• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecenderungan adiksi smartphone merupakan salah satu bentuk perilaku maladaptive. Perilaku ini dapat disebut sebagai maladaptive karena menimbulkan efek negatif diberbagai sisi kehidupan. Efek negatif tersebut meliputi akademik, relationship, keuangan, pekerjaan, dan fisik (Young, 1996). Dalam penelitian ini kecenderungan adiksi smartphone disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah: trait kepribadian extraversion dan keterampilan sosial (emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan sosial control).

Pada awalnya mungkin remaja secara tidak sengaja terpapar fitur-fitur dismartphone. Namun, semakin lama individu mungkin akan menarik diri dari lingkungan dan membuat ikatan emosional dengan orang-orang dismartphone.

Dengan demikian individu yang telah adiksi smartphone akan memperluas

46

penggunaan smartphone dan meningkatkan hubungan mereka dengan orang-orang dismartphone. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan gejala withdrawal seperti anger, irritability, edginess dan acting out jika individu kehilangan akses smartphone (Young dalam Beard, 2011). Selain itu remaja juga didorong pada pola perilaku yang dikondisikan (Song et al., 2004). Interaktivitas smartphone mungkin membangkitkan pola stimulus dan respon serta gratifikasi yang dirasakan pengguna. Misalnya merasa senang, dan dapat melepaskan stress saat menggunakan smartphone.

Kecenderungan adiksi smartphone semakin diperkuat jika remaja memiliki trait kepribadian extraversion dan keterampilan sosial yang rendah.

Karena remaja akan menggunakan smartphone untuk membangun jaingan sosial yang lebih luas sehingga memperkuat eksistensi mereka di lingkungan sosialnya, serta menjadi alat yang dapat menutupi keterbatasan keterampilan sosial mereka.

Extraversion adalah trait kepribadian dengan ciri sociable, dimana individu gemar membangun relasi sosial dengan orang lain. Selain itu, extraversion memiliki ciri sebagai pencari sensasi. Individu dengan sensation seeking membutuhkan beragam sensasi dari pengalamannya, dan bersedia mengambil resiko sosial dan fisik demi mendapatkan sensasi tersebut (Eysenck dalam Bianchi & Phillips, 2005). Disisi lain, smartphone menawarkan berbagai fitur untuk komunikasi seperti: panggian suara, email, SMS dan sebagainya.

Remaja yang extraversion mungkin akan menunjukkan perilaku seperti: memulai percakapan melalui smartphone, sering mengupdate status di media sosial, mempublikasi foto/kegiatan terbaru yang dilakukan, dan memberi komentar pada

postingan orang lain. Ditambah dengan karakteristik remaja yang mengembangkan minat sosial dengan teman sebaya, seperti memperbanyak kawan, berkumpul, dan kepemilikan akses smartphone. Sehingga semua aspek ini memungkinkan remaja untuk menggunakan smartphone lebih sering dan mengalami adiksi smartphone. Dalam hal ini smartphone digunakan sebagai sarana komunikasi tidak langsung yang dapat membantu remaja mempertahankan eksistensi dan membangun hubungan sosial yang lebih luas (Bianchi & Phillips, 2005).

Kecenderungan adiksi smartphone tidak hanya dipengaruhi oleh extraversion, tapi juga oleh rendahnya keterampilan sosial. Individu dengan keterampilan sosial yang baik akan mampu tampil dengan baik pula dilingkungan.

Keterampilan sosial dapat memudahkan remaja dalam memulai dan mempertahankan interaksi sosial dan menciptakan hubungan sosial yang positif.

Dalam hal ini lingkungan meliputi interaksi individu dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Individu dengan keterampilan sosial rendah akan menampilkan diri di lingkungan dengan kurang tepat, sehingga memilih smartphone sebagai sarana komunikasi daripada bertatap muka secara langsung.

Keterampilan sosial terdiri dari enam dimensi, yaitu: emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan social control. Emotional expressivity menentukan bagaimana cara individu mengexpresikan atau menyampaikan pesan nonverbal kepada orang lain.

Individu dengan emotional expressivity rendah cenderung sulit dalam menampakkan emosinya (berupa expresi atau gesture) sehingga memungkinkan

48

pada penggunaan smartphone. Smartphone dapat menjadi sarana individu menyampaikan pesan nonverbal, misalnya dengan penggunaan emoticon (Pramusita, 2014).

Kedua adalah emotional sensitivity mengacu pada kepekaan emosi seseorang, yaitu kemampuan untuk menerima dan decoding pesan nonverbal dari orang lain. Individu yang peka mampu mengartikan pesan nonverbal orang lain, cenderung lebih simpati, mampu berkomunikasi dengan cepat dan efisien (Riggio, 1981). Smartphone menawarkan pola komunikasi tidak langsung, dimana smartphone memiliki pesan nonverbal yang lebih jelas. Seperti pada fitur chatting yang memiliki emoticon/stiker yang cenderung memiliki persepsi yang sama pada pembacanya. Fitur inilah yang membantu mengatasi keterbatasan emotional sensitivity sehingga individu akan menggunakan smartphone secara berulang dan terus-menerus.

Ketiga adalah emotional control, yaitu kemampuan untuk mengatur tampilan emosi didepan orang lain (Riggio, 1986). Dalam menampilkan emosinya, individu dapat menggunakan ‘topeng’ yang tepat sesuai dengan keadaan lingkungan. Sehingga nyaman berada di depan oranglain, mampu bertatap muka, memulai, dan mempertahankan interaksi dengan oranglain. Jika individu memiliki emotional control rendah maka sulit mempertahankan interaksi maupun bertatap muka dengan oranglain, sehingga akan mengarah pada penggunaan smartphone sebagai sarana komunikasi tidak langsung (Pramusita, 2014).

Keempat adalah social expressivity, individu dengan social expressivity tinggi mampu berinteraksi dan bersama orang lain. Individu juga mampu memulai dan mempertahankan interaksi dengan orang lain karena merasa nyaman berbicara didepan orang lain (Riggio, 1986). Social expressivity rendah memungkinkan individu mengalami kesulitan tampil spontan dalam berinteraksi secara langsung, sehingga dapat beralih menggunakan media sebagai sarana berkomunikasi, seperti smartphone. Contohnya, menggunakan fitur chatting, SMS dan social media untuk berkomunikasi. Selain itu mereka juga mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui social media seperti sering mengupdate status. Sehingga mereka akan berinteraksi lebih sering dengan smartphonenya.

Kelima adalah social sensitivity, menentukan bagaimana individu mendecoding, memahami pesan verbal, dan norma sosial (Riggio, 1986).

Individu akan mampu tampil dengan baik di lingkungan sesuai norma dan mengatur kesesuaian perilaku mereka dengan orang lain. Social sensitivity yang rendah tidak mampu memahami lingkungannya dan memungkinkan berperilaku yang tidak sesuai, seperti terus menerus menggunakan smartphonenya dalam situasi apapun.

Terakhir adalah social control, menentukan bagaimana individu mampu mengatur dan menampilkan dirinya di lingkungan. Individu akan memahami norma, mampu mengambil posisi dalam interaksi dan berperilaku sesuai dengan situasi sosial (Riggio, 1986). Sosial control menunjukkan self presentation individu, sehingga individu tahu bagaimana cara bersikap di berbagai situasi dan

50

dapat beradaptasi dengan baik (Pramusita, 2014). Remaja yang kecanduan mungkin mencari self presentation dalam lingkungan anonimitas tersebut (social media), hal ini dikarenakan mereka ingin diterima oleh lingkungannya (Snyder dalam Friedman & Schustack, 2006). Mereka cenderung ingin menampilkan diri yang ideal didepan oranglain. Dimana individu yang memiliki kemampuan komunikasi face to face rendah akan memiliki kompetensi interpersonal yang rendah pula. Social control yang tinggi akan membuat individu nyaman berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung. Individu dengan social control rendah akan menggunakan smartphone untuk berinteraksi, karena mereka merasa lebih nyaman dengan komunikasi tidak langsung (Pramusita, 2014).

Smartphone dapat membantu mengatasi keterbatasan keterampilan social control individu. Dalam hal ini smartphone memberikan keuntungan sebagai media komunikasi tidak langsung untuk mengatasi keterbatasan tersebut.

Smartphone menawarkan berbagai fitur yang menarik, seperti chatting, social media, internet browsing, game, dan sebagainya. Fitur inilah yang memberi kesenangan dan menginsentif individu untuk terus menggunakan smartphone.

Terlebih pada remaja yang mayoritas memiliki smartphone, sehingga mereka memiliki peluang lebih banyak untuk berinteraksi dengan smartphonenya. Tanpa disadari lingkungan disekitar remaja juga mendukung interaktifitas tersebut.

Seperti orang tua yang memfasilitasi anaknya dengan smartphone, dan guru yang memberikan tugas melalui email atau fitur internet. Penelitian ini ingin menggali bagaimana trait kepribadian extraversion dan keterampilan sosial individu mempengaruhi adiksi smartphone.

Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini tertera pada bagan.

Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir 2.4 Hipotesis Penelitian

2.4.1 Hipotesis mayor

Ha :Terdapat pengaruh yang signifikan antara trait kepribadian extraversion dan keterampilan sosial terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

2.4.2 Hipotesis minor

H1 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara trait kepribadian extraversion terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

52

H2 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara emotional expressivity terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

H3 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara emotional sensitivity terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

H4 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara emotional control terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

H5 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara social expressivity terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

H6 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara social sensitivity terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

H7 :Terdapat pengaruh yang signifikan antara social control terhadap kecenderungan adiksi smartphone pada remaja.

53

sampel, variabel penelitian, pengumpulan data, alat ukur, prosedur penelitian, uji validitas dan reliabilitas, serta analisis data.

3.1 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/siswi SMA di Jakarta Timur. Terdiri dari SMA Negeri 106 dan SMA Swasta Muhammadiyah 11. Penulis memilih pelajar SMA sebagai subjek penelitian karena dianggap merepresentasikan karakteristik usia remaja.

3.1.1 Teknik pengambilan sampel

Penulis memiliki data daftar SMA di Jakarta Timur yang didapat melalui website resmi Kementrian Pendidikan dan Budaya (Kemdikbud, 2011). Lalu penulis memilih masing-masing satu SMA Negeri dan Swasta di Jakarta Timur, maka terpilih SMA Negeri 106 dan SMA Swasta Muhammadiyah 11.

Kemudian, pengambilan sampel menggunakan teknik purposive nonprobability sampling karena pengmbilan sampel ditentukan dengan pertimbangan atau tujuan tertentu (Kerlinger & Lee, 2000). Pengambilan data dilakukan dengan cara memasuki beberapa ruang kelas sesuai kesepakatan dengan pihak sekolah. Hal ini karena siswa memiliki kesibukan tersendiri dengan kegiatan belajar dikelas maupun kegiatan tambahan di luar jam belajarnya.

54 laki-laki). Namun dalam penelitian ini hanya terdapat 217 partisipan yang memenuhi karakteristik sampel dan dilakukan proses pengolahan data.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini terdiri variabel terikat (Dependent Variable) yaitu kecenderungan adiksi smartphone. Sedangkan Independent Variabel meliputi trait kepribadian extraversion dan keterampilan sosial (emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan sosial control).

Tabel 3.1

Identifikasi variabel penelitian

Variabel Definisi Operasional Dimensi Alat Ukur Kecenderungan

Variabel Definisi Operasional Dimensi Alat Ukur

3.2.1 Definisi operasional kecenderungan adiksi smartphone

Kecenderungan adiksi smartphone adalah perilaku ketergantungan terhadap smartphone yang ditunjukkan dengan toleransi, withdrawal, disertai oleh masalah sosial. Dimensi adiksi smartphone terdiri dari enam aspek, yaitu: Kecenderungan adiksi smartphone diukur dengan enam dimensi yaitu; daily life disturbance, positif anticipation, withdrawal, cyberspace-oriented relationship, overuse, dan tolerance (Kwon et al., 2013).

3.2.2 Definisi operasional extraversion

Extraversion adalah ciri kepribadian yang mencari pemenuhan dari sumber luar diri atau di masyarakat. Ciri-ciri individu extraversion adalah penuh kasih sayang, ceria, senang berbicara, senang berkumpul, dan menyenangkan (Feist & Feist, 2010).

3.2.3 Definisi operasional keterampilan sosial

Keterampilan sosial didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi dengan oranglain dengan melakukan pengiriman, pengintepretasian

56

dan mengatur komunikasi verbal maupun nonverbal, sehingga tercipta interaksi sosial yang positif dan dapat membawa manfaat bagi diri sendiri atau orang lain (Riggio, 1986).

Berdasarkan definisi ini Riggio mengembangkan instrumen pengukuran keterampilan sosial dengan enam dimensi. Dimensi tersebut adalah emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan social control.

3.3 Instrument Pengumpulan Data

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga skala berbentuk skala model Likert yaitu: skala adiksi smartphone, skala trait kepribadian extraversion, dan skala keterampilan sosial.

3.3.1 Kecenderungan adiksi smartphone

Kecenderungan adiksi smartphone diukur dengan Smartphone Addiction Scale (SAS) yang dikemukakan Kwon et al. (2013). Penulis menggunakan teknik modifikasi alat ukur berdasarkan face validity, sehingga diperoleh 40 item. Alat ukur ini terdiri dari 36 item Smartphone Addiction Scale (SAS). Pada dimensi overuse terdiri dari: 2 item dari Internet Gaming Disorder Test (IGD-20 Test) dikembangkan oleh Pontez et al (2014), dan 2 item yang dibuat oleh penulis.

Penulis memodifikasi beberapa alat ukur karena untuk menyempurnakan pernyataan yang mewakili tiap dimensi, dan menyesuaikan dengan karakterisik remaja. Pengukuran menggunakan skala Likert dengan lima rentang penilaian (1=

sangat tidak sesuai, 2= tidak sesuai, 3= netral, 4= sesuai, dan 5= sangat sesuai).

Terdapat dua jenis respon item, yaitu: favorable dan unfavorable. Untuk respon

favorable (F), skor partisipan bergerak dari nilai 1, 2, 3, 4, dan 5. Dan sebaliknya untuk respon unfavorable (UF).

Tabel 3.2

Blueprint Skala Kecenderungan Adiksi Smartphone

Keterangan *: item valid

Dimensi Indikator Nomor Item Jumlah Contoh Item Daily life

Overuse a. Uncontrollable use

58

3.3.2 Extraversion

Extraversion diukur dengan skala Big Five Inventory (BFI) oleh John dan Srivastava (1999), dengan mengadaptasi delapan item dari dimensi extraversion.

Skala ini merupakan skala yang diadaptasi oleh penulis, karena skala awal dikembangkan dengan Bahasa Inggris. Pengukuran menggunakan skala Likert dengan lima rentang penilaian (1= sangat tidak sesuai, 2= tidak sesuai, 3= netral, 4= sesuai, dan 5= sangat sesuai). Terdapat dua jenis respon item, yaitu: favorable (F) dan unfavorable (UF). Untuk respon favorable, skor partisipan bergerak dari nilai 1, 2, 3, 4, dan 5. Dan sebaliknya untuk respon unfavorable.

Tabel 3.3

Blueprint Skala Trait Kepribadian Extraversion

Keterangan *: item valid 3.3.3 Keterampilan sosial

Keterampilan sosial diukur dengan Social Skill Inventory (SSI) oleh Riggio dan Carney (2003) terdiri dari 30 item. Pengukuran menggunakan skala Likert dengan lima rentang penilaian (1= sangat tidak sesuai, 2= tidak sesuai, 3= netral, 4=

sesuai, dan 5= sangat sesuai). Terdapat dua jenis respon item, yaitu: favorable (F) dan unfavorable (UF). Untuk respon favorable, skor partisipan bergerak dari nilai 1, 2, 3, 4, dan 5. Dan sebaliknya untuk respon unfavorable.

Indikator Pernyataan

Jumlah Contoh Item

F UF

a. Activity level 3* 8 Saya suka berbicara

b. Dominance 6*

c. Sociable 1*, 8* 2*

d. Expressiveness 5, 7*

e. Positive emotionality 4*

Tabel 3.4

Blueprint Skala Keterampilan Sosial

Keterangan *: item valid 3.4 Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah kemampuan sebuah instrumen untuk mengukur apa yang ingin diukur. Instrumen yang valid haruslah instrumen yang dibuat untuk mengukur hal

Dimensi Indikator Pernyataan

Jumlah Contoh Item

60

yang ingin diukur. Setelah mendapatkan data yang diinginkan penulis akan menguji validitas konstruk dan reliabilitas masing-masing alat ukur.

Dalam pengujian validitas digunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan metode ini dapat diketahui apakah seluruh item mengukur apa yang hendak diukur dan apakah masing-masing item signifikan dalam mengukur hal tersebut. Adapun logikanya adalah dengan cara membandingkan sejauh mana matriks korelasi hasil estimasi menggunakan teori dengan matriks korelasi yang diperoleh dari data. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah teori adalah konsep bahwa seluruh item mengukur satu hal yang sama (unidemensional) yaitu konstruk yang hendak diukur.

Jika tidak ada perbedaan yang signifikan antara teori dengan data, maka berarti bahwa seluruh item itu mengukur hal yang sama (unidimensional).

Selanjutnya dengan menggunakan software yang sama dapat diuji apakah masing-masing item signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur. Setelah diukur validitasnya, kemudian diuji pula realibilitas dari item-item yang dimiliki peneliti.

Reliabilitas adalah seberapa besar proporsi varian dari total skor yang merupakan varian dari true score. Nilai reliabilitas nantinya akan didapatkan ketika melakukan uji validitas dengan menggunakan LISERL 8.7.

3.4.1 Uji validitas konstruk

Untuk menguji validitas konstruk setiap item maka peneliti melakukan uji validitas dengan menggunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan sofware LISERL 8.7. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut (Umar, 2012):

1. Dilakukan uji CFA dengan model undimensional (satu faktor) dan dilihat nilai Chi-Square yang dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan (p>0.05) berarti semua item telah mengukur sesuai dengan yang diteorikan, yaitu hanya mengukur satu faktor saja. Jika ini terjadi maka analisis dilanjutkan ke langkah ketiga, yaitu melihat muatan faktor pada masing-masing item. Namun jika nilai Chi-Square signifikan (p<0.05), maka diperlukan modifikasi terhadap model pengukuran yang diuji langkah kedua ini.

2. Jika nilai Chi-Square signifikan, maka dilakukan modifikasi model pengukuran dengan cara mengestimasi korelasi antar kesalah pengukuran pada beberapa item yang mungkin bersifat multidimensional. Ini berarti bahwa selain suatu item mengukur konstruk yang seharusnya diukur (sesuai dengan teori), juga dapat dilihat apakah item tersebut mengukur hal yang lain (mengukur lebih dari satu hal). Jika setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi dan akhirnya diperoleh model fit, maka model terakhir inilah yang digunakan pada langkah selanjutnya,

3. Setelah diperoleh model pengukuran yang fit (undimensional) maka dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Jika ada, item tersebut harus di drop atau tidak diikutsertakan dalam analisis perhitungan factor score.

4. Dengan menggunakan SPSS dan model unidimensional (satu faktor) kemudian dihitung (destimasi) nilai skor faktor (true score) bagi setiap orang untuk variabel yang bersangkutan. Dalam hal ini yang dianalisis faktor hanya item yang baik saja (tidak didrop). Kriteria item yang baik pada CFA adalah :

62

1. Melihat signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktornya dengan melihat nilai t bagi koefisien muatan faktor item. Perbandingannya adalah t>1,95 maka item tersebut sigifikan dan sebaliknya. Apabila item tersebut signikan maka item tidak akan di drop, dan sebaliknya.

2. Melihat koefisien muatan faktor dari item. Jika item tersebut sudah di skoring dengan favorable (pada skala likert 1-5), maka nilai koefisien muatan faktor pada item harus bermuatan positif, dan sebaliknya. Apabila item tersebut favorable, namun koefisien muatan faktor item bernilai negatif maka item tersebut di drop dan sebaliknya.

3. Terakhir, apabila kesalahan pengukuran item terlalu banyak berkorelasi, maka item tersebut di drop. Sebab, yang demikian selain mengukur apa yang hendak diukur, ia juga mengukur hal lain.

3.4.1.1 Kecenderungan adiksi smartphone. Penulis menguji apakah kelima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur kecenderungan adiksi smartphone. Sebelum melakukan validasi item dengan first order, penulis terlebih dahulu melakukan uji validasi second order pada kontruk kecenderungan adiksi smartphone. Kemudian penulis mendrop item yang memiliki korelasi residu paling besar yaitu item ke-6, 30, dan 38 ,hal ini dikarenakan item tersebut tidak memiliki daya pembeda dalam memprediksi responden. Setelah itu, penulis menganalisa validitas item menggunakan software hingga diperoleh Chi-Square=

2534,56 DF= 629 P-Value= 0,000 RMSEA= 0,113. Hal ini berarti P-Value <0.05 dan RMSEA>0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model tidak fit, maka penulis melakukan modifikasi sebanyak 76 kali. Sehingga diperoleh nilai

Chi-Square= 819,11 DF= 540 P-Value= 0.000 RMSEA= 0.049. Hal ini berarti RMSEA<0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model fit. Artinya seluruh item hanya mengukur satu faktor yaitu kontruk kecendeungan adiksi smartphone.

Tabel 3.5

Muatan Faktor Item Kecenderungan Adiksi Smartphone

No Item. Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan

1 0.31 0.07 4.62 V

64

No Item. Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan

38 0.91 0.18 11.65 X

39 0.44 0.07 6.53 V

40 0.40 0.07 5.95 V

Keterangan V : Signifikan

Berdasarkan tabel 3.5 nilai t bagi koefisien muatan faktor item ke-1, 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 39 dan 40 signifikan karena t >1.96, lamda positif dan korelasi residu <3. Dengan demikian secara keseluruhan item ke-3, 6, 30, 37, dan 38 di drop. Hal ini berarti item tersebut tidak akan ikut dinalisis dalam perhitungan factor score dan true score.

3.4.1.2 Extraversion. Penulis menguji apakah kedelapan item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur dimensi extraversion. Penulis menganalisa validitas item menggunakan software hingga diperoleh Chi-Square=

129,91 DF= 20 P-Value= 0,0000 RMSEA= 0,16. Hal ini berarti P-Value<0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model tidak fit, maka penulis melakukan modifikasi sebanyak tujuh kali. Sehingga diperoleh nilai Chi-Square= 17,74 DF=

12 P-Value= 0,12379 RMSEA= 0,047. Hal ini berarti P-Value > 0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model fit. Artinya seluruh item hanya mengukur satu faktor yaitu dimensi extraversion.

Tabel 3.6

Muatan Faktor Item Trait Kepribadian Extraversion

No Item. Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan

1 0.48 0.07 7.24 V

2 0.56 0.07 7.98 V

3 0.94 0.06 16.13 V

4 0.83 0.07 13.65 V

5 -0.03 0.07 -0.43 X

6 0.32 0.07 4.71 V

7 0.43 0.07 6.37 V

8 0.47 0.07 7.03 V

Keterangan V : Signifikan

Berdasarkan tabel 3.6 nilai t bagi koefisien muatan faktor item ke-1, 2, 3, 4, 6, 7, dan 8 signifikan karena t >1.96, lamda positif dan korelasi residu <3.

Dengan demikian secara keseluruhan item ke-5 di drop, karena t <1.96 dan lamda negatif. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan ikut dianalisis dalam perhitungan factor score dan true score.

3.4.1.3 Emotional expressitivity (EE). Penulis menguji apakah kelima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur dimensi emotional expressitivity (EE). Penulis menganalisa validitas item menggunakan software hingga diperoleh Chi-Square= 17,03 DF= 5 P-Value= 0,00445 RMSEA= 0,106.

Hal ini berarti P-Value<0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model tidak fit, maka penulis melakukan modifikasi sebanyak satu kali. Sehingga diperoleh nilai Chi-Square= 6,28 DF= 4 Value= 0,17891 RMSEA= 0,051. Hal ini berarti P-Value>0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model fit. Artinya seluruh item hanya mengukur satu faktor yaitu dimensi emotional expressitivity (EE).

66

Tabel 3.7

Muatan Faktor Item Emotional Expressitivity (EE)

No Item. Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan

1 0.34 0.08 4.49 V

Berdasarkan tabel 3.7 nilai t bagi koefisien muatan faktor item ke-1, 4, dan 5 signifikan karena t>1.96, lamda positif dan korelasi residu <3. Dengan demikian secara keseluruhan item ke-2 dan 3 di drop, karena t <1.96 dan lamda negatif.

Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak akan ikut dianalisis dalam perhitungan factor score dan true score.

3.4.1.4 Emotional sensitivity (ES). Penulis menguji apakah kelima item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur dimensi emotional sensitivity (ES). Penulis menganalisa validitas item menggunakan software hingga diperoleh Chi-Square= 21,96 DF= 5 P-Value= 0,00053 RMSEA= 0,125. Hal ini berarti P-Value<0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model tidak fit, maka penulis melakukan modifikasi sebanyak satu kali. Sehingga diperoleh nilai Chi-Square= 6,87 DF= 4 Value= 0,14307 RMSEA= 0,058. Hal ini berarti P-Value>0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa model fit. Artinya seluruh item hanya mengukur satu faktor yaitu dimensi emotional sensitivity (ES).

Tabel 3.8

Muatan Faktor Item Emotional Sensitivity (ES)

No Item. Koefisien Standar Error Nilai T Signifikan

1 0.20 0.08 2.60 V

Berdasarkan tabel 3.8 nilai t bagi koefisien muatan faktor item ke-1, 2, 3, 4, dan 5 signifikan karena t >1.96, lamda positif dan korelasi residu <3. Dengan

Berdasarkan tabel 3.8 nilai t bagi koefisien muatan faktor item ke-1, 2, 3, 4, dan 5 signifikan karena t >1.96, lamda positif dan korelasi residu <3. Dengan