• Tidak ada hasil yang ditemukan

LINGKUNGAN EKSTERNAL MENDUKUNG PENGUATAN PERAN KELEMBAGAAN PETAN

KAPABILITAS PETANI MENGELOLA INOVAS

8 LINGKUNGAN EKSTERNAL MENDUKUNG PENGUATAN PERAN KELEMBAGAAN PETAN

Pendahuluan

Sistem pada dasarnya adalah keseluruhan dari beberapa sub sistem yang membentuk satu kesatuan dan saling berinteraksi antara satu sub sistem dengan sub sistem lainnya (saling ketergantungan, saling mempengaruhi) dalam mencapai atau mewujudkan suatu tujuan. Sedangkan sub sistem adalah bagian atau unsur-unsur penyusun pembentukan sistem. Kita lihat menurut Undang-undang No.16 Tahun 2006 bahwa sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan (selanjutnya disebut

sistem penyuluhan) adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan,

pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Dalam membangunnya (Slamet 2008) harus dilanjutkan dengan memikirkan dan menentukan segala prasarana dan sarana dalam bentuk lembaga- lembaga yang diperlukan untuk dapat menjalankan penyuluhan pembangunan dengan lancar, efektif dan efisien. Prasarana yang perlu dibangun tersebut termasuk kebijakan- kebijakan dasar yang relevan. Sarana yang diperlukan menyangkut sumberdaya- sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung operasionalisasi kelembagaan- kelembagaan yang diperlukan dalam menjalankan sistem penyuluhan (dalam bahasan ini di sebut sebagai lingkungan dari sistem penyuluhan).

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada diluar sistem. Pada umumnya sistem jauh lebih kecil daripada lingkungannya. Lingkungan bisa berpengaruh terhadap operasi sistem dalam arti bisa merugikan atau menguntungkan sistem itu sendiri. Lingkungan yang merugikan tentu saja harus ditahan dan dikendalikan supaya tidak mengganggu kelangsungan operasi sistem, sedangkan yang menguntungkan tetap harus terus dijaga, karena memacu terhadap kelangsungan hidup sistem.

Jadi singkatnya, lingkungan sistem penyuluhan adalah kesatuan ruang/wilayah dengan segala sesuatunya (lembaga, kebijakan, peraturan pemerintah) yang mempengaruhi kelangsungan dan kesejahteraan dimana sistem penyuluhan itu berada. Dengan demikian keberhasilan sistem penyuluhan dapat berjalan dengan baik, juga dipengaruhi oleh lingkungannya, artinya sistem penyuluhan bergantung pada berbagai aspek dan pihak yang mempengaruhi sistem tersebut. Sistem berada pada satu lingkungan dimana sistem tersebut berada. Mengingat luasnya konteks lingkungan penyuluhan, maka untuk lebih memudahkan kita dalam memahami apa itu lingkungan penyuluhan dan segala aspek yang mempengaruhi dalam sistem penyuluhan maka dalam tulisan ini digambarkan beberapa komponen kelembagaan sistem penyuluhan yang mempengaruhi kinerja kelompok tani di dataran tinggi Jawa Barat.

Metode Penelitian

Penelitian ini didesain secara kuantitatif dan kualitatif (Mixed method), dengan menggunakan metode survei. Penelitian dilakukan di dataran tinggi Jawa Barat, yaitu di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Penelitian dilaksanakan dari Bulan Juli 2013 sampai Oktober 2014. Populasi penelitian adalah petani sayuran di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Pacet berjumlah 439 orang yakni seluruh petani yang tergabung dalam kelembagaan petani yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. jumlah populasi adalah 184 orang di Kecamatan Lembang dan 255 orang di Kecamatan Pacet. Sampel ditentukan dengan menggunakan formulasi Slovin (Umar 2002) dengan derajat kesalahan 5 persen sebagai berikut: N n = 1 + N(e)2 Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran sebesar 5 persen

Tabel 13 Jumlah populasi dan sampel penelitian

Kabupaten Jumlah Populasi (orang) Jumlah Sampel (orang)

Bandung Barat 184 126

Cianjur 255 156

Total 439 282

Berdasarkan rumus Slovin tersebut, petani sayuran yang dijadikan sampel penelitian berjumlah 282 petani sayuran berhasil dipilih untuk menjadi responden yang berasal dari dua lokasi penelitian, dan setelah dibersihkan datanya (cleaning data) sebanyak 39 responden dianggap kurang layak, sehingga menjadi 243 orang (114 orang petani di Kabupaten Bandung Barat dan 129 orang petani di Kabupaten Cianjur.

Gambaran dukungan kelembagaan eksternal dilakukan melalui persepsi 243 orang petani sayuran yang dijadikan sampel penelitian. Persepsi petani terhadap kelembagaan pendukung kelembagaan petani adalah pandangan petani terhadap kondisi faktor-faktor eksternal yang berkontribusi dalam mendukung penguatan peran kelembagaan petani. Indikator dari faktor eksternal meliputi dukungan lembaga penyuluhan, penelitian, lembaga pendidikan dan latihan, lembaga pasar input dan output serta keberadaan jaringan dan kebijakan yang mendukung penguatan peran kelembagaan petani. Sedangkan guna melihat sistem jaringan informasi yang dibangun melalui kelembagaan petani dilihat berdasarkan analisis sistem blackbox.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Lingkungan Eksternal Pendukung Kelembagaan Petani

Membangun lingkungan sistem penyuluhan (Slamet 2008) harus dilanjutkan dengan memikirkan dan menentukan segala prasarana dan sarana dalam bentuk lembaga-lembaga yang diperlukan untuk dapat menjalankan penyuluhan pembangunan dengan lancar, efektif dan efisien termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan dasar yang relevan, dan sarana yang diperlukan menyangkut sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung operasionalisasi kelembagaan-kelembagaan yang diperlukan dalam menjalankan sistem penyuluhan.

Sumaryanto dan Siregar (2003) menyatakan bahwa faktor lingkungan tidak dapat dikendalikan oleh seseorang. Tapi lebih jauh dikemukakan bahwa ada dua faktor eksternal yaitu faktor eksternal yang berada di luar kendali seseorang (strTIKly external) dan faktor eksternal yang seseorang dapat mengendalikannya dengan bantuan orang lain (quasi external). Faktor lingkungan yang dikaji dalam penelitian ini seluruhnya termasuk dalam kategori quasi external dimana lingkungan ini dapat diperbaiki kualitasnya melalui bantuan atau intervensi pihak lain atau pemerintah. Lingkungan eksternal sistem (environment) yang dimaksud adalah segala sesuatu di luar dari batas sistem yang mempengaruhi peran kelompok tani. Lingkungan luar sistem ini dapat bersifat menguntungkan atau merugikan. Lingkungan luar yang bersifat menguntungkan harus dipelihara dan dijaga agar tidak hilang pengaruhnya, sedangkan lingkungan yang bersifat merugikan harus dimusnahkan dan dikendalikan agar tidak mengganggu operasi dari sistem.

Penelitian Santosa (2004) menyimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku adaptif petani tepian hutan. Artinya, lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam mengadopsi inovasi. Inovasi muncul apabila terjadi interaksi dan komunikasi yang intensif antara perusahaan dengan lingkungannya (Sarens 1987; Roertson dan Gatignon 1987 dalam

Slappendel 1996). Interaksi dengan konsumen memberikan kontribusi terhadap inovasi dengan membangkitkan permintaan (Marquiz; Utterback 1982 dalam Salppendel 1996). Demikian halnya dengan kelembagaan petani. Keberhasilan kelembagaan petani dalam meningkatkan kapabilitas petani mengelola inovasi, sangat bergantung pada interaksi kelembagaan tersebut dengan kelembagaan eksternal lainnya dan interaksi anggota di dalam kelembagaan itu sendiri (proses berbagi informasi). Broad dan Newstrom (1996) dalam Hariyati (2005) mengemukakan bahwa lingkungan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan berbagi pengetahuan (sharing knowledge).

Kelembagaan petani sebagai bagian dari sistem penyuluhan mempunyai keterhubungan dengan kelembagaan ekternal lainnya. Lingkungan eksternal kelembagaan dalam penelitian ini merujuk pada faktor lingkungan yang diduga berpengaruh pada peran kelembagaan petani dalam proses peningkatan kapabilitas petani bernovasi berbasis teknologi informasi. Adapun lingkungan eksternal yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: (1) kelembagaan penyuluhan; (2) kelembagaan penelitian; (3) kelembagaan pelatihan; (4) kebijakan pemerintah; dan (5) keberadaan jaringan. Lingkungan eksternal diukur berdasarkan kontribusi terhadap penguatan peran kelembagaan petani dan peningkatan kapabilitas petani mengelola inovasi petani sesuai dengan fungsi-fungsi atau tugas pada masing-masing kelembagaan eksternal (penyuluhan, penelitian dan lembaga pendidikan dan latihan baik yang dilakukan agen pemerintah, swadaya maupun swasta).

Kelembagaan Penyuluhan

Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (selanjutnya telah diganti dengan UU No. 32/2004) menjadi salah satu penyebab mundurnya penyuluhan, di mana keberadaan para penyuluh bertugas pada wilayah yang tidak memiliki kelembagaan secara administrasi dan pengelolaannya diserahkan pada pemerintah daerah. Penyuluh telah terpisah-pisah pada masing-masing subsektor sesuai latar belakang pendidikan para penyuluh itu sendiri (Slamet 2008). Demikian halnya dengan kelembagaan penyuluhan yang ada di masing-masing Kabupaten di Jawa Barat. Di Kabupaten Bandung Barat belum memiliki status yang jelas, bahkan gedung BPP masih menumpang pada kantor lain dan fasilitasnya sangat terbatas. Kabupaten Cianjur memfokuskan kelembagaan penyuluhannya dalam satu instansi Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Pacet, sedangkan di Kabupaten Bandung Barat terangkum dalam

bagian pertanian di kantor kecamatan. Semua bergantung pada kehendak dan aturan para pemimpin di daerah.

Beberapa dampak yang ditimbulkan adalah: (1) kinerja penyuluhan menurun; sebagai akibat ketidakjelasan perencanaan kegiatan yang tidak ditunjang dengan ketersediaan anggaran, sarana dan prasarana; (2) ketidasesuaian fungsi tugas penyuluhan; beberapa petugas lapangan mengungkapkan bahwa mereka seringkali justru bukan melaksanakan tugas fungsi penyuluhan, mereka seringkali melaksanakan tugas fungsi lain menurut kehendak pimpinan daerah di kabupaten dan kecamatan; (3) kesulitan dalam melakukan bimbingan penyuluhan; tidak adanya anggaran operasional kunjungan dan bimbingan lapangan; (4) kapasitas tidak berkembang; sebagai akibat tidak diikutsertakan dalam pelatihan-pelatihan; dan (5) kesulitan dalam pengembangan karir; tidak adanya anggaran operasional yang mendukung pelaksanaan pengujian- pengujian yang biasa mereka lakukan.

Gambar 11 Persentase dukungan lingkungan eksternal, 2015

Kecamatan Lembang di Kabupaten Bandung Barat terdiri atas 16 Desa dan 55 Dusun, terbagi menjadi 6 wilayah binaan penyuluhan, yaitu Cibodas, Lembang, Cikahuripan, Cikidang, Cikole, Langensari, dengan jumlah kelompok berjumlah 113 kelompok. Sementara jumlah penyuluh yang ada baik yang berstatus PNS dan THL berjumlah 6 orang. Di Kecamatan Pacet terdapat 11 orang petugas penyuluh untuk membina 44 kelompok tani. Apabila dibandingkan jumlah petugas dan jumlah desa atau kelompoktani yang ada, maka kondisi tersebut sangat jauh dari kondisi ideal. Namun dengan segala keterbatasannya, para petugas di lapangan berusaha tetap melakukan bimbingan melalui kunjungan-kunjungan ke petani, kerjasama penelitian dan pengkajian dengan lembaga-lembaga riset baik pemerintah maupun swasta. Beberapa dari petugas lapang/penyuluh khususnya penyuluh yang berstatus THL dikabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur telah memanfaatkan TIK sebagai media pencarian informasi. Namun kendala yang dihadapi para penyuluh di Kabupaten Bandung Barat adalah tidak adanya fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki BPP untuk memvalidasi inovasi. Beberapa diantaranya ditanggulangi dengan kerjasama bersama para petani inovator pada kelembagaan petani dan kerjasama kaji terap dengan lembaga sumber inovasi. Berbeda dengan para petugas di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, BPP Kecamatan Pacet memiliki lahan ± 4.215 m2 dengan rincian penggunaan sebagai berikut: bangunan rumah dinas 56 m2, bangunan kantor 151 m2, pekarangan dan tempat parkir 747 m2, dan lahan usahatani/kebun percobaan seluas 3.261 m2. Namun demikian lahan percobaan saja tidak mencukupi, dibutuhkan dana operasional lain untuk suatu percobaan inovasi.

Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap yang dilakukan oleh para petugas di Kecamatan Pacet secara umum sangat baik dibandingkan dengan petugas yang ada di Kecamatan Lembang, hal tersebut dapat ditinjau dari kegiatan- kegiatan yang dilakukan oleh para petugas, kemudian kegiatan tersebut secara terbuka ke publik dilaporkan dalam bentuk pemberitaan di website resmi BPP Pacet. Berbagai upaya kegiatan yang mendorong terhadap peningkatan pengetahuan mengenai teknologi informasi bagi petugas, balai sudah berhasil menyelenggarakan pelatihan- pelatihan internal khusus bagi petugas. Berdasarkan informasi di lapangan, kegiatan pelatihan bagi petugas ini berhasil dilaksanakan sebanyak 7 (tujuh) kali dengan rincian materi sebagai berikut: (1) materi dasar pengenalan internet, (2) cara mencari informasi di internet, (3) cara membuat email, (4) cara mengirim dan mengecek email, (5) cara membuat berita kegiatan petugas, (6) cara mengelola website balai; dan (7) cara memposting berita di website balai.

Internet bukan hanya milik para pengusaha di kota, namun sekarang sudah jadi milik petani. Petani harus dapat manfaat dari teknologi internet ini, sebagai upaya pembinaan petugas yang telah berhasil dilakukan oleh petugas di Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur adalah, telah dilakukannya pelatihan pembuatan website bagi petani sehingga petani dapat memasarkan dan mempromosikan produk-produk unggulan masing-masing wilayahnya secara mandiri.

Pada Gambar 11 terlihat bahwa persepsi petani terhadap lembaga penyuluhan di Kabupaten Bandung Barat tergolong sedang. Petani di Kabupaten Bandung Barat mengatakan waktu kunjungan para penyuluh dirasakan 43.9 persen berkurang. Berbeda dengan petani di Kabupaten Cianjur, 89.2 persen petani menyatakan bahwa waktu kunjungan penyuluh masih dirasakan cukup. Menurut mereka, komunikasi tidak hanya sebatas pada kunjungan petugas ke petani, tetapi kunjungan petani kepada petugas lebih bermanfaat karena apabila petani yang mendatangi petugas sudah barang tentu ada suatu kebutuhan informasi atau solusi pemecahan masalah yang dibutuhkan, intinnya lebih pada kualitas pertemuan antara petani dan petugas.

Petani menyadari bahwa berkurangnya waktu kunjungan disebabkan keterbatasan jumlah penyuluh, luasnya wilayah binaan dan tidak adanya dana operasional. Selain itu, menurut petugas lapang berkurangnya kunjungan juga karena informasi baru (materi penyuluhan) yang dilatihkan kepada petani semakin berkurang. Pelatihan untuk penyuluh pertanian semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran dan kurangnya koordinasi antara pusat pelatihan dengan lembaga pelaksana penyuluhan. Dukungan lain dari lembaga penyuluhan yang dirasakan kelompok tani adalah berupa penyediaan informasi yang dibutuhkan petani. 69.3 persen di Kabupaten Bandung Barat dan 90.7 persen kebutuhan informasi petani melibatkan lembaga penyuluhan. Beberapa kesulitan dalam memahami informasi dari sumber lain, kelompok mengkomunikasikannya dengan lembaga penyuluhan termasuk di dalamnya dalam memahami kesulitan informasi yang berasal dari internet, 64.0 persen petani di Kabupaten Bandung Barat dan 92.3 persen petani di Kabupaten Cianjur mengkonsultasikannya dengan para penyuluh di lapangan.

Dukungan lain yang diberikan oleh lembaga penyuluhan kepada kelompok tani adalah dalam memediasi kemitraan usaha kelompok. Rata-rata 57.0 persen kemitraan yang dibangun kelompok atas jasa kelembagaan penyuluhan (petugas lapangan). Sisanya 43.0 persen atas dasar anggota dan pengurus kelompok. Bentuk kemitraan yang dibangun oleh lembaga penyuluhan diantaranya: (1) mempromosikan kelompok ke luar atas dasar potensi yang dimiliki kelompok; (2) menjaring mitra untuk melakukan magang/pelatihan pada kelompok berprestrasi; (3) narasumber pada kegiatan-kegiatan proyek di daerah bidang pertanian; (4) membangun mitra antara kelompok dengan produsen penyedia input pertanian; dan (5) fasilitasi mitra kerjasama kaji terap antara kelompok tani dengan lembaga riset pemerintah maupun swasta.

Kelembagaan Penelitian dan Pengkajian

Sistem penyuluhan pembangunan yang mengharuskan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Slamet 2008), maka lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian diharuskan mendukung penyuluhan untuk dapat bekerjasama secara harmonis. Apabila dibandingkan dengan lembaga penyuluhan, dukungan lembaga penelitian dirasakan masih kurang oleh petani. Lembaga penelitian dan pengkajian pertanian kepanjangan dari pemerintah pusat adalah Balai/Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP/LPTP). BPTP/LPTP mempunyai tugas melaksanakan kegiatan penelitian komoditas, pengujian dan perakitan teknologi tepat guna (TTG) dan spesifik lokasi (Pasandaran dan Adnyana 1995). Teknologi tepat guna (TTG) dalam hal ini mengandung pengertian bahwa lembaga pengkajian ini diharapkan mampu menghasilkan teknologi pertanian yang bersifat dinamis, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh petani dalam meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian (dalam arti luas). Spesifik lokasi adalah bahwa teknologi yang dihasilkan sesuai dengan agroekosistem setempat. BPTP/LPTP menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: (1) penelitian komoditas pertanian spesifik lokasi; (2) pengujian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik lokasi; (3) penyampaian umpan balik untuk penyempurnaan program penelitian pertanian; (4) penyampaian paket teknologi hasil pengujian dan perakitan sebagai bahan materi penyuluhan bagi lembaga penyuluhan; dan (5) pelayanan teknis kegiatan pengkajian teknologi pertanian. Namun demikian pembentukan BPTP/LPTP belum mendapat hasil yang menggembirakan. Hasil teknologi spesifik lokasi dirasakan mahal (dana, tenaga dan waktu yang cukup banyak). Untuk itu ketersediaan teknologi spesifik lokasi masih sangat terbatas.

Gambar 12 Persentase kerjasama, kepercayaan dan harapan terhadap lembaga penelitian, Tahun 2015

Diluar dari permasalahan sulitnya (delivery sistem inovasi), penting kiranya diketahui gambaran persepsi petani terhadap kelembagaan penelitian, mengingat pentingnya unsur partipasipatori petani dalam kegiatan proses penciptaan teknologi spesifik lokasi (kaji terap spesifik lokasi). Pentingnya mengetahui tingkat kepercayaan petani terhadap keberadaan lembaga penelitian, harapan petani terhadap keberadaan para peneliti dan besaran persentase kerjasama penelitian antara lembaga riset dengan kelompok tani.

Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa petani di Kabupaten Bandung Barat mempunyai nilai kepercayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan petani yang ada di Kabupaten Cianjur. Rendahnya kepercayaan petani terhadap lembaga ini disebabkan: (1) ketidaksesuaian inovasi dengan kebutuhan petani; (2) ketidaksesuaian inovasi dengan sumberdaya yang ada; (3) kegagalan inovasi; dan (4) kurangnya kerjasama uji adaptasi, kajiterap teknologi di lahan petani. Petani Bandung Barat berharap kerjasama dengan lembaga penelitian lebih banyak dilakukan mengingat

keberadaan lembaga penelitian justru berada dekat dengan lingkungan mereka. Harapan besar petani terhadap keberadaan dan dukungan lembaga penelitian terungkap dari tingginya nilai harapan dikedua lokasi penelitian. Harapan terhadap lembaga penelitian, tidak saja datang dari para petani, tetapi bagi para penyuluh di lapangan kerjasama lembaga penelitian sangatlah besar. Mengingat kaji terap yang biasa para petugas lakukan sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan mengingat tidak adanya anggaran. Selain itu, terjun langsung lembaga ini dilapangan dapat mempercepat proses adopsi inovasi teknologi di tingkat lapangan. Untuk itu, diperlukan keterkaitan erat antara lembaga penelitian/pengkajian-penyuluhan-petani dilapangan.

Hubungan kerjasama yang erat dan berkesinambungan antara berbagai kelembagaan dalam lingkungan penyuluhan pertanian, harus dianggap sebagai kepentingan yang mendasar bagi pembangunan pertanian. Kegagalan menciptakan hubungan tersebut dapat dianggap kegagalan untuk menyebarluaskan penyuluhan. Pentingnya kelembagaan penelitian dan penyuluhan dalam lingkungan sistem penyuluhan adalah: (1) pentingnya hubungan bagi kelembagaan penelitian; berkat terjalinnya hubungan dengan kelembagaan penyuluhan pertanian, lembaga penelitian dapat dipastikan meneliti permasalahan yang langsung bermanfaat bagi petani. Hal ini dapat memperlancar dukungan dana yang memadai dan berkesinambungan bagi pemerintah. Di samping itu, hubungan erat dengan kelembagaan penyuluhan pertanian diperlukan untuk menjamin agar hasil percobaan betul-betul teruji dengan keadaan lapangan. Diharapkan pula, makin banyak keterlibatan kelembagaan penyuluh pertanian (pemerintah, swasta, swadaya/kelembagaan petani) dilibatkan dalam tahap akhir percobaan dilapangan, makin tinggi minat mereka untuk menyebarluaskan hasil percoban tersebut kepada petani; dan (2) pentingnya hubungan dengan kelembagaan penelitian; kelembagaan penyuluhan pertanian perlu menjalin hubungan erat dan berkesinambungan dengan balai-balai penelitian agar kelembagaan penyuluhan pertanian mengikuti rekomendasi yang mutakhir dari penelitian. Hubungan seperti itu juga menjamin agar rekomendasi cukup teruji secara teknis, ekonomi, maupun sosial. Ketiga faktor itu sangat penting untuk menjaga kepercayaan petani kepada kelembagaan penyuluhan pertanian.

Kelembagaan Pendidikan dan Pelatihan

Lembaga pelatihan bertugas menyusun sistem pelatihan bagi para peserta pelatihan, melatih peserta diklat adalah meningkatkan kompetensi tertentu dengan tujuan untuk memperkuat pelaksanaan dan aktivitas sehari-hari. Yang disebut lembaga pelatihan menurut Slamet (2008) tidak harus berbentuk gedung atau kampus, tetapi yang penting harus ada sistem pelatihannya. Sistem pelatihan menyangkut: siapa yang dilatih, siapa yang melatih, dilatih apa, kapan dilatihnya, apa tujuan masing-masing pelatihan dan sebagainya. Latihan-latihan ini harus bersistem dan berjadwal. Dalam sistem pelatihan itu juga harus melekat insentif, sehingga menarik untuk diikuti dan berguna untuk karirnya. Insentif dapat berupa penghargaan ataupun persyaratan untuk mengikuti aktivitas-aktivitas lainnya.

Lembaga-lembaga pelatihan yang sudah dibentuk di bawah departemen perlu dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan pelatihan. Selain para penyuluh pertanian perlu juga petani (inovator) yang ada pada kelompok tani-kelompok tani mendapatkan pelatihan secara teratur dan terprogram sehingga kemampuannya selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu sesuai dengan kemampuan yang dituntut untuk mampu melaksanakan penyebaran inovasi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan petani. Di Jawa Barat terdapat Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Sumberdaya Manusia Pertanian (P3MSDMP) Ciawi dan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) di tingkat kabupaten.

Agar dapat memenuhi kebutuhan petani, maka program pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga pelatihan perlu disusun materi berdasarkan kebutuhan petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan koordinasi/kerjasama dengan lembaga kelompok tani untuk menentukan kebutuhan materi pelatihan petani. Selama ini dirasakan materi pelatihan sebagian besar terkait dengan pengelolaan budidaya dan sebagian kecil pelatihan mengenai administrasi kelompok. Di era kemajuan teknologi informasi, kecenderungan dibutuhkan pelatihan mengenai pemanfaatan informasi melalui jaringan internet (internetworking). Petani dan petugas diklat harus dapat mengambil manfaat dari perkembangan teknologi dan informasi. Hal ini didukung dengan 55.8 persen responden menginginkan pelatihan dalam bidang teknologi informasi utamnya pemanfaatan internetworking sebagai media informasi/penyuluhan. Penataan program dan peningkatan kemampuan petani perlu dibarengi dengan aspek pembiayaan utamanya bagi lembaga-lembaga Diklat. Atau bahkan kelompok tani sendiri yang mengeluarkan biaya untuk dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan pada lembaga diklat. Tanpa adanya biaya yang memadai, sasaran dan target yang dicanangkan sulit untuk dicapai. Sumber pembiayaan ini dapat dipenuhi dari berbagai sumber pembiayaan, seperti dari pemerintah (APBN, APBD), bantuan kelembagaan internasional atau negara sahabat (baik sebagai loan ataupun grant) ataupun melalui kerjasama kelembagaan/kalangan usaha swasta dalam mekanisme kerjasama operasional yang saling menguntungkan.

Lembaga Pembuat Kebijakan

Sub sistem ini bertugas menyusun kebijakan/rencana strategis yang menjamin adanya dan berlangsungnya penyuluhan secara efektif dan berkelanjutan. Sebagai sub sistem kebijakan adalah pemerintah mulai dari pusat, propinsi, hingga kabupaten/kota beserta dewan perwakilan pada setiap level tersebut yang berfungsi sebagai badan legislasi dan pengaturan anggaran. Sebagaimana telah disebutkan di muka, untuk melaksanakan sistem penyuluhan sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 16/2006, dibutuhkan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden, Gubernur, hingga Bupati/Walikota dan DPRD di berbagai level. Dalam hal ini, Sarma (2008) menyatakan bahwa, diperlukan 16 peraturan untuk mengimplementasikan UU No. 16/2006. Disamping itu, berdasarkan empirik masih diperlukan pengaturan secara khusus mengenai kerjasama/koordinasi yang harus dibangun antara Badan Pelaksana Penyuluhan di setiap daerah dengan lembaga-lembaga yang bertugas dalam sub-sistem yang lain (penelitian dan pengkajian, pendidikan khusus/kedinasan, dan pelatihan). Hal ini karena selama ini lembaga-lembaga tersebut tidak mempunyai hubungan struktural/formal dan dalam UU No. 16/2006 juga tidak diatur. Undang-undang tersebut pada hakekatnya baru mengatur sub-sistem kebijakan dan sub-sistem penyuluhan, belum menyinggung sub-sistem yang lain-lain sehingga belum terbentuk konsep sistem penyuluhan yang utuh dan terintegrasi. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pemegang otoritas dan hal ini tidak akan menjadi masalah,