• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Independent Variable

2.2.3 Keterampilan sosial

Keterampilan sosial melibatkan kemampuan kognitif seperti kemampuan memecahkan masalah interpersonal dan kemampuan role-playing (Meichenbaum, Butler, & Gruson dalam Riggio, 1986). Selain itu keterampilan sosial mencerminkan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tepat dan efektif (Segrin & Givertz dalam Caplan, 2005). Komunikasi langsung dapat tercermin dari pola komunikasi face to face. Sedangkan komunikasi tidak langsung dapat tercermin dari penggunaan smartphone, seperti chatting, social media dan sebagainya. Keterampilan sosial tidak seperti kepribadian yang cenderung stabil dan tidak berubah, namun keterampilan sosial merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan ditingkatkan. Menurut Segrin (1990) mengatakan bahwa defisit keterampilan sosial meningkatkan kemungkinan munculnya hukuman dari lingkungan sosial (Segrin dalam Caplan, 2005). Contoh hukuman tersebut meliputi penolakan interpersonal, malu, dan kegagalan hubungan.

Keterampilan sosial didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi dengan oranglain dengan melakukan pengiriman, pengintepretasian dan mengatur komunikasi verbal maupun nonverbal, sehingga tercipta interaksi

sosial yang positif dan dapat membawa manfaat bagi diri sendiri atau orang lain (Riggio, 1986). Secara khusus, ada bukti bahwa keterampilan nonverbal penting dalam memulai dan mempertahankan interaksi sosial, mengembangkan hubungan interpersonal, dan mengelola impresi (Riggio, 2006). Kemampuan atau keterampilan ini, memiliki pendekatan yang serupa dengan perspektif kepribadian yang berfokus pada perbedaan individu dalam pengiriman (encoding), menerima (decoding), dan regulasi (mengatur) komunikasi nonverbal (Riggio, 2006).

Dengan kata lain, setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyampaikan pesan nonverbal kepada orang lain secara akurat, memahami orang lain, dan memonitoring atau mengendalikan penampilan nonverbal mereka dilingkungan sosial.

Pendekatan keterampilan komunikasi nonverbal berfokus pada tiga domain yaitu: keterampilan decoding nonverbal, keterampilan encoding nonverbal, dan keterampilan mengatur komunikasi nonverbal (Riggio, 2006).

Keterampilan dalam decoding nonverbal melibatkan sensitivitas dengan pesan nonverbal dari orang lain sebagai kemampuan untuk menafsirkan pesan secara akurat. Pesan nonverbal melibatkan komunikasi dari emosi, sikap (misalnya, menyukai atau tidak menyukai), dan isyarat (Mast dalam Riggio, 2006).

Keterampilan dalam decoding nonverbal adalah bagian dari membangun sensitivitas interpersonal yang lebih luas, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk merasakan, memahami, dan merespon dengan tepat secara personal, interpersonal, dan lingkungan sosial (Bernieri dalam Riggio, 2006). Keterampilan dalam decoding nonverbal dianggap sebagai motivasional sangat penting dalam

36

kemampuan nonverbal. Hal ini berkaitan erat dengan karakteristik kepribadian penting, khususnya empati dan being other oriented (Losoya & Eisenberg dalam Riggio, 2006).

Keterampilan encoding nonverbal, juga disebut sebagai ekspresi nonverbal yang melibatkan kemampuan mengirim pesan nonverbal kepada orang lain secara akurat (Riggio, 2006). Keterampilan dalam komunikasi nonverbal lebih dari sekedar kemampuan encoding dan decoding. Kemampuan untuk mengatur dan kontrol komunikasi nonverbal seseorang adalah komponen kunci dari nonverbal skill (Riggio, 1986). Gross (2001) menunjukkan bahwa regulasi emosi dapat melibatkan dua proses: reappraisal dan suppression. Reappraisal melibatkan mengubah pengalaman dan ekspresi emosi, sedangkan suppression melibatkan penghambatan expresi emosi (Gross dalam Riggio, 2006).

Keterampilan sosial menyangkut kemampuan komunikasi langsung maupun tidak langsung.

Penelitian selanjutnya oleh Dehghani dan Dehghani (2014), menyatakan bahwa keterampilan sosial yang tinggi dapat mengurangi kecenderungan adiksi pada siswa. Sedangkan Caplan (2005) menguji hubungan antara keterampilan sosial dengan penggunaan internet secara kompulsif, dengan variabel mediator adalah kecenderungan berinteraksi online. Hasil penelitian tersebut adalah individu dengan skor keterampilan sosial yang rendah memiliki kecenderungan berinteraksi online yang tinggi. Sehingga individu cenderung kompulsif dalam menggunakan internet. Perilaku adiksi tersebut dapat menimbulkan negative outcome, seperti turunnya prestasi akademik maupun performance dalam karir.

Menurut Wan & Chiou (2006), salah satu faktor yang mendasari remaja yang mengalami adiksi game online adalah untuk memenuhi kebutuhan interpersonal, dan membangun eksistensi dalam hubungan interpersonal tersebut.

Dalam hal ini teknologi menjadi sarana dalam membangun hubungan interpersonal. Pada kegiatan ini remaja menunjukkan kemampuan role-playing, yaitu dengan melakukan hal-hal yang tidak berani mereka lakukan dikehidupan nyata. Kemampuan role playing dan self presentation disebut dengan social control (Riggio & Carney, 2003). Dalam lingkungan yang anonimitas, pecandu internet mungkin mencoba melarikan diri dari keterbatasan di kehidupan nyata untuk mendapatkan ruang dalam sosialisasi. Remaja yang kecanduan mungkin mencari self presentation dalam lingkungan anonimitas tersebut (social media), hal ini dikarenakan mereka ingin diterima oleh lingkungannya (Snyder dalam Friedman & Schustack, 2006). Dalam beberapa kasus, anonimitas secara online memungkinkan individu untuk melebih lebihkan, dan membuat presentasi diri palsu, misalkan dengan memakai akun palsu (Cornwell & Lundgren dalam Caplan, 2003). Mereka cenderung ingin menampilkan diri yang ideal didepan oranglain. Dalam hal ini smartphone memberikan keuntungan sebagai media komunikasi tidak langsung untuk mengatasi keterbatasan tersebut.

Penelitian lain yang dilakukan Young & Rodgers (1998) menyatakan bahwa private self consciousness yang tinggi memengaruhi tingkat adiksi internet yang tinggi pula. Private self consciousness disebut juga sebagai emotional sensitivity (Riggio & Carney, 2003). Dimana emotional sensitivity merupakan salah satu dimensi keterampilan sosial. Individu dengan self consciousness tinggi

38

akan menunjukkan sifat sensitif, waspada, dan private. Individu dengan emotional sensitivity rendah cenderung mengalami adiksi internet yang tinggi.

Disisi lain, menurut Skinner (1974), individu yang memiliki public self consciousness tidak hanya menyadari lingkungan mereka, tapi juga menyadari bahwa mereka adalah bagian dari lingkungan. Sehingga mereka akan mengobservasi stimulus external/lingkungan dan mencoba untuk bertingkah laku sesuai standar lingkungan (Skinner dalam Feist & Feist, 2010). Public self consciousness disebut juga sebagai social sensitivity (Riggio & Carney, 2003).

Penelitian oleh Kun & Demetrovics (2010) menunjukkan bahwa Emotional Intelligence melibatkan dimensi emotional expressivity karena memiliki peran dasar dalam pembentukan dan mempertahankan kecanduan.

Emotional expressivity mengacu pada kemampun mengirim pesan nonverbal (Riggio, 1986). Individu dengan adiksi alkohol cenderung menafsirkan ekspresi wajah yang palsu, seperti kesedihan atau jijik hal ini menggambarkan konflik interpersonal, seperti kemarahan atau penghinaan (Philippot et al. dalam Kun &

Demetrovics, 2010). Individu dengan kemampuan emotional expressivity cenderung menggunakan emoticon/stiker pada perangkat chating sebagai sarana komunikasi tidak langsung. Hal ini mereka lakukan karena keterbatasan mengirim pesan nonverbalnya, sehingga mereka akan memiliki kecenderungan adiksi smartphone yang lebih tinggi (Pramusita, 2014).

Salah satu dimensi keterampilan sosial adalah emotional control. Dalam penelitian lain emotional control disebut juga sebagai self monitoring. Riggio mengembangkan penelitian dari Snyder tentang self monitoring, yang kemudian

menjadi bagian dari keterampilan sosial. Takao, Takahashi, & Kitamura (2009) meneliti pengaruh self monitoring terhadap adiksi smartphone. Hasilnya, individu dengan self monitoring tinggi cenderung menggunakan smartphone dengan tidak tepat, dalam hal ini adalah perilaku adiksi (Takao et al., 2009). Hal serupa dilakukan Dehghani dan Dehghani (2014), yang meneliti pengaruh keterampilan sosial pada kecenderungan adiksi siswa perempuan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa keterampilan sosial yang tinggi dapat mengurangi kecenderungan adiksi pada siswa. Oleh karena itu penulis menggunakan keterampilan sosial sebagai independent variable yang diduga memprediksi kecenderungan adiksi smartphone.

Pada awalnya penggunaan teknologi komunikasi ditujukan untuk hiburan dan kontak sosial dengan dunia maya. Namun seiring perkembangannya, individu dengan keterbatasan keterampilan sosial terutama komunikasi langsung akan menggunakan smartphone sebagai sarana komunikasi yang dapat mengatasi keterbatasan mereka. Tetapi penggunaan secara berlebihan dapat menyebabkan perilaku adiksi. Individu umumnya menggunakan teknologi komunikasi untuk mendapatkan informasi, menghibur diri, menjalin komunikasi oranglain, dan membangun hubungan sosial dengan orang lain (Ceyhan, 2011). Kemampuan tersebut disebut sebagai keterampilan sosial, dimana keterampilan sosial menjadi salah satu faktor penyebab kecenderungan adiksi smartphone.

Teori keterampilan sosial yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Riggio, yang mendefinisikan keterampilan sosial sebagai kemampuan individu dalam berinteraksi dengan oranglain dengan melakukan pengiriman,

40

pengintepretasian dan mengatur komunikasi verbal maupun nonverbal, sehingga tercipta interaksi sosial yang positif dan dapat membawa manfaat bagi diri sendiri atau orang lain (Riggio, 1986). Penulis memilih teori tersebut karena Riggio merupakan tokoh yang memelopori dan mengembangkan keterampilan sosial.

Selain itu teori ini telah digunakan pada penelitian sebelumnya dan terbukti validitas serta reliabilitasnya. Selain itu, teori ini dikembangkan pada clinical setting dan penelitian untuk psikologi sosial. Sehingga sesuai dengan tujuan penelitian ini.

2.2.3.1 Dimensi keterampilan sosial

Enam dimensi keterampilan sosial dianggap hadir dalam pengiriman, penerimaan, dan mengendalikan komunikasi dalam dua domain yang terpisah yaitu, emosi-nonverbal dan domain sosial-verbal (Riggio, 1986).

A. Emotional Expressivity (EE)

Emotional Expressivity mengacu pada keterampilan umum dalam pengiriman pesan nonverbal. Dimensi ini mencerminkan kemampuan individu untuk berexpresi, spontan, dan akurat. Individu dengan EE tinggi mungkin dapat membangkitkan emosional atau menginspirasi orang lain karena kemampuan mereka untuk mengirimkan pesan emosi (Friedman & Riggio dalam Riggio, 1986). Individu dengan emotional expressivity mungkin cenderung kurang pengendalian emosi, karena mereka cenderung spontan dalam mengekspresikan emosi. Indikatornya adalah: expresif, spontan berekspresi, dan akurat.

B. Emotional Sensitivity (ES)

Emotional Sensitivity mengacu keterampilan dalam menerima dan decoding pesan nonverbal dengan orang lain. Individu dengan ES tinggi akan waspada dalam mengamati isyarat nonverbal orang lain. Karena orang-orang dengan ES tinggi mampu decoding pesan nonverbal dengan cepat dan efisien, mereka mungkin lebih rentan pada emotional aroused, seperti mengalami simpati (Friedman & Riggio, 1981). Indikatornya adalah: memahami pesan, empati dan peka.

C. Emotional Control (EC)

Emotional Control (EC) adalah kemampuan umum untuk mengontrol dan mengatur menampilkan pesan nonverbal. Individu dengan EC tinggi mampu menampilkan emosi dengan baik, mampu menimbulkan isyarat emosi, dan mampu menggunakan isyarat emosi bertentangan seperti topeng (misalnya, memasang wajah ceria untuk menutupi kesedihan). Indikatornya adalah:

kontrol emosi, kontrol perkataan, dan menggunakan topeng.

D. Social Expressivity (SE)

Social Expressivity mengacu pada keterampilan umum berbahasa lisan dan kemampuan untuk bersama oranglain di lingkungan sosial. Individu dengan SE tinggi tampil outgoing, suka berteman karena kemampuan mereka untuk memulai percakapan dengan orang lain. Jadi individu yang ekspresif biasanya dapat berbicara spontan, namun terkadang kurang mengontrol/memonitoring perkataannya. Indikatornya adalah: bicara spontan, sosialisasi, dan memulai percakapan

42

E. Social Sensitivity (SS)

Social sensitivity adalah kemampuan decode (menerima) dan memahami komunikasi verbal serta norma-norma yang mengatur perilaku sosial. Individu yang sensitif akan memperhatikan orang lain (misalnya, menjadi pengamat dan pendengar yang baik), karena pengetahuan mereka tentang norma-norma sosial dan aturan. Individu dengan SS tinggi dapat menjadi overconcerned dengan kesesuaian perilaku mereka sendiri dan perilaku oranglain. Pada tingkat ekstrem, social sensitivity yang tinggi akan memunculkan self consciousness dan kecemasan sosial, hal ini dapat menghambat partisipasi individu dalam interaksi sosial. Indikatornya adalah: pendengar dan pengamat yang baik, dan memahami norma.

F. Social Control (SC)

Social Control mengacu pada keterampilan umum self presentation di sosial.

Individu dengan SC tinggi akan tampil bijaksana, mahir secara sosial, dan percaya diri. Individu dengan SC tinggi akan terampil berakting, mampu memainkan berbagai peran sosial dan mudah mengambil sikap tertentu atau orientasi dalam diskusi. Karena itu mereka mampu menyesuaikan perilakunya agar sesuai dengan situasi sosial tertentu. Indikatornya adalah: dapat beradaptasi, bijaksana, dan percaya diri.

2.2.3.2 Pengukuran keterampilan sosial

Keterampilan sosial diukur dengan Social Skill Inventory (SSI) yang dikembangkan oleh Riggio (1986). Skala ini dibangun dengan dua domain yang terpisah yaitu, emosi-nonverbal dan domain sosial-verbal (Riggio, 1986).

Dimensi yang mewakili keterampilan sosial diantaranya emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan social control.