• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Berpikir

Informasi di era globalisasi merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap organisasi/lembaga. Toffler dalam Tjakraatmadja dan Lantu (2006) membagi sejarah peradaban manusia dalam tiga gelombang perubahan yaitu era manual (enerji fisik), era mesin industri (enerji mesin) dan era pengetahuan (knowledge content). Informasi memungkinkan organisasi dapat terus mengantispasi segala kemungkinan yang terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan yang sedemikian kompleks (informasi tanpa batas). Kemampuan bersaing organisasi/lembaga di era pengetahuan ditentukan oleh tingkat kualitas pikiran, kualitas pikiran dalam bentuk kreativitas/inovasi ataupun dalam bentuk keterampilan dalam mengeksplisitkan pengetahuan tacit knowledge

dalam praktek (Tjakraatmadja dan Lantu 2006). Dewasa ini, sistem informasi yang digunakan berfokus pada sistem informasi berbasis komputer (computer based information system). Harapan yang ingin diperoleh disini adalah bahwa dengan penggunaan teknologi informasi khususnya komputer, informasi yang dihasilkan dapat lebih akurat, berkualitas, dan tepat waktu sehingga dapat lebih efektif dan lebih efisien.

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi oleh masyarakat secara meluas dan optimal bagi kepentingan produktif bukanlah semata-mata merupakan persoalan teknis seperti bagaimana orang harus dibekali kemampuan teknik operasional, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi itu merupakan perilaku budaya. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi berkaitan erat dengan aspek sosial dan budaya masyarakat, yakni bagaimana agar masyarakat secara mental dan kultural siap menerima hadirnya sistem atau teknologi baru, sehingga tidak memunculkan keterkejutan budaya (culture shock). Tentu kemajuan teknologi ini menyebabkan perubahan yang begitu besar pada perubahan (dinamis) lingkungan sosial budaya masyarakat. Perubahan ini juga memberikan dampak yang begitu besar terhadap transformasi nilai-nilai yang ada di masyarakat, khususnya masyarakat dengan budaya dan adat ketimuran seperti Indonesia. Saat ini, di Indonesia dapat kita saksikan begitu besar pengaruh kemajuan teknologi terhadap nilai-nilai kebudayaan yang dianut masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan (modernisasi). Kemajuan teknologi seperti televisi, telepon dan telepon genggam (telepon seluler), bahkan internet bukan hanya melanda masyarakat kota, namun juga telah dapat dinikmati oleh masyarakat di pelosok-pelosok desa.

Era teknologi informasi telah melahirkan tatanan kehidupan baru yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Tjakraatmadja dan

Lantu (2006) menyebutkan beberapa ciri tatanan kehidupan di era pengetahuan yaitu: (1) informasi/pengetahuan mudah diperoleh dan sekaligus dapat kadaluarsa dengan cepat; (2) permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks; dan (3) pola perubahan dalam bidang-bidang politik, ekonomi sosial dan budaya berpengaruh signifikan pada kelangsungan lembaga/organisasi dengan hubungan pengaruh yang sulit diprediksi.

Era teknologi informasi memaksa manusia untuk menyesuaikan sejumlah aturan main, cara kerja, dan perilaku. Lebih jauh Tjakraatmadja dan Lantu (2006) mengatakan bahwa “hal yang paling sesat terjadi apabila saat ini kita masih menggunakan cara lama di era yang sudah berubah”. Drucker (1994) menyatakan dengan tegas bahwa kunci sukses untuk meningkatkan kesejahteraan serta kualitas kehidupan individu maupun kelompok pada suatu lembaga/organisasi, yaitu adanya penemuan yang dimiliki oleh setiap individu sebagai anggota organisasi tersebut secara berkelanjutan. Untuk itu, di era perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, pencarian informasi- informasi terbaru (inovasi) secara cepat, akurat dan berkualitas menjadi sangatlah penting. Salah satu arena pencarian informasi di era teknologi informasi adalah melalui internet.

Guna menyikapi berbagai arah perubahan yang begitu cepat, kompleks dan serba tidak pasti dibutuhkan manusia-manusia yang berkualitas. Manusia-manusia yang mampu mengakses informasi dan memanfaatkannya dengan baik. Era globalisasi menuntut seluruh organisasi/lembaga untuk mampu menerima muatan-muatan global untuk diserap ke dalam organisasinya dan sekaligus mampu mengglobalkan yang lokal sehingga dapat diterima oleh masyarakat seluruh dunia. Desakan produk yang inovatif dan kebebasan konsumen telah terbuka lebar dalam dunia bisnis, termasuk di dalamnya produk hasil pertanian.

Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari program-program tersebut (Bunch 1991). Proses pembangunan pertanian pada hakikatnya adalah upaya mencapai taraf petani yang lebih berkualitas sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku. Sekarang ini, proses pembangunan pertanian telah sampai pada tahap yang mensyaratkan adanya partisipasi petani yang lebih besar agar tujuan pembangunan pertanian tercapai. Program-program yang termuat dalam rencana strategi di kedua kabupaten lokasi penelitian terkait dengan masalah penelitian adalah: (1) program peningkatan hasil produksi melalui inovasi; dan (2) program pemberdayaan penyuluh mewujudkan kemandirian petani melalui peran kelembagaan petani.

Bunch (1991) menguraikan pentingnya lembaga-lembaga di pedesaan dalam pembangunan pertanian karena: (1) banyak masalah-masalah pertanian hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga; dan (2) pada suatu waktu masyarakat desa akan bersaing dengan dunia luar, sehingga perlu mereka terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa dapat menyediakan pengalaman dalam keterampilan yang harus dipelajari masyarakat desa agar dapat mengorganisasikan diri. Tetapi keberadaan lembaga (pertanian) tidak semua mempunyai daya dukung yang sama dalam program pembangunan pertanian. Daya dukung kelembagaan adalah besarnya kemampuan kelembagaan untuk mendukung (secara berkelanjutan) berlangsungnya suatu program pembangunan pertanian.

Berbagai kesalahan dalam pengembangan kelembagaan selama ini yaitu hampir tiap program pembangunan pertanian dan pengembangan masyarakat pedesaan membentuk satu kelembagaan yang baru. Sebagian besar kelembagaan dibentuk untuk tujuan mendistribusikan bantuan dan memudahkan tugas kontrol bagi pelaksana

program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat secara nyata. Akibatnya setelah satu program berakhir, banyak lembaga-lembaga yang tidak jelas keberadaannya. Seharusnya, program-program pemerintah yang sifatnya baru haruslah dapat memanfaatkan lembaga-lembaga yang telah ada di lapangan (pedesaan) agar lembaga- lembaga yang ada dapat eksis dan dapat diakui keberadaannya secara berkelanjutan (Syahyuti 2006; Suradisastra 2009).

Pembangunan pertanian yang dilaksanakan oleh suatu lembaga atau organisasi/wadah dimana individu-individu berkembang, peluang keberhasilan

pembangunan pertaniannya menjadi semakin besar (Suradisastra 2009).

Kecenderungannya, peran kelembagaan pertanian ke depan semakin strategis seiring dengan semakin menguatnya gerakan pengarus-utamaan gelombang ekonomi hijau (green economy) dalam kerangka kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan (green development). Lebih dari itu, peran kelembagaan petani ke depan juga terkait dengan peningkatan peran swadaya masyarakat dalam bidang pemberdayaan atau penyuluhan sesuai Undang-undang Penyuluhan, Pertanian dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2006. Pemerintah sampai saat ini masih mengandalkan kelembagaan petani sebagai lembaga pemberdaya masyarakat pedesaan khususnya petani dan pelaku usaha pertanian.

Penyuluhan pembangunan pertanian sampai dengan saat ini masih

menitikberatkan pada pendekatan kelompok. Kelompok-kelompok masyarakat dapat menjadi wahana belajar dan kemajuan yang bergerak secara mandiri. Salah satu pemberdayaan petani dan keluarganya dalam akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi dapat dilakukan melalui kelembagaan petani, hal ini mengingat jumlah dan sebaran petani sangat besar dan luas serta terbatasnya sumberdaya manusia penyuluhan (Kementerian Pertanian 2011). Saat ini, tenaga penyuluh lapangan di Provinsi Jawa Barat masih sangat terbatas yaitu 2,430 orang penyuluh yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan 1,940 orang tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluhan pertanian (THL-TBPP). Jumlah tersebut masih belum mencukupi mengingat jumlah desa/kelurahan di Jawa Barat mencapai 5,863 buah. Di Kabupaten Cianjur hanya terdapat 64 orang tenaga penyuluh yang berstatus PNS dan 103 orang penyuluh yang berstatus (THL-TBPP) yang terbagi untuk 32 kecamatan untuk 354 desa, sementara di Kabupaten Bandung Barat terdapat 90 orang penyuluh PNS dan 93 orang THL-TBPP untuk 16 kecamatan 165 desa. Namun demikian, berdasarkan informasi di lapangan, dari 90 orang penyuluh yang berstatus PNS di Kabupaten Bandung Barat, akan memasuki masa pensiun sebanyak 30 orang pada Tahun 2016. Untuk itu, keberadaan kelembagaan petani dimana di dalamnya terdapat anggota- anggota yang berkapasitas diharapkan mampu menjadi sumber informasi bagi anggota lainnya. Kelompok mendorong petani membentuk kelembagaan petani yang kuat agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun sebagai lembaga sumber ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi bagi petani. Pendekatan kelompok dipandang lebih efisien dan dapat menjadi media terjadinya proses belajar dan berinteraksi dari para petani, sehingga diharapkan terjadi perubahan bertani yang lebih baik atau berkualitas.

Salah satu fungsi kelembagaan petani dalam pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani dalam akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi (Undang-undang No. 19 Tahun 2013). Keberhasilan proses tersebut dapat dicapai bila kelembagaan petani dapat berkontribusi/berperan sebagai lembaga yang mampu mengelola informasi, mediasi informasi, edukasi insan informasi, wadah kerjasama anggota dan sebagai lembaga yang dapat mendatangkan nilai tambah bagi petani. Introduksi inovasi yang dilakukan tanpa mempertimbangkan fungsi situasi dan kondisi kelembagaan seringkali mengalami kegagalan, atau memerlukan waktu lama untuk

diadopsi. Artinya, perhatian kepada kelembagaan petani memungkinkan adaptasi inovasi dapat berkembang secara efisien dan efektif.

Ilmu pengetahuan dan informasi yang didapat petani dari lembaga penelitian dan penyuluhan khususnya lembaga-lembaga pemerintah masih relatif kurang. Kalaupun ada, sampainya inovasi teknologi dari sumber kepada petani memerlukan waktu yang cukup lama (stagnasi inovasi). Kurangnya kegiatan penyuluhan di pedesaan menyebabkan arus transformasi inovasi teknologi yang dibutuhkan petani mengalami penurunan. Di sisi lain, kelembagaan petani yang menyediakan informasi teknologi di pedesaan yang secara khusus melakukan kegiatan penyebaran inovasi, memberikan pelayanan konsultasi dan pemberdayaan kelembagaan petani masih sangat sulit dijumpai, walaupun ada keberadaanya belum optimal. Pada era teknologi informasi seperti sekarang ini, pengetahuan dan informasi dapat diperoleh dengan mudah melalui layanan digital internet. Namun fenomena dilapangan menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan penguasaan informasi oleh sekelompok elit minoritas yang menguasai teknologi. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya atau strategi pemerataan informasi bagi seluruh petani melalui peran kelembagaan petani.

Sejalan dengan perubahan perspekstif penyuluhan di era globalisasi (Cyber extension), dibutuhkan suatu upaya yang berimbang (orchestrated endeavor) antara berbagai pihak guna memanfaatkan kelembagaan petani di pedesaan, baik lembaga lokal (self-imposed institution) maupun state-imposed institution untuk mempercepat proses pembangunan pertanian berbasis teknologi informasi. Rancangbangun atau desain pembangunan pertanian berbasis teknologi informasi sebagai bagian tujuan pembangunan pertanian saat ini hendaknya didasarkan kepada kebutuhan petani sebagai mitra pembangunan. Proses pembangunan bukanlah suatu proses yang hanya memiliki masa lalu, melainkan suatu “ageless process” yang harus disempurnakan dari

waktu ke waktu (Suradisastra 2008).

Proses peningkatan kapabilitas petani melalui penguatan peran kelembagaan petani yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu proses transformasi yang kompleks. Proses media cyber merupakan salah satu upaya mempersempit ruang antara kebutuhan teknologi dengan kondisi calon pengguna teknologi dalam suatu interaksi tekno-sosial. Dalam hal ini kelembagaan petani merupakan titik sentral dalam upaya pengembangan sekaligus sebagai subyek dalam proses peningkatan kapabilitas petani melalui alih ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang berbasis internet. Banyaknya jumlah kelompok tani, memungkinkan kelembagaan tersebut untuk dapat berperan serta dalam proses penyebaran informasi/inovasi. Tercatat hampir 2,000 jumlah kelompok tani di Kabupaten Cianjur dan 1,782 kelompok tani di Kabupaten Bandung Barat.

Gambar 4 Kerangka logis alur pikir dan proses penelitian 48

Melalui peran kelembagaan petani dalam akses informasi langsung internet, diharapkan informasi dan pengetahuan yang disebarkan merupakan informasi yang memang benar-benar telah sesuai dengan kondisi spesifik kebutuhan petani, informasi yang didapatkan dapat lebih dipercepat penyesuaian bahasa, content dan teknik penyampaiannya sesuai dengan kondisi lokal (masyarakat pertanian setempat). Namun demikian, perlu diketahui bahwa hasil penelitian Sumardjo et al. (2010), mengungkap beberapa hambatan dalam pemanfaatan sistem informasi berbasis TI oleh masyarakat di pedesaan, seperti: (1) manajemen (komitmen dan kebijakan belum konsisten dan terbatasnya kemampuan managerial di bidang TIK); (2) infrastruktur dan sarana- prasarana (rendah/kurang stabilnya pasokan listrik, keterbatasan jaringan koneksi internet, infrastruktur komunikasi, luasnya wilayah jangkauan, dan keterbatasan dana Pemda); (3) terbatasnya kemampuan kapasitas sumberdaya manusia dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi; (4) rendahnya kultur berbagi (sharing) informasi, rendahnya kesadaran untuk selalu mendokumentasikan data/informasi/kegiatan yang dimiliki atau dapat diakses; dan (5) content atau isi yang terkait dengan kredibilitas isi dan sumbernya yang masih perlu ditingkatkan agar dapat memberikan informasi yang mutakhir dan tepat waktu.

Permasalahan keterbatasan kemampuan pengguna dalam pemanfaatan TI dan rendahnya budaya berbagi pengetahuan memungkinkan pentingnya kelembagaan petani sebagai media untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan terkait dengan management knowledge suatu lembaga pengelola informasi, terlihat dari bagaimana kelembagaan petani mengelola informasi mulai menerima pesan, mengemas pesan, menyimpan pesan sampai pada bagaimana mendisitribusikan pesan informasi pengetahuan kepada petani yang berakses lembah informasi. Pertanyaannya kemudian, mampukah kelembagaan petani sebagai media/saluran informasi berbasis teknologi informasi? bagaimana kelembagaan petani mampu mengemas/menyederhanakan informasi dan pengetahuan sesuai kebutuhan pengguna akhir (petani)? bagaimana kelembagaan petani mampu menjembatani media berbagi pengetahuan antara sumber dan pengguna informasi? dan bagaimana kelembagaan petani dapat meningkatkan kapabilitas petani dalam mengelola inovasi.

Beberapa aspek penting yang harus diperhatikan dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi melalui peran kelembagaan petani meliputi: (1) keberadaan karakteristik individu-individu dalam kelompok yang memiliki kemampuan dalam mengakses informasi yang berkualitas guna mendukung pengembangan mereka (anggota kelompok lainnya), baik dalam bidang informasi pasar, permodalan, teknologi dan menejemen pengembangan aspek kelompok atau organisasi yang dikembangkan yang berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif petani; (2) pentingnya budaya berbagi pengetahuan (knowledge sharing) antar pemegang informasi; (3) kontribusi (peran) kelembagaan dalam memanage informasi, mediasi informasi, mengedukasi, wadah kerjasama dan peningkatan nilai tambah; (4) mengembangkan jaringan antar kelompok atau organisasi yang terbentuk dan berperan dalam pengembangan potensi petani; dan (5) mengembangkan kemampuan-kemampuan pemanfaatan metoda dan media lokal/baru dan kemampuan teknis serta menajerial kelompok-kelompok petani, sehingga proses peningkatan kapabilitas petani dapat tercapai.

Menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi diperlukan pemahaman kondisi dan elemen-elemen sosial kemasyarakatan yang memiliki potensi positif sebagai penggerak atau pendorong laju adopsi-inovasi teknologi berbasis teknologi informasi. Metode, teknik, dan strategi transfer informasi/pengetahuan hendaknya disesuaikan dengan kondisi ekologi kultural masyarakat di lingkungan tersebut. Metode dan strategi transfer pengetahuan harus mampu menembus daya lenting sosial (social resilience) masyarakat setempat dan mampu menggugah minat mereka untuk

berpartisipasi. Secara garis besarnya skema penelitian ini dilakukan dengan kerangka berpikir seperti yang tertera dalam Gambar 5.

Gambar 5 Skema kerangka berpikir studi penguatan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi

Pembangunan pertanian berbasis teknologi informasi, melalui pendekatan kelembagaan petani, hendaknya memiliki tolok ukur yang jelas dan dapat dicapai, baik tolok ukur terhadap kinerja kelembagaan petani secara kualitatif, maupun tolok ukur kuantitatif. Kinerja kelembagaan petani yang diukur melalui peran kelembagaan petani, menentukan tingkat kapabilitas petani melalui proses efektivitas alih ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Efektifitas kelembagaan petani sebagai media peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi ditentukan oleh kontribusinya dalam melayani tuntutan sosial masyarakat setempat dalam kurun waktu yang selalu berubah (dinamis). Kontribusi kelembagaan petani dalam peningkatan kapabilitas petani di era teknologi informasi dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: (1) sumberdaya manusia pengguna/pemanfaat teknologi informasi; (2) kualitas informasi yang ada pada media internet; (3) dinamika kelembagaan petani yang dinamis; dan (4) lingkungan eksternal yang mendukung kelembagaan petani.

Sangkala (2007) menyebutkan bahwa efektivitas kelembagaan petani sebagai media diseminasi harus memperhatikan kondisi sasaran/pengguna /transfer mapping

atau jauh sebelumnya Paul A. Schumann menyebutnya dengan orientasi market driven innovation. Market driven innovation menekankan pada pendekatan pengetahuan pasar

KAPABILITAS PETANI MENGELOLA INOVASI

Sumber Informasi berkualitas berbasis internet Anggota kelompok dengan kemampuan akses informasi Kelembagaan Petani :  Pengelola informasi  Mediasi informasi  Edukasi petani  Wadah kerjasama  Peningkatan nilai tambah

Expert/individu/ lembaga penelitian/penyuluhan

Anggota kelompok lemah akses informasi

Inovasi Metoda, Media & strategi Kebaruan Metoda, Media &

strategi Konvensional Eksplorasi dan Download informasi Download/upload informasi

(pelanggan) untuk menentukan langkah-langkah inovasi organisasi/kelembagaan yang dilakukan. Melalui market driven innovation ini diharapkan lembaga lebih kreatif dalam menanggapi dinamisasi pelanggan (petani) sebagai salah satu pengguna hasil inovasi dan fleksibel menghadapi perubahan. Pemahaman market driven innovation

mengidentifikasi kebutuhan pelanggan (Customer need), kapasitas teknologi

(technology Capability) dan respon pelanggan (Competitive respon). Faktor sumberdaya manusia pengguna meliputi umur, pendidikan, kepemilikan sarana TI, status sosial, pengalaman berusahatani, motivasi penggunaan TI, intensitas pengunaan TI, kekosmopolitan dan sikap terhadap perubahan. Kualitas informasi merujuk pada DeLone dan McLean (1992) diperoleh melalui gambaran/persepsi petani terhadap sifat informasi yang ada pada media internet yang meliputi: relevan, kepahaman, akurasi, kehandalan, keaktualan, kelengkapan dan ketepatwaktuan.

Unsur-unsur kedinamisan kelembagaan petani mengacu pada Kementerian Pertanian (2011) terdiri dari tujuan kelompok, kekompakan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pengembangan dan pemeliharaan kelompok, suasana kelompok, efektivitas kelompok, tekanan kelompok, dan maksud di luar keinginan kelompok. Kelompok yang dinamis adalah kelompok yang mampu: (1) menciptakan iklim yang kondusif agar petani mampu untuk membentuk dan menumbuh kembangkan kelompoknya secara partisipatif (dari, oleh, dan untuk petani); (2) menumbuh kembangkan kreativitas dan prakarsa anggota kelompok tani untuk memanfaatkan setiap peluang usaha, informasi, dan akses permodalan yang tersedia; (3) membantu memperlancar proses dalam mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta menyusun rencana dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam usahataninya; (4) meningkatkan kemampuan dalam menganalisis potensi pasar dan peluang usaha serta menganalisis potensi wilayah dan sumberdaya yang dimiliki untuk mengembangkan komoditi yang diusahakan guna memberikan keuntungan usaha yang lebih besar; (5) meningkatkan kemampuan untuk dapat mengelola usahatani secara komersial, berkelanjutan, dan akrab lingkungan; (6) meningkatkan kemampuan dalam menganalisis potensi usaha masing-masing anggota untuk dijadikan satu unit usaha yang menjamin pada permintaan pasar dilihat dari kuantitas, kualitas, serta kontinuitas; (7) mengembangkan kemampuan untuk menciptakan teknologi lokal spesifik; dan (8) mendorong dan mengadvokasi agar para petani mau dan mampu melaksanakan kegiatan simpan pinjam guna memfasilitasi pengembangan modal usaha. Adapun faktor lingkungan eksternal kelembagaan petani mencakup dukungan lembaga luar penyuluhan, penelitian, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan latihan serta keberadaan jaringan layangan pendukung teknologi informasi.

Secara obyektif, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan penelitian, lembaga pendidikan dan latihan, regulasi (kebijakan pemerintah) juga harus mampu berperan sebagai pendorong perkembangan inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang dilakukan melalui perantara-perantara kelembagaan petani di pedesaan, memberi ruang bagi terselenggaranya pembangunan pertanian berbasis teknologi informasi dan peluang usaha bagi seluruh masyarakat untuk menjadi pemilik maupun penyelenggara jaringan/jasa informasi. Hubungan antar variabel dalam analisis penguatan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi tersaji pada Gambar 7.

Efektivitas peran kelembagaan petani dalam mempengaruhi kapabilitas petani mengelola inovasi adalah suatu kondisi dimana kelembagaan petani mampu berperan dalam: (1) mengelola informasi; (2) mediasi informasi; (3) edukasi insan informasi; (4) wadah kerjasama; dan (5) peningkatan nilai tambah bagi para anggotanya. Muara akhir dari peningkatan peran kelembagaan petani adalah peningkatan kapabilitas petani dalam berusahatani. Artinya, peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi

mempengaruhi perubahan perilaku budaya petani dalam memperoleh dan mengembangkan inovasi-inovasi pertanian dalam berusahataninya.

Merujuk pada konsep modal manusia, penekanan kapabilitas memandang manusia sebagai objek sentral yang seharunya paling dihargai dalam peningkatan kesejahteraan. Artinya, peningkatan kesejahteraan, salah satunya dapat dicapai melalui peningkatan kapabilitas. Fokus pendekatannya adalah pada kemampuan manusia untuk melakukan (to do) dan menjadi (to be) sesuatu yang dianggapnya berharga. Dalam pendekatan kapabilitas ini terdapat dua konsep utama, yakni functioning dan capability.

Functioning merujuk pada “akhir” dan hasil atau pencapaian dari berbagai aktifitas

manusia seperti menjadi sehat (being healthy), berpartisipasi dalam aktifitas sosial, mempunyai pekerjaan yang layak, merasa aman, merasa bahagia, menghargai diri sendiri, merasa tenang, dan sebagainya. Capability merujuk pada kemampuan untuk mewujudkan pencapaian-pencapaian tersebut di atas. Artinya, kapabilitas dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk menjadi sehat dan menjaga kesehatan, kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktifitas sosial, kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, kemampuan untuk berwirausaha, kemampuan untuk mendapatkan jaminan rasa aman, kemampuan untuk menghargai diri sendiri dan sebagainya. Dengan demikian, kapabilitas pada dasarnya merupakan bentuk kemandirian untuk memberdayakan kemampuan-kemampuan (Stamboel 2012).

Keterkaitan antara berbagai konsep yang umum dipakai dalam pengembangan sumberdaya manusia, khususnya penyuluhan, antara lain adalah kemampuan (ability), kompetensi, kapasitas dan kapabilitas. Kemampuan (ability) merupakan inti dari keseluruhan konsep tersebut. Kemampuan diartikan sebagai kekuatan untuk melakukan suatu pekerjaan, yang terkandung di dalamnya tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Gambar 6 Hubungan kapasitas, kompetensi dan kapabilitas

Pada Gambar 6, menunjukkan bahwa kapasitas merujuk pada tiga makna yaitu

ability, size dan function. Manusia dalam dirinya memiliki berbagai macam kemampuan antara lain kemampuan berkuasa, kemampuan intelejensia dan sebagainya. Collins and Hitt (2006) menyatakan bahwa ability terdiri dari power, strength, facility, gift, intelligence, efficiency, genius, faculty, capability,forte, readiness, aptitude, aptness, competence or competency. Kompetensi merupakan salah satu elemen dari kapasitas pada ranah kemampuan yang digunakan untuk mengukur kinerja individu (pengetahuan, keterampilan, sikap). Seorang individu boleh jadi memiliki beberapa kompetensi dalam performa dirinya. Kompetensi merupakan salah satu sumberdaya (modal kinerja) yang dimiliki individu.

Gambar 7 Hubungan antar variabel dalam analisis penguatan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi

Kemampuan individu dalam pengelolaan kompetensi menjadi sesuatu yang