• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAPABILITAS PETANI MENGELOLA INOVAS

10 PEMBAHASAN UMUM

Perkembangan peran kelembagaan petani sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya sejatinya merupakan gambaran nyata dari proses panjang yang dilalui oleh kelembagaan petani (dinamika kelembagaan petani). Penting untuk ditegaskan kembali bahwa pangkal dari penelitian ini adalah mengkaji peran kelembagaan petani sebagai pendekatan strategis dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi. Penguatan peran kelembagaan petani merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan kapabilitas petani mengelola inovasi. Penekanan pada peran kelembagaan petani didasari pemikiran bahwa peran kelembagaan petani masa depan harus dapat memanfaatkan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), karena menjadi satu peluang bagi terwujudnya petani yang inovatif. Secara praktis, kapabilitas petani mengelola inovasi dapat menjadi ukuran bagi perubahan prilaku inovatif ditingkat petani. Kelembagaan petani harus diciptakan kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya sumberdaya manusia petani yang berkualitas sehingga mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan inovatif.

Terdapat beberapa peluang mengapa harus kelembagaan petani, yaitu: (1) kelembagaan terdekat dengan petani/muara informasi dari berbagai sumber dan narasumber; (2) kelembagaan petani mempunyai anggota dengan berbagai keunikan dan kemampuan; (3) kelembagaan petani dapat memilih dan menyesuaikan secara langsung kebutuhan informasi/inovasi anggotanya (efektivitas dalam menghindari

overload informasi); (4) kelembagaan petani memiliki sarana dan prasarana dalam mengedukasi anggotanya; dan (5) memampukan kemandirian kelembagaan petani menghadapi stagnasi informasi, keterbatasan petugas penyuluhan.

Peran-peran yang dapat dilakukan oleh kelembagaan petani adalah dalam hal mengelola informasi, mediasi informasi, edukasi insan informasi, wadah kerjasama dan wadah unit usaha. Tanpa bermaksud bersikap “antipati” terhadap kelembagaan penyuluhan lainnya yang termasuk dalam jaringan informasi, sudah saatnya kini memperhatikan kelembagaan petani sebagai media pemadu sistem kelembagaan penyuluhan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi sehingga lebih mempercepat proses penyebaran informasi yang terbarukan/ inovasi. Mewujudkan kelembagaan petani yang demikian, tidaklah mudah. Namun, peran tersebut patut menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pertanian yang memanfaatkan kelembagaan petani sebagai perantaraan penyebaran informasi dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya yaitu: (1) karakteristik petani; (2) kualitas informasi; (3) dinamika kelembagaan petani; dan (4) dukungan kelembagaan eksternal.

Dengan dukungan kondisi kelembagaan petani yang dinamis dengan rataan usia produktif (43 tahun), motivasi berkelompok yang tinggi (>90%), pengalaman usahatani (>7 tahun), siap melakukan perubahan (>69%), kepemilikan sarana prasarana teknologi informasi dan komunikasi, kemampuan akses (>90%), tingkat kekosmopolitan tinggi (>90%), kemudahan berbagi informasi antar petani (>82%) memberikan peluang kepada kelembagaan petani untuk dapat mengoptimalkan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas seluruh anggotanya.

Syarat utama yang harus dimiliki oleh kelembagaan petani dalam peningkatan kapabilitas anggota mengelola inovasi berbasis teknologi informasi adalah tersedianya sumberdaya manusia pengurus ataupun anggota petani yang unggul yang mampu akses dan mengelola informasi berbasis internet (internet opinion leader), sarana, prasarana dan jaringan yang cukup untuk mendukung pemanfaatan teknologi informasi, banyaknya keunikan anggota yang diunggulkan dan motivasi tinggi usahatani anggota. Peluang pengembangan TIK oleh kelembagaan petani adalah teknologi informasi dapat mengefektifkan pelayanan informasi kepada anggota, walaupun terbatas; terdapat SDM yang mampu mengelola inovasi, keharusan berkelompok jika ingin bermitra, terdapat ragam pilihan inovasi yang tersedia pada media internet dan banyaknya sumber serta nara sumber untuk belajar teknologi informasi.

Selain terdapat kekuatan dan peluang pengembangan TIK oleh kelembagaan petani, terdapat juga kelemahan yaitu anggota yang menguasai TIK masih terbatas dan belum merata, pengelolaan informasi belum terintegrasi dengan baik, perlu waktu yang lama dalam memahami informasi berbasis internet, penguasaan inovasi belum merata. Ancaman dalam pengembangan TIK adalah, perkembangan TIK yang sangat cepat, tuntutan pelayanan dan ketersediaan informasi yang berkualitas, dinamika masyarakat yang menuntut peran lebih kelompok tani serta banyaknya produk inovatif luar negeri yang terus membanjiri pasar dalam negeri; dengan semakin banyaknya produk luar, lambat laun petani yang tidak mengelola inovasi bisa terkonversi keusaha lain atau ketinggalan dibanding petani yang inovatif. Hal ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan senjang inovasi bahkan senjang pendapatan diantara anggota kelembagaan petani.

Walaupun kualitas informasi yang terdapat pada media internet dan dukungan kelembagaan eksternal saat ini masih dipersepsi sedang oleh petani, namun demikian kedua faktor ini perlu mendapat perhatian sebagai faktor guna meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi. Faktor ini walau tidak secara siginifikan berpengaruh terhadap penguatan peran kelembagaan, tetapi nilai positif hubungan kedua faktor ini dapat menguatkan peran kelembagaan petani dan meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi. Kualitas informasi mempunyai pengaruh kuat

terhadap peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi. Ini mengindikasikan bahwa pentingnya: (1) kembali memperbaiki kualitas informasi yang ada pada media internet; (2) peningkatan sumberdaya pengelola informasi yang ada pada kelembagaan petani; dan (3) peningkatan sumberdaya manusia petani seutuhnya. Indikator masih rendahnya kualitas informasi terutama terkait dengan tingkat keakuratan informasi, keaktualan dan pemahaman. Informasi belum mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi petani, informasi tidak up to date, dan sulitnya pemahaman petani terutama informasi yang berupa hasil-hasil penelitian. Kondisi ini memperlambat penyebaran informasi, keterbatasan pemahaman informasi pada media internet, mengharuskan petani mencari sumber dan narasumber untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan informasi. Di sisi lain keterbatasan kunjungan petugas/narasumber dilapangan menjadi penyebab stagnasi inovasi. Kembali, walau secara terbatas petani mendiskusikan informasi didalam lingkungan kelembagaan petani.

Untuk itu, pentingnya aspek berbagi informasi antar sesama anggota petani haruslah menjadi budaya karena berbagi informasi dapat mempercepat proses inovasi. Budaya berbagi informasi diantara petani kini sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang sulit, kemudahan berbagi informasi tersebut telah ditunjang dengan peran teknologi informasi melalui maraknya jejaring media sosial seperti penggunaan blackberry messenger dan whatsapp dikalangan petani. Beberapa aktivitas berbagi informasi (Knowledge sharing) yang dikembangkan meliputi aktivitas sharing secara formal, informal serta melalui penggunaan fasilitas information technology (TI) dapat menjadi cara memperjelas informasi sekaligus mengembangkan ide-ide kreatif. Aktivitas

sharing formal yang biasa dilakukan petani melalui kegiatan bimbingan petugas, mentoring, pelatihan, magang, dan diskusi pada pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara rutin di kelembagaan petani. Kegiatan informal diantaranya dilakukan melalui pengembangan community of practice (komunitas informal yang ditujukan untuk memfasilitasi orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap suatu bidang untuk saling berbagi dan bertukar pikiran) dan sharing on the street di lingkungan tempat tinggal atau dilahan petani. Yang terpenting dalam berbagi informasi harus memperhatikan pelaku, materi, metode dan sarana prasarana pendukung (misal, disain ruang percakapan).

Saat ini, keterbatasan kepemilikan sarana teknologi informasi dan komunikasi sudah tidak lagi menjadi kendala. Kepemilikan sarana TIK kini menjadi barang yang sudah tidak lagi istimewa seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi murah yang dapat dijangkau oleh hampir semua lapisan masyarakat pedesaan sekalipun. Biaya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang dulunya mahal, kini menjadi murah, waktu menjadi cepat. Kesadaran masyarakat tentang manfaat TIK sudah semakin membaik, masyarakat telah merasakan manfaat ekonomi dari adanya kemajuan TIK. Hal ini ditunjang dengan dukungan infrastruktur (khususnya di Jawa Barat) yang semakin membaik. Jaringan-jaringan komunikasi baik melalui telepon dan internet sudah semakin membaik.

Dugaan bahwa telah terjadi ketimpangan pemanfaatan informasi dimana informasi dikuasai oleh sebagian kaum elit minoritas pada masyarakat pedesaan sebenarnya tidaklah demikian, ketimpangan bukan disebabkan pada rendahnya tingkat interaksi petani dengan dunia luar tetapi lebih disebabkan diri individu petaninya yang tidak mau membuka diri dan tidak mau mengambil resiko terhadap inovasi. Yang terpenting, dalam proses berbagi informasi adalah perlunya memperhatikan cultur

transfer/kebiasaan dan melakukan ruang-ruang dialog. Selain itu, sharing harus memperhatikan jenis pengetahuan, apakah tacit atau explicit. Benar bahwa pengetahuan tacit dapat ditransfer melalui media elektronik atau jejaring, tetapi pihak yang melakukan sharing (narasumber) harus memiliki pengetahuan dan peta dari kondisi petani (transfer mapping). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Habibie (2010)

bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja berbagi informasi adalah mekanisme berbagi informasi, sarana pendukungnya, budaya berbagi dan motivasinya.

Kondisi kelembagaan eksternal saat ini, dimana kinerja kelembagaan penyuluhan menurun sebagai akibat kurangnya ketersediaan anggaran, sarana prasarana, kurangnya materi penyuluhan, kapasitas petugas yang tidak berkembang dan ketidaksesuaian fungsi tugas penyuluhan dilapangan menjadi penyebab lemahnya dukungan kepada kelembagaan petani. Hasil positif analisis mengindikasikan, jika perbaikan kinerja lembaga penyuluhan dilakukan maka memungkinkan peran dan kontribusi kelembagaan tersebut terhadap kelembagaan petani dapat meningkat. Saat ini, baru 64 persen petani yang mengandalkan kelembagaan penyuluhan sebagai sumber informasi. Sisanya, tanpa mengurangi dedikasi kelembagaan penyuluhan, mereka (petani) mencari sumberlain bagi kebutuhan informasinya. Diluar dari permasalahan sulitnya (delivery

sistem inovasi), penting kiranya diketahui bagaimana dukungan kelembagaan penelitian karena di atas 83.3 persen petani berharap dukungan dari kelembagaan ini. Saat ini tingkat kepercayaan petani terhadap kelembagaan ini baru mencapai 50 persen. Hal ini disebabkan ketersinggungan hubungan petani dengan kelembagaan penelitian baru mencapai 44.7 persen dalam bentuk kerjasama ujicoba inovasi di lapangan. Dukungan kelembagaan eksternal lain yang dibutuhkan petani adalah kelembagaan pendidikan dan latihan (55.8% petani menginginkan pelatihan utamanya terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi). Hal ini dimungkinkan dilakukan mengingat membaiknya kondisi infrastruktur jaringan dan keterjangkauan fasilitas sarana prasarana teknologi informasi. Penggunaan internet menjadi tantangan baru. Berbagai cara harus dilakukan oleh semua pihak agar petani dapat memanfaatkan akses informasi dengan baik.

Pentingnya dukungan kelembagaan eksternal dalam lingkungan kelembagaan petani sejalan dengan Broad dan Newstrom (1996) dalam Hariyati (2005) yang mengemukakan bahwa lingkungan merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan berbagi pengetahuan (sharing knowledge) suatu lembaga. Terkait dengan pentingnya faktor sosial, penelitian Santosa (2004) menyimpulkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap perilaku adaptif petani tepian hutan. Artinya, lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam mengadopsi inovasi. Inovasi muncul apabila terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif petani dengan lingkungan eksternalnya.

Interaksi dengan lembaga eksternal dapat memberikan kontribusi terhadap penerapan inovasi dengan membangkitkan keyakinan, kepercayaan suatu inovasi. Dengan demikian, keberhasilan kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi, sangat bergantung pada interaksi kelembagaan tersebut dengan kelembagaan eksternal lainnya dan interaksi anggota didalam kelembagaan itu sendiri (proses berbagi informasi). Singkatnya, kelembagaan petani sebagai bagian dari sistem penyuluhan mempunyai keterhubungan dengan kelembagaan ekternal lainnya.

Bukti empirik dilapangan menunjukkan bahwa penerapan inovasi dapat berdampak pada peningkatan pendapatan. Umumnya, produk inovatif dinilai lebih oleh konsumen. Namun demikian kondisi saat ini memperlihatkan bahwa secara umum tingkat kapabilitas petani mengelola inovasi masih rendah. Artinya, kelebihan manfaat dari adanya inovasi masih belum dinikmati oleh sebagian besar petani. Sebagian besar petani tidak serta merta menerapkan kaidah inovasi dalam usahatani disebabkan: (1) pengetahuan tentang inovasi rendah; (2) petani kurang berani mengambil resiko; (3) keterbatasan modal; (4) keterbatasan sumberdaya pendukung inovasi; dan (5) minimnya bimbingan dan pelatihan dari narasumber inovasi.

Melihat kondisi, permasalahan dan tantangan tersebut di atas maka diperlukan upaya dari segenap stakeholder, instansi pemerintah maupun lembaga pemberdayaan lainnya yang terkait dengan petani dan kelembagaan petani sayuran dataran tinggi

untuk berkomitmen dalam meningkatkan peran kelembagaan petani sebagai media peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi. Berdasarkan hasil analisis SEM terdapat kecenderungan bahwa variabel karakteristik, kualitas informasi dan dukungan eksternal kelembagaan perlu terus ditingkatkan, karena dapat membawa dampak pada peran kelembagaan petani dan dampak langsung terhadap peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi.