• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penulisan hasil penelitian ini, penulisan menggunakan kaidah penulisan American Psychology Association (APA) style yang mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan ini dibagi menjadi beberapa bagian bahasan seperti yang akan dijabarkan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab pertama berisikan latar belakang penelitian ini, menjabarkan fenomena-fenomena yang terjadi dimasyarakat tentang penggunaan smartphone, kesenjangan yang terjadi antara fenomena tersebut, alasan pentingnya diadakan penelitian ini, penelitian sebelumnya tentang adiksi smartphone dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pembatasan masalah berisi tentang teori yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini, dan definisi setiap variabel yang akan diteliti. Selanjutnya adalah tujuan penelitian serta manfaat yang akan didapat dari hasil penelitian ini, baik manfaat praktis maupun teoritis.

BAB II: LANDASAN TEORI

Bab kedua dalam proposal ini berisi landasan teori yang digunakan dalam penelitian. Mengemukaan teori/definisi dari adiksi smartphone, faktor-faktor yang mempengaruhi adiksi smartphone, aspek-aspek yang meliputi adiksi smartphone tersebut serta cara pengukurannya. Independent variable dijelaskan untuk menunjukkan bagaimana hubungan trait kepribadian extraversion dan keterampilan sosial terhadap kecenderungan

adiksi smartphone, definisi dari extraversion dan keterampilan sosial serta hipotesis penelitian untuk menguji teori yang digunakan dalam penelitian.

BAB III: METODE PENELITIAN

Bab ketiga berisikan tentang metode penelitian, prosedur/cara yang digunakan peneliti terkait pengukuran dependent variable dan independent variable. Menjelaskan populasi dan sampel yang digunakan, serta teknik pengambilan sampel. Menjelaskan definisi konseptual dan operasional dari setiap variabel yang diukur, instrumen yang digunakan serta validitas dan reliabilitas dari instrument tersebut. Selanjutnya menjelaskan teknik analisa data yang digunakan penulis, langkah-langkah pengumpulan data dan tata cara pelaksanaannya.

BAB IV: HASIL PENELITIAN

Bab keempat berisikan tentang gambaran subjek yang digunakan dalam penelitian. Mendeskripsikan data yang didapat dalam penelitian. Proses analisis data, selanjutnya hasil analisis regresi yang dibuktikan dengan uji hipotesis.

BAB V: KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Bab terakhir berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian. Diskusi dengan membandingkan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

Selanjutnya saran teoritis dan saran praktis, serta menjelaskan kekurangan dan kelebihan penelitian ini.

18 BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang terkait dengan variabel penelitian, yaitu adiksi smartphone, extraversion dan keterampilan sosial.

2.1 Kecenderungan Adiksi Smartphone

Adiksi merupakan hendaya pada kontrol terhadap penggunaan zat kimia yang disertai dengan ketergantungan fisiologis dan ketergantungan psikologis (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Ketergantungan fisiologis ditunjukkan dengan keadaan tubuh seseorang telah berubah sedemikian rupa sebagai hasil dari penggunaan zat psikoaktif secara teratur, sehingga tubuh menjadi tergantung pada pasokan zat yang stabil. Tanda-tanda utama dari ketergantungan fisiologis mencakup perkembangan toleransi. Sedangkan ketergantungan psikologis adalah penggunaan obat-obatan secara kompulsif untuk memenuhi kebutuhan psikologis seperti tergantung pada obat untuk mengatasi stress. Perilaku adiksi, seperti kecanduan zat adalah sebuah dorongan kebiasaan atau paksaan untuk melanjutkan perilaku bahkan ketika hal itu mengarah pada kejadian dan konsekuensi negatif.

Namun istilah adiksi juga digunakan ketika seseorang terobsesi dengan kegiatan tertentu yang menghasilkan gangguan pada aktivitas sehari-hari dan menunjukkan pola yang sama dengan ketergantungan zat (Kwon, Kim, Cho, & Yang, 2013).

Namun seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, adiksi tidak hanya pada obat-obatan tapi juga meliputi perjudian, makan berlebih, seks, bermain game, olahraga, dan adiksi teknologi (Griffiths dalam Roberts & Pirog, 2012). Menurut Griffiths (2010), adiksi teknologi didefinisikan sebagai interaksi

manusia dan mesin. Jenis teknologi tersebut meliputi internet, televisi, dan game komputer. Para peneliti berpendapat bahwa penggunaan teknologi secara berlebihan dapat dianggap sebagai masalah (Griffiths, 2010). Adiksi adalah perilaku yang dianggap sebagai suatu kebiasaan atau suatu paksaan untuk selalu mengulangi perilaku yang dilakukan bahkan ketika perilaku tersebut mengarah pada peristiwa negatif dan memiliki konsekuensi tertentu seperti kehilangan kontrol atas perilaku yang dilakukannya (Griffiths dalam Zahrani, 2014). Perilaku ini biasanya mempengaruhi dan memperkuat komponen yang mendukung kecenderungan adiksi. Griffiths mengemukakan bahwa segala sesuatu yang memberikan kesenangan dapat menyebabkan kecanduan. Karena pada dasarnya manusia hidup untuk mencari kesenangan, kesenangan ini dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti penggunaan smartphone. Smartphone dapat menimbulkan adiksi karena melibakan penggunanya dalam situasi menarik (Griffiths dalam Sahin, Ozdemir, Unsal, & Temiz, 2013). Saat menggunakan smartphone, individu memperoleh sensasi yang membuatnya ingin mengulangi aktifitas serupa.

Sedangkan menurut Kwon, Lee, Won, Park, Min, Hanh, Choi, & Kim (2013) adiksi smartphone adalah perilaku ketergantungan terhadap smartphone yang ditunjukkan dengan toleransi (selalu menggunakan smartphone), withdrawal (penarikan diri), disertai oleh masalah sosial. Smartphone memiliki beberapa fitur menarik seperti portabilitas, real-time internet searching, kenyamanan, dan komunikasi interaktif melalui SNS (Social Networking Service). Fitur menarik seperti ketersediaan internet memungkinkan individu untuk adiksi. Perilaku adiksi dapat menyebabkan masalah sosial pada berbagai aspek kehidupan aspek

20

kehidupan tersebut meliputi akademik, relationship, keuangan, pekerjaan, dan fisik (Young, 1996).

Selanjutnya, menurut pendekatan perilaku, ketika perilaku memberikan kepuasan atau membantu menyingkirkan perilaku negatif seperti ketegangan atau kebosanan, maka perilaku yang mengintensifkan tersebut membuat individu untuk terus melakukannya untuk mengambil kesenangan atau menyingkirkan situasi negatif (Sahin et al., 2013). Dalam hal ini, adiksi memberikan kesenangan kepada pengguna, mengurangi stress dan kecemasan individu.

Menurut Peele (2007) adiksi adalah cara seseorang untuk berhubungan dengan dunianya sebagai respon terhadap pengalaman yang didapatkan dari beberapa aktivitas atau objek. Seseorang menjadi kecanduan dikarenakan dalam pengalaman tersebut memberikan imbalan emosional yang penting, tetapi semakin membatasi dan merugikan kehidupan mereka (Peele dalam Zahrani, 2014). Imbalan emosional dapat berupa rasa senang, puas dan sebagainya. Namun rasa senang tesebut bersifat semu karena tidak bertahan lama. Dilain sisi, adiksi merupakan suatu aktifitas yang dilakukan berulang-ulang dan dapat menimbulkan dampak negatif (Hovart dalam Zahrani, 2014). Perilaku tersebut cenderung diulang karena menginsentif individu dan dapat berakibat negatif seperti membuang-buang waktu, dan membuat individu tidak bersosialisasi karena asyik dengan kegiatannya.

Dalam penelitian ini, adiksi smartphone merupakan bagian dari adiksi teknologi yang melibatkan interaksi manusia dan mesin. Penulis menggunakan teori dari Kwon et al., (2013) yang mendefinisikan adiksi smartphone sebagai

perilaku ketergantungan terhadap smartphone yang ditunjukkan dengan toleransi (selalu menggunakan smartphone), withdrawal (penarikan diri), disertai oleh masalah sosial. Definisi ini cukup mewakili karakteristik umum adiksi yaitu toleransi, withdrawal dan timbulnya masalah sosial yang menyertai perilaku maladaptive ini. Selain itu, teori ini dikembangkan pada populasi remaja sehingga cocok digunakan dalam penelitian ini yang menggunakan remaja sebagai subjek penelitian.

2.1.1 Proses kecenderungan adiksi smartphone

Menurut Young (1998), dalam sebuah penelitian mengenai adiksi internet pada anak-anak dan remaja (Young dalam Beard, 2011). Proses seseorang menjadi adiksi berawal dari terpapar internet seperti games komputer, digital music player, kamera digital, dan lainnya. Hal ini dikarenakan institusi pendidikan (sekolah) mengenalkan siswanya dengan teknologi baru (internet), mempersiapkan mereka untuk mempelajari dan merangkul teknologi baru tersebut. Semakin lama individu mungkin akan menarik diri dari lingkungan dan membuat ikatan emosional dengan orang-orang di internet. Dengan demikian individu yang telah kecanduan internet akan memperluas penggunaan internet dan meningkatkan hubungan mereka dengan orang-orang di internet. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan gejala seperti anger, irritability, edginess dan acting out jika individu kehilangan akses internetnya.

22

Teori belajar menjelaskan bahwa individu yang aktif mencari kesenangan atau gratifikasi dapat mengarah pada kebiasaan dan perilaku adiktif melalui operant conditioning. Menurut Song, Larose, Eastin, & Lin (2004) tahapan adiksi diawali dari pengguna internet memilih informasi dari situs web yang sesuai dengan gratifikasi yang dirasakan pengguna. Tahap selanjutnya, pengguna kehilangan kemampuan untuk membuat pilihan. Mereka didorong pada pola perilaku yang dikondisikan. Pada saat itu, interaktivitas internet mungkin membangkitkan pola stimulus dan respon pada pengguna serta gratifikasinya.

Menurut Swanson (1992), gratifikasi dikategorikan menjadi dua. Pertama, gratifikasi proses yaitu pengalaman menyenangkan yang didapat dari konten media selama menggunakan media tersebut. Kedua, gratifikasi konten yaitu kesenangan karena mendapatkan informasi dari konten di media dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Swanson dalam Song et al., 2004).

2.1.2 Faktor-faktor adiksi smartphone

Kecenderungan adiksi smartphone merupakan salah satu bentuk perilaku maladaptive. Perilaku ini dapat disebut sebagai maladaptive karena menimbulkan efek negatif dalam kehidupan sehari-hari, seperti menurunnya kualitas tidur karena menghabiskan banyak waktu untuk menggunakan smartphone (Sahin et al., 2013). Hal lainnya adalah masalah akademik, relationship, keuangan, pekerjaan, dan fisik (Young, 1996).

Perilaku adiksi smartphone disebabkan berbagai faktor yang meliputi faktor internal dan external. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi adiksi smartphone diantaranya: rendahnya kontrol diri individu (Griffiths dalam Roberts

& Pirog, 2013) sehingga individu kesulitan dalam mengendalikan keinginan menggunakan smartphone.

Disisi lain, Smetaniuk (2014) melakukan investigasi mengenai faktor-faktor yang memprediksi penggunaan smartphone. Ia meneliti pengaruh usia, extraversion, depresi, harga diri, impuls control, kestabilan emosi terhadap penggunaan smartphone yang berlebih. Individu yang memiliki harga diri rendah berkorelasi dengan perilaku adiksi lainnya (Baumeister et al. dalam Smetaniuk, 2014). Hasil dari penelitian ini adalah extraversion menyumbang pengaruh sebanyak enam persen, depresi sebanyak lima persen, dan usia menyumbang lima persen. Sedangkan kestabilan emosi, impuls control, dan harga diri memiliki efek yang tidak signifikan (Smetaniuk, 2014). Sedangkan Lee et al. (2013), menunjukkan bahwa extraversion dan kecemasan sosial memengaruhi adiksi smartphone. Penelitian ini juga mendukung studi sebelumnya (Young & Rogers, 1998) bahwa individu yang depresi memiliki hubungan kuat dengan masalah penggunaan smartphone, diikuti oleh extraversion, usia, dan pengendalian impuls.

Dehghani dan Dehghani (2014), yang meneliti pengaruh keterampilan sosial pada kecenderungan adiksi siswa perempuan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa keterampilan sosial yang tinggi dapat mengurangi kecenderungan adiksi pada siswa. Salah satu dimensi keterampilan sosial adalah emotional control, keterampilan ini serupa dengan self monitoring. Dimana menurut Takao et al. (2009) self monitoring, approval motivation dan kesepian memiliki berpengaruh positif terhadap kecenderungan adiksi smartphone. Hasil

24

ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Caplan (2003) bahwa keterampilan sosial berpengaruh negatif terhadap adiksi.

Sedangkan faktor external yang dapat mempengaruhi adiksi adalah kebosanan karena tingginya waktu luang, banyaknya waktu yang dihabiskan menggunakan smartphone (Leung, 2007). Individu yang memiliki banyak waktu luang akan cenderung merasa bosan, rasa bosan inilah yang dapat mendorong individu menggunakan smartphone secara berlebih. Selain itu, persepsi tentang gaya hidup juga dapat memprediksi adiksi smartphone (Griffiths, 2010). Hal ini dimungkinkan karena di era sekarang penggunaan smartphone menjadi hal yang sangat familiar.

2.1.3 Dimensi adiksi smartphone

Kwon et al. (2013) mengungkapkan enam dimensi dari adiksi smartphone, yaitu:

A. Daily life disturbance

Daily life disturbance meliputi hilangnya pekerjaan yang direncanakan, sulit berkonsentrasi di kelas atau saat bekerja, penglihatan kabur, sakit pada pergelangan tangan atau belakang leher, dan gangguan tidur. Hal ini karena smartphone telah menjadi bagian penting dari kehidupan individu. Pengguna smartphone mungkin mengalami kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaannya karena terus menerus memikirkan smartphone. Indikatornya meliputi: mengalami nyeri tubuh, kehilangan rencana kerja, minat dan hobi.

B. Positive anticipation

Positive anticipation adalah perasaan gembira yang dapat menghilangkan stress ketika penggunaan smartphone, dan merasa ‘hampa’ jika tanpa smartphone.

Untuk sebagian besar pengguna smartphone, smartphone bukan hanya perangkat komunikasi, tetapi juga teman yang membawa kesenangan, mengurangi kelelahan dan kecemasan, dan membuat mereka merasa aman. Indikatornya meliputi:

positive mood dan pelepasan stress.

C. Withdrawal

Withdrawal meliputi perasaan tidak sabar, gelisah, dan tidak dapat mentoleransi tanpa penggunaan smartphone, terus-menerus memikirkan smartphone bahkan saat tidak menggunakannya, tidak berhenti menggunakan smartphone dan menjadi kesal ketika terganggu saat menggunakan smartphone.

Indikatornya meliputi: impatient, fretful, dan intolerable.

D. Cyberspace-oriented relationship

Cyberspace-oriented relationship meliputi hubungan individu dengan temannya yang diperoleh melalui smartphone lebih intim daripada hubungannya dengan teman dikehidupan sehari-hari, mengalami perasaan yang tidak terkendali, merasa kehilangan jika tidak dapat menggunakan smartphone. Akibatnya individu akan terus-menerus memeriksa smartphone. Indikatornya meliputi: intimate dan konsisten mengecek smartphone.

E. Overuse

Overuse adalah keadaan individu tidak dapat mengendalikan pemakaian smartphone, lebih memilih untuk mencari bantuan dengan menggunakan smartphone daripada orang lain, selalu mempersiapkan pengisian paket, dan merasa dorongan untuk menggunakan smartphone lagi setelah berhenti menggunakannya. Indikatornya adalah uncontrollable use.

26

F. Tolerance

Tolerance adalah selalu gagal saat berusaha untuk mengendalikan penggunaan smartphone. Indikatornya adalah gagal mengontrol penggunaan, dan tidak bisa lepas dari smartphone.

2.1.4 Pengukuran adiksi smartphone

Pengukuran kecenderungan adiksi smartphone dengan Smartphone Addiction Scale (SAS) yang dikembangkan oleh penulis berdasarkan enam dimensi yang dikemukakan Kwon et al (2013). Keenam dimensi tersebut adalah daily life disturbance, positif anticipation, withdrawal, cyberspace-oriented relationship, overuse, dan tolerance.

2.2 Independent Variable 2.2.1 Kepribadian

George Kelly memandang kepribadian sebagai cara unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sedangkan Allport merumuskan kepribadian sebagai sesuatu yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan.

Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas (Allport dalam Hall & Lindzey, 1993). Sementara itu, Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yakni: id, ego, dan superego. Tingkah laku menurut Freud merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut (Freud dalam Hall & Lindzey, 1993).

Kepribadian adalah kecenderungan dalam bertingkah laku yang muncul dari dalam diri individu dalam merespon lingkungan sekitarnya. Salah satu konsep kepribadian yang sering digunakan untuk menjelaskan tingkah laku individu adalah traits. Yakni perbedaan dimensi setiap individu dalam kecenderungan yang menunjukan pikiran, perasaan, dan aksi. Di dalam teori kepribadian, traits dapat digambarkan sebagai suatu karakteristik pribadi yang stabil dan berasal dari dalam diri manusia itu sendiri, dan pada akhirnya akan membentuk sebuah struktur kepribadian (Feist & Feist, 2010).

Menurut teori kepribadian McCrae & Costa (1996), perilaku diprediksi dengan memahami komponen inti (sentral) dan komponen sekunder. Komponen sentral meliputi; kecenderungan dasar, karateristik adaptasi, dan konsep diri.

Sedangkan komponen sekunder meliputi: dasar biologis, biografi objektif, dan pengaruh external.

Kecenderungan dasar adalah salah satu komponen dasar kepribadian, seiring dengan karakteristik adaptasi, konsep diri, dasar biologis, biografi objektif dan pengaruh external. Kecenderungan dasar sebagai substansi dasar yang universal dari kapasitas dan disposisi kepribadian yang umumnya diasumsikan dari observasi. Kecenderungan dasar dapat bersifat bawaan, terbentuk oleh pengalaman diusia dini atau dimodifikasi oleh penyakit atau intervensi psikologis.

Akan tetapi, pada suatu periode kehidupan seseorang, kecenderungan tersebut menentukan potensi dan arah dari orang tersebut (McCrae & Costa dalam Feist &

Feist, 2010). Kecenderungan dasar ini meliputi kemampuan kognitif, bakat

28

artistik, orientasi seksual, dan proses psikologis yang melandasi pembelajaran bahasa (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2010).

Kedua adalah karakteristik adaptasi yaitu struktur kepribadian yang dipelajari yang berkembang saat manusia beradaptasi dengan lingkungannya.

Perbedaan mendasar karakteristik ini adalah fleksibelitasnya. Kecenderungan dasar cukup stabil, sedangkan karakteristik adaptasi dapat dipengaruhi oleh pengaruh external, seperti keterampilan yang dipelajari, kebiasaan, dan sikap (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2010).

Ketiga adalah konsep diri, McCrae dan Costa menjelaskan bahwa konsep diri adalah karakteristik dari adaptasi, tetapi konsep diri mendapatkan tempatnya sendiri karena merupakan adaptasi yang penting. Konsep diri terdiri dari pengetahuan, pandangan, dan evaluasi tentang diri, dengan cakupan dari beragam fakta atas sejarah personal sampai identitas yang memberikan suatu perasaan memiliki tujuan dan kesatuan dalam hidup. Keyakinan, sikap dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap dirinya adalah adaptasi karakteristik, karena mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak dalam suatu kondisi tertentu.

Sebagai contoh, individu yang meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas akan membuat orang tersebut cenderung menarik dirinya pada situasi yang menantang secara intelektual (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2010).

Selanjutnya adalah komponen sekunder, meliputi dasar biologis, biografi objektif, dan pengaruh external. Dasar biologis adalah mekanisme biologis yang memengaruhi kecenderungan dasar adalah genetik, hormon, dan struktur otak.

McCrae dan Costa belum dapat memberikan detail spesifik mengenai pengaruh

gen, hormon dan struktur otak terhadap kepribadian (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2010).

Biografi objektif yang menekankan pada hal terjadi dalam hidup seseorang (objektif) daripada pandangan pandangan atau persepsi mereka mengenai pengalaman mereka (subjektif). Adler dan Mc Adams menekankan pada interpretasi subjektif dari cerita hidup seseorang. McCrae dan Costa fokus pada pengalaman objektif (kejadian) dan pengalaman yang dimiliki seseorang selama hidupnya (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2010).

Pengaruh external meliputi bagaimana cara seseorang merespon kesempatan dan tuntutan dari konteks. Menurut McCrae dan Costa, respon-respon tersebut merupakan fungsi dari karakteristik adaptasi dan interaksi individu dengan pengaruh external. McCrae dan Costa berasumsi bahwa perilaku merupakan fungsi dari karakteristik adaptasi dan pengaruh external (McCrae &

Costa dalam Feist & Feist, 2010).

2.2.2 Extraversion

Mc Crae dan Costa membagi kepribadian menjadi lima trait yaitu: extraversion, openness, conscientiousness, agreeableness dan neuroticisme. Kepribadian bersifat bipolar dan mengikuti distribusi lonceng. Kebanyakan orang akan memiliki skor yang berada dekat dengan titik tengah dari setiap sifat/trait dan hanya sedikit orang yang memiliki skor pada titik ekstrem (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2010).

Ekstraversion dan neuroticisme adalah dua trait kepribadian yang paling kuat dan muncul hampir di semua inventory kepribadian dibanding dengan trait

30

kepribadian lainnya (Wiggins dalam John & Srivastava, 1999). Extraversion adalah ciri kepribadian yang mencari pemenuhan dari sumber luar diri atau di masyarakat. Individu yang memiliki skor tinggi pada extraversion cenderung bersosialisasi, penuh kasih sayang, ceria, senang berbicara, senang berkumpul, dan menyenangkan. Sebaliknya, individu yang memiliki skor extraversion rendah cenderung tertutup, pendiam, penyendiri, pasif, dan tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengexpresikan emosi yang kuat. (Feist & Feist, 2010).

Extraversion penuh dengan energi dalam hidupnya (John & Srivastava 1999).

Sifat yang dominan pada extraversion direpresentasikan dengan sosialisasi dan ambisius (John & Srivastava 1999).

Penelitian yang dilakukan Bianchi & Phillips (2005) extraversion dan harga diri yang rendah menjadi faktor yang mendasari perilaku adiksi smartphone. Sosialisasi merupakan salah satu fitur utama extraversion, sehingga perlu memiliki orang-orang untuk diajak berbicara, suka mengambil risiko, umumnya impulsif, dan sangat membutuhkan kegembiraan (Eysenck dalam Bianchi & Phillips, 2005). Selain itu extraversion memiliki kemungkinan untuk mencari rangsangan/sensasi. Pencari sensasi membutuhkan beragam sensasi dan pengalaman, dan bersedia mengambil risiko sosial dan fisik demi pengalaman tersebut (Eysenck dalam Bianchi & Phillips, 2005). Sebagai akibatnya, extraversion akan cenderung memiliki lingkaran yang lebih besar dari teman-teman dan jaringan sosial (Bianchi & Phillips, 2005). Sehingga individu yang extraversion cenderung menghabiskan waktu lebih banyak dalam menggunakan

smartphone, hal ini dikarenakan bahwa mereka tampaknya menjadi alat untuk mempengaruhi sosial (Bianchi & Phillips, 2005).

Extraversion memiliki lingkaran sosial yang rumit, untuk mempertahankan kontak (Bianchi & Phillips, 2005). Hal ini dilakukan sebagai bentuk eksistensi mereka dalam sosial. Ciri ini serupa dengan remaja, dimana remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman sebaya dan lebih sedikit dengan keluarga (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Kebutuhan akan intimasi meningkat dimasa remaja dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat. Pada usia ini, remaja mengembangkan minat sosial terlebih kepada lawan jenis, karena mereka mengalami perubahan hormonal dan mengalami masa pubertas. Selain itu remaja juga mulai membentuk persahabatan dengan teman sebayanya. Untuk memenuhi tahap ini maka remaja cenderung menggunakan smartphone sebagai sarana komunikasi tidak langsung yang dapat memperluas jaringan sosialnya.

Menurut Lee, Tam dan Chie (2013) extraversion memiliki efek signifikan terhadap penggunaan pesan teks pada smartphone. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya bahwa extraversion menghabiskan waktu lebih banyak pada panggilan suara dibanding dengan penggunaan pesan teks (Butt & Phillips dalam Lee, Tam, & Chie 2013). Mereka juga menerima panggilan lebih banyak, tetapi tidak membuat panggilan lebih kepada orang lain. Namun tidak ditemukan efek signifikan untuk melakukan panggilan suara dalam aspek ini mungkin menunjukkan bahwa extraversion memiliki preferensi untuk bertatap muka dengan lawan bicaranya (Hamburger et al. dalam Lee et al., 2013). Extravert’s friend mungkin lebih memilih menghubungi mereka karena mereka dianggap

32

menyenangkan. Selain itu, tampak bahwa extraversion menghabiskan lebih banyak waktu mengirim dan menerima teks-pesan (Butt & Phillips dalam Lee et al., 2013). Dalam hal ini extraversion gemar untuk berinteraksi sosial, jumlah pesan teks mungkin merefleksikan kecenderungan mereka untuk tetap berhubungan dengan jaringan sosial mereka (Katz & Aakhus dalam Lee et al., 2013).

Smetaniuk (2014) melakukan investigasi mengenai faktor-faktor yang memprediksi penggunaan smartphone. Hasil dari penelitian ini adalah extraversion menyumbang pengaruh sebanyak enam persen (Smetaniuk, 2014).

Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya dimana extraversion memprediksi penggunaan berlebih pada smartphone (Bianchi & Phillips, 2005).

Penelitian ini juga mendukung studi sebelumnya (Young & Rogers, 1998) bahwa extraversion cenderung menggunakan smartphone lebih banyak.

Penelitian ini berfokus pada trait kepribadian extraversion, karena berdasarkan penelitian sebelumnya extraversion merupakan trait kepribadian yang paling memprediksi adiksi smartphone. Remaja yang extraversion mungkin akan menunjukkan perilaku seperti: memulai percakapan melalui smartphone, sering mengupdate status di media sosial, mempublikasi foto/kegiatan terbaru

Penelitian ini berfokus pada trait kepribadian extraversion, karena berdasarkan penelitian sebelumnya extraversion merupakan trait kepribadian yang paling memprediksi adiksi smartphone. Remaja yang extraversion mungkin akan menunjukkan perilaku seperti: memulai percakapan melalui smartphone, sering mengupdate status di media sosial, mempublikasi foto/kegiatan terbaru