut Diwyanto (2002) penyediaan pakan ternak pada sapi yang dikandangkan dapat diatasi dengan memanfaatkan jerami padi hasil panen. Kandungan gizinya yang sangat rendah, dapat diatasi dengan difermentasi menggunakan probiotik dan penambahan urea

Pemanfaatan Limbah Ternak

Penggunaan limbah ternak yang berasal dari kotoran sapi belum optimal dimanfaatkan untuk pupuk organik sehingga perlu ditingkatkan dengan cara sosialisasi ke masyarakat tentang manfaat dan keunggulan penggunaan pupuk organik baik dari segi ekonomi maupun perbaikan mutu lingkungan. Sebagian petani belum meyakini manfaat pemberian pupuk organik bagi peningkatan produksi padi, dan petani beranggapan pemberian pupuk organik hanya menambah biaya produksi. Menurut Disperta Pertanian Kabupaten Cianjur (2010), petani yang memanfaatkan pupupk organik dari pukan sapi secara rutin sebanyak 5,83%, kadang-kadang sebanyak 15,22% dan tidak pernah sebanyak 78,95%.

Populasi ternak sapi potong di Provinsi Jawa Barat sebanyak 295.554 ekor (BPS Jabar, 2009) dan sebanyak 27.262 ekor berada di Kabupaten Cianjur (Dinas Peternakan, 2009). Setiap satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 4 kg–5 kg pupuk organik/hari setelah mengalami pemrosesan (Diwyanto dan Hariyanto 2002). Dengan demikian Kabupaten Cianjur memiliki potensi penghasil pupuk organik dari pukan sapi sebesar 108 ton/hari-135 ton/hari. Jadi dalam 4 bulan dapat tersedia pupuk organik antara 9.728 ton–12.160 ton. Apabila setiap hektar lahan sawah memerlukan pupuk organik sebaanyak 2 ton, maka dalam 4 bulan diperkirakan akan tersedia pupuk organik untuk kebutuhan lahan sawah seluas 4.864 ha–6.080 ha.

Tingkat Penggunaan Pupuk Kimia

Tingkat penggunaan pupuk kimia/pestisida relatif tinggi bahkan melebihi standar yang direkomendasikan dari tenaga penyuluh pertanian. Pengelolaan usahatani pola SIPT turut mengurangi pencemaran air dan tanah, karena berkurangnya penggunaan pupuk kimia dan pestisida untuk input usahatani, bahkan mampu meningkatkan kesuburan tanah dengan cara memperkaya unsur luar dalam tanah dan menambah ketebalan humus sehingga produktivitas lahan untuk usahatani padi dapat ditingkatkan. Sebaliknya kegiatan pertanian yang memanfaatkan pupuk kimia/pestisida tidak tepat dapat berdampak pada pencemaran air dan tanah dan dapat berbahaya baik bagi tanaman, hewan dan dapat

mengganggu kesehatan manusia. Guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahatani, penggunaan pupuk kimia/pestisida secara bertahap harus dikurangi. Penggunaan pestisida kimia dapat digantikan dengan biopestisida yang bermanfaat bagi peningkatan produksi untuk perbaikan kualitas lingkungan.

Daya Dukung Pakan

Daya dukung pakan ternak masuk dalam kategori kritis sehingga kurang mendukung untuk pengembangan usaha sapi potong. Sumber hijauan pakan ternak alternatife harus dicari selain rumput alam, seperti limbah pertanian berupa jerami padi, jagung, limbah perkebunan, dan lainnya. Berdasarkan luas lahan tanaman padi yang telah diusahakan, potensi jerami padi di Kabupaten Cianjur cukup tinggi, sehingga mampu untuk memelihara sapi antara 56.204- 72.262 ekor ekor sepanjang tahun. Sementara Kabupaten Cianjur memiliki sapi potong sebanyak 27.262 ekor (Dinas Peternakan Cianjur 2010) sehingga kemampuan untuk memelihara sapi masih dapat ditingkatkan lagi

Menurut Haryanto et al. (2002), setiap hektar sawah menghasilkan limbah

jerami padi segar 12–15 ton/ha/musim panen, setelah melalui proses fermentasi

dihasilkan 5−8 ton/ha/musim panen dan dapat dimanfaatkan untuk pakan sapi

potong sekitar 4−6 ekor/tahun.

Pemanfaatan Limbah Jerami

Limbah pertanian merupakan sisa tanaman pertanian setelah diambil hasil utamanya dan dalam sistem pakan digolongkan sebagai pakan non- konvensional, seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai, dan lainnya. Pemanfaatan jerami telah dilakukan oleh petani, tetapi sebatas pada saat jerami padi dipotong. Sebagian besar jerami padi hasil panen dibakar karena dianggap menyulitkan dalam pengolahan tanah atau hanya ditumpuk di pinggiran sawah.

Pemanfaatan limbah jerami padi sebagai sumber pakan ternak mendukung terlaksananya penerapan berbagai teknologi peternakan seperti inseminasi buatan (IB), vaksinasi, dan kesehatan ternak. Karena salah satu yang

menjadi kendala dalam penerapan teknologi tersebut adalah ternak tidak dikandangkan, yang membuat petugas kesehatan hewan mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan dan program kegiatan untuk meningkatkan produktifitas ternak. Ketersediaan pakan dari sumber yang berdekatan (satu hamparan sawah) dapat mempermudah untuk melakukan pembinaan dalam bentuk pelatihan dan penyuluhan

Beberapa faktor yang menyebabkan petani tidak memanfaatkan limbah jerami sebagai pakan ternak, yaitu :

1. Umumnya petani membakar limbah jerami padi karena secepatnya akan

dilakukan pengolahan tanah untuk penanaman kembali pada lahan sawah beririgasi (intensif) dengan pola tanam lebih dari sekali dalam setahun;

2. Limbah tanaman pangan bersifat kamba (bulky) sehingga menyulitkan petani

untuk mengangkut dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada ternak, dan membutuhkan biaya dalam pengangkutan;

3. Tidak tersedianya tempat penyimpanan jerami, dan petani tidak bersedia

menyimpannya di sekitar rumah karena takut akan bahaya kebakaran;

4. Petani menganggap bahwa ketersediaan hijauan di lahan pekarangan, kebun,

dan pematang sawah masih mencukupi sebagai pakan ternak.

Berdasarkan hasil analisis Rap-SIPT untuk dimensi ekonomi pada Gambar 28, yang menyertakan 8 atribut menunjukkan bahwa nilai IkB dimensi ekonomi sebesar 52.38 pada skala keberlanjutan 0 – 100, dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan (Cukup : 50 > Nilai indeks < 75). Nilai IkB ini terletak diantara selang keberlanjutan 0% (buruk) dan 100% (baik). Nilai IkB dimensi ekonomi lebih besar daripada nilai IkB dimensi ekologi (49.35). Hal ini mengandung pengertian bahwa usahatani pola SIPT di Kabupaten Cianjur cukup memberikan manfaat dari aspek ekonomi dari pada aspek ekologi. Agar status IkB dimensi ekonomi ini di masa yang akan datang semakin meningkat, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif mempengaruhi nilai IkB dimensi ekonomi tersebut

RAP - SIPT Ordination 5 2 . 3 8 -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

SIPT Sus tainability

O th er D is tin gi sh in g F ea tu re s

Gambar 28 Analisis Rap-SIPT yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi

Hasil analisis leverage sebagaimana pada Gambar 29, terdapat delapan

atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai IkB dimensi ekonomi dan empat atribut yang sensitif menentukan IkB dimensi ekonomi usahatani pola SIPT berdasarkan nilai RMS pada skala yang terjauh ialah sebesar 6.32% yaitu: tingkat kelayakan usahatani yang diikuti dengan atribut yang terletak pada skala berikutnya ialah kemitraan usaha, besarnya pasar, sumber modal dari lembaga keuangan, dan subsidi pemerintah dengan nilai RMS