• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KELEMBAGAAN PETANI DALAM PENINGKATAN KAPABILITAS PETANI MENGELOLA INOVAS

KAPABILITAS PETANI MENGELOLA INOVAS

9 PERAN KELEMBAGAAN PETANI DALAM PENINGKATAN KAPABILITAS PETANI MENGELOLA INOVAS

Pendahuluan

Penguatan peran kelembagaan petani dalam peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi pada dasarnya ditujukan guna menghadapi isu daya saing produk hortikultura khususnya sayuran, globalilisasi ekonomi, meminimalkan ketergantungan petani terhadap informasi saluran formal (pemerintah), efektivitas layanan informasi bagi petani, memecah kebuntuan/stagnasi informasi, menjembatani petani yang berakses lemah informasi, realisasi UU Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2006, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013, PerMentan No:82/Permentan/OT.140/8/2013 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Secara spesifik, penguatan peran kelembagaan juga penting dalam menghadapi kompleksitas peluang dan tantangan pembangunan pertanian ke depan, kemajuan teknologi informasi, konvergensi komunikasi, inovasi masa depan, akses terhadap pasar, akses terhadap sumberdaya produktif, penyuluhan cafetaria, daya saing kelembagaan petani.

Penguatan kelembagaan petani harus dirancang sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan menjadikan individu petani yang berkualitas. Posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial (social interplay) dalam suatu komunitas. Kondisi demikian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu celah masuk (entry-point) upaya diseminasi teknologi (Suradisastra 2008). Petani sebagai mahluk sosial kehidupannya tidak lepas dari pengaruh orang lain. Mereka menjadi individu yang tumbuh dan berkembang, tidak saja dipengaruhi oleh faktor biologis melainkan justru lebih banyak ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Kelembagaan petani sebagai wadah berkumpulnya para petani, membawa pengaruh terhadap perkembangan kehidupannya. Tetapi, para penganut paham behaviorisme

sepakat bahwa petani juga bukan mahluk pasif atau semata-mata dikendalikan oleh dorongan instingtif dan mengikuti kehendak lingkungan, melainkan bisa secara aktif merancang bahkan merubah lingkungannya.

Penyebaran inovasi melalui perantaraan kelembagaan petani merupakan aktivitas penting dalam mendorong terjadinya kapabilitas petani. Kemampuan seseorang dapat berkembang melalui proses aliran informasi dari lingkungan di sekitarnya. Untuk itu, penguatan peran kelembagaan petani harus dipandang sebagai instrument strategis untuk mencapai kapabilitas petani mengelola inovasi. Kelembagaan petani yang dinamis, adaptif dan mampu mengaplikasi teknologi informasi dalam pemanfaatan

informasi global (internetworking) merupakan salah satu jawaban yang patut diperhitungkan untuk menangkap peluang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi/TIK bagi peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi. Upaya penguatan kelembagaan petani adalah dengan menjadikannya sebagai sumber pelayanan informasi dan teknologi untuk usaha para petani umumnya dan anggota kelompok tani khususnya (Permentan 2013).

Keuntungan dari informasi yang didapat dari jaringan terkoneksi internet adalah ketersediaan yang secara terus menerus, kekayaan informasi (informasi nyaris tanpa batas), jangkauan wilayah internasional secara instan, pendekatan yang berorientasi kepada penerima, bersifat pribadi (individual), dan menghemat biaya, waktu, dan tenaga (Adekoya 2007). Leeuwis (2010) menegaskan bahwa teknologi informasi dan komunikasi/TIK khususnya internet dan jejaring sosial merupakan potensi alternatif bagi pemberdayaan masyarakat pedesaan. Teknologi informasi dapat membantu dalam mengumpulkan, menyimpan, mengambil, mengolah dan menyebarkan informasi yang diperlukan oleh petani (Vivek 2011).

TIK telah membangun sistem sosial menjadi lebih sederhana, praktis, luas, cepat dan multitasting. Melalui multimedia, jejaring nirkabel, teknologi seluler, internet dan akses serba digital, setiap orang di dunia dapat terkoneksi, berkomunikasi, berkolaborasi dan berbisnis secara online atau melalui instant messenger dan jejaring sosial (seperti facebook, friendster, linked, coprol, twitter, whatsapp dan sebagainya). Membaiknya sarana prasarana penunjang, meningkatnya upaya sosialisasi dan internalisasi TIK ke berbagai ruang, maka masyarakat pedesaan yang semula berakses lemah terhadap informasi dunia luar dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini interaksinya menjadi semakin terbuka, terutama dengan massifnya penggunaan TIK, seperti handphone dan internet. Mensikapi kondisi, peluang serta permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi, maka dibutuhkan suatu upaya atau strategi penguatan peran kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Konsep Penguatan Peran Kelembagaan Petani Berbasis ICT

Kelembagaan petani sesuai amanat dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2013 Republik Indonesia mensyaratkan lembaga tersebut untuk dapat memberikan layanan akses ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi kepada masyarakat. Kelembagaan petani sebagai kelompok informasi masyarakat (KIM) dibentuk oleh masyarakat, dari masyarakat dan untuk masyarakat secara mandiri dan kreatif melakukan kegiatan pengelolaan informasi, mediasi informasi dan edukasi insan informasi. Suradisastra (2009) menyebutkan bahwa salah satu fungsi lembaga petani adalah membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang dan meningkatkan akses petani ke sumber informasi. Pemanfaatan elemen-elemen kelembagaan petani merupakan entry point masuknya informasi baru bagi petani yang dapat memberikan hasil yang lebih baik bila terjadi interaksi positif antara nilai dan norma lokal dengan kondisi biofisik dan sifat teknologi atau informasi yang diintroduksikan. Kelembagaan petani diharapkan dapat menjembatani masyarakat petani yang berakses lemah terhadap informasi dari dominasi kaum minoritas elits pedesaan yang menguasai informasi. Kelembagaan petani yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemadu sistem penyuluhan (penelitian-petani- penyuluhan-pasar) dan medis knowledge sharing dalam peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi.

Di era teknologi informasi seperti sekarang ini, maka daya saing keberadaan kelembagaan petani harus seiring dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Pesatnya penyebaran informasi melalui jaringan terkoneksi internet, memungkinkan

kelembagaan petani untuk memiliki daya saing melalui cara mereka menciptakan, mengadopsi, memvalidasi, mendifusi, menyimpan, dan menggunakan informasi (knowledge management) untuk mencapai tujuan dengan lebih cepat dan efektif. Hal

ini sebagaimana disampaikan oleh Mchombu (2007) “… Knowledge management as a

cross-disciplinary practice that enables organizations to improve the way they create, adopt, validate, diffuse, store and use knowledge in order to attain their goals faster

and more effectively“.Knowledge sharing dapat mempercepat proses kapabilitas petani inovasi individu. Hilmi et al. (2009) menemukan bahwa salah satu upaya yang dipandang efektif dalam meningkatkan kemampuan inovasi seseorang adalah melalui pengembangan aktivitas knowledge sharing, karena melalui aktivitas tersebut,

knowledge dapat disebarkan, diimplementasikan dan dikembangkan.

Pertanyaanya kemudian, mengapa harus kelembagaan petani? Sebab: (1) kelembagaan terdekat dengan petani/muara informasi dari berbagai sumber dan narasumber; (2) kelembagaan petani mempunyai anggota dengan berbagai keunikan dan kemampuan; (3) kelembagaan petani dapat memilih dan menyesuaikan secara langsung kebutuhan informasi/inovasi anggotanya (efektivitas dalam menghindari

overload informasi); (4) kelembagaan petani memiliki sarana dan prasarana dalam mengedukasi anggotanya; dan (5) memampukan kemandirian kelembagaan petani menghadapi stagnasi informasi, keterbatasan petugas penyuluhan formal. Peran yang dapat dilakukan oleh kelembagaan petani adalah dalam mengelola informasi, mediasi informasi, edukasi insan informasi, wadah kerjasama dan wadah unit usaha. Tanpa bermaksud bersikap “antipati” terhadap kelembagaan penyuluhan lainnya yang termasuk dalam jaringan informasi, sudah saatnya kini memperhatikan kelembagaan petani sebagai media pemadu sistem kelembagaan penyuluhan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi sehingga lebih mempercepat proses penyebaran informasi yang terbarukan/inovasi. Mewujudkan kelembagaan petani yang demikian, tidaklah mudah. Namun, peran tersebut patut menjadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pertanian yang memanfaatkan kelembagaan petani sebagai perantaraan penyebaran informasi dengan memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya yaitu: (1) karakteristik petani; (2) kualitas informasi; (3) dinamika kelembagaan petani; dan (4) dukungan kelembagaan eksternal.

Berbeda dengan penelitian-penelitian kapabilitas petani dan kelembagaan petani sebelumnya, penelitian ini pada prinsipnya: Pertama, mengintegrasikan pendekatan

knowledge management dalam peran dan fungsi kelembagaan petani dalam mengelola informasi, mediasi informasi, edukasi insan informasi dengan kelembagaan petani sebagai wadah kerjasama dan unit unit usaha. Kedua, menempatkan kapabilitas petani mengelola inovasi sebagai indikator ukuran perubahan kapabilitas petani mengelola inovasi. Ketiga, menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap penguatan peran kelembagaan petani dalam peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi. Pada intinya, penelitian ini menjadikan kelembagaan petani sebagai satu strategi dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Metode Penelitian

Penelitian ini didesain secara kuantitatif dan kualitatif (mixed method), dengan menggunakan metode survei. Penelitian dilakukan di dataran tinggi Jawa Barat berlokasi di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung Barat. Penelitian dilaksanakan dari Bulan Maret 2014 sampai Januari 2015. Petani sayuran yang dijadikan sampel penelitian berjumlah 243 orang (114 orang petani di Kabupaten Bandung Barat dan 129 orang petani di Kabupaten Cianjur). Untuk wawancara mendalam dipilih secara sengaja pengurus dan anggota dari setiap kelompok. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur, wawancara mendalam, diskusi terfokus (FGD) dan observasi. Sedangkan

data sekunder dikumpulkan dari lembaga terkait melalui teknik studi literatur (desk study). Data-data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Penentuan strategi penguatan peran kelembagaan petani dalam peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi didasarkan pada hasil analisis Structure Equation Model/SEM.

Hasil dan Pembahasan Peran Kelembagaan Petani

Kelembagaan petani, baik sebagai sebuah sistem maupun sebagai sebuah pendekatan penyuluhan, kelembagaan petani telah terbukti adaptif dengan paradigma pembangunan pertanian di Indonesia. Terkait dengan perkembangan teknologi informasi, kelembagaan petani juga dituntut agar antisipatif terhadap peluang, tantangan dan dampak dari globalisasi informasi melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Secara spesifik, kelembagaan petani dituntut sebagai sebuah solusi guna mengatasi ketimpangan, kesenjangan/bias informasi bagi para petani di pedesaan. Konsekuensinya, kelembagaan petani sekarang dan ke depan dituntut dalam mengelola informasi, mediasi informasi petani dan edukasi bagi setiap anggotanya. Kemodernan dan daya saing memaksa peran kelembagaan petani untuk dinamis, kelembagaan petani yang benar-benar adaptif, akomodatif, prediktif dan antisipatif terhadap perubahan lingkungannya. Peran kelembagaan petani di era globalisasi informasi selain dicirikan dengan kemampuannya sebagai wahana kerjasama dan wadah peningkatan nilai tambah bagi para anggotanya, juga dicirikan dengan kemampuannya dalam mengelola informasi, kemampuan mediasi informasi serta kemampuan mendidik insan informasi.

Secara simultan peran kelembagaan petani di Jawa Barat telah memiliki peran yang cukup baik dilihat dari nilai validitas perananya mengelola informasi (0.91), mediasi informasi (0.81), edukasi insan informasi (0.64), wadah kerjasama (0.63) dan unit usaha/peningkatan nilai tambah (0.64). berdasarkan hasil analisis uji beda dengan menggunakan indefendent Ttest menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tidak terdapat perbedaan peran kelembagaan petani di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur ditunjukkan dengan nilai (thit1.33 < ttabel1.96). Namun secara parsial perbedaan

terdapat pada peran mengelola informasi (thit2.32 > ttabel1.96) dan peran mediasi

informasi (thit3.28 > ttabel1.96). Peran edukasi, wadah kerjasama dan unit usaha tidak

berbeda nyata di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.

Pada Gambar 15 terlihat bahwa peran mengelola informasi dapat dilihat dari: (1) pencarian informasi oleh kelompok (92.3%); (2) penyederhanaan informasi (93.4%); (3) penyebaran informasi kepada anggota (93.9%); dan (4) penyimpanan informasi (91.7%) Peran mediasi dapat dilihat dari: (1) peran kelompok dalam memediasi informasi antar anggota; (2) mediasi anggota dengan kelembagaan penyuluhan (90.5%); (3) mediasi anggota dengan kelembagaan penelitian (81.3%); (4) mediasi anggota dengan kelembagaan pendidikan dan latihan (90.0%); dan (5) mediasi anggota dengan luar anggota (kelompok lain) (93.4%).

Pada Gambar 15 terlihat bahwa peran kelembagaan petani sebagai lembaga pendidikan bagi petani dilakukan dalam bentuk pelatihan (84.8%), ujicoba lapangan (85.0%), bimbingan anggota (90.5%), serta fasilitasi terhadap anggota (84.9%). Selain itu, keberadaan kelompok dirasakan petani telah mampu berperan dalam meningkatkan produksi (89.9%) dan pendapatan para anggota (88.9%).

Peran mengelola informasi, peran mediasi dan peran edukasi dilakukan kelembagaan petani dalam menyikapi keterbatasan penyuluh sebagai akibat kendala jumlah binaan petani yang terlalu banyak, medan yang sulit dijangkau, kurangnya dana operasional penyuluhan, kurangnya informasi pengetahuan dan banyaknya tugas-tugas penyuluh lapangan dalam menyampaikan informasi pengetahuan inovasi teknologi menjadikan tuntutan peran tersebut komplementer oleh kelembagaan petani. Tuntutan dimana kelembagaan petani untuk dapat ikut berperanserta dalam proses diseminasi inovasi pertanian. Namun demikian berdasarkan analisis terdapat aspek yang harus ditingkatkan, yaitu: (1) peran pengelolaan informasi utamanya dalam hal pencarian dan penyimpanan informasi (database informasi); (2) peran mediasi informasi utamanya dalam memediasi dengan lembaga penelitian dan lembaga pendidikan dan pelatihan; (3) edukasi insan informasi dalam hal pelatihan dan ujicoba teknologi di lapangan; dan (4) wadah kerjasama dalam hal kerjasama budidaya dan kerjasama permodalan.

Selain beberapa peran yang teridentifikasi secara kuantitatif, berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa pengurus kelompok tani, terdapat fungsi kelembagaan petani dalam proses memvalidasi inovasi. Kelembagaan petani melalui beberapa keunggulan dan keterampilan anggotanya, mencari dan menggali informasi spesifik yang bersumber dari internet/petugas/pengalaman petani sesuai dengan kebutuhan anggota (tidak overload informasi). Informasi yang terkumpul (discover) kemudian dipilah, dipelajari, dinilai dan disaring untuk kemudian disederhanakan baik bahasa penyampaian atau penyederhanaan praktek lapang.

Pada tahap develop sebagian kelembagaan petani menguji

informasi/pengetahuan/inovasi melalui ujicoba dalam sekala kecil yang dimiliki kelompok. Dalam percobaan tersebut, seringkali dilakukan bersama dan berkonsultasi dengan petugas di lapangan. Pada tahap ini, kelembagaan petani melakukan layanan konsultasi dan memodifikasi inovasi sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang ada. Inovasi yang telah dianggap layak oleh kelembagaan petani (secara sosial, ekonomi) kemudian dikemas dalam modul panduan praktek lapang secara sederhana.

Ide baru/inovasi yang telah dikemas dalam modul sederhana, selanjutnya disebarkan kepada anggota petani terdekat dalam kelompoknya. Pada tahap ini (disseminate), proses internalisasi terjadi dimana respon diberikan oleh anggota lain atas inovasi. Terkadang, pada tahap ini muncul ide-ide baru, petani mendiskusikannya kembali di dalam anggota kelompoknya. Semakin banyak ide yang dilontarkan untuk memodifikasi, semakin berpeluang inovasi tersebut untuk dikembangkan. Saran/ide- ide baru kemudian dilakukan modifikasi inovasi oleh kelompok. Setelah melalui perbaikan dan beberapa kali ujicoba, maka inovasi secara sengaja atau dengan sendirinya menyebar kepada anggota lain (utamanya inovasi yang dapat memberikan keuntungan).

Faktor Penentu Peran Kelembagaan Petani

Berdasarkan nilai standardized loading factor(λ) pada Tabel 14, diketahui bahwa pada taraf 5 persen faktor yang berpengaruh terhadap penguatan peran kelembagaan petani adalah faktor karakteristik individu dan dinamika kelompok. Indikator dominan dari karakteristik individu yang berpengaruh pada penguatan peran kelembagaan petani adalah tingkat pendidikan (0.61), kepemilikan sarana teknologi informasi dan komunikasi (0.77), keberadaan anggota dengan kemampuan akses informasi (0.78), kekosmopolitan dalam memperoleh dan menyebarkan informasi kepada anggota lain, sikap (0.98) terhadap perubahan merupakan indikator yang nantinya memberikan efek pada penguatan peran kelembagaan petani. Hanya indikator umur, pengalaman usahatani dan status keanggotaan tidak valid. Pada variabel dinamika kelompok, hampir secara keseluruhan merupakan indikator valid dengan indikator dominan tujuan kelompok (0.80), struktur (0.73), fungsi tugas (0.75), pengembangan (0.74), kekompakan (0.94), suasana (0.74), tekanan (0.50) dan kefektifan (0.71).

Tabel 14 Faktor yang berpengaruh terhadap peran kelembagaan petani

Peubah Eksogen Peubah

Endogen Dugaan THitung Keterangan Karakteristik Peran kelembagaan 0.250 5.89 Signifikan berpengaruh Kualitas informasi Peran kelembagaan 0.042 1.21 Tidak signifikan

berpengaruh

Dinamika kelompok Peran kelembagaan 0.650 10.21 Signifikan berpengaruh Dukungan kelembagaan

eksternal Peran kelembagaan 0.095 1.21

Tidak signifikan berpengaruh

Berdasakan hasil analisis, maka penguatan peran kelembagaan petani sangat bergantung pada anggota yang dapat memanfaatkan pengetahuan dan informasi yang berada dalam kelembagaan tersebut serta kelembagaan petani yang dapat mengikuti perkembangan/dinamika masyarakat. Pentingnya mendinamiskan kelompok dapat memberikan pengaruh terhadap peran kelembagaan petani di era globalisasi informasi. Unsur-unsur yang menjadi kekuatan kelompok haruslah mendapat perhatian. Kedinamisan kelompok selain dicirikan dengan kemampuannya sebagai wahana kerjasama dan wadah peningkatan nilai tambah bagi para anggotanya, juga dicirikan dengan kemampuannya dalam mengelola informasi, kemampuan mediasi informasi serta kemampuan mendidik insan informasi. Dengan dukungan kondisi kelembagaan petani yang dinamis dengan rataan usia produktif (43 tahun), motivasi berkelompok yang tinggi (>90%), pengalaman usahatani (>7 tahun), kesiapan melakukan perubahan (>69.8%), kepemilikan sarana prasarana teknologi informasi dan komunikasi (93.8%), kemampuan akses internet (>52.7%), tingkat kekosmopolitan tinggi (>90%), kemudahan berbagi informasi antar petani (>82%) memberikan peluang kepada kelembagaan petani untuk dapat meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi.

Model regresi dari faktor-faktor yang berpengaruh pada peran kelembagaan petani adalah: Y1 = 0.25*X1 + 0.042*X2 + 0.65*X3 + 0.095*X4, errorvar = 0.23 dan R2 = 0.77. Nilai R menunjukkan bahwa 77 persen varian dari peran kelembagaan petani dipengaruhi 25 persen oleh karakteristik individu, 4.2 persen oleh kualitas informasi, 65 persen oleh kedinamisan kelompok dan 9.5 persen oleh dukungan kelembagaan eksternal. Kurangnya pengaruh kualitas informasi terhadap peran kelembagaan petani disebabkan: (1) kualitas informasi yang ditampilkan rendah; (2) masih lemahnya akses langsung terhadap internet; (3) kurangnya bimbingan dan pelatihan pemanfaatan media; dan (4) informasi tidak sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian, nilai positif dari koeefisien kualitas informasi pada media internet terhadap peran kelembagaan, mengindikasikan bahwa teknologi informasi (khususnya internet) memiliki implikasi kritis terhadap daya saing kelembagaan petani. Untuk tetap bertahan dan unggul dalam persaingan pasar, kelembagaan petani perlu memberikan perhatian dan mampu memanfaatkan peluang teknologi untuk mendukung strategi usahatani serta meningkatkan pelayanan informasi terhadap para anggotanya. Dalam upaya meningkatkan peran kelembagaan petani, kelembagaan petani memiliki sebuah kemampuan (capability) untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi dalam meningkatkan kapabilitas anggotanya.

Nilai positif faktor dukungan kelembagaan eksternal dapat dijadikan sebagai satu variabel pengungkit peran kelembagaan petani, apabila ditingkatkan dukungan kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan penelitian. Secara parsial, keberadaan kelembagaan eksternal yang dirasakan petani sangat mendukung adalah keberadaan infrastruktur jaringan dan keberadaan kelembagaan input/output. Kelembagaan ini (pedagang pengumpul/suplier/fasilitator) hampir setiap saat bersinggungan dengan kelembagaan petani. Bentuk dukungan kelembagaan ini mulai dari pengadaan input (penyediaan bibit, pupuk, pestisida), proses (bimbingan teknologi melalui fasilitator dan beberapa ujicoba lapangan), sampai dengan pemasaran (kemitraan).

Strategi Penguatan Peran Kelembagaan Petani dalam Peningkatan Kapabilitas Petani Mengelola Inovasi

Berdasarkan hasil pengukuran validitas dengan menggunakan Confirmatory Faktor Analysis (CFA), diketahui bahwa karakteristik individu, kualitas informasi, dinamika kelompok dan dukungan kelembagaan eksternal mempunyai validitas yang baik pada kebaikan model RMSEA 0.099, GFI 0.91, CFI 0.92 dan NFI 0.9 (model dapat dilanjutkan/good fit) untuk dianalisis. Hasil analisis SEM (Gambar 17) diketahui karakteristik anggota dan dinamika kelompok berpengaruh nyata terhadap peningkatan

peran kelembagaan petani. Meskipun kualitas informasi dan dukungan kelembagaan eksternal tidak berpengaruh nyata, namun apabila kedua variabel ini ditingkatkan kualitasnya maka dapat meningkatkan peran kelembagaan, hal ini dilihat dari nilai positif masing-masing koefisien sebesar 1.20 dan 1.21.

Peran kelembagaan berpengaruh nyata (thitung8.59 > 1.96), karakteristik petani

(thitung6.68 > 1.96), kualitas informasi (thitung9.56 > 1.96) terhadap peningkatan

kapabilitas petani mengelola inovasi. Ukuran kapabilitas pada penelitian ini merujuk pada five core capability (Baser and Morgan 2008) ditunjukkan dengan: (1) kemampuan beradaptasi dengan inovasi; (2) kemampuan menyaring inovasi; (3) kemampuan komitmen terhadap inovasi; (4) kemampuan mengelola sumberdaya yang ada; dan (5) kemampuan melaksanakan inovasi.

Berdasarkan hasil pengukuran validitas dengan menggunakan Confirmatory Faktor Analysis (CFA) pengukuran kapabilitas petani mengelola inovasi dapat dilakukan dengan indikator: (1) kemampuan beradaptasi dengan inovasi (0.89); (2) kemampuan menyaring inovasi (0.97); (3) kemampuan komitmen terhadap inovasi (0.92); (4) perilaku mengelola sumberdaya yang ada (0.89); dan (5) kemampuan melaksanakan inovasi (0.91).

Chi-square=2392.13; df=710; P-value=0.0000; RMSEA=0.099

Gambar 17 Model struktural faktor dominan yang mempengaruhi kapabilitas petani mengelola inovasi (Standardized loading factor)

Bukti empirik dilapangan (Gambar 17) memperlihatkan bahwa secara umum tingkat kapabilitas petani mengelola inovasi masih rendah. Artinya, kelebihan manfaat dari adanya inovasi masih belum dinikmati oleh sebagian besar petani. Berdasarkan hasil uji beda dengan menggunakan indenfendent Ttest menunjukkan bahwa secara simultan terdapat perbedaan tingkat kapabilitas petani mengelola inovasi di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur, ditunjukkan dengan nilai (thit6.52 > ttabel1.96).

Pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat petani dengan ciri kapabilitas petani bernovasi rendah dan ciri petani dengan kapabilitas tinggi merujuk pada indikator kapabilitas Baser and Morgan (2008) (Tabel 15).

Tabel 15 Kapabilitas petani mengelola inovasi

No. Aspek Kapabilitas Rendah Kapabilitas Tinggi 1. Kemampuan

beradaptasi dengan inovasi

 Tidak melakukan reposisi  Tidak belajar penyesuaian  Tidak berpikir untuk mencoba  Tidak memasukan ide-ide baru

 Tidak terpikir untuk menerapkan dimasa akan datang

 Melakukan reposisi  Belajar penyesuaian  Berpikir untuk mencoba  Memasukan ide-ide baru  Berpikir untuk menerapkan

dimasa akan datang 2. Kemampuan

menyaring inovasi

 Tidak menjaga keberlangsungan inovasi  Tidak berupaya untuk

mengkomunikasikan inovasi dengan orang lain

 Tidak berupaya membangun koneksi  Tidak belajar mengkombinasikan

dengan potensi lokal

 Tidak mampu menilai inovasi

 Menjaga keberlangsungan inovasi  Berupaya untuk

mengkomunikasikan inovasi dengan orang lain

 Berupaya membangun koneksi  Belajar mengkombinasikan

dengan potensi lokal  Mampu menilai inovasi 3. Kemampuan

komitmen terhadap inovasi

 Kesadaran mengenai inovasi kurang  Tidak mau untuk bertahan/mencoba lagi

bila inovasi mengecewakan  Tidak bercita-cita

 Kurang keyakinan akan inovasi  Tidak ada korbanan akan inovasi  Tidak fokus pada tujuan inovasi

 Kesadaran mengenai inovasi tinggi

 Kemauan untuk bertahan,  Kemauan untuk bercita-cita,  Keyakinan tentang inovasi  Korbanan terhadap inovasi  Fokus pada tujuan inovasi 4. Kemampuan

melaksanakan inovasi

 hanya melaksanakan sebagian  Tidak menyebarkan inovasi

 Tidak merencanakan inovasi selanjutnya

 Menerapkan inovasi seluruhnya  Memberikan layanan inovasi  Perencanaan inovasi selanjutnya 5. Kemampuan

mengelola sumberdaya yang ada

 Tidak mempunyai kredibilitas dan legitimasi atas pengaturan sumberdaya dari orang lain

 Tidak ada kepercayaan diri dalam mengelola sumberdaya

 Mempunyai kredibilitas dan legitimasi atas pengaturan sumberdaya dari orang lain  Mempunyai kepercayaan diri

dalam mengelola sumberdaya

Pada Tabel 15 memperlihatkan bahwa petani yang melakukan penyesuaian terhadap inovasi, tindakan petani mengarah pada penyesuaian dengan segala bentuk kebaruan baik kebaruan komoditas, teknik pengeloaan usahatani atau kebaruan berupa peluang pemasaran. Jika terdapat informasi yang sifatnya baru, mula-mula petani melakukan: (1) dialog internal untuk menerapkan kebaruan, mereka berpikir sekemampuan mereka dengan cara memadukan pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki; (2) mulai mencoba-coba belajar penyesuaian dengan cara memikirkan lebih dalam terhadap satu atau dua inovasi; (3) mulai terpikir untuk memasukan ide-ide kebaruan dalam usahatani; (4) reposisi dan reconfigure untuk memantapkan kebaruan; dan (5) memetakan kebaruan untuk usahatani selanjutnya.

Petani yang menyaring inovasi terlihat dari tindakan petani dalam mengelola keseimbangan antara keragaman (existing vs inovasi), ditunjukkan dengan: (1) kemampuan menilai kebaruan, petani dengan kemampuan ini selalu menilai sekemampuan mereka baik buruknya kebaruan dari berbagai aspek; (2) kemampuan mengkomunikasikan inovasi dengan orang lain, peyakinan baik buruknya inovasi; dan